Melihat Anisa yang tak berkutik. Azman langsung berdiri, menepuk pundak kanan istrinya seraya berkata, "Anisa." Tampak jelas Anisa terkejut, kemudian menoleh. "Astagfirullah," kata Anisa.Dua bola mata masing-masing dari mereka saling bertemu di antara perhatian pengunjung yang lain. Sementara sosok tinggi segera pergi ke dapur, ada banyak hal yang perlu dilakukan."Kamu kenapa?" Sekali lagi Azman bertanya. Melirik sekilas ke depan, tempat di mana sosok tinggi sempat berdiri dan sekarang tak ada. "Apa ada sesuatu yang salah?" Lirikan mata Azman kembali fokus pada Anisa.Anisa kembali membungkam mulut. Entah karena terlalu kaget atau memang kurang percaya, sebab setahunya sosok itu memang sudah pergi dari kota ini dengan meninggalkan sejuta luka dan kenangan. "I-itu, Mas." Anisa gugup sekaligus bimbang.Azman tak ingin memaksa, apalagi harus mendorong Anisa lebih dalam. Bisa saja istrinya kurang nyaman dan kembali tertutup. "Kamu mau ke toilet bukan?" Azman memilih mengalihkan pembica
Kedai steak itu masih ramai seperti hari-hari biasa. Fatur hendak menemui seseorang di sana. Pertemuan ini mungkin yang kedua, ada pertemuan pertama yang sudah dilupakan oleh Fatur."Naiklah." Seorang lelaki yang tingginya hampir sama dengan Fatur itu menyambut tamunya. Fatur tak menjawab. Bergegas naik ke lantai atas. Melihat-lihat sekitar di sana dan kedua matanya tertuju pada beberapa foto yang terbingkai cantik. "Terlalu naif." Fatur menyunggingkan senyum kecil. Kemudian, duduk di sofa panjang yang tersedia.Tak berapa lama sosok tinggi tadi pun datang dengan membawakan segelas jus jeruk juga satu piring steak yang diletakan pada nampan. "Makanlah dulu." Sosok itu menyimpan nampan di meja. Lalu, duduk di sopa panjang juga.Fatur melirik sekilas nampan, tak ada selera. Tidak peduli menu yang disajikan termasuk seleranya, Fatur merasa kurang berselera. "Aku tidak lapar," katanya. Padahal Fatur sama sekali belum makan siang sejak pulang dari luar kota. Entah karena terlalu lelah ata
Suasana rumah sakit masih sama seperti biasanya. Beberapa koridor sepi, tetapi di beberapa lagi banyak terjadi drama. Ada yang menangis, adapula yang harus dikejar petugas. Begitulah kehidupan di sana, tak normal seperti halnya di luar.Setelah mengisi absen dan ternyata Anisa yang pertama masuk bulan ini. Fatur belum datang, mungkin memang cukup sibuk.Anisa dan Azman berjalan melewati koridor sepi. Mengamati sekitar, mendengar jeritan dan juga tawa. Terkadang pula nyanyian pun bisa mereka dengar. Aneh-aneh memang.Tangan Azman tidak lepas dari tangan Anisa. Mereka memperlihatkan bagaimana kehidupan pasangan suami istri yang harmonis sambil sesekali berbincang-bincang."Mereka dulunya pasti juga seperti kita, Mas. Punya pasangan dan keluarga," kata Anisa saat melihat seorang pasien perempuan masih muda sambil memegang boneka. Suara tawa serta nyanyian seperti menimang seorang bayi pun menerpa telinga Anisa dan Azman."Benar. Mereka punya kehidupan yang mungkin indah dulunya, tapi saya
"Tidak mungkin!" Anisa berteriak.Dua suster mendekati mereka. Menenangkan Anisa dan memberitahu Azman untuk tidak mengganggu kenyamanan rumah sakit."Maaf, kami akan pulang. Mohon beri informasi jika terjadi sesuatu dengan ibu kami. Assalamualaikum." Azman menuntun Anisa pergi dari daerah taman rumah sakit.Entah sadar atau tidak, yang jelas Anisa tak menolak. Tubuh perempuan itu seolah pasrah. Mengingat jiwanya sedang terguncang dengan pernyataan gila Azman.Azman dan Anisa kembali ke mobil. Anisa masih tidak bersuara, sedangkan Azman bergegas menyetir supaya kendaraan roda empat itu meluncur dari parkiran rumah sakit."Kita bicarakan baik-baik di rumah," imbuh Azman.Tak ada jawaban. Anisa menatap lurus dengan pandangan kosong ke depan. Deru mesin mobil pun seolah tidak terdengar. Saat ini otaknya tidak bisa berpikir apa pun.Selama perjalanan berlangsung, keheningan tercipta di dalam mobil. Hanya suara kebisingan jalanan saja yang terdengar tak henti-henti di telinga mereka masing
"Aku lelah. Sebaiknya Mas keluar dari kamar ini dan tinggalkan aku sendiri." Anisa bergerak naik ke ranjang, berbaring miring ke kiri lalu menarik selimut untuk menutupi seluruh badan. Jiwanya sulit memahami keadaan, tetapi kenyataan lebih sulit dikendalikan.Azman mengerti. "Baiklah. Tenangkan dirimu dulu. Kalau ada perlu, saya ada di ruangan perpustakaan." Dengan langkah berat Azman meninggalkan kamar utama. Anisa butuh waktu untuk memahami semuanya.***Di tempat lain Fatur duduk tegak menghadapi seorang lelaki paruh baya yang terus saja mengajaknya bertemu sejak dua hari lalu. "Kamu masih membiarkan mereka bersama?" Lelaki paruh baya itu tak pernah basa-basi, langsung ke inti masalah. Melihat tak ada reaksi Fatur, lelaki paruh baya tersebut memahami keadaan. "Seandainya kamu tau siapa adik iparmu. Apa kamu akan tetap mendukung hubungan mereka?" Selanjutnya sang lelaki paruh baya tersebut mulai memancing suara Fatur.Kening Fatur berkerut kencang. "Apa ada sesuatu yang tidak aku k
Anisa meminta waktu untuk memikirkan keputusan. Tentu Fatur memberikan kelonggaran. Selama waktu tersebut, Anisa meminta Azman untuk tidak mendekati ataupun berbicara dengannya. Demi kenyamanan bersama, Azman menyanggupi.Keesokan harinya Anisa bangun seperti biasa. Menyiapkan keperluan sang suami tanpa berbicara dan langsung berangkat ke kampus lebih pagi. Bahkan perempuan itu tidak berniat sarapan sama sekali.Azman memahami. Tak banyak protes, apalagi sampai berdebat untuk hal sepele. Pria itu bersiap-siap juga untuk mengajar dua kelas.Mobil berwarna hitam meluncur bebas dari pekarangan rumah ke arah jalan. Selama berkendara, Azman berusaha untuk fokus dan melupakan sejenak masalahnya dengan Anisa. Sekali pun otak lelaki itu tetap saja sulit dikendalikan untuk lebih luas."Bu, ternyata hadiahnya lebih manis dari yang aku pikirkan." Azman tersenyum tipis. Setiap perbuatan selalu ada balasan, kalimat yang Azman yakini sedari dahulu. Tak disangka, ia justru menerima balasan atas perb
Dalam hitungan dua menit Azman cukup terkejut, sekali pun pria itu sudah menyiapkan hati untuk hal-hal di luar kendali.Dengan berpegangan erat pada koper, Anisa meneruskan kalimatnya. "Sepertinya kita memang tidak cocok dari awal. Pernikahan yang terpaksa karena keadaan, lalu sifat kita yang saling bertolak belakang. Kemudian disusul dengan fakta paling menyakitkan. Hal itu saja sudah sangat jelas sebagai tanda kita memang seharusnya tidak saling mengenal dan bersama."Demi menegaskan maksudnya, Anisa sampai menjelaskan begitu detail. Menghindari Azman bertanya perihal alasan atas keputusan yang perempuan itu buat."Apa kamu yakin?" Azman bertanya setelah merasa Aruna lebih tenang. "Ini bukan mainan, tapi keputusan yang bisa membuat hidupmu berubah. Statusmu pun sama akan berubah.""Apa Mas melihat kilatan ragu di mataku?" Anisa bertanya balik. Azman diam. "Aku rasa tidak karena aku sendiri sudah memikirkannya ratusan kali.""Ratusan kali dalam kurun waktu seminggu?" tanya Azman lagi
Azman diam sejenak dengan kedua mata masih menatap lurus ke depan. Sudah berapa tahun tidak bertemu? Ya, bertemu dalam artian saling berhadapan satu sama lain, bukan sekadar mengamati dari kejauhan."Saya hampir tidak mengenalimu. Ternyata kamu tumbuh dengan baik," ujar sosok tersebut yang ternyata adalah Pak Dirga.Azman masih diam dalam beberapa detik, kemudian bersuara, "Jelas Anda tidak mengenali saya karena sudah lama juga tidak bertemu."Pak Dirga tersenyum tipis. "Bagaimana kabarmu sekarang?" "Sepertinya Anda tidak perlu bertanya lagi tentang itu. Bukankah Anda sudah tau bagaimana saya? Termasuk hubungan saya dengan kedua anak Anda." Azman tak suka berbasa-basi.Sekali lagi Pak Dirga tersenyum kecil. Seperti halnya Fatur, anak lelaki dari wanita simpanannya pun sudah tumbuh baik menjadi orang dewasa yang pintar berbicara. Dengan begitu, cara menghadapinya harus jauh berbeda ketika usia anak itu belasan tahun. Cukup merepotkan."Benar. Saya mendengar kamu menikah dengan Anisa.