Share

3. Usaha Keluar Dusun

Author: Li Na
last update Last Updated: 2021-08-27 21:27:31

Sesampai di pekarangan rumah, Mak Lumpit bergegas turun dari boncengan dan masuk ke rumah. Supri lanjut ke rumah Mardin sekitar 20 rumah ke arah Barat kampung.

Di dalam rumah Nilam dan Juju sudah bersiap. Ransel keduanya tergeletak di kursi kayu. Mak langsung ke dapur, menyiapkan makanan untuk Supri.

Dua motor bersuara kencang berhenti tepat depan selasar. Supri dan lelaki tinggi berkulit gelap turun, akan masuk ke rumah sejenak tertahan. Tertumbuk pandang pada gadis berkulit bening, mengenakan kaos lengan panjang berwarna putih, berpadu celana panjang skinny biru tua.

Cantiknyaaa ....

Dalam balutan penampilan yang sederhana, tapi membuat Nilam tampat amat cantik paripurna. Sukses membuat Mardin dan Supri sesaat terpana. Senyum dari pemilik bibir merah alami dan gadis berambut basah itu merekah. Terasa menerbangkan keduanya ke awan.

Plak!!

Sekali lagi Supri menerima pukulan keras di bahu, dari Mak yang sudah berdiri di dekatnya.

Ibu gadis itu kesal melihat dua pemuda itu hampir meneteskan liur akibat menganga lebar, memandangi Nilam.

“Supri, cepat!” bentak Mak Lumpit, membuat si lajang cengengesan, tertawa malu.

"Iya, Mak. Ayo!" Kode supri untuk semua, seraya keluar rumah.

“Kamu sama Juju sudah makan 'kan, Ni?” tanya Mak pada Nilam dan Juju, serentak keduanya mengangguk.

“Sedikit, Mak. Nggak selera sarapan,” sahut Nilam sambil menggendong ransel.

“Ya sudah. Cepat berangkat. Supri, ini untuk makannya," Mak menyodorkan rantang ke Supri. Ingat, jangan berhenti sebelum keluar perbatasan,” pesan Mak lagi.

Supri mengiyakan, sambil menerima rantang dengan wajah semringah, ada bau ikan asin goreng di depan hidungnya.

Nilam dan Juju mengekor keluar.

“Maaf ya, Ju. Kita musti balik lagi,” kata Nilam. Juju tengah memakai sepatu.

"Iya ini demi kebaikan loe." Tanpa banyak tanya Juju akan manut apa kata Mak Lumpit. Sepertinya Nilam memang pulang dalam kondisi tak tepat.

“Walaupun aneh?” Nilam menyipit mata pada Juju.

“Ya—“

“Sudah ndak sempat ngobrol-ngobrol. Cepat sana!” tegur mak.

Juju sudah berdiri di sisi motor Mardin.

Nilam sedang berpamitan pada Mak. Gadis berpipi ranum itu meraih tangan Mak Lumpit, menciumnya takzim.

Batin Nilam nyeri, baru saja pulang melihat keadaan ibunya, tiba-tiba harus kembali lagi jauh. Ia memeluk Mak sambil terisak.

Mak mengusap air mata di pipi bening itu. Jemari keriput dengan beberapa uratnya muncul itu bergetar, tangannya berhenti saat menangkup pipi Nilam. Ditatapnya mata bola itu lekat.

“Ingat pesan Mak ini, selama kamu belum keluar dari kampung ini, JANGAN SESEKALI MENYEBUT NAMA ITU. Semua penduduk percaya, sedikit saja disebut, hidungnya akan segera mengendus. Jika ada bau perawan, orang itu bisa segera muncul lagi mendekat. Akan tambah bahaya kalau ia terlanjur menjadikan targetnya, Nilam!”

Mak juga mengatakan singkat tentang delapan gadis desa yang menghilang. Kecurigaan semua menuju pada lelaki itu, hanya takut untuk menghadapinya.

Ini pertama dan terakhir Mak membahas orang itu, sebab dipikir Nilam juga akan segera keluar kampung.

Melihat putrinya mengangguk patuh, wanita paruh baya itu mengakhiri pesan dengan mengusap kepala Nilam lembut.

“Ayo, Mak ikut Nilam ke kota,” pinta Nilam terisak, kembali memeluk wanita tercinta.

“Mak suka di sini, biar bisa ke ladang setiap hari, itu membuat Mak terasa sehat. Kamu berangkat saja. Mak mungkin akan menyusulmu suatu saat.”

Perpisahan penuh haru dari ibu-anak itu membuat Supri ikut meneteskan air mata. Ia yatim-piatu sejak remaja, sudah terlupa rasa tulusnya cinta orang tua.

“Cepat pergi.” Mak menepuk pundak anak gadisnya. Memberi senyum kecil pada saat Juju juga mencium punggung tangannya.

“Titip jagain anak Mak di kota ya, Ju."

“Iya, Mak,” jawab Juju sebelum naik ke boncengan Mardin.

“Mak, sehat-sehat, ya. Doakan Nilam sehat, bahagia." Nilam melambaikan tangan sebelum motor melaju.

Mata lamur Mak Lumpit jadi berkaca-kaca, kemudian bulir hangat di pelupuknya luruh, semakin motor yang membawa anaknya menjauh, kian deras air matanya, hingga bahu kurus itu berguncang.

‘Nilam satu-satunya putriku, ya, Gusti. Lindungi dan selamatkan Nilamku …,’ pinta batinnya menjerit pilu.

***

Motor yang dikemudikan Supri masih separuh jalan di area kampung, melewati hutan jati berpohon tinggi menjulang.

Kampung ini dijuluki Dukuh Gelap, sebab letaknya terisolasi, tanpa aliran listrik dan sinyal telekomunikasi. Jika hendak kontak dengan keluarga lain di kota, warga akan ke kecamatan, yang jaraknya jauh, juga melewati jalan setapak yang melelahkan.

Hawa dingin setelah hujan tadi membuat Nilam memeluk tangan, sesekali berpegang pada besi motor yang geraknya oleng saat melewati jalan licin.

Motor mereka beberapa meter di depan Mardin dan Juju.

Selama perjalanan, Nilam memilih diam walaupun Supri banyak bertanya, hanya dijawab singkat oleh gadis itu.

Di kepalanya berkecamuk rasa, perang antara pesan Mak tadi dengan dorongan kata nama lelaki itu berulang-ulang tersebut di otak_seperti ada sesuatu yang terus membisiki_menghasutnya menyebut nama itu.

Nilam berusaha mengalihkan gejolak dengan menyenandung lagu beat K-Pop kesukaan.

“Dek Nilam kerja apa to di kota?” Supri kembali bertanya. Sejak tadi ia sengaja memperlambat laju motor, demi bisa mengobrol panjang-lebar dengan Nilam.

‘Kapan lagi mendapat kesempatan emas. Berdekatan begini dengan gadis yang wajahnya persis poster cewek terpajang di kamarku. Cantik dan menggoda,’ pikirnya dengan jantung menari-nari.

“Di restoran, Mas,” jawab Nilam singkat, di sela bibirnya bersenandung pelan.

Belum tuntas senandungkan lagu ‘Best of Me’ milik BTS, nama seseorang tersebut di otaknya makin mendesak ke ubun-ubun, mendominasi isi pikiran.

Keseimbangan Nilam hampir hilang saat menutup telinga dan mata, mengalihkan apa yang diucapkan pikirannya. Telapak tangan ditekan ke sisi kepala sekuat mungkin.

“KI ARYA DIRAJA ….”

Sebuah nama terlepas begitu saja, meluncur keluar dari bibir Nilam. Tanpa bisa dikendalikan. Nilam menutup mulut dengan telapak tangan. Detak jantungnya berpacu cepat. Rasa takutnya terbit, membayangkan apa yang terjadi setelah ini.

“Dek Nilam di sana tinggal di mana?”

Lelaki beraroma masam di depannya ini sama sekali tak menyadari. Ia masih terus saja bertanya, mengorek tentang si gadis yang membuat irama jantungnya berlari.

Nilam tidak menjawab. Tubuhnya mendadak makin dingin, sampai terasa kaku. Tak sabar ia ingin cepat sampai gapura dan keluar perbatasan kampung. Apa yang maknya katakan amatlah benar, setelah tersebutkan nama itu langsung ada reaksi padanya sekarang.

Tak sempat menegur Supri agar lebih cepat, tubuh Nilam menggigil, aura dingin menusuk tulang. Ia memeluk tangan, berusaha menangkup kembali bibir yang gemetar hebat. Sampai terdengar suara giginya beradu.

Saat melempar pandang ke arah depan, Nilam melihat tubuh seorang lelaki berpakaian serba hitam merentangkan tangan di tengah jalan.

“Whuaaa. Berhenti, Mas Supri!” pekik Nilam keras sambil meloncat dari motor ke semak kiri jalan.

Motor bebek keluaran 2015 itu mati seketika, bersamaan dengan jatuhnya Nilam. Meluncur ke depan lalu jatuh bersama Supri ke sisi jalan.

“Oi! Kenapa?!” Mardin cepat injak rem dalam, sambil arahkan motor ke kanan jalan. Seketika motor terhenti, tak sampai menabrak motor Supri yang jatuh tepat di depannya.

Andai melaju kencang mungkin motor mardin sudah melindas Supri.

Tiga orang pemuda itu terduduk dalam kondisi syok, kaget. Juju mendapati kakinya berdarah, terkena besi pijakkan motor Mardin. Sementara Supri dan Mardi tak luka, sebab tadi sempat meloncat ke rerumputan.

“Ni, kamu gak papa?” Juju berusaha berdiri, sedikit meringis saat perih luka terkena ujung jeans’nya.

“Kenapa harus loncat, Dek? Itu bahaya!” tegur Supri ikut berdiri mendekati Nilam yang kini duduk di rumput sisi jalan. Gadis itu tengah tertunduk memeluk badan yang terlihat masih menggigil, sambil mengerang kecil.

“Itu tadi ada orang baju hitam." Nilam menunjuk depan sana, tanpa mengangkat wajah yang tertunduk. Rambut panjangnya terurai sebagian ke depan.

Melihat tak ada siapa pun seperti yang dikatakan Nilam Supri mengingatkan, “Jangan ngomong aneh-aneh. Ini hutan, pamali.”

Pemuda kurus itu kembali ke motornya, sempoyongan berdirikan motor itu hingga tegak. Lalu mencoba kembali menyalakan starter. Lima sampai puluhan kali, tidak bisa. Dicoba lagi nyalakan pakai engkol, tetap gagal. Motor itu bergeming.

Begitu pun Mardin, motornya yang lebih baru daripada punya Supri juga ikut mogok.

“Kenapa, Bang?” Juju mendekati mereka. Coba membantu. Sampai kewalahan tetap saja gagal.

Mereka bertiga mulai kelelahan, memutuskan menunggu pertolongan. Berharap ada orang lain lewat.

Supri mengambil plastik berisi rantang pemberian Mak Lumpit tadi, yang jatuh di dekat motor. Isinya hanya berantakan di dalam, Supri membuka lalu melahapnya rakus.

Juju kembali duduk, mengambil tempat dekat Nilam. Sedikit heran melihat gadis itu menelungkupkan kepala diantara lututnya. Rambut tergerai ke depan. Ada erangan halus, seperti kesakitan, tapi tubuhnya kaku tak bergerak.

Seketika mega gelap kembali menggantung tebal di angkasa. Gerimis kecil mulai turun bak embun pagi.

“Ni? Loe kenapa?” Hati-hati Juju mendekat, berjongkok, lalu menyentuh bahu Nilam.

Seketika kepala gadis itu terangkat. Tampak kulit wajah dan bibir seputih kapas, ada pancaran merah di bola mata yang berair.

Di mata Juju, Nilam seperti dirasuki makhluk lain. Juju yang kaget terjungkal ke belakang. Tubuhnya seketika menggetar. Mengundang mata Supri dan Mardin serentak melihat Nilam.

Wajah cantik gadis itu sudah tampak seperti mayat hidup.

Related chapters

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    4. Dalam Pengaruh Gaib

    “Ni … lo kenapa?” Juju bertanya dari tempatnya yang masih terpaku.Mata Nilam menatap kosong, tanpa kedip.Supri dan Mardin mendekat perlahan, pandangan mereka tak lepas dari Nilam. Takut kalau tiba-tiba gadis itu mengamuk mereka bersiap menangkapnya. Ini hutan, kalau sampai Nilam kabur ke dalam hutan bisa jadi ia akan hilang tanpa jejak.Namun, perkiraan mereka berdua salah. detik berikutnya tubuh Nilam melemas layu, lalu jatuh berbaring di tanah. Segera tiga pemuda itu mendekat. Setelah memeriksa kondisi Nilam yang seperti orang tidur, mereka berniat membawa gadis itu kembali ke rumah.“Coba nyalakan lagi motornya,” kata Juju pada Mardin. Segera pemuda itu lakukan, diikuti Supri. Ajaib sekali tekan starter langsung menyala.Juju segera mengangkat tubuh Nilam ke motor M

    Last Updated : 2021-08-27
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    5. Ditandai Sebagai Tumbal

    Malam itu suasana rumah diramaikan suara obrolan antar lelaki di luar, sementara di dalam kamar Mak dan ibu-ibu lain bercerita tentang padi yang sudah mulai menguning. Sebagian jagung juga beberapa sudah panen dan diantar ke pasar di kecamatan.Mak duduk di sisi dipan sambil mengusap-usap dahi Nilam. Sejak tadi, gadis itu tertidur dan masih menggigil begini, Mak tak tega membangunkan. Namun tak lama perlahan Nilam membuka mata. Wanita yang selalu memakai kebaya kutu baru dan jarik ini segera mendekatkan wajahnya.“Nilam?”“Lapar, Mak …,” kata Nilam lemah. Matanya sudah terbuka penuh, menyapu pandang ke langit-langit. Kemudian memandang heran ke arah ibu-ibu yang mengerumuni tempat tidurnya.Semua bergantian menanyakan kondisinya. Nilam menjawab kalau ia kedinginan dan lapar.

    Last Updated : 2021-08-27
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    6. Rintangan Keluar Dusun

    Semua orang yang ada di sana seketika mematung.Dalam hening, hanya erangan Nilam yang terdengar lemah.Mengiringi langkah lelaki berpakaian serba hitam bergerak masuk. Warga mengenalnya sebagai Ki Arya yang tinggal menyendiri di ujung dusun. Ia mendekati Nilam yang menggigil.Kepala gadis itu terkulai lemah, dalam posisi setengah duduk di gotongan dua lelaki berwajah pasi.“Aku dengar anakmu sakit, Mak Lumpit. Kenapa kau tidak memanggilku?” Suara serak dan berat itu bertanya.Pengaruh suaranya seakan-akan menghentikan napas semua yang mendengar. Terlebih Mak Lumpit yang raganya terasa sudah melayang.Tangan kurus Mak bergetar, berusaha kuat dengan mengepal jemari tangan. Melaki berwajah dingin itu kini berdiri sekitar dua meter dengan Nilam, anak gadis yang

    Last Updated : 2021-08-30
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    7. Kembali Ke Kota

    Warga bahu-membahu memukul api dengan ranting pohon basah. Mereka berusaha mematikan titik api yang makin mendekati jalan. Takut mengenai salah satu rumah penduduk lain yang tak jauh dari sini. Penuh perjuangan mereka lakukan sambil meminta pertolongan Tuhan. Beberapa sudah sesak napas dan memilih mundur, menjauh.Seketika mentari yang tadi muncul kembali bersembunyi, tertutup awan gelap. Makin lama makin pekat menggantung di wajah langit. Semua berseru memohon hujan sambil menjauh dari titik api.Kepasrahan tampak dari wajah-wajah lelah, hanya mampu memandang lemah pada jilatan api makin menjalar dari kejauhan.Rintik mulai terasa menetes mengenai tubuh mereka. Puluhan lelaki itu menatap langit, menerima guyuran air jatuh semakin lebat. Semuanya bisa menarik senyum lebar penuh kelegaan, kemudian tawa mulai keluar dari seorang disambut yang lain. Berderai menyamai

    Last Updated : 2021-08-30
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    8. Ada yang Aneh

    Di Dukuh Gelap ….Suara binatang malam bersahutan, seakan-akan membicarakan pertemuan dua orang di tepi telaga.Ada lelaki dan perempuan sedang berhadapan di sana. Wajah mereka tak tampak, sebab tertutup gelapnya malam. Derak ranting yang telah menjadi arang terdengar saat si perempuan melangkah maju.Lelaki itu dalam posisi duduk bersila itu matanya terpejam, tapi bibirnya berucap.“Bagus! Aku sekarang bisa bersamanya, hahahaaa. Kau sudah jalankan perintah dengan baik. Pulanglah, apa yang kujanjikan sudah menunggumu di rumah.” Suara berat dan serak itu mengakhiri pertemuan mereka.Perempuan berperawakan sedang itu berbalik, dalam gelap melangkah cepat menyusuri jalan setapak. Daster lebarnya mengepak tertiup angin malam, mengiringi kibasan rambut yang terurai sepinggang. Ia tampak

    Last Updated : 2021-08-30
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    9. Nilam yang Berbeda

    Dari rumah besar di depan terdengar suara tawa keras dari Babe dan Nyak, menertawakan Pak Min.“Bersihkan sendiri tuh ompol. Udeh tua juga sampe ngucur begitu,” kata Babe terkekeh, sambil menunjuk tetesan air memanjang dari luar hingga ke garasi.Di pojokan Pak Min membungkuk, menutupi celana yang basah. Lutut dan badannya gemetar hebat.Wajahnya pasi tanpa warna, kecamuk rasa bercampur di kepala lelaki paruh baya itu. Rasa malu tertutupi oleh takut luar biasa. Sosok bayangan hitam ia lihat tadi melingkupi tubuh Nilam. Belum lagi suara tawanya ... Iih! Pak Min menggidik sambil memeluk badan.Jantungnya bertalu berusaha menenangkan diri. Dua majikan yang ada di ruang itu tak menyadari apa yang ia rasa. Mereka malah terus tergelak lucu, lalu meninggalkannya ke belakang.Pak min kembali terlo

    Last Updated : 2021-08-31
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    10. Teror Gaib yang Tak Disadari

    Tetes demi tetes darah mengalir dari hidung Nilam membasahi sprei. Bau amis menyengat merebak memenuhi kamar. Tubuh yang belum bisa bergerak membuat Nilam pasrahmemejamkan mata kuat. Merasakan pemilik napas dingin yang tak terlihat itu seakan menghisap darah dari tubuhnya. Semakin banyak keluar Nilam merasa lemah. Sampai kemudian tubuhnya terasa melayang, saat mencoba buka mata pandangannya menggelap. Detik kemudian, wajah Nilam tertelungkup di tempat, basah terkena genangan darah di kasurnya. *** Di Dusun Gelap, seorang lelaki tua duduk tampak duduk bersila, dalam kegelapan. Tiba-tiba ia tersentak mundur. Seketika itu juga mulutnya meringis dengan tangan mengusap dada. “Sial! Apa yang dimiliki anak itu sampai sulit kudapatkan?!” Penuh amarah ia mengamuk, memukul tanah dan menendang rerumputan.

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    11. Menginginkan Kematiannya

    Di ruang khusus karyawan, para gadis dan pemuda menyiapkan diri akan bekerja sebelum restoran buka. Seragam yang mereka kenakan hari ini paduan warna pink dan putih, perempuan mengenakan Dress Vintage dengan rok berenda mekar di atas lutut. Dilengkapi stoking dan sepatu balet. Hampir semua berambut panjang berwarna mencolok. Coklat kemerahan seperti rambut Nilam, blonde, sampai ghosted hair yang keputihan seperti uban. Tampilan sempurna itu ditunjang dengan mata berbinar dan senyum tak lepas dari bibir, salah satu standar pelayanan mereka. Selain menikmati hidangan istimewa, para pelanggan pun terhibur melihat para Waiter dan Waitress lalu-lalang seperti Putri dan Pangeran dari negeri Dongeng. Bisa sejenak melepas penat mereka yang ingin bersantai. Nilam memasang kontak lensa coklat muda. Rambut panjangnya bagian sisi dijepit ke tenga

    Last Updated : 2021-09-02

Latest chapter

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    61. Akhir

    Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    60. Mengamankan Keluarga Kecil Nilam

    Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    59. Sosok Pembebas Bayang Gelap

    Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada Apa?

    “Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada yang Aneh

    Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    57. Juju Junior

    Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    56. Dihantui Takut

    Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    55. Dara Kembali?

    Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    54. Ujian

    Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status