Di ruang khusus karyawan, para gadis dan pemuda menyiapkan diri akan bekerja sebelum restoran buka. Seragam yang mereka kenakan hari ini paduan warna pink dan putih, perempuan mengenakan Dress Vintage dengan rok berenda mekar di atas lutut. Dilengkapi stoking dan sepatu balet.
Hampir semua berambut panjang berwarna mencolok. Coklat kemerahan seperti rambut Nilam, blonde, sampai ghosted hair yang keputihan seperti uban. Tampilan sempurna itu ditunjang dengan mata berbinar dan senyum tak lepas dari bibir, salah satu standar pelayanan mereka.
Selain menikmati hidangan istimewa, para pelanggan pun terhibur melihat para Waiter dan Waitress lalu-lalang seperti Putri dan Pangeran dari negeri Dongeng. Bisa sejenak melepas penat mereka yang ingin bersantai.
Nilam memasang kontak lensa coklat muda. Rambut panjangnya bagian sisi dijepit ke tengah. Tampak cantik paripurna.
Pukul 08.50 tulisan close akan segera berganti Open. Semua karyawan berkumpul untuk mendapatkan briefing singkat.
Bon-Hwa, Manajer sekaligus anak pemilik restoran ini seperti biasa akan membakar semangat pagi mereka, dengan instruksi-instruksi singkat, agar para karyawan bisa memberikan pelayanan prima dalam bekerja.
“Selamat bergabung kembali Nilam, Juju. Pertama dan terakhir ambil libur bareng,” pesan lelaki berkulit putih itu sebelum mememulai instruksi.
Wajah dan gestur tenang, dengan senyum manis tertahan membuat guratan di garis dagu dan pipinya terlihat menggemaskan. Bagian yang paling Nilam sukai, bisa jelas melihat saksama wajah itu. Merasa mendapat suntikan energi super dahsyat.
Kalimat bernada lembut, tapi tegas keluar dari pemilik bibir merah yang lancar berbahasa Indonesia itu. Wajah khas aktor Drakor menjadi pujaan semua karyawan Hawa di sini. Sosok Hwa yang mencolok dengan kult hampir seputih kapas dan logat khas dalam pelafalan katanya unik.
"Bagaimana semua, siap?" pandu Hwa.
"Siap!" pekik puluhan orang itu serentak, penuh semangat.
Terakhir, mereka menyatukan tangan, telapak saling bertumpu dalam tengah lingkaran, pekik khas Gi Wa serentak mengakhiri pertemuan singkat itu. Masing-masing menyebar dalam tugas masing-masing dengan wajah cerah ceria.
“Kalungnya cantik banget, Ni. Beli di mana?” tanya gadis berambut merah hati, saat mereka berjalan ke ruang depan. Kalung pemberian Suci yang dipakai Nilam memang terlihat mempermanis seragamnya.
“Ini dikasih teman kecil aku, Li,” sahut Nilam sambil menyentuh batu-batu itu. Sedikit tersentak napasnya saat ada setruman kecil dari kalung ke ujung jari. Namun, cepat menguasai keadaan.
“Tapi kayak ada aura magisnya, kamu kelihatan beda, Ni,” komentar gadis bernama Leli itu.
“Ah, apaan sih, Li. Ini tuh kalung batu biasa, ” bantah Nilam sebelum mereka terpisah, bertebaran melayani pelanggan yang langsung masuk empat orang.
Ruangan nuansa putih dan coklat kayu, dengan puluhan lampu menjuntai panjang dari langit-langit. Di bagian lain ruang terdapat tempat lesehan dengan busa bundar sebagai alas duduk. Semua perangkat meja dan bangku terbuat dari kayu berwarna coklat mengkilap.
Sejak tulisan Open di pintu depan dibalik para pelanggan mulai banyak berdatangan. Nilam dan teman-teman tampak tak punya waktu lagi berdiam diri. Beginilah suasana restoran terutama saat tiga hari di akhir pekan.
Aneka penganan ringan dan berat khas Negeri Ginseng siap memanjakan lidah. Tulisan ‘No Pork No Lard’ dan sertifikat halal terpajang di dekat pintu masuk, membuat pengunjung tak ragu memilihnya sebagai tempat bersantap.
***
Juju menghentikan motor tepat di depan pagar rumah Babe. Biasanya hanya menurunkan Nilam lalu langsung pulang karena sebentar lagi masuk waktu Magrib.
“Makasih, Ju.” Nilam berbalik akan mendorong pagar, terhenti mendengar suara pemuda itu memanggil.
“Tunggu, Ni.”
“Ya?”
Mereka bertatapan sejenak.
“Sorry … gue harus bilang. Lo harus ngejalanin salat lagi, Ni … gue ngerasa ada sesuatu di diri elo itu. Setan akan kalah kalau kita dekat pada Allah.”
Seperti tersentak, Nilam terdiam. Sejak lama, entah berapa kali sudah Juju menegurnya masalah ini. Ibadah yang sering terlewatkan. Terbiasa sejak kecil kurang paham kewajiban agama, bahkan setelah dewasa dan tahu, ia pun bisa tanpa beban meninggalkan perintah Tuhan itu.
“Gue care sama lo. Enggak mau terjadi sesuatu sama elo, Ni,” lanjut Juju masih memandangnya lurus.
Nilam tertunduk, lalu mengangguk kecil. “Makasih, Ju,” jawabnya lemah.
“Masuk gih.” Kepala Juju bergerak memberi kode.
Nilam menuruti. Ia terlihat kurang bersemangat menanggapi, mungkin karena merasa amat lelah sekarang. Tak sabar segera baring di kasur empuknya.
Setelah menyapa Pak Min dan Mang Didin di teras Babe, Nilam langsung ke belakang.
Suasana kos sepi, tadi Dian tadi pamit lewat chat. Seperti biasa di akhir pekan gadis satu itu pulang ke rumah orang tuanya di daerah Jakarta Timur.
Dian ngekos hanya supaya dekat dengan tempat bekerja. Sebenarnya gadis berisi itu berasal keluarga mampu, tapi suasana kos lebih ia sukai dibanding di rumah. Mencari teman ngobrol juga salah satu alasan Dian betah tinggal di sini.
Sementara Tri, dan Dara yang Nilam hubungi kompak mengatakan sedang ada tugas lembur. Terpaksalah Nilam akan sendiri.
Jam delapan, Nilam masih berbaring mengurangi penat. Malas melihat layar ponsel, ia memilih menyalakan televisi, nonton sinetron di dari chanel ikan terbang. Cerita azab sebab durhaka pada ibu, membuat Nilam teringat Mak. Ia berharap Mak di kampung selalu sehat.
Di sela iklan mata Nilam makin terlihat makin redup. Suasana sepi tanpa teman bicara membuatnya merasa cepat ngantuk. Mata Nilam semakin berat hingga tertidur dengan televisi masih menyala.
Gadis itu terlupa pada pesan Juju. Magrib tadi salat, tapi Isya kembali ia tinggalkan. Jika tak terbiasa melaksanakan kewajiban memang begitu mudah meninggalkannya tanpa rasa bersalah.
Tengah malam Nilam terlihat kedinginan, tubuhnya mulai meringkuk. Terasa ada sesuatu bergerak dari tengkuk menjalari leher lalu ke seluruh tubuh. Dingin merambat sampai ke dalam tulang.
Nilam menggapai bedcover pink di sisi bantal, masih dengan mata yang sulit terbuka ia bangun setengah duduk. Kembali terasa ada yang bergerak-gerak di tengkuk, spontan tangan Nilam mengibas-ngibas sampai ke punggungnya. Detik kemudian terlihat sedikit linglung, gadis itu mengerang lemah. Merasa tubuhnya mengecil kemudian tersedot melayang, berputar, terbawa ke tempat lain yang gelap.
Nilam jatuh berdiri, kakinya menginjak rumput basah. Ia tahu itu hutan. Bau rumput dan suara daun di atas, beradu dengan nyanyian binatang malam. Bersahutan menggema seakan-akan menyambut kehadirannya.
“Mak ….” Gemetar suara gadis itu mencelos. Takut teramat sangat memenuhi kepala Nilam. Ia memeluk badan dalam posisi berdiri diam di tempatnya. Meski membuka mata lebar tak ada yang terlihat, hanya gelap pekat.
Tiba-tiba derak ranting patah mengagetkan Nilam. Makin erat ia memeluk tubuh sendiri. Mata melotot merasa ada angin mendekat.
“Si-siapa?”
Mata Nilam makin membulat awas. Jantungnya berdegup sangat kencang.
“Kamu mati ….” Gema suara lelaki makin membuat ototnya terasa melemah.
Siapa yang menginginkan aku mati?
Suara siapa itu? Aku salah apa??
Tak mampu lagi bibir gemetarnya bersuara, Nilam menggigil di tempat. Selalu lupa pada apa yang pernah terjadi padanya, membuat Nilam merasa setiap peristiwa seperti ini seakan baru pertama kali dialami.
Ketakutan teramat sangat menguasai setiap inci tubuhnya. Ia lemah tapi tetap tertahan berdiri.
Sebuah tangan dingin mencengkeram kedua belah pipinya, menekan hingga mulut gadis itu mengerucut ke depan. Nyeri yang muncul terkalahkan oleh ketakutan Nilam. Tubuhnya menggigil hebat, air liur keluar tanpa bisa tertahan. Napas sesak tersengal kesulitan meraup udara.
“Menyerahlah … percuma kamu melawanku!” ancam suara tua itu tepat di depan wajahnya.
Aku melawan apa?? Aku tidak melakukan apa-apa?!
Mak … tolong Nilam, Mak …!
Cucuran air mata Nilam semakin deras. Selama ini ia punya banyak teman. Tak pernah memusuhi siapa pun. Ada orang yang mengejek kampungan tak pernah diambil hati. Gadis ini menjaga kebersihan hati dari dengki pada orang lain.
Tangan itu tiba-tiba menyentak, melepas rahang dan pipi Nilam, meninggalkan denyut nyeri di sana. Belum jua menarik napas lega, saat detik selanjutnya terasa sesuatu dingin bergerak menyentuh permukaan kulit wajah gadis malang itu.
Besi?!
Apa itu pisau?!
Napas Nilam sesaat, ketika ujung tajamnya menekan pada daging pipi. Gadis itu pasrah, memejamkan mata kuat-kuat.
… maafkan Nilam belum sempat bahagiakan Emak ….
Argghh!!
Lelaki tua itu terpental sambil memekik kesakitan. Punggungnya menubruk pohon besar, lalu tersungkur di atas akarnya. Erangan kesakitannya terdengar oleh Nilam, tapi ia tak bisa melihat kondisi orang itu.Detik selanjutnya tubuh Nilam kembali melayang, melesat cepat menampati pada raga kaku di atas kasur. Tubuhnya sempat bergerak lemah, lalu kembali tenang dalam lelap.Di tempat lain, seorang lelaki muda duduk di atas hamparan sajadah. Jari kanannya bergerak pelan bertasbih dengan suara kecil, hanya terdengar di telinganya sendiri. Setelah selesai ia memanjatkan doa dengan sepenuh hati.Sepulang dari kampung Nilam, Juju rutin terbangun tengah malam, mengambil wudu dan salat sunah. Peristiwa yang dialami Nilam amat lekat dalam benak. Kekhawatiran yang menguatkan imannya. Menyadari tidak ada tempat meminta pertolongan selain pada Sang Pemilik Kehidupan itu sendiri.
“Kalau kita nikah gue akan jaga loe.” Baru kali ini Nilam melihat Juju sangat serius, ia sampai menahan diri untuk tak tertawa. “Besok aja kita omongin. Ini jam berapa?” Nilam menarik pergelangan Juju melihat jam tangan. “Ya ampun jam sebelas, Ju, Babe—“ “Ni, serius. Kita harus nikah secepatnya.” Hening tercipta, Juju menahan dua bahu Nilam untuk saling bertatapan dalam jarak dekat, terhenti saat gadis itu membuang pandang ke sekitar, dua orang dewasa sampai berhenti melihat arah mereka. Cepat Nilam melepaskan tangan Juju. “Diliatin orang, tuh,” katanya kikuk. Merasa tak nyaman jadi tontonan Juju mengajaknya pulang, naik taksi tanpa argo yang mangkal depan gedung rumah sakit. Selama perjalanan keduanya hening, hanyut dalam pikiran masing-masing. Juju yang berusaha meredam perasaannya bercampur ke
Kenapa dengan gadis itu?Ada apa dengan Nilam?Benak Hwa terus bertanya sambil sesekali melihat spion belakang da suasana depan padat belum bisa membuat mobilnya bergerak.Juju yang tadi melaju lebih dulu di depan sana terlihat kembali berlari ke sini, menyelip di antara padatnya roda dua dan empat yang berhenti.“Di depan ada kecelakaan. Biar Nilam ikut motor aja,” saran Juju pada Hwa setelah kaca mobil diturunkan.“Tidak bisa, Ju, lihat dia menggigil,” jawab Bon Hwa. Rahangnya menegang, menekan klakson berkali-kali. Usahanya sia-sia.“Darah lagi?!” Leli kaget menyadari cairan merah yang tadi cuma menetes kini mengucur keluar dari hidung Nilam.Buru-buru ia lagi menyambar tisu, mengus
Hari hampir siang, setengan sebelas Juju sudah berangkat dari rumah. Sebelum bekerja ia akan ke kos Nilam dulu, gadis itu memang sudah mendapat izin tak masuk hari ini, oleh Hwa. Juju hanya ingin memastikan kondisinya saja.Ponsel Nilam dihubungi tidak aktif sedari pagi, itu membuatnya khawatir.Tanpa mampir ke rumah Babe, pemuda itu gegas mengayunkan langkah ke kos belakang. Nilam pasti sendiri, teman kos lain sudah berangkat kerja, Juju hanya merasa atas kejadian mengerikan tadi malam tak seharusnya Nilam ditinggal sendiri.Melihat pintu tertutup rapat degup jantung Juju berdetak cepat, ada perasaan tak enak menghinggapi melihat ruang yang ditempati Nilam itu. Terasa suram.“Nilam!” panggilnya sambil mengetuk pintu.Tak ada jawaban.Diulang lagi. Tetap hening.Jangan-jangan … gadis itu kambuh lagi? pikirnya segera ke samping, menggedor jendela kaca bagian kamar.Juju terpaksa menginjak tanaman di b
Brukk! Pintu terdorong keras, Juju langsung melangkah ke kamar Nilam. Terdorong perasaan tidak enak ia tadi kembali ke sini. Segera terlihat olehnya Suci duduk di samping Nilam, menepuk pelan pipi gadis itu. Juju mendekat melihat Nilam tegak di tempatnya dengan mata membulat, lalu memegang perut terbungkuk seperti menahan mual. “Loe kenapa, Ni?” Juju mendorong Suci yang tergeragap bingung melihat keadaan Nilam, agar menjauh. “Hoekk!” Nilam terbungkuk menekan perut yang terasa bergelombang, ada sesuatu bergerak naik ke dada. Juju membuka plastik yang diambil dari meja dipasang ke pangkuan Nilam. Dengan sabar menepuk-nepuk punggung, sembari memijit ringan bahunya berharap mual Nilam berkurang. “Kalau ada apa-apa sama Nilam elo harus tanggungjawab!” ancam Juju pada Suci, yang ia tahu ada di belakangnya. Suci memang berdiri di sudut, merapat pada dinding. Pisau kecil yang sempat disembunyikan di dalam baju tadi kembali diambil, tub
“Senang lihat Abang pulang,” kata Juju pada Hanif saat ngobrol sebentar sebelum naik ke motornya. “Nilam butuh Abang di sini, Juki curiga temannya itu punya niat jahat, Bang.” Lelaki berahang tegas itu mendengarkan Juju saksama. “Banyak doa aja, kita gak bisa juga suudzon, semoga aja temanmu itu bisa mawas diri, yang penting dari dirinya dulu, keyakinan hatinya, baru kita bantu semampu yang kita bisa.” “Iye, Bang. Juki agak tenang nih, titip die ya,” ujar Juju. “Wah, kayaknya istimewa tuh. Kita cuma bermohon pada Allah yang bisa menjaga sebaik-baiknya penjaga.” “Iye, Bang. Juki percaya itu. Yuk, Bang Hanif, berangkat dulu.” “Iye hati-hati, jangan lupa doa sebelum jalan.” Juju berkomat-kamit sebelum menutup kaca helm. “Dari awal gue curiga Juki itu demen sama si Nilam.” Babe sama Maemunah rupanya tadi diam-diam mendengar pembicaraan Juju sama putranya. Hanif menoleh dengan senyum manis. “Suka itu normal, Be.” “Ka
Mentari sudah mengintip di ufuk Timur, bersiap keluar membagi hangatnya pagi. Di kamar bernuansa pink, perempuan bermata kecil mengerjap. Matanya terbuka menerima terang yang masuk dari celah ventilasi. Beberapa saat ia mencoba mengembalikan kesadaran, mengingat apa yang terjadi semalam. Lalu tersentak seakan menyadari sesuatu, ia terduduk. Rambutnya kusut masai disibak ke belakang telinga. Seingatnya tadi malam ia di lantai, tapi sekarang sudah di tempat tidur. “Nilam?” gumamnya bertanya pada diri sendiri. Mata disapu ke sekitar, tak menemukan gadis itu. Apa aku berhasil? Nilam … hilang tanpa jejak …? Suci membulatkan mata, berdiri sambil memekik di hati, tangan terkepal, merasa usahanya tak sia-sia. Meski masih lemah, ia seakan mendapat energi baru, akan segera pulang sebelum penghuni lain mengetahui semua. Perempuan itu menguncir cepat rambutnya, meraih tas. Mengintip di luar masih terdengar sepi, ia harus bergegas
Nilam mencoba melawan, ia mendorong tangan Suci yang terus memaksanya hingga gelas jatuh dan pecah di lantai. “Nilam?!” Suci berdiri, berkacak pinggang. Wajahnya merah tanda murka melihat perlawanan gadis itu. Lalu ia berjongkok mendekati Nilam yang terlihat melemah. “Aku juga mau bahagia, Ni. Bukan cuma kamu.” Suci menarik sudut bibir. “Kamu terlalu sempurna, di kota besar gini juga banyak suka, banyak yang sayang! Huh, rasanya aneh, bisa jadi kamu punya ilmu pengasih, kan?” “Ci ….” “Alasan kamu pasti cuma kasian masih mau berteman sama aku. Pasti di hatimu mengejek, kan? Aku hanya gadis nggak berguna yang menjadi penghuni kampung?!” Perempuan muda itu meluapkan amarahnya. Mengeluarkan semua isi hati yang selama ini tersembunyi. Mendengar semua itu, batin Nilam t
Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi
Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny
Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan
“Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka
Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya
Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan
Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan
Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem
Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.