“Pak Yanuar nggak berhenti teleponin gue, Chia.” Yaya mengangsurkan ponselnya yang saat itu berdering, menunjukkan nama Yanuar terlihat di layar menyala. Ucapan Yaya benar adanya dan Chiara menelan ludah karenanya. "Chia? Mau sampai kapan?"Chiara menghela napas panjang. Kepalanya bergerak ke sisi kanan, mengalihkan pandangan dari Yaya sekaligus mengabaikan pertanyaan yang diajukan padanya kesekian kali.Mereka tak lagi berada di area foodcourt atau di depan restoran mewah yang dimasuki Yanuar tadi. Alih-alih menemui sang suami ke dalam, Chiara justru memenuhi keinginan gerak kaki yang membawanya pergi menjauh hingga keluar dari gedung mall. Sepanjang perjalanan tadi, Yaya terus mengomel dan menanyakan hal sama, tapi Chiara tetap mendiamkannya.“Lo udah kasih jarak sejauh ini, Chia,” Yaya berujar pelan, tapi terdengar cemas. “Soal perempuan yang masuk bareng Pak Yanuar tadi jangan dipikirin banget. Siapa tahu dia klien. Lagian ada Pak Yabes juga yang ikut, jadi suami lo nggak berduaan
Kata maaf yang dilontarkan Chiara sebelum memejamkan matanya urung ditanggapi Yanuar hingga tiba di rumah. Bahkan ketika Chiara merasakan kepalanya bersandar di bantal empuk, seprei dengan aroma floral segar, juga kelembutan selimut yang berada di atas tubuhnya, balasan Yanuar belum jua terdengar.Mata Chiara terbuka perlahan, lalu mengerjap sambil satu tangan mengucek lembut. Kemampuan melihatnya cukup baik saat itu hingga dapat menyaksikan sang suami berdiri memunggunginya tengah melepaskan tiap kancing kemeja. Chiara bangkit duduk, belum mengalihkan pandangan dari punggung terbuka dengan otot-otot kencang di sana.Chiara menelan ludah kepayahan. Wajahnya panas karena pikirannya terbawa pada momen-momen bergairah yang sempat terjadi belum lama ini di rumah orang tuanya. Sampai kemudian, si pemilik tubuh kekar itu berbalik dan menatapnya lurus.“Kok bangun?” tanya Yanuar seraya mendekatinya ke ranjang. “Tidur lagi aja.”Alih-alih menjawab, Chiara menyingkap selimut dan hendak turun d
“Ada masalah?”Chiara hampir terjatuh karena suara Yanuar yang mengejutkannya. Pria itu baru keluar dari kamar mandi saat ia berusaha mengenakan branya. Rasanya tak nyaman bangkit dari tidur dengan kondisi tubuh tanpa busana begini. “Oh, ini ….” Chiara gugup saat menjawab pertanyaan Yanuar. Sekalipun mereka sudah menikah dan akan memiliki anak, Chiara masih belum begitu terbuka mengungkapkan apa yang dirasakannya. Terutama yang berkaitan dengan tubuhnya sendiri. Yanuar sudah beringsut mendekat. Setengah tubuhnya yang hanya dibalut handuk itu berdiri di hadapan Chiara. “Kenapa? Kamu perlu sesuatu?” Dua tangan Yanuar hinggap di pundak Chiara.Chiara mengulas senyum tipis, tangannya masih dalam posisi mengaitkan bra, tapi kesulitan. Akhirnya, ia menyerah begitu melihat tatapan Yanuar yang penuh tanda tanya. “I-ini, Mas,” katanya lirih.Tatapan Yanuar bergerak mengikuti arahan Chiara dan kepalanya mengangguk tak lama kemudian. “Mau aku bantu?” tawarnya diselipi dehaman. “Sini.”Yanuar
“Suka?”Chiara sontak mendongak dan menatap Yanuar sambil tersenyum lebar. Di hadapannya sudah ada beberapa kantung belanjaan yang berisi bra. Benar, hanya bra dan Yanuar yang membelinya tanpa mengeluh dari A hingga Z.“Tapi … apa harus sebanyak ini?” Chiara tertegun mendapati banyak sekali belanjaan itu. Seumur-umur, ia hanya membeli satu atau dua buah ketika memiliki uang lebih. “Ini ukurannya juga beda ya?”Yanuar mengangguk ringan. “Sengaja beli dua. Kata salesnya begitu. Biar nanti kalau ukuranmu berubah lagi, udah ada yang bisa dipakai,” ungkapnya dengan sedikit berdehem.“Oh.” Chiara mengambil satu kantung dan merogoh ke dalam. Ia meraih sebuah bra berwarna merah marun yang kontras dengan warna kulit cerahnya. “Ini bagus. Pasti malah ya, Mas?”Di sisinya Yanuar berdecak pelan. Lalu menyentuh pundaknya. “Kamu tuh jangan mikirin harga, semua kebutuhan kamu dan anak kita udah aku tanggung.”“Iya, tapi kalau ada yang lebih murah, beli yang murah aja nggak pa-pa—”“Chia.” Yanuar mem
Yanuar menegang begitu keluar dari ruang kerjanya setelah melakukan rapat online sekitar dua jam belakangan ini. Dari tempatnya berdiri, ia menangkap Chiara sedang mengaduk-aduk gelas berisi susu coklat yang asapnya masih mengepul. Perlahan Yanuar melangkah mendekat dan melontarkan tanya, “Nggak jadi belanja sama Mbok?”Yanuar berjalan mengitari meja bar untuk duduk di samping Chiara. Istrinya tampak kesal dan kemungkinan menjaga jarak dengannya lagi. Padahal hubungan mereka sudah kembali menghangat karena kejadian semalam, tapi semua terlihat sia-sia.“Bukannya dilarang?” sindir Chiara terus terang. Ia hendak turun dari stool yang kemudian ditahan Yanuar menggunakan sergapan tangannya. “Mas!”Yanuar menyuguhkan raut datar tanpa bersalah sama sekali. Tangannya tak segan-segan meremas paha Chiara dan menyelipkan jemari di antara dua paha keras itu. Tak peduli pemiliknya makin kesal dan mendelik tajam ke arahnya.“Mas, lepas!” Chiara kini turun tangan. Mencoba mengalihkan remasan Yanua
Khusus akhir pekan ini Yanuar sudah memiliki agenda yang sifatnya wajib. Chiara pun tahu hal itu dan tak keberatan. Dan di Sunrise Lounge Yanuar berada, bersama Yabes yang ikut serta. Yanuar hanya mengenakan kaos polo dan celana khaki selutut, juga sandal yang dibelinya sewaktu bulan madu lalu. Ia mengangkat tangan begitu menangkap rekan-rekannya sudah menempati meja besar yang di-booking sebulan lalu. "Sendiri?" Leo bertanya padanya dan melirik ke belakang, lebih tepatnya pintu masuk. Seakan menanti kehadiran seseorang. Yanuar mengedik pada sepupu jauhnya yang sudah duduk lebih dulu. "Gue sama Yabes." "Istri lo ... nggak ikut?" Yanuar berdecak sebelum akhirnya duduk. "Perasaan nggak ada kewajiban buat bawa istri ke pertemuan begini," balasnya setengah malas. "Jangan-jangan lo malu karena istri lo itu bukan dari kalangan kita?" Rein menimpali dengan tatapan piciknya. Hal itu sukses memicu emosi Yanuar. Ia menatap tajam wanita yang duduk di sisi Lily. "Malu?" ulangnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi di antara kamu dan Rein?" Yanuar menghela napas pendek. Sejak Sukma datang tiba-tiba ke rumah tanpa pemberitahuan sama sekali, ia sudah menduga ada yang tak beres. Setidaknya ada pihak yang mengadu dan menyeret namanya agar terlihat buruk. Ya, contohnya seperti ini. Tak heran kabar remeh begini mudah menyebar. Apalagi dari orang-orang yang memiliki banyak koneksi dan uang. "Yanu, kamu dengar Mami?" Mengangkat wajah dari berkas di tangan, Yanuar membalas tatapan Sukma. Ia menarik diri ke belakang, menyandarkan punggung demi bisa tenang dalam menghadapi ibunya kali ini. "Pertemuan kalian lancar aja, 'kan?" Sukma menambahkan seraya duduk di seberang meja Yanuar. "Mami sempat tanya ke Yabes kalau memang ada sedikit masalah, tapi dia nggak jelasin panjang lebar dan minta Mami buat tanya langsung ke kamu. Jadi, sebenarnya ada apa, Nu?" Yanuar membasahi bibir sebelum bicara, "Kalau aku cabut dari pertemuan itu, nggak masalah, kan, Mi?" "Apa?" Kerut
Menjadi istri rupanya tak hanya melayani suami. Terlebih status Chiara bukan menjadi istri dari pria biasa, tapi CEO yang memiliki banyak tugas dan kewajiban besar. Sekarang beban pundaknya kian berat begitu menyadari omongan dari sekitar.Ia bisa mengabaikan ucapan buruk dari rekan KKN-nya beberapa waktu lalu, tapi tidak dengan ibu mertuanya. Sukma memang tidak membencinya dengan segala gaya berpakaiannya selama ini, hanya saja ucapan wanita itu masih terngiang di kepala. Bagaimana Sukma mengharapkannya lebih baik dan mencerminkan seorang istri dari kalangan atas.Di depannya kini sudah ada tumpukan pakaian. Beberapanya menggantung, tapi semua itu sudah cukup menggambarkan bagaimana dirinya. Chiara meringis prihatin. "Ini, sih, jauh dari kata baik. Apalagi layak jadi istri Yanuar Atmajaya," gumamnya pendek. Lalu mengesah kasar sambil menggeleng tak habis pikir. "Pakaian yang aku beli obralan nggak sepadan sama cerminan keluarga suamiku. Mungkin harus pakai yang branded dan serba mah