Sepanjang hidupnya selama 23 tahun ini, Chiara belum pernah menjumpai perkataan dari seorang pria yang menyangkut perasaan. Apalagi menyebabkan jantungnya berdebar tak karuan. Ia berdeham pelan beberapa kali demi mengubah wajahnya yang mungkin terlihat tegang.“Saya nggak mau jadi ani-ani.” Chiara menandaskan begitu saja tanpa berpikir lebih dulu.“Hah?” Kening Yanuar mengernyit dalam. “Kok malah ngomongin ani-ani?”Sungguh Yanuar tak mengerti arah pembicaraan ini berkelok pada pengakuan Chiara yang menolak menjadi simpanan untuk ke sekian kali. Memangnya sejak kapan ia ingin menjadikan gadis itu sebagai wanita simpanan? Terpikirkan pun tak pernah.Chiara menyandarkan punggung ke badan kursi sambil bersidekap. “Dari ucapan Bapak aja bisa ditarik kesimpulan kalau Bapak akan beriu penawaran setelah ini, ‘kan?”Napas Yanuar terhela berat. Pandangannya teralih ke arah belakang Chiara yang menampakkan pelanggan tengah menikmati makanan. “Jangan berpikiran macam-macam, saya nggak mungkin be
Suatu hal yang mustahil jika Chiara mengabaikan kata-kata Joko tadi. Meski kelihatannya ia cuek dan bertingkah seperti biasa, tapi siapa sangka dalam lubuk hatinya justru banyak yang dipendam. Termasuk perasaan tak terimanya itu.Ketika Yanuar memintanya menyantap makanan di piring, Chiara mengangguk pelan. Lidahnya hambar, nafsu makannya hilang. Ia tak percaya jika istilah wanita murahan menjadi nama tengahnya kini. Hanya karena ia menjabat sebagai asisten rumah tangga seorang duda kaya raya.Memang apa salahnya jika bekerja seperti ini? Mengapa ia mendapat kesan buruk dan serba negatif lebih dari pelakor di luaran sana, sih? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bercokol di kepala. Hingga tangannya tersentak saat Yanuar tak sengaja menyenggolnya.“Bukannya tadi kamu bilang kalau orang macam dia sebaiknya dibiarkan?” ujar Yanuar setelah menelan kunyahan di mulutnya. “Terus kenapa sekarang kamu sendiri yang banyak pikiran? Selama apa yang dia bilang melenceng jauh, jangan dihiraukan. Buang-
Setelah menyerahkan makanan dari Yanuar pada Leona, Chiara mengayunkan langkah menuju ruang tamu. Ia baru sadar tak sengaja menjatuhkan selembar kertas yang berisi materi presentasinya tadi.Kaki yang hendak menginjak ubin di teras terpaksa terhenti ketika suara lantang Yanuar terdengar. Tatapan Chiara pun bergerak ke sumber suara, tampak tuannya tengah beradu mulut dengan seorang wanita berkelas di sana.“Sebaiknya jangan didengar,” bisik Leona yang mendadak sudah berdiri di sisinya sekarang. “Ayo masuk, kita makan camilan di dalam.”Wanita muda itu menyeret Chiara yang masih bertanya-tanya dengan kejadian tadi. Yanuar terlihat frustasi dan lelah menghadapi mertuanya itu. Mungkin Yanuar dimarahi karena kedapatan menggandeng asisten sepertinya di muka umum.“Ibu-ibu itu … mertuanya Pak Yanu ya, Mbak Le?” tanya Chiara akhirnya.Leona menoleh, bibirnya menyunggingkan senyum samar bersamaan dengan anggukan kepala. “Biarkan aja Kak Yanu menyelesaikan semuanya sendiri, kalau—“Perkataan Le
Chiara tak perlu meminta izin masuk ke kamar Yanuar karena pria itu tak lagi berada di dalam. Dengan gesit dan kepiawaiannya, Chiara menyiapkan air hangat di bathup untuk berendam sang tuan. Beberapa kali jemarinya masuk ke dalam untuk memastikan suhunya pas.Sebelum bangkit dari posisi jongkoknya, jemari Chiara mengerat di pinggiran bak porselen itu. Potongan memorinya menjelajah ke momen di mana Leona sangat bersyukuru atas kemajuan Yanuar yang tak lagi membatasi diri.Namun, mengapa orang yang pertama kali diperlakukan Yanuar adalah dirinya? Mengapa bukan wanita cantik dan berkelas seperti Lily yang jelas akan dijodohkan dengan tuannya?“Mau mandi bareng?”Suara berat itu menghujam sesi melamun Chiara di kamar mandi. Ia menoleh ke sumber suara dan menangkap Yanuar sudah berdiri di hadapannya. Tampilannya masih sama seperti tadi, hanya saja pasang mata itu memerah. Menyiratkan kesedihan yang mendalam karena pemiliknya menangis lagi untuk ke sekian kali.Chiara mencoba memahami. Seba
Chiara kontan mengerutkan alis beberangan dengan bibirnya yang mengerucut. Menandakan gadis itu jengkel sudah digoda atasannya yang asal-asalan. Sebelum melanjutkan menaiki anak tangga, ia mendorong dada Yanuar dan melewatinya kesal.Bersama perasaannya yang tak habis pikir itu, kakinya dihentak-hentakkan seperti balita tantrum. Yanuar terkekeh geli melihatnya. Ia semakin ingin menjahili gadis itu lagi dan lagi.Namun, waktunya belum sesuai. Yanuar menyusul dan melangkah cepat untuk mengarahkan si gadis ke suatu ruangan yang kerap ia kunci ketika pergi. Saat itu keadaannya tak terkunci sama sekali, Yanuar membukakan pintu dan mempersilakan Chiara masuk.Gadis berusia 23 tahun itu mematung saat mendapati banyak potret foto tertempel di beberapa bagian dinding. Pernak-pernik bayi dan pakaian wanita ada di lemari kaca. Rasanya Chiara seperti menghadiri undangan ke museum masa lalu Yanuar Atmajaya.Tanpa debu yang terkesan seperti harta karun, ruangan itu seakan sengaja dibersihkan sebelu
Chiara berdeham pelan, meski tubuhnya sempat membeku ketika ditawari hal tak terduga dari tuannya. Tepat di sana, ia langsung sadar saat mendapati seringai jelas menghias di wajah Yanuar. Tentu saja, pria itu sedang bergurau, tanpa ada keseriusan yang terjalin.“Nggak kebalik ya, Pak?” Chiara menantang, perlahan.“Kebalik gimana?” Sekarang Yanuar dibuat bingung.Gadis itu terkekeh. “Bapak bilang cuma saya yang berhasil buat Bapak bangun setelah bertahun-tahun, ‘kan? Bukannya jelas ya kalau Bapak yang harusnya jatuh cinta sama saya?”Dan perkataan itu sukses besar membungkam mulut Yanuar. Chiara kembali melanjutkan pekerjaannya, mencopoti semua foto dan membiarkan tuannya mendengkus jengkel tanpa kata.Hingga kemudian, setelah beberapa waktu, Yanuar angkat bicara, “Chiara, kamu ini benar-benar ya!”Chiara pun tergelak ketika menyaksikan wajah Yanuar yang bersemu merah. Layaknya kepiting rebus. Lucu sekali.“Diam! Jangan ketawa!” sembur Yanuar. “Kamu ngeledek saya?”Setelah tawanya red
Punggung kecil Chiara lenyap usai pintu ruang kerjanya ditutup. Ia bisa merasakan aroma sedap dari kotak makan yang sengaja gadis itu bawa atas permintaannya. Namun, entah mengapa titik fokusnya tidak lagi jatuh pada makanan, melainkan gerak-gerik Chiara kemarin sore. Gadis itu hanya menatapnya lama sebelum menggeleng. Jelas menolak candaan Leona yang asal menjodoh-jodohkannya dengan Chiara. Sejauh ini, ia belum bisa menjawab pertanyaan yang sempat Chiara ajukan di ruangan lantai dua rumahnya. Ia merasa hubungan antara bawahan dan atasan tak bisa melebihi itu. Meskipun ia sempat menjelaskan jika cinta bisa jatuh pada siapa pun tanpa melihat level. “Aaarrggh! Bisa gila gue lama-lama!” Yanuar memekik sambil meremas surainya. Tanpa ia sadari suaranya berhasil membuat Yabes datang dengan langkah tergopoh. “Kenapa, Bos?” tanyanya panik. “Gunanya pintu buat apa, sih, kalau lo kerjaannya nyelonong begitu?” keluh Yanuar jengkel bukan main. Namun Yabes seakan tak peduli. Malah mendekati
Ini sudah ke sekian kalinya Yanuar menelepon Chiara, tapi gagal karena ponsel gadis itu tidak aktif. Mengingat hujan semakin deras, ia akhirnya memutuskan pergi ke kampus Chiara sebelum pulang. Segera ia perintahkan sopir pribadinya untuk berangkat ke tempat tujuan.Sepanjang perjalanan, selain kembali berusaha, Yanuar juga memastikan keberadaan Chiara di rumah melalui pekerjanya. Ingin meminta tolong Leona untuk memantau, tapi pikirannya masih teringat soal ucapan Yabes tadi. Adiknya itu mudah sekali membocorkan segala sesuatunya ke orang lain.Daripada menjadi bahan ceng-cengan, lebih baik ia meminta bantuan orang lain saja. Seperti tukang kebun di rumah, misalnya.“Ini parkir di mana, Pak?” tanya sopir begitu memasuki pelataran kampus.Yanuar menunjuk ke area parkir yang dekat bersebalahan dengan parkir roda dua. Tak banyak aktivitas di sana lantaran hujan seperti air tumpah dari langit. Kemungkinan besar mahasiswa sedang meneduh di gedung atau kantin sembari menunggu reda, sebelum