Yanuar berhasil menggerakkan kepalanya ke kiri untuk menghindari benda yang dilempar Chiara ke arahnya. Ia menghela napas sembari mengerutkan kening saat mendapati reaksi panik berlebih dari Chiara.Begitu mengakhiri teleponnya dengan Mami, ia memutar tubuh dan menemukan sosok Chiara yang berjongkok tengah mengaduk isi koper. Perhatiannya teralih pada balutan handuk yang menutupi sebagain tubuh gadis itu.Chiara berteriak, memberikannya ancaman untuk tidak membuka mata apalagi mengintip. Sungguh menggelikan. Alih-alih merasa takut, Yanuar malah memajukan langkah, mendekati gadis itu.“Emang saya mau ngintipin apa?” Yanuar balik bertanya. “Badan kamu aja tertutup gitu, kok.”Perkataannya mungkin terkesan enteng dan begitu meremehkan hingga Chiara mendengkus sesaat sebelum berlari menuju kamar mandi. Di dalam ruangan itu, Chiara melempar keluhan dan aksi protes yang tentu saja didengar baik Yanuar dari luar.Tak sampai lima menit, Chiara sudah keluar dengan pakaian rapi. Sementara Yanua
Paparan yang disampaikan Hayu dan beberapa staff yayasan seolah seperti angin lalu. Masuk ke telinga kiri dan keluar melalui telinga kanan. Yanuara tak bisa fokus ketika melihat Chiara begitu akrab dengan putra Hayu yang bernama Eshan.Pemuda itu tampak jauh lebih muda. Mungkin dua tahun di atas Chiara. Tubunya juga atletis, seperti rajin berolahraga ke gym. Tidak sepertinya yang hanya datang sebulan sekali, itupun jika ada kemauan.Melihat perbedaan jauh darinya dan Eshan, Yanuar makin kesal. Apalagi senyum Chiara yang terus tersungging di wajah selagi mendengar Eshan bicara. Memang apa, sih yang mereka bicarakan sampai begitu asyik sekali di sana?“Pak Yanu?”Ia sontak terhenyak dan mengalihkan pandangan pada Hayu. “Iya, sampai mana tadi?”Hayu melanjutkan tanpa mengeluh sedikitpun. Kini Yanuar berusaha lebih untuk mendengar penjelasan ulang wanita yang nyaris menginjak kepala lima. Meski sesekali ia melirik ke arah Chiara yang hendak pergi ke spot lain bersama Eshan.“Semoga Pak Ya
Napas Chiara tertahan saat itu juga. Ia tak memutuskan kontak mata, meski sudah berjalan beberapa detik setelah ungkapan Yanuar padanya. Detik berikutnya, ia mengalihkan pandangan ke luar jendela demi mengatur detak jantungnya yang berpacu dua kali lebih cepat.“Kamu kok diam aja?” dengus Yanuar akhirnya. “Ditanggapi dong, saya dari tadi nunggu.”Chiara tercenung. Lalu tangannya bergerak menyugar rambut panjang nan hitamnya itu sebelum kembali menoleh ke belakang. Ia menggigit bibir ketika gugup kembali menyerang.“Saya bingung mau ngomong apa, Pak,” aku Chiara jujur. “Ini Bapak lagi ngajak saya pacaran ya?” Ia menggaruk tengkuknya pelan.Yanuar menghela napas panjang. “Pindah ke belakang sini,” titahnya yang tak mampu diganggu gugat Chiara. “Duduknya samping saya.”Meski suara berat itu masih terdengar menjengkelkan, tapi Chiara sama sekali tak kesal. Ia merasa hal itu adalah keharusan yang dipenuhinya tanpa ada keluhan yang muncul dalam benak.Chiara menempati sebelah Yanuar yang ko
Nafsu makan Chiara menguap seketika. Perlahan muak pada pemandangan yang ada di hadapannya. Yanuar sama sekali tak merasa risih ketika Winnie menepuk-nepuk pahanya beberapa kali ketika membicarakan hal yang bagi keduanya konyol.Daripada melihat mereka asyik sendiri, Chiara memilih mengarahkan kamera ponselnya pada langit jingga yang begitu menawan. Setidaknya hal itu bagus diperhatikannya sekarang. Tak lupa ia mengunggah potret bagus itu ke media sosial, dan langsung mendapat banyak respon dari pengikutnya, termasuk Dimas.Chiara mengulum senyum geli. Rupanya temannya itu masih memiliki waktu senggang untuk mengomentari unggahannya. Mengingat Dimas super sibuk untuk ukuran mahasiswa, membuat Chiara heran beberapa kali.“Astaga!” Chiara memekik dan langsung menutup mulutnya karena itu Yanuar menatapnya curiga. Ia mengabaikan reaksi pria itu dan langsung mengangkat panggilan dari seseorang.“Chia ….” Sewaktu Yanuar memanggil, Chiara izin pamit ke spot yang sepi untuk berbicara di telep
Papi is calling ….Pasang mata Yanuar langsung memerhatikan Chiara yang baru masuk ke kamar mandi. Ia menggeser layar sembari membuka pintu kaca yang mengarah pada balkon. Kemudian menutupnya kembali.Benda pipih itu ditempelkannya ke sisi telinga kanan. Meski perasaannya mulai tak karuan, Yanuar mencoba tetap tenang.“Halo, Pi—““Perusahaan lagi rusuh begini, kamu masih asyik nongkrong di Bali, Nu? Yang benar saja!” Pria itu langsung menyentak dan melempari Yanuar dengan omelan keras memenuhi telinga. Tanpa membiarkan jeda untuknya menjelaskan. “Apa etis seorang CEO santai-santai di Jimbaran sama pewaris perusahaan sebelah? Pakai otak kamu, Yanu!”Yanuar menelan ludah sambil memejamkan mata sejenak. Ia sudah kalang kabut jika ada mata-mata yang menyaksikan kedekatannnya bersama Chiara. Beruntung orang suruhan papinya menangkap keberadaan Winie di sana.“Pi, aku sekadar makan di Jimbaran. Ngobrol sama Winie juga ala kadarnya,” jelasnya membela diri.“Papi udah pesankan dua tiket ke Ja
Yanuar mengesah panjang usai menutup telepon sepihak. Ia meraup wajahnya kasar sebelum memastikan keadaan sekeliling. Takut Chiara mendengar dan merasa iba pada kondisi hidupnya yang jauh dari kata baik.Ketika langkahnya kembali masuk ke kamar hotel dari balkon, Yanuar mendengar suara percikan air dari kamar mandi. Ia bernapas lega karena Chiara masih belum menyelesaikan acara mandinya. Demi mengalihkan pikiran yang semrawut, ia memutuskan melepaskan colokan charger tablet dan beberapa alat elektronik yang dibawanya.Sebelum memasukkannya ke dalam tas, Yanuar merasa ada dua tangan melingkari perutnya. Disusul aroma segar buah peach menusuk hidung. Kepalanya refleks menoleh ke belakang sembari menyambut tangan itu dan mengusapnya lembut.“Mendadak banget peluk begini?” tanyanya bingung berselimut senang.“Diam dulu,” cegah Chiara saat Yanuar hendak memutar tubuh. “Aku lagi fokus kasih energi positif buat kamu. Sebentar, ya. Tunggu.”Yanuar melipat bibir, membasahinya guna menahan tawa
“Sejak kapan?” Yabes berdeham pelan.Yanuar yang sedang memasang sabuk pengaman akhirnya menoleh. Tampangnya terlihat seperti orang bingung ketika mendapati pertanyaan dari rekannya itu.“Kapan apanya?” Ia balas bertanya. “Ngomong yang jelas, jangan pakai kode.”Yabes cengar-cengir saja. Lalu menyalakan kendaraan roda empatnya dan melajukan perlahan. Sesaat ia menatap Yanuar dan kembali fokus pada kemudinya.“Chiara pasti nggak pakai kode-kode ya, pacarnya aja galak begini,” sindirnya telak yang kontan membuat mata Yanuar membelalak. “Sepulang dari Bali, kan, jadiannya? Udah sejauh mana nih?”Yanuar memutar kedua bola mata dan mendengkus. Ia malas sekali ketika Yabes mulai mengejeknya seperti ini.“Apa yang lo lihat?” Pertanyaannya bukan terdengar seperti pertanyaan biasa, melainkan ancaman yang dilontarkan dari seorang preman proyek. “Jawab!”“Ya gue lihat semuanya, udah pasti,” jawab Yabes. “Lo aja cium Chiara terang-terangan tadi. Udah kayak pamitan perang aja sama istri kelihatann
Chiara yang merasa kedua pipinya bersemu merah, langsung menangkupnya dengan kedua tangan. Ia mengerjap-kerjap di depan cermin kamarnya. Setelah berjalan mengendap-endap dan berhasil menghindar dari serbuan pertanyaan Endah, Chiara kini berusaha mengatur detak jantung yang masih berdebar dua kali lipat."Duh, tetap tenang … tetap tenang, Chia! Lo yang ngebet dicium, tapi kenapa jadi salting parah begini, sih?"Gadis itu mengajak bicara dirinya sendiri yang tampak bodoh. Memang jatuh cinta kerap membuat logika purna. Sama seperti apa yang terjadi padanya sekarang. Ini baru setengah jam sejak Yanuar diajak Yabes pergi, tapi Chiara sudah uring-uringan karena rindu."Lebay banget nggak sih, gue?" makinya dalam hati. "Chat aja kali ya, sepik-sepik tanya apa kek?"Chiara menyambar ponsel dari tempat tidurnya. Lekas mengetik beberapa kata membentuk kalimat yang siap dilayangkan Yanuar. Sebelum ibu jarinya mengetuk bagian ikon kirim, satu pesan dari sang pujaan muncul tanpa diprediksi.Si Kul