"Loh... Tuan... Tuan..." Nadia terus memanggil, tapi Arian terus berjalan menaiki tangga sambil menarik tangan Nadia. Mereka memasuki kamar, Arian langsung menutupnya kembali. "Tuan ? Kok kita ke kamar ? Bukannya tadi anda bilang ingin saya buatkan kue ? Tapi...""Ssttt... Aduh, kamu berisik juga." Ucap Arian sambil menempelkan telunjuknya di bibir Nadia. Nadia yang terkejut langsung mengatupkan bibirnya. "Bisa gak, jangan panggil saya tuan ?" Tanya Arian dengan raut yang masih terlihat tegang."Bis-bisa, tuan. Tapi saya tadi keceplosan. Maaf." Ucap Nadia.Arian sangat kesal, lihatlah sikapnya yang sangat berbeda dengan saat bersama dengan Tris. Nadia tidak sekaku ini jika bersamanya, tapi Nadia bahkan sangat kaku dan seperti seorang bawahan yang menghormati majikan saat berada di dekat Arian, terus menunduk dan membatasi diri dalam berekspresi. Arian kesal karena itu. "Nadia... !" Arian memegang kedua bahu istrinya, Nadia menjadi tegang dengan sikap Arian yang tak seperti biasan
"Aduh, tuan. Saya sampai kaget." Ucap Nadia sambil tersenyum canggung. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Arian langsung duduk dan turun dari tempat tidur, dia berjalan mendekati Nadia dengan sorot mata yang menyeramkan."T-tuan... Anda kenapa ??" Tanya Nadia sambil terus melangkah mundur. Aduh, apa lagi yang terjadi pada tuan ? Apa dia kerasukan ? Gerutunya dalam hati.Nadia terus saja mundur dengan perlahan seiring dengan Arian yang terus mendekat, hingga kemudian...BruukkPunggung Nadia menabrak lemari pakaian, dia sangat tegang dan gelagapan, mencari jalan keluar tapi lewat mana. Saat Nadia hendak berjalan kearah samping, Arian dengan cepat menghadangnya dengan tangan kekarnya. Dia menempelkan tangannya di lemari pakaian, hingga membuat Nadia terkurung tak bisa menghindar. Nadia sudah sangat gugup, terlebih saat Arian semakin mendekatkan wajahnya. "T-tuan, apa yang kau lakukan ?" Ucap Nadia dengan lirih. "Apa kamu sudah melupakan apa yang aku ucapkan kemarin ?" Tanya A
Nadia sedang dalam mobil menuju tokonya. Dia masih saja terus-terusan teringat dengan kejadian tadi pagi yang cukup menguji nyalinya. Bahkan sampai saat inipun jantungnya masih saja berdebar-debar. Setiap kejadian tadi terlintas kembali di bayangannya, Nadia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dan kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Aahhh tidak-tidak ! Aku harus segera melupakannya. Atau aku tidak akan bisa berkonsentrasi nanti. Gumamnya dalam hati. Melihat gerak-gerik Nadia yang terlihat gelisah dan cemas, sang supir yang sedari tadi memperhatikan dari kaca spion pun mulai berbicara,"Nyonya ? Apa anda baik-baik saja ?" "Eh ? I-iya, pak. Saya baik-baik saja. Ya, tidak papa." Nadia tersenyum walau terpaksa. Setelah sang supir tak lagi bersuara, Nadia menghela nafas lega.Setelah cukup lama perjalanan, akhirnya Nadia sudah tiba di tokonya. Disana sudah ada beberapa orang yang menunggunya. Nadia pun segera turun dari mobil dan berlari ke arah orang-orang terse
Arian sedang duduk di kursi sambil memutar-mutar kursinya itu, dia menghadap ke jendela lebar yang menampilkan pemandangan indah di luar sana." Halo, tuan ?" Ucap seseorang dari sebrang sana. "Halo, Tris. Bagaimana kabar ibumu ?""Alhamdulillaah ibu sudah lebih baik, pak. Rencananya besok akan pulang kerumah. Emm... Pak, makasih untuk bantuan yang bapak berikan. Berkata bantuan itu, ibu saya bisa melewati masa kritisnya, dan sekarang sudah sehat. Saya sangat bersyukur." Ucapnya dengan tulus. "Yah, itu hanyalah bantuan kecil. Saya juga harus berterima kasih padamu."Tris terdiam sejenak disebrang sana."Berterima kasih untuk apa tuan ? Saya tidak melakukan apapun untuk anda.""Terima kasih untuk apa yang kamu sarankan dan beritahukan padaku."Seketika bayangan beberapa hari pun kembali terbersit di ingatannya. "Tris, aku tidak bisa melakukannya. Aku... Aku bahkan selalu merasa gugup jika berada dekat dengannya."Tris tersenyum dan kemudian mengeluarkan sebuah saran. Tidak apa membe
Alex masih memandang Arian dengan kening berkerut. "Arian ? Kamu sudah pulang ? Tanyanya dengan santai.""Sudah kek. Ini Arian sudah disini." Jawabnya sambil mengendikkan bahu. Matanya melirik Nadia yang masih menunduk tak bergerak."Emmm, kek, Nadia ke dalam dulu ya ? Mas, mau minum apa ?" Ucap Nadia begitu berdiri. Arian sedikit tertegun, dia mengira kalau Nadia itu sedang marah padanya. Tapi, ternyata dia melakukan hukumannya juga. Tapi tetap saja Arian merasa kalau istrinya itu menyembunyikan sesuatu darinya. Aku tidak akan tinggal diam, dan aku tidak mau sampai kamu diam-diam berencana untuk menghindariku. Gumamnya dalam hati."Mas ?""Eh, iya. Emmm, teh hangat saja, tapi saya mau mandi dulu." "Baiklah, Nadia siapkan tehnya, mas mandi, ya ?" Arian menganggukkan kepalanya dengan masih terpaku. Nadia sungguh menawan dengan sikapnya yang sangat menghormati suaminya seperti ini. Arian semakin menyukainya, rasa yang baru saja muncul dalam hatinya kian tumbuh dan membesar. Dengan
Arian melirik Nadia yang masih berdiri dengan salah tingkah, kakinya terus saja bergerak-gerak gelisah. Tatapannya juga kosong, menandakan kalau wanita itu tengah melamun. "Hei, kenapa kamu berdiri terus ?" Tanya Arian membuat Nadia terjengkat kaget."Eh, i-iya tu... Emm, mas, mas." Ralatnya berkali-kali. Nadia pun duduk dengan canggung di tepi tempat tidur yang memang berhadapan dengan sofa. "Nadia, aku mendengar sesuatu.""Hem ?" Nadia langsung mendongak dan memasang telinganya. "Tentang ibu dan saudari tirimu itu, jangan kamu mudah percaya. Aku yakin mereka mempunyai suatu niat buruk padamu." "Kenapa anda berfikiran seperti itu ?" Tanyanya terlihat keberatan dengan pendapat suaminya. "Ya karena manusia seperti mereka itu banyak, dan semuanya juga saya sudah hafal bagaimana taktaiknya. Dan termasuk dengan apa yang merka lakukan sekarang sama kamu, mereka itu hanya ingin memanfaatkanmu." Nadia tak bersuara lagi, tapi dari wajahnya dia terlihat sangat keberatan dengan apa yang d
Hari-hari berlalu, kepadatan pekerjaan membuat Nadia dan Arian masih saja dalam mode dingin karena keduanya jarang sekali berinteraksi. Nadia selalu pulang sore hari, sedangkan Arian pukul tujuh malam baru pulang, dan kadang lebih malam. Hal itu membuat kerenggangan antara keduanya jadi semakin berlarut-larut. Berkali-kali Arian berniat untuk mengajak Nadia berbicara, tetapi selalu saja ada halangan. Entah Nadia yang sudah terlelap lebih awal, atau Nadia yang terlihat sibuk mengecek laporan toko, atau malah dirinya yang terlalu sibuk. Arian memang tipe ormag yang tidak bisa membiarkan pekerjaan, sebelum pekerjaan itu selesai dia selalu menyelesaikannya di rumah sebelum tertidur. Pagi hari, Arian yang baru membalikkan badannya menghadap ke tempat Nadia berbaring tak sengaja menyenggol tubuh istrinya. Dia langsung terbangun, merasa aneh karena Nadia ternyata masih terlelap, biasanya istrinya itu selalu sudah meninggalkannya di saat Arian baru membuka mata. Melihat jam sudah menunjukka
Matahari merangkak semakin tinggi, seperti biasa, Arian akan membawakan sarapan terlebih dulu untuk Nadia sebelum dia berangkat ke kantor. Namun, kali ini Nadia menahannya saat Arian akan meninggalkan kamar."Mas..." Ucapnya dengan lesuArian yang mendengar itu langsung menoleh tanpa mengatakan apapun."Biar aku ikut kebawah saja sekarang." Ucapnya yang sudah turun dari trmpat tidur. "Tidak perlu, saya akan bawakan sarapannya kesini. Kamu tunggu saja disini.""Tapi, saya ingin sekalian ke taman, mas. Saya ingin menghirup udara segar, bosan saya di kamar terus berhari-hari." Ucapnya dengan memelas.Arian tersenyum kecil sambil memalingkan wajahnya melihat itu. "Baiklah, ayo." Arian mendekati Nadia, dia sudah siap memapah sang istri. Namun, Nadia menggerakkan bahunya seperti tidak nyaman."Emmm, mas ? Saya bisa sendiri." Ucapnya sambil menepis lembut lengan Arian di bahunya. "Benarkah ? Tapi saya akan terlihat seperti suami yang tidak berperasaan jika berjalan sendirian meninggalkan
Beberapa bulan berlalu, kehidupan mereka kini sudah sangat baik, tak ada lagi gangguan yang berarti. Bahkan, entah kenapa Silvi dan Leni pun tak pernah lagi dengan sengaja menunjukkan dirinya. Hanya pernah sesekali tak sengaja berpapasan, dan mereka bersikap seolah tak saling mengenal. Hanya, Nadia masih dapat melihat ketidak sukaan merrka dalam tatapannya. Kehamilan Nadia sudah memasuki usia ke 5 bulan, membuat perutnya kian membuncit. Dia juga kini di larang untuk ikut andil di toko, hanya sekedar keluar dan menyaksikan kesibukan karyawan-karyawannya yang sudsh bertambah. Resti yang bertanggung jawab mengurus segalanya. Ponsel Nadia berdering, wanita itu pun dengan cepat merogoh tasnya dan menempelkan ponsel itu di telinganya. "Ya, mas ?""Kamu masih di toko ?""Iya, mas. Kenapa memangnya ?""Cepat pulang, ya ? Kakek mengajak kita berkumpul di rumah. Ini mas juga sedang di jalan, mau pulang." "Oh, baiklah."Sambungan terputus. Nadia langsung mencari Tris untuk mengajaknya kembal
Semua bapak-bapak di belakang Arian hendak melayangkan ledekannya lagi. Namun, pak penghulu dengan segera mengangkat sebelah tangannya, membuat mereka urung mendebat pembelaan Arian. "Jadi, tuan ini menghamili nona ini ?" Tanya penghulu menunjuk Arian dan Silvi bergantian. "Tidak !""Iya, pak !" Jawab Silvi dan Arian bersamaan. Arian menatap Silvi dengan bengis. Sungguh, dia sangat muak dengan wanita itu. "Pak, saya sama sekali tidak melakukannya. Demi allah ! Saya sudah punya istri, dan saya mencintai istri saya."Sambil menunduk, Silvi menyembunyikan bibirnya yang mencebik mendengar ucapan Arian."Haha, zaman sekarang mah udah punya istri, kek. Udah punya suami, kek. Kalau otaknya konslet tetep aja nyari mangsa lagi. Ya gak ?" Tanya salah seorang bapak-bapak itu yang di sambut dengan tawa dari yang lainnya. Arian berdiri, dia sudah cukup sabar menghadapi sikap so tau mereka."Itu menurut orang yang otaknya konslet. Tapi, saya tidak seperti itu. Saya masih normal, otak saya mas
"Ini, inilah yang saya tadi ingin bicarakan sama kamu. Juli, dia tadi pagi masuk rumah sakit mendadak karena di temukan tak sadarkan diri di kamarnya. Tapi keadaannya sudah stabil tadi, makanya saya pergi bekerja. Tapi tadi, suster menelpon mengabari kondiri Juli yang kritis." "Ap-apa ?? Juli ?" Felix menjadi gugup. Raut kecemasan terlihat dengan jelas di wajahnya. "Saya ke rumah sakit dulu, permisi pak Arian, pak Felix." "Tunggu, pak ! Saya ikut !" Ucap Felix "Baiklah, ikuti saja mobil saya." Ucap Samsudin sambil sedikit berlari menuju keluar restoran.Felix dengan terburu-buru merogoh dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang pada Arian. "Pak Arian, saya mohon maaf sekali karena harus meninggalkan anda. Ini, saya yang bayar." "Tidak usah, pak Felix. Saya mengerti kok.""Tidak papa, anggap saja ini sebagai permintaan maaf saya karena tak jadi menemani anda makan siang, padahal saya yang ngajak tadi. Sudah ya, syaa tifak punya banyak waktu. Sekali lagi saya minta maaf, dan
"Loh, itukan si Nadia ?" Gumam wanita tersebut dalam hati. "Sayang, kamu kenapa ?" Tanya Dev, pria tampan yang bersama dengan Silvi. Dari penampilannya, Dev seperti pria kaya lainnya, keren, rapi, dan juga terawat, lagipula, jika saja Dev bukan pria ber-uang, mana mungkin Silvi akan mau berhubungan dengannya. "Eh, eem... Aku mau ke toilet dulu deh sayang. Sebentar, ya ? Kamu tunggu saja di mobil.""Baiklah, jangan lama." Silvi tersenyum, Dev pun berjalan menuju parkiran meninggalkan Silvi. Silvi ternyata juga berkencan dengan Dev di resort itu. Setelah hatinya hancur kemarin karena Arian yang ternyata suami Nadia, Silvi langsung pergi mencari kesenangan ke club langganannya, dan disanalah dia bertemu dengan Dev. Perlahan Silvi mengendap-endap untuk melihat pasangan tersebut semakin dekat. "Oh shit ! Iya itu mereka ! Jadi mereka emang suami istri ?" Silvi mengumpat sambil menatap tak suka ke arah mereka.Pasangan yang serasi, mereka terlihat begitu bahagia satu sama lain. Aura k
Arian sudah keluar dari kamar mandi, kini giliran Nadia yang harus membersihkan tubuhnya dari air hujan yang sempat mengguyurnya beberapa saat lalu. Arian duduk di sofa, dia memesan beberapa cemilan dan juga minuman hangat pada petugas resort. Sambil menunggu pesanan tiba, Arian membuka ponselnya dan mendapatkan beberapa pesan. Hampir semuanya tentang pekerjaan, Arian sudah meminta sekretarisnya untuk menghendel pekerjaan selama dia berada disini. Gerakan jempolnya terhenti saat mendapati panggilan tak terjawab dari kakeknya. Aahh... Arian sampai lupa tidak memberitahukan pada kakeknya kemana mereka pergi. Arian menekan tombol panggil, dan tak menunggu lama akhirnya panggilan tersambung. "Halo ?" "Halo, kek.""Jadi, kemana kamu membawa cucu menantuku ?" Tanya Alex to the poin. Arian mendesah pelan, tadi dia hanya menitipkan pesan pada Tris, untuk memberitahukan pada kakeknya bahwa dirinya akan pulang sedikit terlambat bersama Nadia. Namun, dia tidak mengatakan tujuannya dan kapan
Di restoran yang masih termasuk di area resort, Arian dan Nadia sedang makan bersama di salah satu meja. Ada beberapa meja lain yang sama-sama terisi oleh pengunjung lain, namun tak mengurangi kenikmatan hidangan tersebut. Setelah Arian selesai membersihkan dirinya, keduanya langsung pergi keluar untuk makan siang yang sudah kesorean. Nadia maupun Arian menyantap makanannya dengan lahap tanpa ada perbincangan saking sudah laparnya, hingga tak butuh waktu lama untuk mereka berdua menghabiskan semua menu yang tersaji di meja. "Ayo !" Ucap Arian setelah selesai mengelap bibirnya menggunakan tissue. "Mau kemana lagi, mas ?" Tanya Nadia setelah meneguk habis minumannya. "Kemana saja, jalan-jalan." Ucapnya yang segera berdiri dan menarik tangan Nadia. Nadia pun menurut dan hanya mengikuti langkah sang suami saja. Dia benar-benar tida menyangka, kalau ternyata Arian Trisatya, seorang pria yang terkenal dingin dan acuh itu memiliki sisi yang berbeda. Nadia melihat suaminya kini seperti pr
Setelah perjalanan selama setengah jam, akhirnya mereka tiba di sebuah Resort yang Resti katakan tadi. Bangjnan itu cukup luas dan terlihat sangat nyaman. Walaupun tidak terlihat mewah, karena resort itu memberikan tampilan bernuansa pedesaan atau pantai.Arian tak berkata apa-apa, dia langsung meraih tangan Nadia dan menarik istrinya itu untuk mengikuti langkahnya. Arian langsung menuju resepsionis, setelah semua keperluannya selesai, mereka langsung menuju kamar yang sudah menjadi milik mereka untuk beberapa hari kedepan."Tuan, apa saya tidak salah dengar tadi ?" Tanya Nadia sambil berjalan menuju kamar mereka. "Apanya yang salah ?""Tiga hari ? Anda akan menginap disini selama tiga hari ?""Ya, seperti yang kamu dengar. Kenapa ?" Arian membuka pintu, terlihat sebuah ruangan yang cukup luas dan sangat bersih di dalamnya. Awal masuk mereka seperti di sambut oleh ruang tamu mini yang hanya terdapat sofa panjang dan meja kecil. Nadia terpana, dia melepaskan pegangan tangan Arian dan
"Ibu !" "Diam kamu !" Leni mengusap wajahnya dengan lesu, sedangkan Silvi masih terus merengek sambil menggerak-gerakkan kakinya asal."Hiks, tuan tampan itu ternyata suaminya Nadia. Ibu, aku tidan percaya semua ini... Pasti dia berbohong kan ? Bagaimana Nadia bisa menikahi pria sultan sepertinya ?" "Yah, ibu juga tidak bisa percaya ini. Tiba-tiba saja pria itu datang dan menyebut Nadia sebagai istrinya. Ini sangat tidak masuk akal.""Ibu... Apa yang harus kita lakukan sekarang ? Kalaupun itu bohong, aku ingin memperjuangkan cintaku, dimana dia tinggal ?" "Silvi, tenanglah dulu. Jangankan tempat tinggal, namanya saja kita tidak tau."***Sepasang suami istri itu baru sampai di toko, sepanjang perjalanan, keduanya sama-sama larut dalam fikirannya masing-masing. Nadia menatap Arian yang masih fokus menatap kedepan. Ada perasaan hangat yang menelusup kedalam dadanya, ucapan Arian tadi di depan Leni dan Silvi terus terngiang-ngiang di telinganya. Arian langsung menepikan mobil, melih
Nadia menanggapi sikap ibu tirinya dengan senyuman sinis sambil menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya dia masih bersikap keras seperti ini setelah semuanya terbukti. "Ibu, kenapa ibu malah balik marah ? Harusnya aku loh yang marah disini, kenapa ibu merebut peranku ?" Tanya Nadia masih santai. Leni semakin tersulut emosi melihat sikap Nadai yang seolah mengejeknya. "Dasar kamu ya... Anak gak tau diuntung !" Leni bergerak cepat hendak menyerang Nadia. Namun, Nadia berhasil menghindar tepat waktu. "Kalian sungguh tidak tau terima kasih, sudah untung aku tidak menjebloskan kalian ke penjara. Tapi lihatlah, apa yang kalian lakukan untuk membalas kebaikanku itu. Bahkan kamu bertindak kasar. Jika aku mau, aku bisa melaporkan kamu ke polisi debgan dua kasus sekaligus !" Leni semakin marah, tapi dia tak kunjung bertindak. Dia hanya berdiri mematung sambil menatap Nadia dengan penuh kebencian, dadanya pun terlihat kembang kempis karena amarahnya. "Silvi ! Ambil laptopnya, kita harus meng