Share

Gelang perak

Cup!

Ken mencium dahinya dengan lembut serta penuh dengan kerinduannya seakan kangen dengan seseorang—ia memberikan sedikit kehidupannya. Ketika ia menatap wajah Sera ia tiba-tiba teringat kembali dengan bayangan seseorang.

Dengan sedikit menghela napas ia mengendong Sera untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Di sepanjang perjalanan yang amat sepi ia hanya melihat kekacauan dan kerusakan serta jerit tangis dari orang-orang yang kehilangan keluarganya.

Sebenarnya, di dalam lubuk hati Ken sendiri ia benar-benar marah karena ketidakmampuannya dalam menolong orang lain. Ken serasa di neraka setiap kali kehilangan pasiennya ataupun gagal melakukan tugasnya. 

“Kenapa? Kenapa? KENAPAAAA?” jeritnya dalam hati.

Tanpa sadar sudah sampai di rumah sakit, ia tambah menjerit dalam hati karena banyak suara tangisan yang membuat telinganya sakit. Ia melewati beberapa pasien sebelum kemudian memanggil salah satu suster di sana untuk menolong Sera, tetapi tidak ada satu pun yang peduli padanya.

Ken menggigit bibirnya lalu masuk ke dalam rumah sakit untuk memanggil dokter, ia mendudukkan Sera di kursi tunggu lalu mencari dokter yang dapat menolongnya—Ken tidak mau berurusan dengan orang lain lebih lama—tapi setiap kali ia meminta tolong …

“Oh, anak itu tampaknya baik-baik saja. Tidak perlu dikhawatirkan,” ujar dokter dengan senyuman lebar.

“Apa katamu? Dia punya luka berat di sekujur tubuhnya jika tidak di tolong—“

“Kami akan panggil orang tuanya. Siapa nama anak itu?”

Ken mendorong jatuh dokter itu lalu membawa Sera ke rumah sakitnya. Dia tidak kenal Sera tapi ia tidak tega meninggalkannya seperti itu bersama manusia-manusia busuk seperti mereka.

Meski kesadarannya tidak terlalu jelas, Sera bisa melihat  tindakan Ken yang ia lakukan di rumah sakit. Di dalam hati Sera, ia sangat menderita ketika di tolong orang lain apalagi sampai menyelamatkan hidupnya.

Ia merasa tidak pantas mendapatkannya, ia tak seharusnya ditolong—meski ia meminta tolong—dan seharusnya ia tak pantas hidup setelah melakukan tindakan kejam di masa lalu.

Selama perjalanan ke rumah sakit milik Ken, mereka berdua sama-sama menjerit di dalam hati karena kesengsaraan dan ketidakmampuan mereka dalam menolong orang yang sangat berharga bagi mereka.

...

Setelah sampai, Ken masuk ke rumah sakit lalu memanggil ‘Dokter’ lain untuk menolong Sera. Tapi mereka semua sedang sibuk dengan banyaknya pasien dari berbagai daerah yang berbondong-bondong datang kemari.

“Ken, kau bawa perempuan cantik. Pacarmu, ya?” tanya salah satu ‘Dokter’ dengan wajah penasaran.

“Gila!” Ken menabrak ‘Dokter’ itu hingga jatuh lalu masuk ke ruangannya yang berada di lantai 3 tepatnya ujung lorong yang sangat sunyi.

Di sana ia membaringkan Sera di ranjang lalu mempersiapkan peralatan untuk mengobatinya. Ken mencuci tangan lalu memakai baju operasi di ruang ganti, ia mengambil suntikan bius lalu membiusnya.

Setelah beberapa saat, Ken melakukan operasi padanya untuk menutup luka-lukanya yang sangat serius. Meski sudah diberi kekuatan untuk hidup tetap saja luka tidak bisa hilang jika tidak disembuhkan.

“Lukanya menutup? Padahal aku tidak memberinya begitu banyak 'kehidupan' ini tidak wajar.” Ken dikejutkan dengan pemulihan luka Sera yang sangat cepat.

Semua luka tusukan, remukan, dan tulang-tulang yang patah sembuh tanpa ada bekasnya sama sekali—kecuali luka lebam yang masih ada—hal ini membuat Ken bertanya-tanya,

Saat ia terhempas anginnya di taman, alasan ia masih baik-baik saja karena pemulihannya yang cepat. Merasa ada yang janggal, Ken secara sengaja merobek salah satu pembuluh darah.

“Berani juga dia!” Suara sama yang terdengar saat roh jahat terpental dari Sera tapi tidak bisa didengar oleh Ken.

Robekan pembuluh darah itu sembuh seketika tapi detak jantung Sera menjadi lemah. Meski masih bingung, ia menyudahi operasinya tidak lupa ia menutup lukanya serta memberikan obat dan perban pada luka lebamnya.

Setelah beberapa saat, Sera terbangun dan melihat langit-langit yang sangat asing baginya. Sera juga terkejut karena Ken duduk di sampingnya seraya mengobati lukanya.

Sera terdiam beberapa saat sebelum kemudian menanyakan apa yang terjadi kepadanya? Ken hanya bisa terdiam lalu menatap Sera dengan sangat dekat lalu mengungkapkan kekecewaannya mengenai keadaan Sera yang menyedihkan.

“Apa maksudmu?” tanya Sera.

“Kau itu masih berjuang hidup atau apa? Dengan luka lebam sebanyak ini seharusnya kau sudah mati,” sinis Ken.

“Maksudmu lebih baik aku mati? Jika aku mati, apa MEREKA AKAN KEMBALI? JIKA AKU BISA MATI MAKA SUDAH KULAKUKAN DARI DULU!” bentak Sera.

BRAK!

Ken menendang jatuh meja yang penuh dengan alat-alat operasi dan obat-obatan. Ken balik membentak, ia tak terima ada orang lain yang memiliki masalah yang sama sepertinya.

Dan juga, ia kebetulan menolong Sera karena ia sedang diincar oleh roh jahat saja tidak lebih dan tidak kurang. Melihat Sera yang mengatakan hal itu membuat Ken tambah muak dan menyesal telah menolongnya.

Sera juga tidak mau kalah, ia akui dirinya tak pantas hidup tapi dirinya menjalani hidup dengan penuh kesengsaraan dan rasa bersalah yang sangat berat, ia merasa sedang menjalani hari-hari neraka.

“Hidupku selalu keras! Tak ada satu hari pun yang bisa kusebut hari terbaikku sepanjang masa. Terima kasih sudah menolongku,” ucapnya dengan wajah merah lebam.

Ken menjadi tambah muak melihat tingkahnya seperti serigala dalam domba, ia berjalan mendekati pintu kemudian membukannya—meminta Sera keluar dari ruangannya—Sera tambah marah dan kesal seraya beranjak dari ranjang.

Klek!

Ken menutup pintu itu lalu menggaruk-garuk rambutnya—bingung dan stres sendiri—seketika mengembalikan warna rambut dan matanya menjadi hitam.

“Memangnya aku akan mati dengan mudah? Dia itu dokter tidak tahu diri! Berpikir bahwa dirinya itu paling sengsara dari orang lain tanpa tahu latar belakang orang lain.” Sera berjalan cepat menuju ke rumahnya.

Yang dikatakan Sera tidaklah salah dan tidaklah benar, Ken menganggap dirinya yang paling sengsara di dunia—itu terlihat saat ia melihat pasiennya tewas—ia menatap ke belakang(masa lalu) bukannya ke depan(masa depan)

...

Di perjalanan, ia melewati jembatan gantung—jembatannya beraspal—yang di bawahnya ada ombak air laut yang menerjang terumbu karang. Sera melihat matahari terbenam lalu menenangkan dirinya yang sudah lelah.

Sedangkan di rumah sakit, Ken masih muak. Ia membereskan alat-alat operasinya dan obat-obatannya yang berceceran di mana-mana. Dan secara tidak sengaja, ia menemukan sebuah gelang perak di bawah ranjang,

“Ini punyanya? Hah, merepotkan. Lebih baik ku buang ke tong sampah.”

Ken hendak menjatuhkan gelang itu ke tong sampah tapi gelang itu terdapat tulisan rumit yang sulit dibaca. Merasa tertarik dan penasaran, ia melihat gelang itu dari dekat lalu matanya terbelalak lebar.

Ia langsung pergi ke luar rumah sakit untuk mencari Sera. Karena gelang perak itu hanya dimiliki oleh seseorang yang sangat penting baginya, tapi kenapa gelang itu ada pada Sera?"

“Gelang ini milik Serei. Kekasihku yang sangat kucintai dan juga kenapa ia selalu terbayang sebagai Serei? Apa mungkin,”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status