Sejenak Azman takjub dengan pemikiran Anisa. Perkataan gadis itu tidak ada salahnya. Memang manusia dirancang Allah untuk bisa melindungi diri sendiri. Namun, dengan level kekuatan yang berbeda. Termasuk antara pria dan wanita.Anisa segera mengalihkan pandangan ke deretan buku dengan sampul beragam. "Sebenarnya saya bukan tipe perempuan yang ingin dilindungi laki-laki. Bukan artian saya tidak membutuhkan mereka, tapi bisa melindungi diri sendiri itu jauh lebih baik."Keheningan malam mulai terpecahkan. Suasana hangat lagi dengan percakapan keduanya. Sekarang senyum manis terukir kembali di bibir Anisa. "Nyatanya bergantung pada manusia itu akan mengantarkan kita ke arah kecewa dan luka.""Apa itu alasanmu tidak mau mengandalkan saya?" Tiba-tiba Azman bertanya demikian. Sontak Anisa menoleh lagi ke arahnya. "Pernikahan ini terbentuk karena rasa keterpaksaan darimu, tapi bagi saya tentu tidak. Makanya, saya ingin kamu mengandalkan saya sebagai suami.""Apa untungnya bagi Pak Azman?" S
"Benar." Azman langsung menyahut. Syukurlah Anisa bisa berpikir lebih dalam. "Kita sudah diberi ribuan nikmat oleh Allah. Jadi, tidak seharusnya mengeluh begitu saja."Percakapan setelah salat Subuh itu menyentuh hati keduanya. Kemudian, mereka pun bergegas meneruskan aktivitas masing-masing.Mengenai ajakan Azman untuk menjenguk Bu Dewi pun di-acc oleh Anisa. Mereka akan pergi setelah kelas siang selesai.***Karisma duduk terdiam di ruangan dosen. Menunggu pak Azman datang. Menurut Ciko, Azman ada kelas pagi. Tentu pria itu akan datang lebih pagi dari biasanya."Apa kamu ada keperluan dengan Pak Azman?" tanya Ciko yang rupanya mengendus sesuatu.Karisma duduk di bangku depan meja Azman. Mengangkat kepala, menatap Ciko. "Iya, Pak.""Kalau boleh saya tau, tentang apa?" Ciko terus mengorek, barangkali ada masalah besar yang sedang dihadapi mahasiswi temannya tersebut. Karisma diam sejenak, lalu berkata, "Ini sedikit privasi, Pak." Perempuan berusia dua puluh dua tahun itu pun hanya me
"Maaf, saya rasa itu terlalu pribadi untuk kita bicarakan yang hanya berstatus dosen dan mahasiswi." Azman menolak pertanyaan Karisma dengan cepat. "Saya ada kelas." Pria itu bergegas pergi dari ruangan, meninggalkan Karisma sendiri. Karisma menunduk lesu. Pada akhirnya pernyataan cinta itu terjadi, sekali pun dirinya tak berpikir sampai sana.***Setelah kelas siang, tepatnya pukul dua siang. Anisa dan Azman satu mobil untuk meluncur ke rumah sakit jiwa. Sebelum itu, mereka menyempatkan diri membeli buket bunga mawar merah, sebab Bu Dewi sangat menyukai itu."Saya penasaran kenapa ibumu sangat suka mawar merah?" tanya Azman ketika mereka keluar dari toko bunga.Anisa berjalan lebih dahulu sambil memegang buket yang berisikan sekitar dua puluh tangkai mawar merah cantik. Sesekali gadis itu mencium semerbak harum sang bunga. Menikmatinya seolah sedang mencium sesuatu yang berharga."Ibu dulu punya banyak tanaman bunga, termasuk mawar merah," jawab Anisa.Keduanya masuk mobil. Tak lupa
Anisa tersentak. Menatap sang ibu yang juga menatapnya."Ibu bilang apa tadi?" Anisa bertanya karena terlalu kaget.Sayangnya kali ini Bu Dewi kembali membungkam mulut bersamaan dengan mendorong tubuh Anisa ke belakang. "Aw!" Anisa terjatuh ke tanah. Azman melihat itu dan bergegas menghampiri istrinya. "Anisa!" Lelaki itu langsung membantu Anisa berjongkok lagi.Anisa menerima bantuan Azman dengan pikiran penuh tanda tanya. Ada apa ini?"Pergi! Pergi dari sini!" Bu Dewi lagi-lagi mengamuk. Memukul kepala Azman dengan kedua tangan seolah tidak sudi bertemu dengan pria itu.Suster yang mengamati cepat tanggap. Menghampiri lagi Bu Dewi dan mencoba menenangkannya. "Tenang, Bu." Suaranya lembut.Anisa dibantu berdiri oleh Azman. Menyaksikan dengan kedua mata tubuh sang ibu memberontak pada suster, bahkan saat bantuan suster lainnya datang."Bawa Bu Dewi ke ruangannya!" Seorang dokter pun datang. Dengan cepat tiga suster memaksa Bu Dewi pergi.Anisa diam. Kedua netranya menjadi saksi kema
Anisa menunggu sang suami di perpustakaan. Ingin pulang, tetapi malas mencari taksi atau naik bus. Terlebih cuaca kota sekarang sedang sangat panas.Beberapa buku dipilih Anisa, termasuk salah satu novel yang ada di sana. Menghilangkan rasa penasaran yang terus-menerus mengusik pikiran.Tak ada Rara, tidak ada teman pula. Dari sekian banyak mahasiswa di ruangan perpustakaan. Hanya Anisa yang duduk sendirian. Tidak mengapa, toh Anisa sudah terbiasa.Membaca setiap kalimat di setiap lembaran buku menjadi kesenangan sendiri. Anisa bahkan lupa tentang kejadian hari ini sampai akhirnya ponsel berbunyi. "Astagfirullah," katanya yang lupa mengubah mode ponsel ke getar.Beberapa pandangan mata tertuju pada Anisa. Tentu semua orang tahu jika perpustakaan diwajibkan hening dari suara sekecil apa pun. "Maaf, saya lupa." Anisa mengangguk pelan. Tidak enak juga telah mengganggu kenyamanan penghuni perpustakaan.Dengan sigap perempuan itu merogoh tas. Mengambil benda canggih tersebut. "Siapa yang
Malam datang menyapa manusia. Anisa dan Azman sampai di rumah tepar pukul lima sore. Niat baik Fatur pun disampaikan Anisa pada Azman. "Datang saja. Kita bisa makan malam bersama," katanya dengan santai. Anisa tak menjawab lagi, hanya cukup berterimakasih.Selanjutnya, mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tak lupa Anisa meminta Bi Yayah menyiapkan makan malam spesial, sementara ia sendiri perlu menyiapkan pakaian tidur serta air hangat untuk sang suami.Sebenarnya Azman tak masalah sekali pun tidak dipersiapkan, tetapi Anisa sadar diri bagaimana perannya di rumah ini."Pak Azman mau langsung mandi atau saya duluan?" tanya Anisa sebelum masuk kamar mandi.Keduanya berada di kamar sekarang. Terlihat Azman berbaring di kasur, tampaknya lelah."Untuk menghemat waktu karena sebentar lagi salat Magrib. Bagaimana kalau mandi bersama saja?" Azman dengan santai mengusulkan ide gila itu."Apa!" Anisa yang berdiri di depan cermin hias pun terkejut sekaligus menoleh ke arah Azman. "Mandi
Fatur datang sesuai janji. Kali ini pria itu langsung makan malam bersama Anisa dan Azman."Kakak, belum menjenguk ibu, bulan ini?" Anisa memulai percakapan di meja makan.Posisi Fatur saling berhadapan dengan Anisa, sedangkan Azman sendiri berada di samping kiri Anisa.Tongseng ayam buatan Bi Yayah memang super pedas dan enak. Berkali-kali Fatur memuji bahkan meminta untuk dibawa pulang. Tidak malu? Ah … biarkan saja. Dia merasa senang dengan masakan rumahan."Kakak baru menjenguk ibu tadi. Kemarin-kemarin, Kakak sibuk." Fatur menjawab sesuai realita. Menatap Anisa lekat. "Mungkin Kakak juga baru bisa menjenguk ibu lagi bulan depan.""Kenapa?" Anisa langsung menyahut.Azman cukup menyimak. Rasa gurih kuah tongseng ini lebih menggoda dibandingkan percakapan kakak beradik di dekatnya. Fatur mengunyah lebih dahulu. Ternyata makan di rumah Anisa lebih menyenangkan dibandingkan makan sendiri di rumahnya. Nasi bisa ditelan dengan baik, bahkan kenikmatannya bisa dirasakan begitu dalam."Ka
"Saya suaminya Anisa." Azman seketika menjawab. Fatur semakin menatap tajam. "Selain itu." Entah apa yang dirasa, tetapi Fatur rupanya mulai menaruh curiga.Anisa datang dengan dua gelas teh hangat. Duduk di samping Fatur dan berkata, "Kakak, mau menginap?" tanyanya tanpa meminta izin pada Azman. Sepertinya gadis itu masih kesal perihal di meja makan tadi.Azman melirik Anisa sekilas."Tidak bisa, Dek." Fatur memahami keadaan. Menerima jamuan sang adik dengan mencicipi teh di gelas, kemudian menyimpannya kembali. "Masih banyak pekerjaan yang harus Kakak selesaikan."Anisa tak bermaksud memaksa, hanya saja rasanya rindu ini belum terobati. "Semalam saja?" Kali ini perempuan itu merajuk.Fatur tertawa kecil sambil mengusap pucuk kepala sang adik yang kini tak memakai hijab. "Kakak jadi ingin kamu kembali ke Anisa kecil lagi."Azman mengambil cangkir teh miliknya. Menyeruput perlahan dan merasakan sedikit keganjilan. Rasanya beda, ada asin yang terasa. Benarkah ini teh manis? Azman kemb