Yanuar menegang begitu keluar dari ruang kerjanya setelah melakukan rapat online sekitar dua jam belakangan ini. Dari tempatnya berdiri, ia menangkap Chiara sedang mengaduk-aduk gelas berisi susu coklat yang asapnya masih mengepul. Perlahan Yanuar melangkah mendekat dan melontarkan tanya, “Nggak jadi belanja sama Mbok?”Yanuar berjalan mengitari meja bar untuk duduk di samping Chiara. Istrinya tampak kesal dan kemungkinan menjaga jarak dengannya lagi. Padahal hubungan mereka sudah kembali menghangat karena kejadian semalam, tapi semua terlihat sia-sia.“Bukannya dilarang?” sindir Chiara terus terang. Ia hendak turun dari stool yang kemudian ditahan Yanuar menggunakan sergapan tangannya. “Mas!”Yanuar menyuguhkan raut datar tanpa bersalah sama sekali. Tangannya tak segan-segan meremas paha Chiara dan menyelipkan jemari di antara dua paha keras itu. Tak peduli pemiliknya makin kesal dan mendelik tajam ke arahnya.“Mas, lepas!” Chiara kini turun tangan. Mencoba mengalihkan remasan Yanua
Khusus akhir pekan ini Yanuar sudah memiliki agenda yang sifatnya wajib. Chiara pun tahu hal itu dan tak keberatan. Dan di Sunrise Lounge Yanuar berada, bersama Yabes yang ikut serta. Yanuar hanya mengenakan kaos polo dan celana khaki selutut, juga sandal yang dibelinya sewaktu bulan madu lalu. Ia mengangkat tangan begitu menangkap rekan-rekannya sudah menempati meja besar yang di-booking sebulan lalu. "Sendiri?" Leo bertanya padanya dan melirik ke belakang, lebih tepatnya pintu masuk. Seakan menanti kehadiran seseorang. Yanuar mengedik pada sepupu jauhnya yang sudah duduk lebih dulu. "Gue sama Yabes." "Istri lo ... nggak ikut?" Yanuar berdecak sebelum akhirnya duduk. "Perasaan nggak ada kewajiban buat bawa istri ke pertemuan begini," balasnya setengah malas. "Jangan-jangan lo malu karena istri lo itu bukan dari kalangan kita?" Rein menimpali dengan tatapan piciknya. Hal itu sukses memicu emosi Yanuar. Ia menatap tajam wanita yang duduk di sisi Lily. "Malu?" ulangnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi di antara kamu dan Rein?" Yanuar menghela napas pendek. Sejak Sukma datang tiba-tiba ke rumah tanpa pemberitahuan sama sekali, ia sudah menduga ada yang tak beres. Setidaknya ada pihak yang mengadu dan menyeret namanya agar terlihat buruk. Ya, contohnya seperti ini. Tak heran kabar remeh begini mudah menyebar. Apalagi dari orang-orang yang memiliki banyak koneksi dan uang. "Yanu, kamu dengar Mami?" Mengangkat wajah dari berkas di tangan, Yanuar membalas tatapan Sukma. Ia menarik diri ke belakang, menyandarkan punggung demi bisa tenang dalam menghadapi ibunya kali ini. "Pertemuan kalian lancar aja, 'kan?" Sukma menambahkan seraya duduk di seberang meja Yanuar. "Mami sempat tanya ke Yabes kalau memang ada sedikit masalah, tapi dia nggak jelasin panjang lebar dan minta Mami buat tanya langsung ke kamu. Jadi, sebenarnya ada apa, Nu?" Yanuar membasahi bibir sebelum bicara, "Kalau aku cabut dari pertemuan itu, nggak masalah, kan, Mi?" "Apa?" Kerut
Menjadi istri rupanya tak hanya melayani suami. Terlebih status Chiara bukan menjadi istri dari pria biasa, tapi CEO yang memiliki banyak tugas dan kewajiban besar. Sekarang beban pundaknya kian berat begitu menyadari omongan dari sekitar.Ia bisa mengabaikan ucapan buruk dari rekan KKN-nya beberapa waktu lalu, tapi tidak dengan ibu mertuanya. Sukma memang tidak membencinya dengan segala gaya berpakaiannya selama ini, hanya saja ucapan wanita itu masih terngiang di kepala. Bagaimana Sukma mengharapkannya lebih baik dan mencerminkan seorang istri dari kalangan atas.Di depannya kini sudah ada tumpukan pakaian. Beberapanya menggantung, tapi semua itu sudah cukup menggambarkan bagaimana dirinya. Chiara meringis prihatin. "Ini, sih, jauh dari kata baik. Apalagi layak jadi istri Yanuar Atmajaya," gumamnya pendek. Lalu mengesah kasar sambil menggeleng tak habis pikir. "Pakaian yang aku beli obralan nggak sepadan sama cerminan keluarga suamiku. Mungkin harus pakai yang branded dan serba mah
"Jangan biarkan istrimu banyak pikiran, Mami takut sesuatu yang buruk mempengaruhi kandungannya. Jangan sampai Chiara stress, Nu."Didapatinya pesan Mami sebelum pergi pulang bukanlah perkara sepele. Yanuar menyakini sesuatu telah terjadi selama acara berbelanja seharian ini. Dan sudah dipastikan ada kaitannya dengan Chiara.Belum sempat Yanuar meminta penjelasan lebih pada ibunya, Mami harus cepat-cepat pulang mengingat Papi memerlukannya di rumah. Sekarang, Yanuar hanya memandangi punggung Chiara yang bergerak selagi sibuk memperlihatkan hasil belanjanya. Sesuatu yang jarang Yanuar jumpai pada diri istrinya."Kamu kelihatan senang hari ini," celetuk Yanuar menyingkirkan hening di kamar mereka. "Ya, sebaliknya sama Mas yang uangnya udah aku habiskan puluhan juta," tukas Chiara enteng. Tak sesantai biasanya ketika diminta belanja. "Lihat, aku beli banyak pakaian. Walapun sayang karena sebentar lagi perutku membesar dan buat pakaian-pakaian ini nggak pas di badanku."Yanuar duduk di t
137.Perutnya begah bukan karena kebanyakan makan atau minum. Chiara hanya muak melihat kelakuan teman-teman KKN-nya yang bisa dibilang kelewat memanfaatkan kebaikan Yanuar. Belum lama ini, Yanuar resmi memberikan sebuah transportasi gratis pada kelompok KKN-nya. Ditambah makanan selama perjalanan menuju posko yang jumlahnya cukup banyak.Chiara sudah berusaha mengingatkan, tapi omongannya seperti angin lalu. Ia pun menyerah daripada memberikan pertunjukan debat kecil di hadapan banyak orang.“Semua beres!” terang Yanuar seraya merangkul pundak Chiara. Pria itu sebelumnya sibuk memperlihatkan beberapa fasilitas kendaraan pada teman-teman Chiara di halaman depan rumah mereka. “Teman-teman kamu bisa berangkat besok pagi sesuai rencana awal.”Kening Chiara mengkerut. “Dan aku juga termasuk,” ralatnya sedikit menekan.“Lo bisa datang besok siang atau sorenya, Chia.” Si ketua yang beradu mulut dengannya beberapa waktu lalu kini angkat suara dengan wajah pongah yang sungguh menyebalkan. “Pa
Bisa dibilang Yanuar cukup ngeri begitu melewati kawasan yang akan ditinggali istrinya selama sebulan lebih ke depan. Sepi, seperti hutan rimba. Pemukiman warga pun tampak banyak dijeda oleh pekarangan luas. Hanya jalan utama yang jaraknya cukup jauh itu diaspal, sisanya masih tanah dan rerumputan tipis di tengah.Perlahan Yanuar mengendarai mobil, sesekali ia celingak-celinguk ke kanan-kiri. Meneliti jalanan juga keadaan sekeliling yang cukup membuatnya was-was.“Di sini aman,” timpal Chiara mendadak seakan tahu isi kepalanya sekarang. “Ada lampu jalan, kok. Ya, walaupun jaraknya lumayan. Niatnya proker KKN-ku nanti ada pembuatan tambahan lampu jalan, biar bantu warga tiap kali lewat jalan ini pas malam-malam.”Refleks Yanuar menoleh, meringis kaku. “Kamu adakan pembuatan lampu tambahan?”“Yeap.” Chiara mengangguk santai di atas tempat duduknya. “Kami survei sekalian cari apa-apa yang harus dikembangkan di desa ini, Mas.”“Aku baru tahu tugas KKN ternyata seribet itu.”“Biar ribet, t
“Astaga, HP-ku ketinggalan!”Chiara sibuk menggerayangi bagian saku celana setelah mengaduk isi tasnya yang hanya ada buku catatan serta dompet. Ia melupakan benda pipih yang teramat penting itu.“Kita nggak mungkin balik ke posko sekarang, Chia,” sahut Abas yang kedapatan mengemudikan motor. Pemuda itu sampai harus berhenti sejenak di depan minimarket demi membelikan air minum untuk teman KKN-nya yang sedang mengandung. “Toh urusan kita sama yang lain cuma buat beli bahan makanan. Nggak masalah kalau lo nggak bawa HP.”Chiara menggeleng cepat sambil menatap kesal Abas. “Justru ini masalah besar!” terangnya mati-matian. “Kalau nggak ada HP, gue nggak bisa kasih kabar suami gue! Udah dari pagi gue nggak kasih kabar dia lagi, duh!”Sambil menekuri kecerobohannya, Chiara menepuk jidat beberapa kali. Ia menyalahkan diri sendiri dan membayangkan betapa khawatirnya Yanuar sekarang. Pasti pria itu rela datang dan melakukan apa saja asal mendapat kabar darinya.“Naik dulu, Chia,” tegur Abas s