"Aku awalnya ingin memberi mereka pelajaran setelah pesta ulang tahun kakekku lewat. Tapi, karena mereka berani datang kemari, mana mungkin aku mengampuni mereka begitu saja!"Ternyata, Aaris adalah cucu Tabir. Aaris menggertakkan gigi barunya sambil menatap Tirta dan Nabila dengan penuh kebencian."Ya. Nanti kita cari kesempatan untuk memberi mereka pelajaran. Berengsek! Kita nggak boleh membiarkan mereka lolos begitu saja!" pekik seorang pemuda yang tulang rusuknya patah karena ditendang Tirta."Aaris, lihat pria paruh baya di samping mereka. Sepertinya itu Bima dari Perguruan Gagak Hitam." Tiba-tiba, seorang pemuda di samping Aaris memperhatikan Bima. Dia terdengar agak takut saat berbicara."Benar. Mereka seharusnya murid baru Pak Bima." Kedua pengawal yang berjaga bisa menilai bahwa Aaris punya masalah dengan Tirta. Mereka buru-buru maju untuk memberi tahu identitas Tirta."Sialan! Rupanya dia murid Bima!" Bima sangat terkenal belakangan ini. Dia mengalahkan banyak pimpinan sekola
Ketika mendengar ejekan orang-orang di sekitar, Nabila dan Bima langsung maju. Meskipun pertanyaan Tirta memang konyol, mereka tidak ingin Tirta diperolok-olok.Tirta melambaikan tangan dan berkata dengan santai, "Biarkan saja mereka tertawa. Lagian, ejekan mereka nggak bakal membuatku rugi. Tapi, sebenarnya ini tulisan apa? Aku benaran nggak ngerti.""Artinya musim semi. Tulisannya memang agak berantakan. Wajar kalau kamu nggak bisa baca. Tirta, gimana kalau kita pulang saja? Lagian, nggak ada yang menarik di sini." Nabila awalnya sangat menyukai karya Tabir. Namun, setelah melihat Tirta diejek, dia menjadi tidak suka lagi. Dia pun menarik Tirta untuk membawanya pergi.Bima hendak menghalangi, tetapi merasa tidak tega melihat Tirta ditertawakan. Asalkan Tirta berniat pulang, Bima akan mengikutinya."Kita sudah datang, untuk apa buru-buru pergi? Aku memang nggak ngerti, tapi lihat-lihat bukan masalah kok. Kalau aku benaran dapat kaligrafi ini, boleh juga digantung di rumahku." Tirta ma
Semua hadirin terkejut dengan situasi ini. Seorang pria tua berusia 70-an tahun menatap gadis itu, lalu menatap pria paruh baya itu. Kemudian, dia melihat seorang pria tua yang usianya sudah hampir 100 tahun duduk di belakang mereka.Saking antusiasnya, janggut pria tua itu sampai bergetar. Dia berseru, "Aku pernah lihat foto Pak Saba! Bukan cuma keturunan Pak Saba yang datang, tapi Pak Saba sendiri juga ada di sini! Kalian lihat pria tua beruban yang duduk di kursi itu! Itu Pak Saba! Sepertinya kita nggak bakal dapat hasil karya Pak Tabir hari ini!"Semua orang mengikuti arah pandang pria tua itu. Setelah melihat Saba, orang-orang mengangguk dan berkata."Ya! Itu Pak Saba! Aku nggak nyangka Pak Saba akan datang ke acara ulang tahun Pak Tabir hari ini!""Kita beruntung sekali!""Kami nggak bakal berebutan dengan Pak Saba lagi! Hasil karya Pak Tabir untuk Pak Saba saja!"Ketika melihat para tamu mengalah kepada mereka, gadis dan pria paruh baya itu pun tidak mengatakan apa-apa lagi. Mer
"Diam! Kamu masih berani bilang nggak bohong? Kamu palingan lebih besar dua atau tiga tahun dariku. Mana mungkin menguasai ilmu medis! Jangan sembarangan bicara ya! Kak, beri bocah itu pelajaran!"Gadis itu tidak percaya. Sambil menatap Tirta dengan dingin, dia menginstruksi pria paruh baya di belakangnya."Tenang saja, Nona. Aku pasti akan memberinya pelajaran!" Begitu mendengarnya, pria paruh baya bernama Lutfi langsung maju dan hendak memberi Tirta pelajaran."Mampus! Siapa suruh dia mengutuk Pak Saba sembarangan!" Orang-orang di sekitar merasa Tirta pantas diberi pelajaran."Berhenti! Kita bicarakan baik-baik kalau ada masalah! Nggak usah main tangan begini!" Bima buru-buru mengadang di depan Tirta untuk melindunginya saat melihat Lutfi hendak mengambil tindakan. Meskipun agak takut, Bima tidak mundur.Tindakan Bima ini membuat Tirta cukup tersentuh. Orang di belakang Lutfi adalah Saba, tetapi Bima masih melindunginya. Bisa dilihat bahwa Bima tulus padanya. Saat ini, Tirta pun meng
Saat ini, seorang pria tua beruban berjalan keluar dari belakang aula. Pria tua ini tidak lain adalah Tabir, ahli kaligrafi dan seni lukis.Tabir sedang beristirahat di belakang tadi. Ketika mendengar Saba datang, dia segera menghampiri. Setelah melihat Saba, dia buru-buru menyapanya."Pak Tabir, nggak usah sungkan begini. Aku juga sudah tua. Nggak perlu disambut. Lanjutkan saja kerjaanmu. Anggap aku nggak ada di sini," sahut Saba dengan tenang.Meskipun Saba berkata demikian, Tabir tidak mungkin mengabaikan kedatangannya. Tabir segera menyuruh pelayan menyajikan teh terbaik, lalu menyuruh pelayan melayani Saba. Bahkan, Tabir juga menuliskan kaligrafi untuk Saba.Dengan begitu, orang-orang melupakan masalah Tirta....."Hei! Kalian! Berhenti! Kalian sudah datang ke rumahku, tapi mau kabur begitu saja? Jangan harap!" pekik seseorang.Begitu Tirta, Nabila, dan Bima datang ke halaman, mereka langsung diadang oleh Aaris dan lainnya. Aaris telah memanggil puluhan bawahannya, makanya terliha
"Ya, Pak Bima. Bukannya dia muridmu? Kenapa kamu malah bilang gurumu?" Para pemuda yang mengikuti Aaris pun bertanya dengan kebingungan, apalagi saat melihat Bima marah besar."Tirta memang guruku! Berani sekali kalian ingin mematahkan kakinya di hadapanku! Keterlaluan!" Bima mendengus dan melayangkan tamparan ke wajah Aaris beberapa kali lagi. Aaris tidak bisa melawan sedikit pun.Kemudian, Bima menarik beberapa pemuda yang mengikuti Aaris. Mereka dihujani pukulan bertubi-tubi.Sebelum Aaris dan lainnya tersadar dari keterkejutan, Bima menatap Aaris dan membentak, "Kamu bilang mau panggil kakekmu kemari, 'kan? Panggil saja! Aku bukan siapa-siapa, tapi aku nggak bakal membiarkan orang menghina guruku! Aku mau lihat gimana kakekmu bakal menyikapi masalah ini!"Ketika melihat sikap Bima yang angkuh, Aaris sangat murka. Dia memegang wajahnya yang bengkak sambil menunjuk Tirta dan Bima. "Oke, kalian tunggu saja! Kalian tunggu di sini!"Saat ini, ada banyak tamu yang berdatangan. Keributan
Bima segera berkata kepada Tirta dengan lirih, "Guru, maafkan kecerobohanku. Kalau terjadi masalah, biar aku yang tanggung. Kamu bawa Bu Nabila pergi saja."Ketika melihat Bima cemas seperti ini, Tirta menggeleng dan menyahut dengan sungguh-sungguh, "Kamu muridku. Masalah ini disebabkan olehku. Kalau aku mencampakkanmu, aku nggak pantas disebut gurumu.""Te ... terima kasih, Guru!" Bima merasa terharu mendengarnya. Saat ini, sosok Tirta yang tidak termasuk kekar seketika terlihat sangat mulia di mata Bima."Tirta, keturunan Pak Saba membela Aaris. Apa kita bisa pergi dengan selamat?" tanya Nabila yang tanpa sadar menggenggam tangan Tirta dengan makin erat karena terlalu cemas. Kedua matanya mengejap."Huh! Sekarang kalian sudah takut, 'kan? Bukannya kalian sangat sombong tadi? Kalau takut, cepat berlutut. Kemudian, aku bakal tampar wajah kalian sampai hancur!" Saat melihat Nabila ketakutan, Aaris menjadi makin percaya diri.Setelah masuk ke aula utama tadi, Aaris baru tahu kakeknya men
Sejak awal, kesan orang-orang terhadap Tirta memang sudah buruk. Setelah mendengar ucapan Tabir, mereka pun langsung percaya. Orang-orang menunjuk Tirta dan membentak."Dasar bocah! Masih muda, tapi sudah pintar bohong! Kamu terlalu menjijikkan!""Kamu kira kami semua bodoh?""Mau kamu jelasin sampai mulutmu kering, kami nggak bakal percaya!"Tentunya, yang berteriak paling keras adalah teman-teman Aaris. Para wanita sontak menatap Tirta dengan tatapan penuh kebencian."Ini pertama kalinya aku melihat orang yang begitu menjengkelkan!""Cih!"Aaris merasa lega melihat respons orang-orang. Dia tidak menyangka orang-orang akan memercayai kebohongannya.Jadi, Aaris menatap Tirta sambil tersenyum dingin dan bangga. Tidak ada gunanya Tirta mengatakan kebenaran. Tidak akan ada yang percaya padanya! Tirta akan mendapat ganjarannya hari ini!"Tirta nggak bohong kok! Kenapa kalian nggak percaya padanya? Aaris ini memang ingin ...." Saking paniknya, Nabila hampir menangis."Diam! Kamu pacarnya, p
Ayu mengingatkan dengan suara lemah tapi tegas, "Satu jam saja ya. Setelah itu apa pun kondisimu, kamu nggak boleh ganggu kami lagi!"Tirta membalas, "Hehehe. Tenang saja, Bibi. Apa pun kondisiku, aku pasti akan bikin kalian puas kok!"Dengan sekali gerakan, Tirta memelesat masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu kayu itu rapat-rapat. Bagaimanapun, malam ini dia masih punya janji dengan Susanti. Namun sebelumnya, dia memutuskan untuk bersenang-senang bersama Ayu dan Melati dulu.....Tirta sedang asyik bersenang-senang di kamar mandi bersama Ayu dan Melati. Tubuh mereka makin erat dan begitu intens hingga sulit dipisahkan.Dalam kegelapan malam di luar, sesosok tubuh ramping terlihat mendekati klinik dengan bantuan cahaya redup dari layar ponsel. Namun saat melewati kamar mandi, suara-suara aneh terdengar dari dalam. Suara itu membuat langkahnya terhenti."Itu suara Ayu, Melati ... dan Tirta? Astaga ...." Orang itu ternyata adalah Farida. Dia baru saja lembur untuk mempercepat pro
Mendengar suara Tirta yang tidak sabar, Ayu merasa kesal sekaligus lucu. Dia membalas, "Dasar bocah nakal, kenapa sih pikiranmu selalu tentang hal itu? Hari ini, Bibi lagi nggak enak badan. Jadi, jangan harap ya. Lain kali saja.""Lain kali kapan? Nggak bisa, harus malam ini. Aku sudah dua hari nggak sentuh Bibi, rasanya nggak tahan lagi!" seru Tirta. Dia segera mengaktifkan mata tembus pandangnya.Melihat dua tubuh indah yang bersinar putih bersih di balik pintu kamar mandi, Tirta hampir tidak bisa mengalihkan pandangannya. Bahkan, air liurnya hampir menetes."Hmph! Kalau gitu, kamu teruskan saja berandai-andai. Malam ini, Bibi benar-benar nggak tertarik!" ucap Ayu sambil tertawa. Dia sebenarnya sengaja meledek Tirta.Makin Ayu menolak, Tirta makin merasa tergoda. Dia pun beralih coba membujuk Melati, "Kak Melati, tolong buka pintu. Aku juga kangen sama kamu. Aku ingin memelukmu baik-baik!"Melati yang sedang di dalam kamar mandi mengikuti isyarat Ayu untuk terus meledek Tirta. Dia me
Setelah melepaskan sepatu, kaus kaki, dan pakaian luar, Arum naik ke ranjang dan bersiap untuk istirahat."Baiklah, kita langsung tidur saja. Ranjangnya nggak terlalu besar, kita berdua harus agak berdesakan. Maaf ya kalau ini merepotkanmu," ucap Yanti sambil mematikan lampu dan berbaring di samping Arum.....Sementara itu, Tirta sudah mengantar Nia kembali ke Desa Kosali dan kini sedang dalam perjalanan kembali ke kliniknya.Hanya dalam beberapa menit, Tirta sudah sampai di klinik. Saat turun dari mobil, dia membawa beberapa buku rahasia seni bela diri yang diberikan Lutfi dan berniat mempelajarinya saat ada waktu luang.Di klinik, Ayu dan Melati sedang mencoba menenangkan beberapa anak harimau yang terus saja menangis keras. Namun, kedua harimau besar tidak terlihat di sekitar.Meski Ayu dan Melati sudah mencoba berbagai cara, mereka tetap tidak bisa membuat anak-anak harimau itu tenang."Bibi, Kak Melati, kalian pergi mandi saja. Biarkan aku yang urus anak-anak harimau ini," ucap T
Arum merasa sangat canggung. Dia berucap, "Aduh ... Bu Yanti, mana mungkin aku bisa membantumu memeriksa hal seperti ini ...."Arum baru saja hendak menyarankan bahwa jika memang ada sesuatu yang aneh, biasanya akan terasa atau terlihat jelas. Namun, Yanti tidak memberinya kesempatan untuk melanjutkan bicara. Segera, Yanti melepas semua pakaiannya.Pemandangan itu membuat wajah Arum memerah. Dia segera memalingkan pandangannya karena merasa tidak nyaman.Yanti memberi tahu, "Arum, kita ini sama-sama wanita. Jadi, kamu nggak perlu merasa canggung. Kalau kamu nggak membantuku periksa, aku benar-benar nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi.""Kalau nggak bisa memastikan apa yang terjadi, malam ini aku nggak akan bisa tidur dengan tenang," ucap Yanti sambil memegang tangan Arum dengan penuh harap.Mendengar kata-kata tersebut, Arum tidak punya alasan lagi untuk menolak. Selain itu, dia juga ingin memastikan apakah Tirta benar-benar melakukan sesuatu yang tidak pantas kepada Yanti. K
Tirta menyalakan mobil dan mengantar Nia meninggalkan klinik."Wah, ini mobil Mercedes Maybach ya? Aku dengar harganya bisa sampai beberapa miliar. Tirta, aku benar-benar nggak sangka, ternyata kamu ini orang kaya yang diam-diam menyembunyikan kekayaanmu!" seru Nia dengan kagum sambil duduk di kursi belakang.Tirta membalas sambil tersenyum, "Aku bukan orang kaya seperti yang kamu bayangkan. Tapi kalau kamu bekerja dengan baik dan nanti kebun buah kita berkembang besar, kamu juga bisa beli mobil seperti ini."Nia menjulurkan lidahnya sambil membalas, "Benarkah? Kamu ini benar-benar jago bercanda. Bisa duduk di mobil seperti ini saja, aku sudah merasa cukup puas. Sepertinya, seumur hidupku aku nggak akan mampu membeli mobil seperti ini.""Jangan terlalu pesimis. Apa pun bisa terjadi kalau kita berusaha," jawab Tirta santai, lalu tidak melanjutkan pembicaraan.....Sementara itu, Arum baru saja tiba di rumah Yanti. Sebelum sempat mengucapkan apa pun, Yanti langsung menariknya ke kamar da
"Tentu. Kalau punya waktu luang, aku juga bisa bantu kalian mengelola kebun buah. Mungkin aku bisa cari beberapa pekerja. Kalian cukup mengawasi mereka saja," ucap Tirta sambil tersenyum.Nia menambahkan dengan nada santai, "Benar. Lagian, kalian semua wanita-wanita cantik dan anggun. Pekerjaan berat seperti itu nggak perlu kalian lakukan sendiri."Komentarnya membuat Ayu dan Melati tertawa. Salah satu dari mereka berujar, "Aduh, dia benar-benar pintar omong!""Aku rasa, nggak perlu cari pekerja," tanggap Arum yang baru saja datang sambil membawa dua piring lauk terakhir. Dia melanjutkan, "Kami bertiga terlalu sering menganggur, sampai hampir sakit karena bosan. Melakukan sedikit pekerjaan fisik juga bagus untuk melatih tubuh.""Tapi, ada syaratnya ya. Kami harus jadi orang pertama yang mencicipi buah-buahan yang matang nanti!" tambah Arum sambil bercanda."Tentu saja itu bukan masalah!" balas Nia sambil tertawa lepas. Dia memang memiliki kepribadian yang ceria dan mudah akrab. Dalam w
Pada akhirnya, Nia hanya bisa tersenyum pahit tanpa daya. Setelah berpikir sejenak, Tirta berucap, "Masalahnya cuma ini? Ayahmu terlalu pilih kasih pada anak laki-laki.""Kak Nia, kalau kamu benaran yakin bisa mengelola kebun buah dengan baik, aku bisa keluarkan uangnya untuk modal. Kita kerja sama saja. Di Desa Persik, masih banyak tanah kosong. Untuk menyewanya juga nggak terlalu mahal," lanjut Tirta.Sebenarnya, Tirta punya pemikiran praktis. Jika ada kebun buah di dekat Desa Persik, nanti Ayu dan yang lainnya tidak perlu repot-repot pergi ke kota kecil untuk membeli buah. Ini bisa sangat memudahkan.Nia ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Ide itu sih bagus. Masalahnya kalau untung nanti, gimana kita bagi hasilnya?""Aku cuma mau jadi investor yang lepas tangan. Kalau ada untung, kamu ambil bagian terbesar. Aku cuma minta sedikit saja. Selain itu kalau nggak ada kesibukan, aku mau bawa bibiku dan yang lainnya ke kebun untuk makan buah segar. Itu saja sudah cukup," jawab Tirta d
Tirta bertanya dengan nada terkejut, "Waktu kecil aku menepuk pantatmu? Serius? Kok aku nggak ingat sama sekali?"Nia membalas, "Tentu saja kamu nggak ingat. Waktu itu, kamu baru 3 atau 4 tahun. Kamu masih pakai celana berlubang pula. Aku lebih tua sedikit darimu, jadi masih ingat kejadian itu.""Kalau dipikir-pikir, kita ini sebenarnya sudah kenal dari lama, 'kan?" jelas Nia yang menutup mulutnya sambil tertawa geli. Dada putihnya sedikit bergetar."Uhuk, uhuk ...." Tirta berdeham, lalu menggaruk kepalanya dengan sedikit canggung.Tirta melanjutkan, "Sepertinya memang ada kejadian seperti itu. Waktu kecil, aku suka nggak tahu aturan. Hampir semua anak perempuan yang datang ke klinik untuk suntik, pasti pernah aku tepuk pantatnya. Gara-gara kebiasaan buruk itu, aku sering kena marah dan dipukul orang tuaku.""Wajar saja kamu kena pukul. Oh ya, orang tuamu di mana sekarang? Kok aku nggak melihat mereka?" tanya Nia. Dia menghentikan tawanya dan terlihat sedikit serius."Orang tuaku menin
Tirta tetap menunjukkan ekspresi tenang dan santai ketika berucap, "Lagian kalau kamu tetap di luar, aku juga nggak bisa mengobatimu. Lebih baik kita masuk bareng.""Itu memang harimau, aku nggak mungkin salah lihat ...." Nia bersikeras dengan pendapatnya. Namun, dia tahu bahwa menerima perawatan Tirta di luar bukanlah pilihan. Jadi meskipun dengan hati berat, dia mengikuti Tirta dan Melati masuk ke dalam klinik.Ketika mereka masuk, Ayu keluar dari dapur karena mendengar suara mereka. Dia bertanya, "Tirta, mana bajumu? Wanita ini sudah aku suruh masuk dari tadi, tapi dia tetap nggak mau. Dia datang untuk mengobati penyakit apa sih? Apa Bibi perlu membantumu nanti?"Mendengar ucapan Ayu, wajah Nia langsung memerah. Jelas sekali dia tidak ingin orang lain tahu bahwa dia mencari Tirta untuk mengobati dadanya."Bajunya kotor, jadi aku buang. Nia cuma ada masalah kecil kok. Nggak perlu bantuan, Bibi. Aku bisa menyelesaikannya sendiri," jawab Tirta sambil menggeleng. Pria itu bisa memahami