Setelah menyerahkan makanan dari Yanuar pada Leona, Chiara mengayunkan langkah menuju ruang tamu. Ia baru sadar tak sengaja menjatuhkan selembar kertas yang berisi materi presentasinya tadi.Kaki yang hendak menginjak ubin di teras terpaksa terhenti ketika suara lantang Yanuar terdengar. Tatapan Chiara pun bergerak ke sumber suara, tampak tuannya tengah beradu mulut dengan seorang wanita berkelas di sana.“Sebaiknya jangan didengar,” bisik Leona yang mendadak sudah berdiri di sisinya sekarang. “Ayo masuk, kita makan camilan di dalam.”Wanita muda itu menyeret Chiara yang masih bertanya-tanya dengan kejadian tadi. Yanuar terlihat frustasi dan lelah menghadapi mertuanya itu. Mungkin Yanuar dimarahi karena kedapatan menggandeng asisten sepertinya di muka umum.“Ibu-ibu itu … mertuanya Pak Yanu ya, Mbak Le?” tanya Chiara akhirnya.Leona menoleh, bibirnya menyunggingkan senyum samar bersamaan dengan anggukan kepala. “Biarkan aja Kak Yanu menyelesaikan semuanya sendiri, kalau—“Perkataan Le
Chiara tak perlu meminta izin masuk ke kamar Yanuar karena pria itu tak lagi berada di dalam. Dengan gesit dan kepiawaiannya, Chiara menyiapkan air hangat di bathup untuk berendam sang tuan. Beberapa kali jemarinya masuk ke dalam untuk memastikan suhunya pas.Sebelum bangkit dari posisi jongkoknya, jemari Chiara mengerat di pinggiran bak porselen itu. Potongan memorinya menjelajah ke momen di mana Leona sangat bersyukuru atas kemajuan Yanuar yang tak lagi membatasi diri.Namun, mengapa orang yang pertama kali diperlakukan Yanuar adalah dirinya? Mengapa bukan wanita cantik dan berkelas seperti Lily yang jelas akan dijodohkan dengan tuannya?“Mau mandi bareng?”Suara berat itu menghujam sesi melamun Chiara di kamar mandi. Ia menoleh ke sumber suara dan menangkap Yanuar sudah berdiri di hadapannya. Tampilannya masih sama seperti tadi, hanya saja pasang mata itu memerah. Menyiratkan kesedihan yang mendalam karena pemiliknya menangis lagi untuk ke sekian kali.Chiara mencoba memahami. Seba
Chiara kontan mengerutkan alis beberangan dengan bibirnya yang mengerucut. Menandakan gadis itu jengkel sudah digoda atasannya yang asal-asalan. Sebelum melanjutkan menaiki anak tangga, ia mendorong dada Yanuar dan melewatinya kesal.Bersama perasaannya yang tak habis pikir itu, kakinya dihentak-hentakkan seperti balita tantrum. Yanuar terkekeh geli melihatnya. Ia semakin ingin menjahili gadis itu lagi dan lagi.Namun, waktunya belum sesuai. Yanuar menyusul dan melangkah cepat untuk mengarahkan si gadis ke suatu ruangan yang kerap ia kunci ketika pergi. Saat itu keadaannya tak terkunci sama sekali, Yanuar membukakan pintu dan mempersilakan Chiara masuk.Gadis berusia 23 tahun itu mematung saat mendapati banyak potret foto tertempel di beberapa bagian dinding. Pernak-pernik bayi dan pakaian wanita ada di lemari kaca. Rasanya Chiara seperti menghadiri undangan ke museum masa lalu Yanuar Atmajaya.Tanpa debu yang terkesan seperti harta karun, ruangan itu seakan sengaja dibersihkan sebelu
Chiara berdeham pelan, meski tubuhnya sempat membeku ketika ditawari hal tak terduga dari tuannya. Tepat di sana, ia langsung sadar saat mendapati seringai jelas menghias di wajah Yanuar. Tentu saja, pria itu sedang bergurau, tanpa ada keseriusan yang terjalin.“Nggak kebalik ya, Pak?” Chiara menantang, perlahan.“Kebalik gimana?” Sekarang Yanuar dibuat bingung.Gadis itu terkekeh. “Bapak bilang cuma saya yang berhasil buat Bapak bangun setelah bertahun-tahun, ‘kan? Bukannya jelas ya kalau Bapak yang harusnya jatuh cinta sama saya?”Dan perkataan itu sukses besar membungkam mulut Yanuar. Chiara kembali melanjutkan pekerjaannya, mencopoti semua foto dan membiarkan tuannya mendengkus jengkel tanpa kata.Hingga kemudian, setelah beberapa waktu, Yanuar angkat bicara, “Chiara, kamu ini benar-benar ya!”Chiara pun tergelak ketika menyaksikan wajah Yanuar yang bersemu merah. Layaknya kepiting rebus. Lucu sekali.“Diam! Jangan ketawa!” sembur Yanuar. “Kamu ngeledek saya?”Setelah tawanya red
Punggung kecil Chiara lenyap usai pintu ruang kerjanya ditutup. Ia bisa merasakan aroma sedap dari kotak makan yang sengaja gadis itu bawa atas permintaannya. Namun, entah mengapa titik fokusnya tidak lagi jatuh pada makanan, melainkan gerak-gerik Chiara kemarin sore. Gadis itu hanya menatapnya lama sebelum menggeleng. Jelas menolak candaan Leona yang asal menjodoh-jodohkannya dengan Chiara. Sejauh ini, ia belum bisa menjawab pertanyaan yang sempat Chiara ajukan di ruangan lantai dua rumahnya. Ia merasa hubungan antara bawahan dan atasan tak bisa melebihi itu. Meskipun ia sempat menjelaskan jika cinta bisa jatuh pada siapa pun tanpa melihat level. “Aaarrggh! Bisa gila gue lama-lama!” Yanuar memekik sambil meremas surainya. Tanpa ia sadari suaranya berhasil membuat Yabes datang dengan langkah tergopoh. “Kenapa, Bos?” tanyanya panik. “Gunanya pintu buat apa, sih, kalau lo kerjaannya nyelonong begitu?” keluh Yanuar jengkel bukan main. Namun Yabes seakan tak peduli. Malah mendekati
Ini sudah ke sekian kalinya Yanuar menelepon Chiara, tapi gagal karena ponsel gadis itu tidak aktif. Mengingat hujan semakin deras, ia akhirnya memutuskan pergi ke kampus Chiara sebelum pulang. Segera ia perintahkan sopir pribadinya untuk berangkat ke tempat tujuan.Sepanjang perjalanan, selain kembali berusaha, Yanuar juga memastikan keberadaan Chiara di rumah melalui pekerjanya. Ingin meminta tolong Leona untuk memantau, tapi pikirannya masih teringat soal ucapan Yabes tadi. Adiknya itu mudah sekali membocorkan segala sesuatunya ke orang lain.Daripada menjadi bahan ceng-cengan, lebih baik ia meminta bantuan orang lain saja. Seperti tukang kebun di rumah, misalnya.“Ini parkir di mana, Pak?” tanya sopir begitu memasuki pelataran kampus.Yanuar menunjuk ke area parkir yang dekat bersebalahan dengan parkir roda dua. Tak banyak aktivitas di sana lantaran hujan seperti air tumpah dari langit. Kemungkinan besar mahasiswa sedang meneduh di gedung atau kantin sembari menunggu reda, sebelum
Beberapa hari terakhir mulai memasuki musim penghujan. Langit mendung dengan awan putih tebal menyambut hari Chiara setiap keluar rumah saat hendak pergi ke kampus. Ia tak hanya harus terbiasa dengan pergantian musim, tapi juga pengingat yang kerap didengarnya setiap waktu. Misalnya saja seperti sekarang ini. Setelah menyajikan sarapan untuk tuannya di meja makan, ia diminta duduk menemani. Sekalipun Leona juga akan bergabung, tetap saja Yanuar menginginkannya duduk di sana. Lalu kata-kata muncul dari mulut pria itu. “Payungnya jangan lupa,” katanya. “Jaket atau hoodie udah kamu bawa, ‘kan?” Chiara hanya bergumam mengiyakan bersama anggukan pelan. Ia tak membalas tatapan sang tuan karena enggan merasakan debaran aneh di dada. Lantas ia memilih sibuk menyantap nasi goreng ke mulutnya. “Kalau hujannya deras, nanti sopir saya yang jemput. Kecuali saya lembur, baru saya ikut ke kampus kamu,” tambah Yanuar, mengulang kalimatnya beberapa hari terakhir ini. “Pak, kayaknya saya bisa pula
“Pak, kayaknya saya nggak bisa deh antar makanan lagi sampai ke ruangan Bapak begini setiap hari.”Yanuar menoleh cepat pada Chiara dari layar komputer di hadapannya. “Apa maksud kamu?”Alih-alih menjawab, Chiara malah menggaruk tengkuknya karena bingung. Dari sana Yanuar mengambil celah untuk melanjutkan bicara.“Kamu menolak perintah saya yang kelewat mudah begini?”“B-bukan kayak gitu, Pak.” Chiara mengibaskan tangan panik.“Terus apa?”Yanuar yang memang tak sabaran, akhirnya beranjak dari tempat duduk dan melangkah mendekati Chiara. Ia meminta gadis itu menempati sofa panjangnya untuk menjelaskan lebih detail inti perkaranya.“Apa tugas saya terlalu berat sampai kamu keberatan begini? Jangan-jangan kamu udah mulai mengikuti saran Lele ya?” cecar Yanuar dengan segala hal yang terlintas di pikiran. “Sejak kapan kamu pacaran sama Dimas?”“Dari mana Bapak tahu nama Dimas?” Tatapan Chiara berubah menyelidik. “Saya nggak pernah bilang soal Dimas ke Bapak padahal.”Mata Yanuar bergerak