Fatur datang sesuai janji. Kali ini pria itu langsung makan malam bersama Anisa dan Azman."Kakak, belum menjenguk ibu, bulan ini?" Anisa memulai percakapan di meja makan.Posisi Fatur saling berhadapan dengan Anisa, sedangkan Azman sendiri berada di samping kiri Anisa.Tongseng ayam buatan Bi Yayah memang super pedas dan enak. Berkali-kali Fatur memuji bahkan meminta untuk dibawa pulang. Tidak malu? Ah … biarkan saja. Dia merasa senang dengan masakan rumahan."Kakak baru menjenguk ibu tadi. Kemarin-kemarin, Kakak sibuk." Fatur menjawab sesuai realita. Menatap Anisa lekat. "Mungkin Kakak juga baru bisa menjenguk ibu lagi bulan depan.""Kenapa?" Anisa langsung menyahut.Azman cukup menyimak. Rasa gurih kuah tongseng ini lebih menggoda dibandingkan percakapan kakak beradik di dekatnya. Fatur mengunyah lebih dahulu. Ternyata makan di rumah Anisa lebih menyenangkan dibandingkan makan sendiri di rumahnya. Nasi bisa ditelan dengan baik, bahkan kenikmatannya bisa dirasakan begitu dalam."Ka
"Saya suaminya Anisa." Azman seketika menjawab. Fatur semakin menatap tajam. "Selain itu." Entah apa yang dirasa, tetapi Fatur rupanya mulai menaruh curiga.Anisa datang dengan dua gelas teh hangat. Duduk di samping Fatur dan berkata, "Kakak, mau menginap?" tanyanya tanpa meminta izin pada Azman. Sepertinya gadis itu masih kesal perihal di meja makan tadi.Azman melirik Anisa sekilas."Tidak bisa, Dek." Fatur memahami keadaan. Menerima jamuan sang adik dengan mencicipi teh di gelas, kemudian menyimpannya kembali. "Masih banyak pekerjaan yang harus Kakak selesaikan."Anisa tak bermaksud memaksa, hanya saja rasanya rindu ini belum terobati. "Semalam saja?" Kali ini perempuan itu merajuk.Fatur tertawa kecil sambil mengusap pucuk kepala sang adik yang kini tak memakai hijab. "Kakak jadi ingin kamu kembali ke Anisa kecil lagi."Azman mengambil cangkir teh miliknya. Menyeruput perlahan dan merasakan sedikit keganjilan. Rasanya beda, ada asin yang terasa. Benarkah ini teh manis? Azman kemb
Rara menemani Anisa di perpustakaan. Sesekali mereka mengobrol dengan suara pelan demi kenyamanan."Sa, katanya Karisma menemui kamu, ya?" Rara baru ingat tentang ini.Keduanya duduk saling berhadapan. "Benar." Anisa tak memungkiri."Apa yang dia katakan?" tanya Rara penasaran.Anisa sejenak diam, membaca kalimat terakhir di lembaran kelima putih dari novel. Kemudian, berkata, "Dia bilang habis mengatakan cinta ke Pak Azman." Kedua bola mata Rara membesar, tak percaya. "Astagfirullah, dia beneran lakuin itu?" Dari ekspresinya saja sudah menunjukan jika Rara tidak menyangka.Anisa mengangguk pelan. Tak ada yang perlu disembunyikan."Lalu, tanggapan kamu bagaimana, Sa?" Selanjutnya, rasa penasaran Rara menggiring perempuan itu untuk mengetahui perasaan Anisa. Jelas saja temanya tersebut adalah seorang istri dari lelaki yang dicintai Karisma. Terlebih Karisma mengatakannya langsung seolah tanpa peduli apa pun. "Kamu pasti marah, kan?" Alih-alih marah, Anisa lebih cenderung kasian. Sifat
Kelas selesai tepat sebelum azan Dzuhur. Azman istirahat sebentar di ruangan dosen, menunggu waktu salat datang sambil bermain ponsel. Suasana hati Azman cukup menyenangkan, tetapi juga disiksa rindu pada sang istri. Sebab, sampai siang ini Azman belum bisa bertatap muka lagi dengan Anisa.Azan berkumandang. Azman bergegas ke masjid kampus. Melaksanakan kewajiban sebagai muslim sebelum akhirnya menemui sang istri yang sudah terlebih dahulu diminta menunggu di mobil.Baik Anisa maupun Azman tak ada kelas siang. Azman akan ke kampus kembali pukul empat sore untuk mengisi satu kelas sore. Hal ini dimanfaatkan Azman untuk mengajak sang istri berjalan-jalan, walaupun terik matahari memang sedang sangat tinggi. Salat selesai. Azman bergegas ke parkiran mobil. Begitu kedua kaki sampai di sana, ia menemukan Anisa sudah berada di dalam mobil dengan wajah berseri-seri menyambut kedatangannya.Azman membuka pintu. "Maaf, saya lama." Masuk dan langsung menutupnya secepat mungkin. Entah angin dari
Melihat Anisa yang tak berkutik. Azman langsung berdiri, menepuk pundak kanan istrinya seraya berkata, "Anisa." Tampak jelas Anisa terkejut, kemudian menoleh. "Astagfirullah," kata Anisa.Dua bola mata masing-masing dari mereka saling bertemu di antara perhatian pengunjung yang lain. Sementara sosok tinggi segera pergi ke dapur, ada banyak hal yang perlu dilakukan."Kamu kenapa?" Sekali lagi Azman bertanya. Melirik sekilas ke depan, tempat di mana sosok tinggi sempat berdiri dan sekarang tak ada. "Apa ada sesuatu yang salah?" Lirikan mata Azman kembali fokus pada Anisa.Anisa kembali membungkam mulut. Entah karena terlalu kaget atau memang kurang percaya, sebab setahunya sosok itu memang sudah pergi dari kota ini dengan meninggalkan sejuta luka dan kenangan. "I-itu, Mas." Anisa gugup sekaligus bimbang.Azman tak ingin memaksa, apalagi harus mendorong Anisa lebih dalam. Bisa saja istrinya kurang nyaman dan kembali tertutup. "Kamu mau ke toilet bukan?" Azman memilih mengalihkan pembica
Kedai steak itu masih ramai seperti hari-hari biasa. Fatur hendak menemui seseorang di sana. Pertemuan ini mungkin yang kedua, ada pertemuan pertama yang sudah dilupakan oleh Fatur."Naiklah." Seorang lelaki yang tingginya hampir sama dengan Fatur itu menyambut tamunya. Fatur tak menjawab. Bergegas naik ke lantai atas. Melihat-lihat sekitar di sana dan kedua matanya tertuju pada beberapa foto yang terbingkai cantik. "Terlalu naif." Fatur menyunggingkan senyum kecil. Kemudian, duduk di sofa panjang yang tersedia.Tak berapa lama sosok tinggi tadi pun datang dengan membawakan segelas jus jeruk juga satu piring steak yang diletakan pada nampan. "Makanlah dulu." Sosok itu menyimpan nampan di meja. Lalu, duduk di sopa panjang juga.Fatur melirik sekilas nampan, tak ada selera. Tidak peduli menu yang disajikan termasuk seleranya, Fatur merasa kurang berselera. "Aku tidak lapar," katanya. Padahal Fatur sama sekali belum makan siang sejak pulang dari luar kota. Entah karena terlalu lelah ata
Suasana rumah sakit masih sama seperti biasanya. Beberapa koridor sepi, tetapi di beberapa lagi banyak terjadi drama. Ada yang menangis, adapula yang harus dikejar petugas. Begitulah kehidupan di sana, tak normal seperti halnya di luar.Setelah mengisi absen dan ternyata Anisa yang pertama masuk bulan ini. Fatur belum datang, mungkin memang cukup sibuk.Anisa dan Azman berjalan melewati koridor sepi. Mengamati sekitar, mendengar jeritan dan juga tawa. Terkadang pula nyanyian pun bisa mereka dengar. Aneh-aneh memang.Tangan Azman tidak lepas dari tangan Anisa. Mereka memperlihatkan bagaimana kehidupan pasangan suami istri yang harmonis sambil sesekali berbincang-bincang."Mereka dulunya pasti juga seperti kita, Mas. Punya pasangan dan keluarga," kata Anisa saat melihat seorang pasien perempuan masih muda sambil memegang boneka. Suara tawa serta nyanyian seperti menimang seorang bayi pun menerpa telinga Anisa dan Azman."Benar. Mereka punya kehidupan yang mungkin indah dulunya, tapi saya
"Tidak mungkin!" Anisa berteriak.Dua suster mendekati mereka. Menenangkan Anisa dan memberitahu Azman untuk tidak mengganggu kenyamanan rumah sakit."Maaf, kami akan pulang. Mohon beri informasi jika terjadi sesuatu dengan ibu kami. Assalamualaikum." Azman menuntun Anisa pergi dari daerah taman rumah sakit.Entah sadar atau tidak, yang jelas Anisa tak menolak. Tubuh perempuan itu seolah pasrah. Mengingat jiwanya sedang terguncang dengan pernyataan gila Azman.Azman dan Anisa kembali ke mobil. Anisa masih tidak bersuara, sedangkan Azman bergegas menyetir supaya kendaraan roda empat itu meluncur dari parkiran rumah sakit."Kita bicarakan baik-baik di rumah," imbuh Azman.Tak ada jawaban. Anisa menatap lurus dengan pandangan kosong ke depan. Deru mesin mobil pun seolah tidak terdengar. Saat ini otaknya tidak bisa berpikir apa pun.Selama perjalanan berlangsung, keheningan tercipta di dalam mobil. Hanya suara kebisingan jalanan saja yang terdengar tak henti-henti di telinga mereka masing