“Itu ... nggak diangkat?”Chiara memberengut ketika ditanya Yaya soal ponselnya yang terus berdering karena panggilan telepon. Namun ia abaikan kesekian kali begitu tahu siapa peneleponnya. Ya, memang siapa lagi kalau bukan Yanuar?Chiara sudah memprediksi hal ini akan terjadi. Yanuar pasti kelimpungan setelah sadar istrinya berangkat ke kampus lebih awal tanpa sarapan di rumah dan ditambah tidak diantar sopir—seperti biasanya. Kendati demikian, Chiara tak peduli. Ia masih gondok dan sulit mengontrol kekesalannya kali ini, walau si suami mulai terlihat berusaha maksimal.“Bukannya itu dari Pak Yanu? Suami lo sendiri lho, Chia.” Yaya mengimbuhkan dengan raut bingung juga penasaran.“Gue lagi nggak mau ngobrol sama dia.” Chiara memasukkan ponsel ke tas setelah mengubah mode pesawat. “Nggak mood.”“Yakin?” Yaya memiringkan kepala, berusaha menemukan satu titik keraguan dari gelagat Chiara. “Apa bawaan hamil bisa buat suasana hati berubah sedrastis itu ya?”Chiara mendesah panjang. “Kayak
“Pak Yanuar nggak berhenti teleponin gue, Chia.” Yaya mengangsurkan ponselnya yang saat itu berdering, menunjukkan nama Yanuar terlihat di layar menyala. Ucapan Yaya benar adanya dan Chiara menelan ludah karenanya. "Chia? Mau sampai kapan?"Chiara menghela napas panjang. Kepalanya bergerak ke sisi kanan, mengalihkan pandangan dari Yaya sekaligus mengabaikan pertanyaan yang diajukan padanya kesekian kali.Mereka tak lagi berada di area foodcourt atau di depan restoran mewah yang dimasuki Yanuar tadi. Alih-alih menemui sang suami ke dalam, Chiara justru memenuhi keinginan gerak kaki yang membawanya pergi menjauh hingga keluar dari gedung mall. Sepanjang perjalanan tadi, Yaya terus mengomel dan menanyakan hal sama, tapi Chiara tetap mendiamkannya.“Lo udah kasih jarak sejauh ini, Chia,” Yaya berujar pelan, tapi terdengar cemas. “Soal perempuan yang masuk bareng Pak Yanuar tadi jangan dipikirin banget. Siapa tahu dia klien. Lagian ada Pak Yabes juga yang ikut, jadi suami lo nggak berduaan
Kata maaf yang dilontarkan Chiara sebelum memejamkan matanya urung ditanggapi Yanuar hingga tiba di rumah. Bahkan ketika Chiara merasakan kepalanya bersandar di bantal empuk, seprei dengan aroma floral segar, juga kelembutan selimut yang berada di atas tubuhnya, balasan Yanuar belum jua terdengar.Mata Chiara terbuka perlahan, lalu mengerjap sambil satu tangan mengucek lembut. Kemampuan melihatnya cukup baik saat itu hingga dapat menyaksikan sang suami berdiri memunggunginya tengah melepaskan tiap kancing kemeja. Chiara bangkit duduk, belum mengalihkan pandangan dari punggung terbuka dengan otot-otot kencang di sana.Chiara menelan ludah kepayahan. Wajahnya panas karena pikirannya terbawa pada momen-momen bergairah yang sempat terjadi belum lama ini di rumah orang tuanya. Sampai kemudian, si pemilik tubuh kekar itu berbalik dan menatapnya lurus.“Kok bangun?” tanya Yanuar seraya mendekatinya ke ranjang. “Tidur lagi aja.”Alih-alih menjawab, Chiara menyingkap selimut dan hendak turun d
“Ada masalah?”Chiara hampir terjatuh karena suara Yanuar yang mengejutkannya. Pria itu baru keluar dari kamar mandi saat ia berusaha mengenakan branya. Rasanya tak nyaman bangkit dari tidur dengan kondisi tubuh tanpa busana begini. “Oh, ini ….” Chiara gugup saat menjawab pertanyaan Yanuar. Sekalipun mereka sudah menikah dan akan memiliki anak, Chiara masih belum begitu terbuka mengungkapkan apa yang dirasakannya. Terutama yang berkaitan dengan tubuhnya sendiri. Yanuar sudah beringsut mendekat. Setengah tubuhnya yang hanya dibalut handuk itu berdiri di hadapan Chiara. “Kenapa? Kamu perlu sesuatu?” Dua tangan Yanuar hinggap di pundak Chiara.Chiara mengulas senyum tipis, tangannya masih dalam posisi mengaitkan bra, tapi kesulitan. Akhirnya, ia menyerah begitu melihat tatapan Yanuar yang penuh tanda tanya. “I-ini, Mas,” katanya lirih.Tatapan Yanuar bergerak mengikuti arahan Chiara dan kepalanya mengangguk tak lama kemudian. “Mau aku bantu?” tawarnya diselipi dehaman. “Sini.”Yanuar
“Suka?”Chiara sontak mendongak dan menatap Yanuar sambil tersenyum lebar. Di hadapannya sudah ada beberapa kantung belanjaan yang berisi bra. Benar, hanya bra dan Yanuar yang membelinya tanpa mengeluh dari A hingga Z.“Tapi … apa harus sebanyak ini?” Chiara tertegun mendapati banyak sekali belanjaan itu. Seumur-umur, ia hanya membeli satu atau dua buah ketika memiliki uang lebih. “Ini ukurannya juga beda ya?”Yanuar mengangguk ringan. “Sengaja beli dua. Kata salesnya begitu. Biar nanti kalau ukuranmu berubah lagi, udah ada yang bisa dipakai,” ungkapnya dengan sedikit berdehem.“Oh.” Chiara mengambil satu kantung dan merogoh ke dalam. Ia meraih sebuah bra berwarna merah marun yang kontras dengan warna kulit cerahnya. “Ini bagus. Pasti malah ya, Mas?”Di sisinya Yanuar berdecak pelan. Lalu menyentuh pundaknya. “Kamu tuh jangan mikirin harga, semua kebutuhan kamu dan anak kita udah aku tanggung.”“Iya, tapi kalau ada yang lebih murah, beli yang murah aja nggak pa-pa—”“Chia.” Yanuar mem
Yanuar menegang begitu keluar dari ruang kerjanya setelah melakukan rapat online sekitar dua jam belakangan ini. Dari tempatnya berdiri, ia menangkap Chiara sedang mengaduk-aduk gelas berisi susu coklat yang asapnya masih mengepul. Perlahan Yanuar melangkah mendekat dan melontarkan tanya, “Nggak jadi belanja sama Mbok?”Yanuar berjalan mengitari meja bar untuk duduk di samping Chiara. Istrinya tampak kesal dan kemungkinan menjaga jarak dengannya lagi. Padahal hubungan mereka sudah kembali menghangat karena kejadian semalam, tapi semua terlihat sia-sia.“Bukannya dilarang?” sindir Chiara terus terang. Ia hendak turun dari stool yang kemudian ditahan Yanuar menggunakan sergapan tangannya. “Mas!”Yanuar menyuguhkan raut datar tanpa bersalah sama sekali. Tangannya tak segan-segan meremas paha Chiara dan menyelipkan jemari di antara dua paha keras itu. Tak peduli pemiliknya makin kesal dan mendelik tajam ke arahnya.“Mas, lepas!” Chiara kini turun tangan. Mencoba mengalihkan remasan Yanua
Khusus akhir pekan ini Yanuar sudah memiliki agenda yang sifatnya wajib. Chiara pun tahu hal itu dan tak keberatan. Dan di Sunrise Lounge Yanuar berada, bersama Yabes yang ikut serta. Yanuar hanya mengenakan kaos polo dan celana khaki selutut, juga sandal yang dibelinya sewaktu bulan madu lalu. Ia mengangkat tangan begitu menangkap rekan-rekannya sudah menempati meja besar yang di-booking sebulan lalu. "Sendiri?" Leo bertanya padanya dan melirik ke belakang, lebih tepatnya pintu masuk. Seakan menanti kehadiran seseorang. Yanuar mengedik pada sepupu jauhnya yang sudah duduk lebih dulu. "Gue sama Yabes." "Istri lo ... nggak ikut?" Yanuar berdecak sebelum akhirnya duduk. "Perasaan nggak ada kewajiban buat bawa istri ke pertemuan begini," balasnya setengah malas. "Jangan-jangan lo malu karena istri lo itu bukan dari kalangan kita?" Rein menimpali dengan tatapan piciknya. Hal itu sukses memicu emosi Yanuar. Ia menatap tajam wanita yang duduk di sisi Lily. "Malu?" ulangnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi di antara kamu dan Rein?" Yanuar menghela napas pendek. Sejak Sukma datang tiba-tiba ke rumah tanpa pemberitahuan sama sekali, ia sudah menduga ada yang tak beres. Setidaknya ada pihak yang mengadu dan menyeret namanya agar terlihat buruk. Ya, contohnya seperti ini. Tak heran kabar remeh begini mudah menyebar. Apalagi dari orang-orang yang memiliki banyak koneksi dan uang. "Yanu, kamu dengar Mami?" Mengangkat wajah dari berkas di tangan, Yanuar membalas tatapan Sukma. Ia menarik diri ke belakang, menyandarkan punggung demi bisa tenang dalam menghadapi ibunya kali ini. "Pertemuan kalian lancar aja, 'kan?" Sukma menambahkan seraya duduk di seberang meja Yanuar. "Mami sempat tanya ke Yabes kalau memang ada sedikit masalah, tapi dia nggak jelasin panjang lebar dan minta Mami buat tanya langsung ke kamu. Jadi, sebenarnya ada apa, Nu?" Yanuar membasahi bibir sebelum bicara, "Kalau aku cabut dari pertemuan itu, nggak masalah, kan, Mi?" "Apa?" Kerut
"Chiara pecah ketuban, Nu."Satu pernyataan berbuah informasi penting itu berhasil membuat tubuh Yanuar kaku. Tangannya terhenti di udara ketika hendak meminum kopi hangat untuk menyegarkan diri dari kantuk."Sekarang udah di rumah sakit." Yabes yang berada di sampingnya menambahkan. "Kata Tante Sukma, Chiara udah masuk pembukaan delapan. Dokter menyarankan pindah ke ruang bersalin, tapi Chiara menolak karena bersikeras nunggu lo."Yanuar memejamkan mata sejenak. Mengingat janji mereka yang akan menyambut kelahiran bayi bersama. Tindakan Chiara tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena wanita itu masih berupaya keras.Bayangan Chiara yang merintih dan menahan sakit perutnya sekelebat terlintas di benak Yanuar. Sontak Yanuar bangkit dari duduk. "Kita ke rumah sakit sekarang," putusnya cukup mengejutkan Yabes. "Lagi pula pesawat kita delay lama."Seharusnya Yanuar dan Yabes sudah tiba di Kalimatan untuk keperluan dinas, tapi karena cuaca buruk, jadwal penerbangan berubah total. Ia menungg
Rasanya beban-beban di pundak makin berat saja tiap kali ia pulang dari perkumpulan Rein dan yang lain. Tak hanya pundak, rupanya punggung hingga pinggulnya sudah menunjukkan rasa lelah sejak di perjalanan tadi. Perutnya kian membesar di usia kandungan pada bukan ke-7 ini, napasnya sering sesak setiap kali merebahkan diri.Apalagi selama melewati pertemuan tadi, Chiara tak begitu menikmati makanan. Ia hanya menyimak tiap kali perbincangan muncul. Walaupun isinya hanya itu-itu saja. Obrolan wanita berkelas yang membicarakan kekayaan keluarga hingga pasangan, dan sayangnya Chiara tak mampu melakukan hal sama.Memang apa yang harus ia pamerkan dari harta suaminya? Meskipun keluarga Yanuar jauh lebih di atas Rein dan yang lain, tetap saja Chiara tak bisa bercuap-cuap asal agar dianggap ada orang lain. Ia pikir, itu tindakan kekanakan dan kurang pantas.“Kita istirahat habis ini ya, Dek,” gumam Chiara sambil mengelus perutnya yang buncit. “Udah sampai rumah, nih.” Ia membuka pintu dan mela
Ada getar yang bisa Yanuar rasakan ketika menggenggam tangan Chiara. Ia mengeratkannya, berusaha menenangkan tiap detik hingga getaran itu perlahan redup dan akhirnya menghilang. Yanuar tak tahu apa yang tengah dipikirkan Chiara sekaligus disembunyikan istrinya itu sekarang. Yang jelas, mereka sempat cekcok sebentar sebelum berangkat ke rumah sakit seperti sekarang. Di perjalanan pun, tak ada perbincangan yang terjadi di antara keduanya. Mereka sama-sama bungkam sampai Yanuar membuka suara begitu merangkul pinggul Chiara menuju poli yang dituju. "Kamu kelihatan gugup, dan ... pucat," celetuk Yanuar sesaat setelah duduk di kursi begitu tiba di ruangan dokter. Chiara mengambil napas dan menggeleng kemudian. "Biasa kalau mau check up pasti ada gugupnya, Mas." Suara itu terdengar penuh kebohongan di telinga Yanuar, tapi ia tak mempermasalahkannya sekarang. Beberapa rangkaian pemeriksaan sudah dilewati Chiara dan Yanuar melihatnya saksama. Penuh perhatian lekat dan fokusnya pun sengaj
“Jadwal gue setelah ini apa lagi, Bes?”Tanpa mendongak ke arah bawahannya, Yanuar melempar tanya sambil menatap foto yang dikirimkan Chiara belum lama ini. Istrinya itu sedang rajin-rajinnya pergi ke kelas yoga dan beberapa pertemuan dengan Lily dan juga Rein.Perubahan Chiara kedengaran bagus sekali. Terutama Mami yang senang bukan kepalang mendapati kabar itu. Sampai Yanuar baru menyadarinya sekarang karena kelewat sibuk dengan urusan kantor dan masalah yang terus datang.“Ada meeting online sama pegawai Kominfo untuk bahas masalah tambang yang sempat muncul di media dua hari lalu.”Kini Yanuar mengalihkan pandangan, beradu tatap dengan Yabes sambil membuang napas kasar. “Jadi, gue nggak dibolehin istirahat atau makan malam di rumah sama istri ya, Bes?”Yabes mengulum senyum samar. Rautnya berubah tak enak mendapati sarkasme yang dilontarkan atasan, tapi apa boleh buat. Semua sudah dirancang baik-baik dan mendapat persetujuan Yanuar secara langsung.“Kasih lima menit,” pinta Yanuar
Chiara menoleh cepat pada meja di dekatnya usai Yanuar memberikan sesuatu di sana. "Itu apa, Mas?""Langsung aja datang ke sana, ya. Mami udah booking paket A buat kamu," jelas Yanuar sambil melangkah pelan mendekatinya. "Nggak perlu pakai taksi, biar sopir yang antar ke manapun kamu pergi."Chiara menjauhkan punggung dari sandaran kursi pijatnya dan menatap bingung Yanuar yang sudah duduk berlutut di depannya sekarang. "Paket A?" tanyanya bingung.Yanuar menganggukkan pelan, tangannya terulur menyentuh lutut Chiara dan memberi usapan lembut. "Pijat di salon, sekalian perawatan," jawabnya. "Kamu pasti capek setelah KKN kemarin. Belum lagi acara penyambutan kepulangan kamu itu."Chiara menyengir lebar, menyadari beberapa bagian tubuhnya memang sedikit pegal semalaman. Namun ia tidak berpikir untuk melakukan spa di salon seperti yang diujarkan Yanuar itu. Perlukah ia?"Emangnya harus, Mas?" Chiara menggaruk tengkuk tak enak. "Aku kan lagi hamil, boleh pijat-pijat gitu?""Boleh, Mami bil
Wajah Chiara sudah berseri-seri sejak berakhirnya malam perpisahan dengan warga desa. Tugasnya dan teman-teman akhirnya selesai. Bukan hanya sambutan di awal, tapi mereka mendapat banyak tanggapan positif di penghujung.Chiara baru saja selesai berkemas barang-barangnya, mengecek ulang isi koper kesekian kali. Kemudian menilik surat-surat yang dituliskan beberapa murid sekolah setelah ia mengisi kelas karya beberapa waktu lalu. Semua indah dan sulit dilupakan begitu saja, sebab mengukir kenangan manis di kepala.“Kerja bagus semuanya!” seru Tino di tengah kesibukan berkemas di posko. “Gue nggak tahu lagi mau apresiasi dengan cara apa, yang jelas gue bangga banget sama kelompok kita ini.”“Ya, gue setuju.” Abas menimpali dengan senyum haru. “Gue pikir, proker kita bakal ngebosenin dan kayak tradisi sebelumnya. Tapi ide-ide yang kita buat cukup cemerlang juga.”Chiara mengangguk setuju. Melihat semuanya menampilkan wajah lega dan penuh bangga, ia pun merasakannya dengan batin berbunga-b
Chiara baru menyeduh susu formula khusus ibu hamil. Selama berada di posko dua minggu ini, ia tak abai memikirkan kesehatan diri sekaligus perkembangan janin di kandungannya. Bahkan setiap malam, sebelum tidur, ia sengaja mengajak si jabang bayi mengobrol.Berbekal informasi yang dibacanya di internet, Chiara mengusahakan apa pun untuk menjadi seorang ibu di usianya yang masih terbilang muda. Walaupun memiliki suami yang jauh di atasnya dan lebih berpengalaman, ia lebih senang belajar mandiri.“Rasanya enak?” Venna bertanya begitu memasuki area dapur, tempat yang menjadi destinasi Chiara setiap pagi dan malam dan jumlahnya terbilang sering dikunjungi.Chiara mengulum senyum dan menjauhkan gelas dari bibir. Ia baru meminum setengah dan mengambil jeda untuk membalas Venna. “Kayak susu biasa,” balasnya.Aneh sekali mengatakan ‘biasa’. Padahal selama hidupnya, ia tak membiasakan diri mengonsumsi cairan putih dengan kandungan tinggi kalsium seperti itu. Mengingat ia lahir dan besar di kelu
Yanuar tak sepenuhnya ingat apa yang terjadi semalam. Ia berdecak sambil menyugar rambutnya dan mendengar sebuah benda terjatuh dari ranjang ke lantai. Setelah dilihat dengan rasa malas yang luar biasa, ia menemukan ponselnya tergeletak.“Shit!” makinya kesal karena juga menahan pusing yang mendera kepalanya.Suara gemeruyuk di perut pun ikut terdengar. Yanuar segera bangkit dan melompat dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk menumpahkan isi perutnya. Kemalangan menimpanya lagi untuk kesekian kali.“Yanu?” Itu Mami. Si pemilik nama memejamkan mata usai membersihkan wajah dan mulutnya dari sisa kotoran. “Yanuar!”Kakinya bergerak keluar kamar mandi, meski berat. Hari masih pagi baginya, tapi Mami sudah berkunjung ke rumah di saat keadaannya cukup berantakan.“Astaga Yanu?” Suara itu terdengar bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka dari luar. Lalu menampilkan sosok ibunya yang melotot lebar ke arahnya. “Kamu mabuk? Istri lagi di luar kota, kamu malah mabuk-mabukan?”Seb
“Dia nggak mau gue ke sana.”Hanya kekehan geli yang terdengar menyebalkan di telinga Yanuar begitu mengungkapkan satu fakta tentang istrinya. Belum lama ini ia langsung meminta Yabes putar balik arah mobil karena Chiara menolak niat baiknya.“Emang kalau KKN gitu nggak bisa banget diganggu?”Yabes yang fokus mengemudi itu melirik sejenak dengan sisa kekehan di bibir. “Ya, terkadang proker bikin pusing, sih. Tapi balik lagi aja ke orangnya,” jelasnya santai. “Ada kok yang hobinya nebeng nama, nggak jalanin proker bareng temannya.”Yanuar menghela napas panjang. Paham sekali Chiara tak masuk pada kriteria yang diucapkan Yabes di akhir kalimat. Ia tahu betul bagaimana sang istri yang kelewat ambisius. Saat dinyatakan hamil pun, Chiara tetap memilih kuliah dan menghabiskan waktu untuk belajar. Tak heran jika sekarang istrinya itu fokus sekali dengan program kampusnya.“Sama kayak lo lah,” imbuh Yabes saat mobil berhenti karena terhalang lampu merah lalu lintas. “Lo juga kebangetan fokusn