Rara menemani Anisa di perpustakaan. Sesekali mereka mengobrol dengan suara pelan demi kenyamanan."Sa, katanya Karisma menemui kamu, ya?" Rara baru ingat tentang ini.Keduanya duduk saling berhadapan. "Benar." Anisa tak memungkiri."Apa yang dia katakan?" tanya Rara penasaran.Anisa sejenak diam, membaca kalimat terakhir di lembaran kelima putih dari novel. Kemudian, berkata, "Dia bilang habis mengatakan cinta ke Pak Azman." Kedua bola mata Rara membesar, tak percaya. "Astagfirullah, dia beneran lakuin itu?" Dari ekspresinya saja sudah menunjukan jika Rara tidak menyangka.Anisa mengangguk pelan. Tak ada yang perlu disembunyikan."Lalu, tanggapan kamu bagaimana, Sa?" Selanjutnya, rasa penasaran Rara menggiring perempuan itu untuk mengetahui perasaan Anisa. Jelas saja temanya tersebut adalah seorang istri dari lelaki yang dicintai Karisma. Terlebih Karisma mengatakannya langsung seolah tanpa peduli apa pun. "Kamu pasti marah, kan?" Alih-alih marah, Anisa lebih cenderung kasian. Sifat
Kelas selesai tepat sebelum azan Dzuhur. Azman istirahat sebentar di ruangan dosen, menunggu waktu salat datang sambil bermain ponsel. Suasana hati Azman cukup menyenangkan, tetapi juga disiksa rindu pada sang istri. Sebab, sampai siang ini Azman belum bisa bertatap muka lagi dengan Anisa.Azan berkumandang. Azman bergegas ke masjid kampus. Melaksanakan kewajiban sebagai muslim sebelum akhirnya menemui sang istri yang sudah terlebih dahulu diminta menunggu di mobil.Baik Anisa maupun Azman tak ada kelas siang. Azman akan ke kampus kembali pukul empat sore untuk mengisi satu kelas sore. Hal ini dimanfaatkan Azman untuk mengajak sang istri berjalan-jalan, walaupun terik matahari memang sedang sangat tinggi. Salat selesai. Azman bergegas ke parkiran mobil. Begitu kedua kaki sampai di sana, ia menemukan Anisa sudah berada di dalam mobil dengan wajah berseri-seri menyambut kedatangannya.Azman membuka pintu. "Maaf, saya lama." Masuk dan langsung menutupnya secepat mungkin. Entah angin dari
Melihat Anisa yang tak berkutik. Azman langsung berdiri, menepuk pundak kanan istrinya seraya berkata, "Anisa." Tampak jelas Anisa terkejut, kemudian menoleh. "Astagfirullah," kata Anisa.Dua bola mata masing-masing dari mereka saling bertemu di antara perhatian pengunjung yang lain. Sementara sosok tinggi segera pergi ke dapur, ada banyak hal yang perlu dilakukan."Kamu kenapa?" Sekali lagi Azman bertanya. Melirik sekilas ke depan, tempat di mana sosok tinggi sempat berdiri dan sekarang tak ada. "Apa ada sesuatu yang salah?" Lirikan mata Azman kembali fokus pada Anisa.Anisa kembali membungkam mulut. Entah karena terlalu kaget atau memang kurang percaya, sebab setahunya sosok itu memang sudah pergi dari kota ini dengan meninggalkan sejuta luka dan kenangan. "I-itu, Mas." Anisa gugup sekaligus bimbang.Azman tak ingin memaksa, apalagi harus mendorong Anisa lebih dalam. Bisa saja istrinya kurang nyaman dan kembali tertutup. "Kamu mau ke toilet bukan?" Azman memilih mengalihkan pembica
Kedai steak itu masih ramai seperti hari-hari biasa. Fatur hendak menemui seseorang di sana. Pertemuan ini mungkin yang kedua, ada pertemuan pertama yang sudah dilupakan oleh Fatur."Naiklah." Seorang lelaki yang tingginya hampir sama dengan Fatur itu menyambut tamunya. Fatur tak menjawab. Bergegas naik ke lantai atas. Melihat-lihat sekitar di sana dan kedua matanya tertuju pada beberapa foto yang terbingkai cantik. "Terlalu naif." Fatur menyunggingkan senyum kecil. Kemudian, duduk di sofa panjang yang tersedia.Tak berapa lama sosok tinggi tadi pun datang dengan membawakan segelas jus jeruk juga satu piring steak yang diletakan pada nampan. "Makanlah dulu." Sosok itu menyimpan nampan di meja. Lalu, duduk di sopa panjang juga.Fatur melirik sekilas nampan, tak ada selera. Tidak peduli menu yang disajikan termasuk seleranya, Fatur merasa kurang berselera. "Aku tidak lapar," katanya. Padahal Fatur sama sekali belum makan siang sejak pulang dari luar kota. Entah karena terlalu lelah ata
Suasana rumah sakit masih sama seperti biasanya. Beberapa koridor sepi, tetapi di beberapa lagi banyak terjadi drama. Ada yang menangis, adapula yang harus dikejar petugas. Begitulah kehidupan di sana, tak normal seperti halnya di luar.Setelah mengisi absen dan ternyata Anisa yang pertama masuk bulan ini. Fatur belum datang, mungkin memang cukup sibuk.Anisa dan Azman berjalan melewati koridor sepi. Mengamati sekitar, mendengar jeritan dan juga tawa. Terkadang pula nyanyian pun bisa mereka dengar. Aneh-aneh memang.Tangan Azman tidak lepas dari tangan Anisa. Mereka memperlihatkan bagaimana kehidupan pasangan suami istri yang harmonis sambil sesekali berbincang-bincang."Mereka dulunya pasti juga seperti kita, Mas. Punya pasangan dan keluarga," kata Anisa saat melihat seorang pasien perempuan masih muda sambil memegang boneka. Suara tawa serta nyanyian seperti menimang seorang bayi pun menerpa telinga Anisa dan Azman."Benar. Mereka punya kehidupan yang mungkin indah dulunya, tapi saya
"Tidak mungkin!" Anisa berteriak.Dua suster mendekati mereka. Menenangkan Anisa dan memberitahu Azman untuk tidak mengganggu kenyamanan rumah sakit."Maaf, kami akan pulang. Mohon beri informasi jika terjadi sesuatu dengan ibu kami. Assalamualaikum." Azman menuntun Anisa pergi dari daerah taman rumah sakit.Entah sadar atau tidak, yang jelas Anisa tak menolak. Tubuh perempuan itu seolah pasrah. Mengingat jiwanya sedang terguncang dengan pernyataan gila Azman.Azman dan Anisa kembali ke mobil. Anisa masih tidak bersuara, sedangkan Azman bergegas menyetir supaya kendaraan roda empat itu meluncur dari parkiran rumah sakit."Kita bicarakan baik-baik di rumah," imbuh Azman.Tak ada jawaban. Anisa menatap lurus dengan pandangan kosong ke depan. Deru mesin mobil pun seolah tidak terdengar. Saat ini otaknya tidak bisa berpikir apa pun.Selama perjalanan berlangsung, keheningan tercipta di dalam mobil. Hanya suara kebisingan jalanan saja yang terdengar tak henti-henti di telinga mereka masing
"Aku lelah. Sebaiknya Mas keluar dari kamar ini dan tinggalkan aku sendiri." Anisa bergerak naik ke ranjang, berbaring miring ke kiri lalu menarik selimut untuk menutupi seluruh badan. Jiwanya sulit memahami keadaan, tetapi kenyataan lebih sulit dikendalikan.Azman mengerti. "Baiklah. Tenangkan dirimu dulu. Kalau ada perlu, saya ada di ruangan perpustakaan." Dengan langkah berat Azman meninggalkan kamar utama. Anisa butuh waktu untuk memahami semuanya.***Di tempat lain Fatur duduk tegak menghadapi seorang lelaki paruh baya yang terus saja mengajaknya bertemu sejak dua hari lalu. "Kamu masih membiarkan mereka bersama?" Lelaki paruh baya itu tak pernah basa-basi, langsung ke inti masalah. Melihat tak ada reaksi Fatur, lelaki paruh baya tersebut memahami keadaan. "Seandainya kamu tau siapa adik iparmu. Apa kamu akan tetap mendukung hubungan mereka?" Selanjutnya sang lelaki paruh baya tersebut mulai memancing suara Fatur.Kening Fatur berkerut kencang. "Apa ada sesuatu yang tidak aku k
Anisa meminta waktu untuk memikirkan keputusan. Tentu Fatur memberikan kelonggaran. Selama waktu tersebut, Anisa meminta Azman untuk tidak mendekati ataupun berbicara dengannya. Demi kenyamanan bersama, Azman menyanggupi.Keesokan harinya Anisa bangun seperti biasa. Menyiapkan keperluan sang suami tanpa berbicara dan langsung berangkat ke kampus lebih pagi. Bahkan perempuan itu tidak berniat sarapan sama sekali.Azman memahami. Tak banyak protes, apalagi sampai berdebat untuk hal sepele. Pria itu bersiap-siap juga untuk mengajar dua kelas.Mobil berwarna hitam meluncur bebas dari pekarangan rumah ke arah jalan. Selama berkendara, Azman berusaha untuk fokus dan melupakan sejenak masalahnya dengan Anisa. Sekali pun otak lelaki itu tetap saja sulit dikendalikan untuk lebih luas."Bu, ternyata hadiahnya lebih manis dari yang aku pikirkan." Azman tersenyum tipis. Setiap perbuatan selalu ada balasan, kalimat yang Azman yakini sedari dahulu. Tak disangka, ia justru menerima balasan atas perb