Semua hadirin terkejut dengan situasi ini. Seorang pria tua berusia 70-an tahun menatap gadis itu, lalu menatap pria paruh baya itu. Kemudian, dia melihat seorang pria tua yang usianya sudah hampir 100 tahun duduk di belakang mereka.Saking antusiasnya, janggut pria tua itu sampai bergetar. Dia berseru, "Aku pernah lihat foto Pak Saba! Bukan cuma keturunan Pak Saba yang datang, tapi Pak Saba sendiri juga ada di sini! Kalian lihat pria tua beruban yang duduk di kursi itu! Itu Pak Saba! Sepertinya kita nggak bakal dapat hasil karya Pak Tabir hari ini!"Semua orang mengikuti arah pandang pria tua itu. Setelah melihat Saba, orang-orang mengangguk dan berkata."Ya! Itu Pak Saba! Aku nggak nyangka Pak Saba akan datang ke acara ulang tahun Pak Tabir hari ini!""Kita beruntung sekali!""Kami nggak bakal berebutan dengan Pak Saba lagi! Hasil karya Pak Tabir untuk Pak Saba saja!"Ketika melihat para tamu mengalah kepada mereka, gadis dan pria paruh baya itu pun tidak mengatakan apa-apa lagi. Mer
"Diam! Kamu masih berani bilang nggak bohong? Kamu palingan lebih besar dua atau tiga tahun dariku. Mana mungkin menguasai ilmu medis! Jangan sembarangan bicara ya! Kak, beri bocah itu pelajaran!"Gadis itu tidak percaya. Sambil menatap Tirta dengan dingin, dia menginstruksi pria paruh baya di belakangnya."Tenang saja, Nona. Aku pasti akan memberinya pelajaran!" Begitu mendengarnya, pria paruh baya bernama Lutfi langsung maju dan hendak memberi Tirta pelajaran."Mampus! Siapa suruh dia mengutuk Pak Saba sembarangan!" Orang-orang di sekitar merasa Tirta pantas diberi pelajaran."Berhenti! Kita bicarakan baik-baik kalau ada masalah! Nggak usah main tangan begini!" Bima buru-buru mengadang di depan Tirta untuk melindunginya saat melihat Lutfi hendak mengambil tindakan. Meskipun agak takut, Bima tidak mundur.Tindakan Bima ini membuat Tirta cukup tersentuh. Orang di belakang Lutfi adalah Saba, tetapi Bima masih melindunginya. Bisa dilihat bahwa Bima tulus padanya. Saat ini, Tirta pun meng
Saat ini, seorang pria tua beruban berjalan keluar dari belakang aula. Pria tua ini tidak lain adalah Tabir, ahli kaligrafi dan seni lukis.Tabir sedang beristirahat di belakang tadi. Ketika mendengar Saba datang, dia segera menghampiri. Setelah melihat Saba, dia buru-buru menyapanya."Pak Tabir, nggak usah sungkan begini. Aku juga sudah tua. Nggak perlu disambut. Lanjutkan saja kerjaanmu. Anggap aku nggak ada di sini," sahut Saba dengan tenang.Meskipun Saba berkata demikian, Tabir tidak mungkin mengabaikan kedatangannya. Tabir segera menyuruh pelayan menyajikan teh terbaik, lalu menyuruh pelayan melayani Saba. Bahkan, Tabir juga menuliskan kaligrafi untuk Saba.Dengan begitu, orang-orang melupakan masalah Tirta....."Hei! Kalian! Berhenti! Kalian sudah datang ke rumahku, tapi mau kabur begitu saja? Jangan harap!" pekik seseorang.Begitu Tirta, Nabila, dan Bima datang ke halaman, mereka langsung diadang oleh Aaris dan lainnya. Aaris telah memanggil puluhan bawahannya, makanya terliha
"Ya, Pak Bima. Bukannya dia muridmu? Kenapa kamu malah bilang gurumu?" Para pemuda yang mengikuti Aaris pun bertanya dengan kebingungan, apalagi saat melihat Bima marah besar."Tirta memang guruku! Berani sekali kalian ingin mematahkan kakinya di hadapanku! Keterlaluan!" Bima mendengus dan melayangkan tamparan ke wajah Aaris beberapa kali lagi. Aaris tidak bisa melawan sedikit pun.Kemudian, Bima menarik beberapa pemuda yang mengikuti Aaris. Mereka dihujani pukulan bertubi-tubi.Sebelum Aaris dan lainnya tersadar dari keterkejutan, Bima menatap Aaris dan membentak, "Kamu bilang mau panggil kakekmu kemari, 'kan? Panggil saja! Aku bukan siapa-siapa, tapi aku nggak bakal membiarkan orang menghina guruku! Aku mau lihat gimana kakekmu bakal menyikapi masalah ini!"Ketika melihat sikap Bima yang angkuh, Aaris sangat murka. Dia memegang wajahnya yang bengkak sambil menunjuk Tirta dan Bima. "Oke, kalian tunggu saja! Kalian tunggu di sini!"Saat ini, ada banyak tamu yang berdatangan. Keributan
Bima segera berkata kepada Tirta dengan lirih, "Guru, maafkan kecerobohanku. Kalau terjadi masalah, biar aku yang tanggung. Kamu bawa Bu Nabila pergi saja."Ketika melihat Bima cemas seperti ini, Tirta menggeleng dan menyahut dengan sungguh-sungguh, "Kamu muridku. Masalah ini disebabkan olehku. Kalau aku mencampakkanmu, aku nggak pantas disebut gurumu.""Te ... terima kasih, Guru!" Bima merasa terharu mendengarnya. Saat ini, sosok Tirta yang tidak termasuk kekar seketika terlihat sangat mulia di mata Bima."Tirta, keturunan Pak Saba membela Aaris. Apa kita bisa pergi dengan selamat?" tanya Nabila yang tanpa sadar menggenggam tangan Tirta dengan makin erat karena terlalu cemas. Kedua matanya mengejap."Huh! Sekarang kalian sudah takut, 'kan? Bukannya kalian sangat sombong tadi? Kalau takut, cepat berlutut. Kemudian, aku bakal tampar wajah kalian sampai hancur!" Saat melihat Nabila ketakutan, Aaris menjadi makin percaya diri.Setelah masuk ke aula utama tadi, Aaris baru tahu kakeknya men
Sejak awal, kesan orang-orang terhadap Tirta memang sudah buruk. Setelah mendengar ucapan Tabir, mereka pun langsung percaya. Orang-orang menunjuk Tirta dan membentak."Dasar bocah! Masih muda, tapi sudah pintar bohong! Kamu terlalu menjijikkan!""Kamu kira kami semua bodoh?""Mau kamu jelasin sampai mulutmu kering, kami nggak bakal percaya!"Tentunya, yang berteriak paling keras adalah teman-teman Aaris. Para wanita sontak menatap Tirta dengan tatapan penuh kebencian."Ini pertama kalinya aku melihat orang yang begitu menjengkelkan!""Cih!"Aaris merasa lega melihat respons orang-orang. Dia tidak menyangka orang-orang akan memercayai kebohongannya.Jadi, Aaris menatap Tirta sambil tersenyum dingin dan bangga. Tidak ada gunanya Tirta mengatakan kebenaran. Tidak akan ada yang percaya padanya! Tirta akan mendapat ganjarannya hari ini!"Tirta nggak bohong kok! Kenapa kalian nggak percaya padanya? Aaris ini memang ingin ...." Saking paniknya, Nabila hampir menangis."Diam! Kamu pacarnya, p
"Kak Nabila, kamu sembunyi dulu di belakang. Jaga dirimu, nggak usah khawatirkan aku!" ucap Tirta kepada Nabila melihat situasi seperti ini. Dengan kecepatan tinggi, dia menerobos ke dalam kerumunan dengan ekspresi marah."Hahaha ... dasar bodoh! Kamu kira bisa hadapi orang sebanyak ini dengan tangan kosong? Ayo hajar saja. Lebih bagus lagi kalau hajar sampai mati di tempat!" seru Aaris seraya tertawa dingin saat melihat Tirta menerobos ke kerumunan.Pandangan itu melampaui kerumunan, jatuh pada sosok Nabila yang canggung di sudut ruangan. Wajahnya tampak penuh keserakahan. Namun, tubuh Tirta saat ini sudah sekuat baja. Bahkan tanpa mengerahkan seluruh kekuatannya sekalipun, kemampuannya jauh melampaui para antek kecil ini.Bagaikan harimau yang menerobos para kawanan domba, semua lawannya langsung berjatuhan dan terluka parah. Senjata mereka sama sekali tidak ampuh melawan Tirta.Hanya dalam beberapa saat, belasan orang tampak sudah tersungkur di bawah pukulan Tirta. Sementara itu, Bi
"Ngomong sembarangan apa kamu? Yang kukatakan itu semua kenyataan. Jangan kira kamu bisa memutarbalikkan fakta hanya karena kamu jago bela diri!"Tabir tidak menyangka Tirta akan sehebat itu. Menghadapi tudingan Tirta, dia merasa ketakutan hingga terhuyung mundur beberapa langkah. Sementara itu, Aaris dan beberapa pemuda lainnya juga semakin ketakutan.Melihat Tirta yang berjalan mendekat, mereka hampir saja mengompol di celana!"Oh ya? Kelihatannya kamu nggak bakal jera sebelum diberi pelajaran. Kalau begitu, biar cucumu saja yang jelaskan pada semua orang!"Tirta memang bukan tipe orang yang mudah diperlakukan semena-mena. Setelah difitnah dan ditekan oleh Aaris dan Tabir, dia tidak akan membiarkan mereka lepas begitu saja! Dia berniat membongkar wajah asli mereka di depan semua orang supaya mereka mendapat pelajaran.Di saat Tirta baru saja hendak menggunakan jarum hipnotis pada Aaris, muncul seorang gadis berwajah tegas yang mengadang di hadapannya."Besar sekali nyalimu! Berani-be
Di sisi lain, Tirta menelepon Ayu setelah Idris dan Rasmi pergi. Setelah panggilan terhubung, Ayu yang sudah 2 hari tidak bertemu Tirta tentu merasa khawatir. Dia terus menanyakan kondisi Tirta.Tirta menjelaskan kondisinya dengan singkat, "Bi, Susanti terancam bahaya. Jadi, aku langsung naik pesawat untuk mencari Susanti. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Sekarang semuanya sudah aman."Tirta memberi tahu Ayu pemikirannya, "Aku berencana membawa Susanti menemuimu setelah dia bangun, lalu kita dan Bi Elisa langsung kembali ke Desa Persik. Kita tinggal di sana untuk beberapa waktu."Mendengar ucapan Tirta, Ayu yang khawatir bertanya, "Ha? Tirta, kalau kamu mau kembali ke Desa Persik, tentu saja aku dan Elisa nggak keberatan. Masalahnya, gimana caranya kamu menjelaskan pada Bu Bella?"Ayu menambahkan, "Bagaimana kalau Bu Bella mau ikut kita kembali ke Desa Persik? Aku rasa berdasarkan sifat Bu Bella, dia pasti nggak terima kalau tahu kamu punya banyak kekasih.""Aku yang akan jelaskan pada
"Aku rasa otakmu bermasalah karena terlalu lama tinggal di Provinsi Naru!" bentak Rasmi. Ucapannya menunjukkan dia tidak menyukai Tirta."Rasmi, kenapa kamu bicara seperti itu? Pak Tirta itu saudara Ayah. Bukannya sudah seharusnya kita bersikap hormat padanya? Lagi pula ...," sahut Idris.Idris berniat menceritakan pada Rasmi bahwa Tirta sudah membantunya menyelesaikan masalah mereka yang tidak bisa mempunyai keturunan.Namun, sebelum Idris selesai bicara, Rasmi menyela, "Apa? Aku nggak marah kalau nggak ungkit masalah itu! Ayah sudah pikun, makanya dia mengakui pemuda itu sebagai saudaranya."Rasmi melanjutkan, "Waktu Ayah menceritakan masalah ini padaku, aku sudah sarankan dia cepat batalkan keputusannya. Ayah pikun karena tua, masa kamu juga sama? Kalau waktu itu Ayah mengakui anak 3 tahun jadi saudaranya, apa kamu juga mau memuja anak kecil itu?"Rasmi menambahkan, "Aku nggak peduli! Apa pun caranya, kamu harus usir pemuda itu dari rumah kita secepatnya! Aku nggak mau tinggal di ho
Begitu melontarkan perkataannya, Marila baru merasa kurang pantas. Dia berbisik lagi dengan wajah memerah, "Pak Tirta, bukan itu maksudku. Jangan salah paham."Tentu saja Tirta tahu Marila tidak bermaksud seperti itu. Dia tertawa, lalu menanggapi, "Oke. Aku tunggu Bu Marila pulang setelah beli bahan obat-obatan."Sesudah itu, Tirta tidak mengatakan apa pun lagi. Mendengar perkataan Tirta, Marila baru merasa tenang. Kemudian, Marila berpamitan dengan Idris.Tirta merasa bosan saat menunggu Marila. Dia kembali ke kamar untuk menemani Susanti. Tirta duduk di samping tempat tidur. Pikirannya sangat kacau.Tirta mendesah dan bergumam, "Setelah Susanti bangun, aku bawa dia cari Bi Ayu, lalu langsung kembali ke Desa Persik. Kak Nabila, Kak Melati, Kak Arum, Kak Farida, dan lainnya pasti merindukanku."Sebenarnya sebelum Susanti tertimpa masalah, Tirta berencana pergi ke ibu kota setelah meninggalkan Provinsi Dohe. Namun, masalah ini terjadi.Tirta juga memahami satu hal. Dia memang bisa menge
"Aku nggak akan pergi lagi. Jangan tiduri aku, ya?" mohon Selina. Wajahnya memerah setelah mendengar ucapan Tirta.Selina berusaha menggerakkan pinggangnya untuk menjauhi sumber masalah itu. Napas Tirta yang hangat membuat wajah Selina merah padam.Tirta menegaskan, "Aku nggak peduli, pokoknya sekarang aku harus menidurimu sampai puas. Terserah kamu mau pergi atau tetap tinggal, aku tetap akan melakukannya!"Hasrat Tirta membara karena pinggang Selina terus bergerak. Dia segera mengerahkan 2 teknik. Yang pertama adalah Teknik Menghilang untuk menyembunyikan tubuhnya dan Selina. Yang kedua adalah Teknik Senyap untuk menutupi suara yang dikeluarkan Selina selanjutnya.Kemudian, Tirta langsung bersanggama dengan Selina. Sementara itu, Selina memelas, "Tirta ... jangan ... aku benci kamu ...."Biarpun mengeluh, tubuh Selina tetap terangsang. Jelas-jelas Tirta sudah melepaskannya, tetapi Selina tidak melepaskan Tirta dan tidak bergerak sedikit pun. Dia membiarkan Tirta memberinya kompensasi
Tirta menunggu sampai Selina berjalan keluar dari taman bunga kompleks tempat Idris tinggal. Dengan begitu, mereka berdua sudah menjauh dari pandangan Anton dan Yuli.Tirta baru maju dan berkata seraya memeluk Selina, "Bu Selina, aku tahu kamu pasti pergi bukan karena dipanggil atasan. Apa kamu punya masalah? Kamu bisa ceritakan padaku.""Aku nggak punya masalah. Pak Tirta, aku cuma ingin pulang untuk mengurus kasus. Selain itu, aku sudah merasa sangat bangga bisa mengenal tokoh hebat sepertimu. Aku nggak mau terus tinggal di sini dan mengganggu Pak Tirta," sahut Selina.Selina memohon, "Pak Tirta, tolong lepaskan aku. Kita berdua nggak punya hubungan apa pun. Kita lupakan masalah yang sudah berlalu."Mata Selina memerah. Dia berbicara sambil terisak dan ingin melepaskan Tirta.Sementara itu, Tirta yang merasa tidak berdaya mendesah dan menimpali, "Bu Selina, aku sudah paham. Kamu pasti merasa aku cuma berpura-pura dan mempermainkan perasaanmu setelah kamu tahu latar belakangku. Jadi,
Selain itu, perasaan Selina campur aduk saat melihat Tirta. Melihat ekspresi mereka yang terkejut, Idris tertawa dan bertanya, "Apa Pak Tirta nggak pernah beri tahu kalian?"Idris membatin, 'Pak Tirta sangat hebat. Biarpun nggak ada Pak Saba, Pak Tirta bisa mendekati petinggi negara yang lain asalkan dia mau.'Sayangnya, Idris sudah berjanji kepada Tirta tidak akan mengungkapkan kehebatannya. Kalau tidak, Idris akan menjadi pelindung Tirta dan memamerkan kehebatannya.Yuli masih merasa antusias. Bahkan, dia sangat bangga hingga memandangi Tirta seraya tersenyum lebar dan menjawab, "Nggak. Pak Tirta, kenapa kamu nggak beri tahu kami hal sepenting ini?"Sekarang Tirta terpaksa harus mengakuinya. Dia berdeham, lalu menanggapi dengan ekspresi tenang, "Karena aku merasa hal seperti ini nggak perlu diumbar. Aku juga nggak ingin memanfaatkan status Pak Saba untuk bertindak semena-mena."Kenyataannya memang seperti itu. Tirta tidak pernah berinisiatif mengatakan dirinya adalah saudara Saba.Yu
Tirta tertawa licik, lalu membalas, 'Oke. Kak, aku akan pergi. Nanti malam jangan berpikiran untuk menghabisiku lagi.'Kemudian, Tirta keluar dengan perasaan gembira. Dia melihat Idris yang antusias sedang duduk tegak sambil mengobrol dengan Marila, Yuli, dan Selina.Begitu Tirta keluar, Idris langsung berhenti bicara. Dia berdiri, lalu menyambut Tirta, "Pak Tirta ...."Yuli juga menghampiri Tirta dan menimpali sembari tersenyum, "Pak Tirta, apa kita bisa bicara sebentar? Ada yang ingin kutanyakan padamu.""Ada apa? Tentu saja boleh," sahut Tirta.Yuli sangat senang melihat Tirta menyetujui permintaannya. Dia segera menarik Tirta kembali ke kamar. Namun, sebelum Yuli membawa Tirta masuk ke kamar, Anton yang keberatan menghentikan Yuli, "Aduh, berhenti! Yuli, kamu gila, ya? Kenapa kamu nggak langsung bertanya pada Pak Tirta di sini saja? Untuk apa kamu bawa dia ke kamar? Kamu kira ini rumahmu?"Anton berucap pada Tirta dengan ekspresi canggung, "Pak Tirta, begini. Ibunya Susanti ingin
Namun, bagian tubuh yang telah dipijat oleh Tirta terasa hangat dan nyaman, membuat Idris sangat rileks."Sudah beres. Pak Idris, masalahmu berasal dari kelelahan berkepanjangan ditambah dengan faktor bawaan, menyebabkan kondisi tubuhmu lebih lemah dari orang lain, makanya sulit menghasilkan sperma.""Dengan metode kedokteran barat, masalah seperti ini sangat sulit ditangani, bahkan sering kali tak terdeteksi.""Tapi di tanganku, ini bukan masalah besar. Kalau kondisi tubuh istrimu juga memungkinkan, aku jamin malam ini kamu bisa langsung tepat sasaran."Saat mengatakan itu, alis Tirta tiba-tiba berkerut. Dia baru teringat satu hal. Dia sudah berhubungan intim dengan begitu banyak wanita, tetapi sejauh ini belum ada satu pun yang hamil."Wah, terima kasih banyak, Pak Tirta! Kalau aku dan istriku benar-benar bisa punya anak, aku pasti akan undang kamu ke acara syukuran!"Idris yang tenggelam dalam euforia itu sama sekali tidak menyadari ekspresi aneh di wajah Tirta. Dia sangat bersyukur
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka