Selain itu, pakaiannya juga dipenuhi dengan noda darah yang membuatnya tampak sangat menyedihkan. Jelas sekali, tuduhannya terhadap Tirta tadi telah terbantahkan. Tuduhan sengaja melukai orang itu lebih tepat jika ditujukan pada Aaris dan Tabir.Di saat Shinta masih merasa malu menghadapi pertanyaan dari Tirta, Tirta kembali melanjutkan, "Nona, kutanyakan satu hal lagi padamu.""Kalaupun memang benar aku ingin memaksa mereka mengakui bahwa mereka telah memfitnahku, kenapa saat mereka memanggil orang untuk menyerang, Nona nggak berusaha menghentikannya? Tapi waktu aku bertindak, Anda justru ingin memanggil orang untuk menangkapku?""Bisakah Nona memberiku penjelasan yang masuk akal?" lanjut Tirta.Shinta tidak menyangka bahwa Tirta mampu membaca pikirannya dengan begitu jelas. Namun, untuk pertanyaan kedua Tirta, dia akhirnya menemukan alasan dan menjelaskan."Itu karena masalah ini ditimbulkan olehmu. Kamu yang bersalah duluan, makanya aku nggak menghalangi keluarga Tabir. Kalau memang
"Bu, cara apa yang mau digunakan Guru? Bukannya akupunktur itu untuk pengobatan? Apa bisa digunakan untuk interogasi?" tanya Bima dengan panik saat melihat Nabila berseru."Kali ini tebakanmu benar. Jarum perak mungkin cuma bisa digunakan sebagai pengobatan di tangan orang lain. Tapi kalau di tangan Tirta, fungsinya jadi sangat besar! Kamu lihat saja sendiri. Nanti Aaris bakal mengungkapkan kebenarannya sendiri!" bisik Nabila dengan percaya diri saat melihat sosok Tirta dari belakang."Baik, Bu. Aku akan perhatikan dengan baik."Mendengar hal itu, Bima terpaksa menahan rasa penasarannya dan melihat ke arah Tirta."Bukannya mau interogasi? Kenapa kamu bawa jarum perak? Memangnya mau ngobatin orang?" Puluhan tamu di tempat itu merasa kebingungan melihat Tirta, termasuk Shinta.Pada saat ini, Aaris dan Tabir malah tampak santai saat melihat Tirta mendekati mereka."Dasar bodoh. Aku salut sama keberanianmu berani mengajukan persyaratan yang nggak bisa direalisasikan ini di hadapan Bu Shint
Tabir yang merasa panik langsung mengadu pada Shinta, "Nona Shinta, kamu lihat sendiri, 'kan? Dia sama sekali nggak berniat untuk interogasi, melainkan mau mencelakai cucuku!""Nona Shinta, dia sudah mencelakai cucuku sampai begini, Anda harus menuntut keadilan untukku!"Melihat kondisi Aaris yang bagaikan telah lumpuh, Shinta juga beranggapan bahwa Tirta memang sedang mencelakainya. Dengan alis mengernyit, dia memarahi Tirta, "Sialan, keterlaluan sekali kamu! Seharusnya aku nggak percaya sama omong kosongmu tadi!""Cepat obati Pak Aaris sekarang juga. Kalau nggak, aku bakal kurung kamu seumur hidup di penjara!"Shinta merasa bahwa jika bukan karena dia yang menyetujui untuk membiarkan Tirta menginterogasi Aaris, Aaris juga tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Oleh karena itu, dalam hatinya merasa bersalah dan marah.Saat berbicara, dia mengangkat tangannya untuk menampar Tirta dengan keras.Plak! Tangan Shinta yang putih mulus itu langsung ditangkap Tirta di tengah udara."Nona Sh
Benar saja. Setelah mengetahui kebenarannya, Shinta merasa marah sekaligus malu hingga wajahnya tampak pucat. Perlu diketahui bahwa dia ini adalah cucu dari tangan kanan mantan penguasa negara dan dewa perang, Saba!Dari orang tua sampai saudara-saudara dan kerabatnya, semuanya memegang posisi dan kekuasaan penting di negara ini. Dengan status Shinta saat ini, mungkin hanya segelintir orang yang mampu disandingkan dengannya.Biasanya, orang akan bersikap hormat, segan, dan bahkan menyanjungnya saat bertemu. Namun, ternyata dia malah diperalat oleh Aaris dan Tabir dalam kejadian hari ini. Apalagi, semua ini dilakukan di hadapan banyak orang! Mana mungkin Shinta bisa menerima semua ini?Shinta bergegas maju ke hadapan Tabir untuk mempertanyakannya, "Pak Tabir, sia-sia saja aku melindungimu tadi. Nggak kusangka kamu malah membohongiku! Apa kamu nggak merasa bersalah sudah memanfaatkan kepercayaanku?"Menghadapi pertanyaan dari Shinta, wajah Tabir sontak memucat dan langkahnya menjadi limb
Melihat sikapnya yang melunak, Tirta memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah ini lagi. Niscaya setelah kejadian hari ini, kedua orang itu juga tidak akan berani mencarinya untuk balas dendam lagi.Sambil berbicara, Tirta telah mencabut beberapa jarum perak yang tertancap di kepala Aaris."Baik, aku akan ingat perkataanmu. Nggak akan biarkan dia menimbulkan masalah lagi!" ujar Tabir. Dia juga tidak menyangka ternyata Tirta begitu mudah diajak untuk berkompromi. Tabir tak kuasa merasa bersalah atas tindakannya tadi."Kakek, kenapa kamu membungkuk sama dia? Semenit sudah berlalu. Nona Shinta, cepat tangkap dia!" Berhubung tadi dirinya dihipnotis, Aaris masih tidak sadar dengan kondisi saat ini. Setelah jarumnya dicabut, dia langsung marah saat melihat kakeknya membungkuk terhadap Tirta.Plak!Tabir langsung menampar Aaris dan memakinya, "Anak sialan! Kamu kira semua orang nggak tahu apa yang kamu lakukan? Anak muda ini sudah memutuskan untuk memaafkanmu, kamu malah masih mau nangkap
Mendengar kata-kata Tirta, Aaris langsung melirik ke arah Bima secara refleks. Ketika melihat belasan luka di tubuh Bima, dia langsung berdiri dan berteriak kepada Tirta, "Kenapa aku harus dengar perintahmu untuk berlutut setengah jam atau dipukul? Kamu kira kamu ini siapa?""Aku nggak mau milih apa pun, lihat saja apa yang bisa kamu lakukan padaku?"Setelah berkata demikian, Aaris tidak peduli lagi pada upaya Tabir untuk menahannya dan buru-buru melangkah menuju ruang dalam. Saat Tirta hendak maju untuk menghentikannya, tiba-tiba Shinta telah duluan maju untuk angkat bicara."Berhenti! Menurutku permintaan tuan ini nggak keterlaluan. Setidaknya kamu harus tanggung jawab setelah mukul orang! Kalau kamu nggak mau milih antara dua pilihan itu, aku bisa memberimu pilihan ketiga.""Aku nggak keberatan untuk nyuruh orang menangkapmu dan proses sesuai hukum!" lanjut Shinta.Aaris sontak terpaku di tempat setelah mendengar ucapan Shinta. Dia sudah cukup kebingungan saat melihat Tabir membela
Selain itu, tidak ada seorang pun yang berpihak padanya di tempat itu."Orang sombong akan dapat balasannya. Aaris, setelah kejadian kali ini, kuharap kamu jangan berbuat semena-mena lagi," pungkas Tabir sambil menghela napas berat.Namun, ekspresi Aaris tampak sangat muram. Dia menggertakkan giginya dan tidak merespons sama sekali. Kini dia harus berlutut setengah jam di hadapan semua orang, bagaimana dia harus menanggung malu ke depannya?Dalam hati, Aaris benar-benar membenci Tirta. Dia tidak mungkin akan melupakan hal ini. Suatu saat nanti, dia bertekad mencari kesempatan untuk membalas perbuatan Tirta! Namun, tentu saja dia tidak berani berbuat apa pun terhadap Shinta.Pada saat ini, fokus Shinta telah teralihkan pada Tirta."Kak, maafkan kesalahanku atas kejadian sebelumnya. Kalau boleh tahu, cara apa yang kamu gunakan untuk memaksanya berkata jujur tadi? Kulihat tadi kamu cuma pakai beberapa jarum perak?" Kini, nada bicara Shinta juga tidak lagi mendesak seperti sebelumnya, mela
Aaris yang berlutut di lantai hampir muntah darah karena kesal mendengar kata-kata itu! Awalnya, keluarganya berencana untuk menjalin hubungan baik dengan Keluarga Dinata. Namun kini, bukan hanya dirinya yang dipermalukan oleh Tirta, kesempatan besar itu pun dirampas darinya! Sungguh menjengkelkan!Namun, jika nanti Tirta mendapatkan perlindungan dari Keluarga Dinata, akan sangat sulit baginya untuk membalas dendam pada Tirta dan Bima. Ketika Aaris merasa putus asa, Shinta baru saja melangkah masuk ke ruangan.Tiba-tiba dari arah pintu masuk, terlihat ada dua orang pria yang memaksa masuk. Salah satunya adalah pria paruh baya berusia sekitar 40-an yang mengenakan jas putih, celana longgar, dan sepatu kain hitam dengan alas putih. Wajahnya tampak dipenuhi amarah.Begitu melihat Bima di tengah kerumunan, dia langsung berseru dengan lantang, "Pak Bima, akhirnya aku menemukanmu!""Pak Panji, ada apa mencariku?"Bima tentu mengenali orang ini. Dia adalah pemilik dari Perguruan Selatan, seka
Ayu mengingatkan dengan suara lemah tapi tegas, "Satu jam saja ya. Setelah itu apa pun kondisimu, kamu nggak boleh ganggu kami lagi!"Tirta membalas, "Hehehe. Tenang saja, Bibi. Apa pun kondisiku, aku pasti akan bikin kalian puas kok!"Dengan sekali gerakan, Tirta memelesat masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu kayu itu rapat-rapat. Bagaimanapun, malam ini dia masih punya janji dengan Susanti. Namun sebelumnya, dia memutuskan untuk bersenang-senang bersama Ayu dan Melati dulu.....Tirta sedang asyik bersenang-senang di kamar mandi bersama Ayu dan Melati. Tubuh mereka makin erat dan begitu intens hingga sulit dipisahkan.Dalam kegelapan malam di luar, sesosok tubuh ramping terlihat mendekati klinik dengan bantuan cahaya redup dari layar ponsel. Namun saat melewati kamar mandi, suara-suara aneh terdengar dari dalam. Suara itu membuat langkahnya terhenti."Itu suara Ayu, Melati ... dan Tirta? Astaga ...." Orang itu ternyata adalah Farida. Dia baru saja lembur untuk mempercepat pro
Mendengar suara Tirta yang tidak sabar, Ayu merasa kesal sekaligus lucu. Dia membalas, "Dasar bocah nakal, kenapa sih pikiranmu selalu tentang hal itu? Hari ini, Bibi lagi nggak enak badan. Jadi, jangan harap ya. Lain kali saja.""Lain kali kapan? Nggak bisa, harus malam ini. Aku sudah dua hari nggak sentuh Bibi, rasanya nggak tahan lagi!" seru Tirta. Dia segera mengaktifkan mata tembus pandangnya.Melihat dua tubuh indah yang bersinar putih bersih di balik pintu kamar mandi, Tirta hampir tidak bisa mengalihkan pandangannya. Bahkan, air liurnya hampir menetes."Hmph! Kalau gitu, kamu teruskan saja berandai-andai. Malam ini, Bibi benar-benar nggak tertarik!" ucap Ayu sambil tertawa. Dia sebenarnya sengaja meledek Tirta.Makin Ayu menolak, Tirta makin merasa tergoda. Dia pun beralih coba membujuk Melati, "Kak Melati, tolong buka pintu. Aku juga kangen sama kamu. Aku ingin memelukmu baik-baik!"Melati yang sedang di dalam kamar mandi mengikuti isyarat Ayu untuk terus meledek Tirta. Dia me
Setelah melepaskan sepatu, kaus kaki, dan pakaian luar, Arum naik ke ranjang dan bersiap untuk istirahat."Baiklah, kita langsung tidur saja. Ranjangnya nggak terlalu besar, kita berdua harus agak berdesakan. Maaf ya kalau ini merepotkanmu," ucap Yanti sambil mematikan lampu dan berbaring di samping Arum.....Sementara itu, Tirta sudah mengantar Nia kembali ke Desa Kosali dan kini sedang dalam perjalanan kembali ke kliniknya.Hanya dalam beberapa menit, Tirta sudah sampai di klinik. Saat turun dari mobil, dia membawa beberapa buku rahasia seni bela diri yang diberikan Lutfi dan berniat mempelajarinya saat ada waktu luang.Di klinik, Ayu dan Melati sedang mencoba menenangkan beberapa anak harimau yang terus saja menangis keras. Namun, kedua harimau besar tidak terlihat di sekitar.Meski Ayu dan Melati sudah mencoba berbagai cara, mereka tetap tidak bisa membuat anak-anak harimau itu tenang."Bibi, Kak Melati, kalian pergi mandi saja. Biarkan aku yang urus anak-anak harimau ini," ucap T
Arum merasa sangat canggung. Dia berucap, "Aduh ... Bu Yanti, mana mungkin aku bisa membantumu memeriksa hal seperti ini ...."Arum baru saja hendak menyarankan bahwa jika memang ada sesuatu yang aneh, biasanya akan terasa atau terlihat jelas. Namun, Yanti tidak memberinya kesempatan untuk melanjutkan bicara. Segera, Yanti melepas semua pakaiannya.Pemandangan itu membuat wajah Arum memerah. Dia segera memalingkan pandangannya karena merasa tidak nyaman.Yanti memberi tahu, "Arum, kita ini sama-sama wanita. Jadi, kamu nggak perlu merasa canggung. Kalau kamu nggak membantuku periksa, aku benar-benar nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi.""Kalau nggak bisa memastikan apa yang terjadi, malam ini aku nggak akan bisa tidur dengan tenang," ucap Yanti sambil memegang tangan Arum dengan penuh harap.Mendengar kata-kata tersebut, Arum tidak punya alasan lagi untuk menolak. Selain itu, dia juga ingin memastikan apakah Tirta benar-benar melakukan sesuatu yang tidak pantas kepada Yanti. K
Tirta menyalakan mobil dan mengantar Nia meninggalkan klinik."Wah, ini mobil Mercedes Maybach ya? Aku dengar harganya bisa sampai beberapa miliar. Tirta, aku benar-benar nggak sangka, ternyata kamu ini orang kaya yang diam-diam menyembunyikan kekayaanmu!" seru Nia dengan kagum sambil duduk di kursi belakang.Tirta membalas sambil tersenyum, "Aku bukan orang kaya seperti yang kamu bayangkan. Tapi kalau kamu bekerja dengan baik dan nanti kebun buah kita berkembang besar, kamu juga bisa beli mobil seperti ini."Nia menjulurkan lidahnya sambil membalas, "Benarkah? Kamu ini benar-benar jago bercanda. Bisa duduk di mobil seperti ini saja, aku sudah merasa cukup puas. Sepertinya, seumur hidupku aku nggak akan mampu membeli mobil seperti ini.""Jangan terlalu pesimis. Apa pun bisa terjadi kalau kita berusaha," jawab Tirta santai, lalu tidak melanjutkan pembicaraan.....Sementara itu, Arum baru saja tiba di rumah Yanti. Sebelum sempat mengucapkan apa pun, Yanti langsung menariknya ke kamar da
"Tentu. Kalau punya waktu luang, aku juga bisa bantu kalian mengelola kebun buah. Mungkin aku bisa cari beberapa pekerja. Kalian cukup mengawasi mereka saja," ucap Tirta sambil tersenyum.Nia menambahkan dengan nada santai, "Benar. Lagian, kalian semua wanita-wanita cantik dan anggun. Pekerjaan berat seperti itu nggak perlu kalian lakukan sendiri."Komentarnya membuat Ayu dan Melati tertawa. Salah satu dari mereka berujar, "Aduh, dia benar-benar pintar omong!""Aku rasa, nggak perlu cari pekerja," tanggap Arum yang baru saja datang sambil membawa dua piring lauk terakhir. Dia melanjutkan, "Kami bertiga terlalu sering menganggur, sampai hampir sakit karena bosan. Melakukan sedikit pekerjaan fisik juga bagus untuk melatih tubuh.""Tapi, ada syaratnya ya. Kami harus jadi orang pertama yang mencicipi buah-buahan yang matang nanti!" tambah Arum sambil bercanda."Tentu saja itu bukan masalah!" balas Nia sambil tertawa lepas. Dia memang memiliki kepribadian yang ceria dan mudah akrab. Dalam w
Pada akhirnya, Nia hanya bisa tersenyum pahit tanpa daya. Setelah berpikir sejenak, Tirta berucap, "Masalahnya cuma ini? Ayahmu terlalu pilih kasih pada anak laki-laki.""Kak Nia, kalau kamu benaran yakin bisa mengelola kebun buah dengan baik, aku bisa keluarkan uangnya untuk modal. Kita kerja sama saja. Di Desa Persik, masih banyak tanah kosong. Untuk menyewanya juga nggak terlalu mahal," lanjut Tirta.Sebenarnya, Tirta punya pemikiran praktis. Jika ada kebun buah di dekat Desa Persik, nanti Ayu dan yang lainnya tidak perlu repot-repot pergi ke kota kecil untuk membeli buah. Ini bisa sangat memudahkan.Nia ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Ide itu sih bagus. Masalahnya kalau untung nanti, gimana kita bagi hasilnya?""Aku cuma mau jadi investor yang lepas tangan. Kalau ada untung, kamu ambil bagian terbesar. Aku cuma minta sedikit saja. Selain itu kalau nggak ada kesibukan, aku mau bawa bibiku dan yang lainnya ke kebun untuk makan buah segar. Itu saja sudah cukup," jawab Tirta d
Tirta bertanya dengan nada terkejut, "Waktu kecil aku menepuk pantatmu? Serius? Kok aku nggak ingat sama sekali?"Nia membalas, "Tentu saja kamu nggak ingat. Waktu itu, kamu baru 3 atau 4 tahun. Kamu masih pakai celana berlubang pula. Aku lebih tua sedikit darimu, jadi masih ingat kejadian itu.""Kalau dipikir-pikir, kita ini sebenarnya sudah kenal dari lama, 'kan?" jelas Nia yang menutup mulutnya sambil tertawa geli. Dada putihnya sedikit bergetar."Uhuk, uhuk ...." Tirta berdeham, lalu menggaruk kepalanya dengan sedikit canggung.Tirta melanjutkan, "Sepertinya memang ada kejadian seperti itu. Waktu kecil, aku suka nggak tahu aturan. Hampir semua anak perempuan yang datang ke klinik untuk suntik, pasti pernah aku tepuk pantatnya. Gara-gara kebiasaan buruk itu, aku sering kena marah dan dipukul orang tuaku.""Wajar saja kamu kena pukul. Oh ya, orang tuamu di mana sekarang? Kok aku nggak melihat mereka?" tanya Nia. Dia menghentikan tawanya dan terlihat sedikit serius."Orang tuaku menin
Tirta tetap menunjukkan ekspresi tenang dan santai ketika berucap, "Lagian kalau kamu tetap di luar, aku juga nggak bisa mengobatimu. Lebih baik kita masuk bareng.""Itu memang harimau, aku nggak mungkin salah lihat ...." Nia bersikeras dengan pendapatnya. Namun, dia tahu bahwa menerima perawatan Tirta di luar bukanlah pilihan. Jadi meskipun dengan hati berat, dia mengikuti Tirta dan Melati masuk ke dalam klinik.Ketika mereka masuk, Ayu keluar dari dapur karena mendengar suara mereka. Dia bertanya, "Tirta, mana bajumu? Wanita ini sudah aku suruh masuk dari tadi, tapi dia tetap nggak mau. Dia datang untuk mengobati penyakit apa sih? Apa Bibi perlu membantumu nanti?"Mendengar ucapan Ayu, wajah Nia langsung memerah. Jelas sekali dia tidak ingin orang lain tahu bahwa dia mencari Tirta untuk mengobati dadanya."Bajunya kotor, jadi aku buang. Nia cuma ada masalah kecil kok. Nggak perlu bantuan, Bibi. Aku bisa menyelesaikannya sendiri," jawab Tirta sambil menggeleng. Pria itu bisa memahami