Tabir yang merasa panik langsung mengadu pada Shinta, "Nona Shinta, kamu lihat sendiri, 'kan? Dia sama sekali nggak berniat untuk interogasi, melainkan mau mencelakai cucuku!""Nona Shinta, dia sudah mencelakai cucuku sampai begini, Anda harus menuntut keadilan untukku!"Melihat kondisi Aaris yang bagaikan telah lumpuh, Shinta juga beranggapan bahwa Tirta memang sedang mencelakainya. Dengan alis mengernyit, dia memarahi Tirta, "Sialan, keterlaluan sekali kamu! Seharusnya aku nggak percaya sama omong kosongmu tadi!""Cepat obati Pak Aaris sekarang juga. Kalau nggak, aku bakal kurung kamu seumur hidup di penjara!"Shinta merasa bahwa jika bukan karena dia yang menyetujui untuk membiarkan Tirta menginterogasi Aaris, Aaris juga tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Oleh karena itu, dalam hatinya merasa bersalah dan marah.Saat berbicara, dia mengangkat tangannya untuk menampar Tirta dengan keras.Plak! Tangan Shinta yang putih mulus itu langsung ditangkap Tirta di tengah udara."Nona Sh
Benar saja. Setelah mengetahui kebenarannya, Shinta merasa marah sekaligus malu hingga wajahnya tampak pucat. Perlu diketahui bahwa dia ini adalah cucu dari tangan kanan mantan penguasa negara dan dewa perang, Saba!Dari orang tua sampai saudara-saudara dan kerabatnya, semuanya memegang posisi dan kekuasaan penting di negara ini. Dengan status Shinta saat ini, mungkin hanya segelintir orang yang mampu disandingkan dengannya.Biasanya, orang akan bersikap hormat, segan, dan bahkan menyanjungnya saat bertemu. Namun, ternyata dia malah diperalat oleh Aaris dan Tabir dalam kejadian hari ini. Apalagi, semua ini dilakukan di hadapan banyak orang! Mana mungkin Shinta bisa menerima semua ini?Shinta bergegas maju ke hadapan Tabir untuk mempertanyakannya, "Pak Tabir, sia-sia saja aku melindungimu tadi. Nggak kusangka kamu malah membohongiku! Apa kamu nggak merasa bersalah sudah memanfaatkan kepercayaanku?"Menghadapi pertanyaan dari Shinta, wajah Tabir sontak memucat dan langkahnya menjadi limb
Melihat sikapnya yang melunak, Tirta memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah ini lagi. Niscaya setelah kejadian hari ini, kedua orang itu juga tidak akan berani mencarinya untuk balas dendam lagi.Sambil berbicara, Tirta telah mencabut beberapa jarum perak yang tertancap di kepala Aaris."Baik, aku akan ingat perkataanmu. Nggak akan biarkan dia menimbulkan masalah lagi!" ujar Tabir. Dia juga tidak menyangka ternyata Tirta begitu mudah diajak untuk berkompromi. Tabir tak kuasa merasa bersalah atas tindakannya tadi."Kakek, kenapa kamu membungkuk sama dia? Semenit sudah berlalu. Nona Shinta, cepat tangkap dia!" Berhubung tadi dirinya dihipnotis, Aaris masih tidak sadar dengan kondisi saat ini. Setelah jarumnya dicabut, dia langsung marah saat melihat kakeknya membungkuk terhadap Tirta.Plak!Tabir langsung menampar Aaris dan memakinya, "Anak sialan! Kamu kira semua orang nggak tahu apa yang kamu lakukan? Anak muda ini sudah memutuskan untuk memaafkanmu, kamu malah masih mau nangkap
Mendengar kata-kata Tirta, Aaris langsung melirik ke arah Bima secara refleks. Ketika melihat belasan luka di tubuh Bima, dia langsung berdiri dan berteriak kepada Tirta, "Kenapa aku harus dengar perintahmu untuk berlutut setengah jam atau dipukul? Kamu kira kamu ini siapa?""Aku nggak mau milih apa pun, lihat saja apa yang bisa kamu lakukan padaku?"Setelah berkata demikian, Aaris tidak peduli lagi pada upaya Tabir untuk menahannya dan buru-buru melangkah menuju ruang dalam. Saat Tirta hendak maju untuk menghentikannya, tiba-tiba Shinta telah duluan maju untuk angkat bicara."Berhenti! Menurutku permintaan tuan ini nggak keterlaluan. Setidaknya kamu harus tanggung jawab setelah mukul orang! Kalau kamu nggak mau milih antara dua pilihan itu, aku bisa memberimu pilihan ketiga.""Aku nggak keberatan untuk nyuruh orang menangkapmu dan proses sesuai hukum!" lanjut Shinta.Aaris sontak terpaku di tempat setelah mendengar ucapan Shinta. Dia sudah cukup kebingungan saat melihat Tabir membela
Selain itu, tidak ada seorang pun yang berpihak padanya di tempat itu."Orang sombong akan dapat balasannya. Aaris, setelah kejadian kali ini, kuharap kamu jangan berbuat semena-mena lagi," pungkas Tabir sambil menghela napas berat.Namun, ekspresi Aaris tampak sangat muram. Dia menggertakkan giginya dan tidak merespons sama sekali. Kini dia harus berlutut setengah jam di hadapan semua orang, bagaimana dia harus menanggung malu ke depannya?Dalam hati, Aaris benar-benar membenci Tirta. Dia tidak mungkin akan melupakan hal ini. Suatu saat nanti, dia bertekad mencari kesempatan untuk membalas perbuatan Tirta! Namun, tentu saja dia tidak berani berbuat apa pun terhadap Shinta.Pada saat ini, fokus Shinta telah teralihkan pada Tirta."Kak, maafkan kesalahanku atas kejadian sebelumnya. Kalau boleh tahu, cara apa yang kamu gunakan untuk memaksanya berkata jujur tadi? Kulihat tadi kamu cuma pakai beberapa jarum perak?" Kini, nada bicara Shinta juga tidak lagi mendesak seperti sebelumnya, mela
Aaris yang berlutut di lantai hampir muntah darah karena kesal mendengar kata-kata itu! Awalnya, keluarganya berencana untuk menjalin hubungan baik dengan Keluarga Dinata. Namun kini, bukan hanya dirinya yang dipermalukan oleh Tirta, kesempatan besar itu pun dirampas darinya! Sungguh menjengkelkan!Namun, jika nanti Tirta mendapatkan perlindungan dari Keluarga Dinata, akan sangat sulit baginya untuk membalas dendam pada Tirta dan Bima. Ketika Aaris merasa putus asa, Shinta baru saja melangkah masuk ke ruangan.Tiba-tiba dari arah pintu masuk, terlihat ada dua orang pria yang memaksa masuk. Salah satunya adalah pria paruh baya berusia sekitar 40-an yang mengenakan jas putih, celana longgar, dan sepatu kain hitam dengan alas putih. Wajahnya tampak dipenuhi amarah.Begitu melihat Bima di tengah kerumunan, dia langsung berseru dengan lantang, "Pak Bima, akhirnya aku menemukanmu!""Pak Panji, ada apa mencariku?"Bima tentu mengenali orang ini. Dia adalah pemilik dari Perguruan Selatan, seka
Ucapan Karta ini penuh dengan nada sindiran dan penghinaan."Syarat macam apa itu? Aku nggak mungkin setuju." Ekspresi Bima langsung tampak muram."Selama Pak Bima nggak menyetujui persyaratan Kak Karta, kami nggak akan pergi dari sini. Tapi, sepertinya Pak Bima nggak sehebat biasanya hari ini! Pengecut sekali. Tampaknya, Pak Bima juga sadar bukan tandingan kakakku, jadi nggak berani menerima tantangannya," sindir Panji."Omong kosong, siapa bilang aku nggak berani terima tantangannya? Kalau mau, kita duel sekarang juga. Kalau kalah, kalian berdua segera pergi dari sini. Jangan pernah datang menggangguku lagi," teriak Bima yang tidak sanggup menerima provokasi dari kedua orang itu."Bagus, Pak Bima memang pemberani. Salut!" Melihat Bima yang terkena perangkapnya, Panji pun tertawa sinis.Kemudian, dia berkata pada Karta, "Kalau begitu, mohon bantuannya kepada Kak Karta. Tunjukkan pada Pak Bima, apa artinya tahu diri!""Hehe, tenang saja, Dik. Aku mengerti," jawab Karta."Bima, sebaikny
Tirta sendiri juga tidak menyangka akan terjadi situasi yang mendadak ini. Namun, yang membuatnya semakin kaget adalah jurus mengunci titik akupunkturnya itu tidak berguna sama sekali terhadap Karta.Wajar saja Panji sampai begitu percaya diri menyuruhnya berduel dengan Bima. Ternyata mereka memang sudah melakukan persiapan sebelumnya."Kalian menang. Bima, kembalilah. Sini, kuperiksakan lukamu." Tirta memeriksanya dengan mata tembus pandang. Untung saja luka Bima tidak terlalu parah. Namun, dia juga tidak bermaksud membiarkan Bima untuk melanjutkan duelnya.Akan tetapi, Karta malah tidak memberi kesempatan pada Bima untuk pergi. Dia hanya berkata dengan nada dingin, "Baru segini saja sudah selesai? Padahal kulihat tubuh Pak Bima masih sehat.""Kalau mau duel, sebaiknya benar-benar adu kekuatan. Kalau nggak, jadi nggak seru!" ujar Karta sambil melangkah maju dengan cepat. Dia mengangkat kakinya dan menginjak lutut Bima dengan keras!"Krakk!" Suara retak tulang terdengar jelas, membuat
"Nggak bisa, aku nggak boleh terus mengintip .... Ini nggak bermoral. Aku harus berpura-pura nggak tahu apa-apa dan tidur. Kalau nggak bisa tidur, tetap harus coba!" ucap Farida. Dia merasakan detak jantungnya makin cepat.Farida memaksakan diri untuk menarik pandangan dari vila. Tubuhnya terasa kaku saat dia berbaring di kursi mobil yang sudah disandarkan sepenuhnya.Farida mencoba memejamkan mata dan berharap bisa tertidur. Namun sayangnya, mobilnya diparkir tepat di dekat gerbang vila. Itu hanya sekitar 20 meter dari tempat Tirta dan Susanti bersenang-senang.Di malam yang sunyi senyap, suara apa pun terdengar makin jelas. Saat mereka makin intens, Farida tak lagi mampu menenangkan pikirannya. Dia terus berganti posisi di tempat duduknya, tapi justru makin merasa gelisah.Farida tidak tahu dari mana kegelisahan ini berasal atau kapan perasaan ini akan mereda. Bahkan setelah Tirta dan Susanti meninggalkan vila untuk kembali ke klinik, kegelisahan itu tetap ada.Hingga sekitar pukul 3
Di dalam mobil, Farida memandang dengan tatapan penuh arti. Dia berkomentar, "Tirta baru saja satu lawan dua. Sekarang tengah malam begini, masih saja nggak berhenti? Sebenarnya seberapa suka dia melakukan itu dengan wanita?"Saat melihat Tirta dan wanita itu masuk ke vila, napasnya sedikit tidak beraturan. Kemudian dengan sedikit kebingungan, dia bergumam pada dirinya sendiri, "Tapi ... wanita yang dia gendong kali ini, kenapa aku nggak pernah lihat ya sebelumnya?"Meskipun ini adalah kedua kalinya Farida memergoki Tirta malam itu, kali ini karena dia tidak menyalakan mobil dan Tirta sepenuhnya fokus pada Susanti, dia tidak menyadari keberadaan Farida.Saat memasuki vila, Tirta menyadari bahwa bagian dalam vila masih dalam proses renovasi. Barang-barang berantakan di mana-mana sehingga dia langsung mengurungkan niat untuk melanjutkan rencana awalnya di dalam vila."Susanti, tempat ini belum beres. Nggak ada tempat yang nyaman untuk duduk atau tiduran. Lagian, sekarang sudah hampir ten
"Susanti, kalau benar-benar nggak sanggup lagi, kenapa nggak berhenti jadi polisi saja? Aku punya begitu banyak uang. Sebagian saja sudah cukup untuk kamu hidup dengan nyaman," ucap Tirta sambil menghela napas."Uangmu ya uangmu. Kalau kamu kasih ke aku, aku juga nggak bakal menerimanya. Lagian masa cuma karena punya uang, aku jadi nggak melakukan apa-apa? Aku nggak bisa diam saja. Selain itu, aku cukup suka pekerjaan sebagai polisi," jawab Susanti tegas tanpa ragu.Susanti melanjutkan, "Kalau nanti aku sudah nggak mau jadi polisi lagi, barulah aku pertimbangkan untuk jadi pajangan di rumah seperti yang kamu bilang.""Aku cuma nggak mau melihat kamu terlalu lelah. Tapi kalau memang kamu ingin terus jadi polisi, ya lanjutkan dulu," ucap Tirta.Sambil mengemudi, Tirta terus mengobrol dengan Susanti. Tak sampai setengah jam kemudian, dia sampai di depan kantor polisi. Pada jam seperti ini, kebanyakan polisi sudah pulang. Hanya tersisa beberapa orang yang bertugas untuk jaga malam.Susanti
"Jangan cuma bilang kami nggak kuat. Kamu nggak sadar apa penyebabnya? Kamu terus berkembang, siapa pun juga nggak bakal tahan menghadapi kamu!" Suara Melati terdengar dari dalam kamar mandi, entah sedang mengeluh atau merasa puas.Tirta membalas, "Hehe. Aku sendiri juga nggak ngerti kenapa bisa begini. Bibi, Kak Melati, kalau kalian benar-benar sudah nggak kuat lagi ya sudah. Kita lanjutkan lain kali kalau kalian sudah pulih.""Aku mau ganti baju dulu. Bajuku sudah basah. Setelah itu, aku langsung pergi ke kantor polisi buat jemput Susanti. Kalian istirahat saja, nggak perlu tunggu aku pulang," tambah Tirta. Kemudian, Tirta membuka pintu kamar mandi dengan cepat, menutupnya lagi dari luar, dan berlari ke dalam ruangan klinik. Dia sama sekali tidak menyangka ada seseorang yang sedang mengintipnya dari luar. Kalau tahu, dia pasti tidak akan keluar seenaknya."Astaga ... apa aku nggak salah lihat? Mana mungkin ...," ucap Farida. Sebelum Tirta keluar, dia buru-buru bersembunyi di balik d
Ayu mengingatkan dengan suara lemah tapi tegas, "Satu jam saja ya. Setelah itu apa pun kondisimu, kamu nggak boleh ganggu kami lagi!"Tirta membalas, "Hehehe. Tenang saja, Bibi. Apa pun kondisiku, aku pasti akan bikin kalian puas kok!"Dengan sekali gerakan, Tirta memelesat masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu kayu itu rapat-rapat. Bagaimanapun, malam ini dia masih punya janji dengan Susanti. Namun sebelumnya, dia memutuskan untuk bersenang-senang bersama Ayu dan Melati dulu.....Tirta sedang asyik bersenang-senang di kamar mandi bersama Ayu dan Melati. Tubuh mereka makin erat dan begitu intens hingga sulit dipisahkan.Dalam kegelapan malam di luar, sesosok tubuh ramping terlihat mendekati klinik dengan bantuan cahaya redup dari layar ponsel. Namun saat melewati kamar mandi, suara-suara aneh terdengar dari dalam. Suara itu membuat langkahnya terhenti."Itu suara Ayu, Melati ... dan Tirta? Astaga ...." Orang itu ternyata adalah Farida. Dia baru saja lembur untuk mempercepat pro
Mendengar suara Tirta yang tidak sabar, Ayu merasa kesal sekaligus lucu. Dia membalas, "Dasar bocah nakal, kenapa sih pikiranmu selalu tentang hal itu? Hari ini, Bibi lagi nggak enak badan. Jadi, jangan harap ya. Lain kali saja.""Lain kali kapan? Nggak bisa, harus malam ini. Aku sudah dua hari nggak sentuh Bibi, rasanya nggak tahan lagi!" seru Tirta. Dia segera mengaktifkan mata tembus pandangnya.Melihat dua tubuh indah yang bersinar putih bersih di balik pintu kamar mandi, Tirta hampir tidak bisa mengalihkan pandangannya. Bahkan, air liurnya hampir menetes."Hmph! Kalau gitu, kamu teruskan saja berandai-andai. Malam ini, Bibi benar-benar nggak tertarik!" ucap Ayu sambil tertawa. Dia sebenarnya sengaja meledek Tirta.Makin Ayu menolak, Tirta makin merasa tergoda. Dia pun beralih coba membujuk Melati, "Kak Melati, tolong buka pintu. Aku juga kangen sama kamu. Aku ingin memelukmu baik-baik!"Melati yang sedang di dalam kamar mandi mengikuti isyarat Ayu untuk terus meledek Tirta. Dia me
Setelah melepaskan sepatu, kaus kaki, dan pakaian luar, Arum naik ke ranjang dan bersiap untuk istirahat."Baiklah, kita langsung tidur saja. Ranjangnya nggak terlalu besar, kita berdua harus agak berdesakan. Maaf ya kalau ini merepotkanmu," ucap Yanti sambil mematikan lampu dan berbaring di samping Arum.....Sementara itu, Tirta sudah mengantar Nia kembali ke Desa Kosali dan kini sedang dalam perjalanan kembali ke kliniknya.Hanya dalam beberapa menit, Tirta sudah sampai di klinik. Saat turun dari mobil, dia membawa beberapa buku rahasia seni bela diri yang diberikan Lutfi dan berniat mempelajarinya saat ada waktu luang.Di klinik, Ayu dan Melati sedang mencoba menenangkan beberapa anak harimau yang terus saja menangis keras. Namun, kedua harimau besar tidak terlihat di sekitar.Meski Ayu dan Melati sudah mencoba berbagai cara, mereka tetap tidak bisa membuat anak-anak harimau itu tenang."Bibi, Kak Melati, kalian pergi mandi saja. Biarkan aku yang urus anak-anak harimau ini," ucap T
Arum merasa sangat canggung. Dia berucap, "Aduh ... Bu Yanti, mana mungkin aku bisa membantumu memeriksa hal seperti ini ...."Arum baru saja hendak menyarankan bahwa jika memang ada sesuatu yang aneh, biasanya akan terasa atau terlihat jelas. Namun, Yanti tidak memberinya kesempatan untuk melanjutkan bicara. Segera, Yanti melepas semua pakaiannya.Pemandangan itu membuat wajah Arum memerah. Dia segera memalingkan pandangannya karena merasa tidak nyaman.Yanti memberi tahu, "Arum, kita ini sama-sama wanita. Jadi, kamu nggak perlu merasa canggung. Kalau kamu nggak membantuku periksa, aku benar-benar nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi.""Kalau nggak bisa memastikan apa yang terjadi, malam ini aku nggak akan bisa tidur dengan tenang," ucap Yanti sambil memegang tangan Arum dengan penuh harap.Mendengar kata-kata tersebut, Arum tidak punya alasan lagi untuk menolak. Selain itu, dia juga ingin memastikan apakah Tirta benar-benar melakukan sesuatu yang tidak pantas kepada Yanti. K
Tirta menyalakan mobil dan mengantar Nia meninggalkan klinik."Wah, ini mobil Mercedes Maybach ya? Aku dengar harganya bisa sampai beberapa miliar. Tirta, aku benar-benar nggak sangka, ternyata kamu ini orang kaya yang diam-diam menyembunyikan kekayaanmu!" seru Nia dengan kagum sambil duduk di kursi belakang.Tirta membalas sambil tersenyum, "Aku bukan orang kaya seperti yang kamu bayangkan. Tapi kalau kamu bekerja dengan baik dan nanti kebun buah kita berkembang besar, kamu juga bisa beli mobil seperti ini."Nia menjulurkan lidahnya sambil membalas, "Benarkah? Kamu ini benar-benar jago bercanda. Bisa duduk di mobil seperti ini saja, aku sudah merasa cukup puas. Sepertinya, seumur hidupku aku nggak akan mampu membeli mobil seperti ini.""Jangan terlalu pesimis. Apa pun bisa terjadi kalau kita berusaha," jawab Tirta santai, lalu tidak melanjutkan pembicaraan.....Sementara itu, Arum baru saja tiba di rumah Yanti. Sebelum sempat mengucapkan apa pun, Yanti langsung menariknya ke kamar da