Share

17. Hitam dan Putih

Author: Li Na
last update Last Updated: 2021-09-03 15:48:13

“Senang lihat Abang pulang,” kata Juju pada Hanif saat ngobrol sebentar sebelum naik ke motornya. “Nilam butuh Abang di sini, Juki curiga temannya itu punya niat jahat, Bang.”

Lelaki berahang tegas itu mendengarkan Juju saksama. “Banyak doa aja, kita gak bisa juga suudzon, semoga aja temanmu itu bisa mawas diri, yang penting dari dirinya dulu, keyakinan hatinya, baru kita bantu semampu yang kita bisa.”

“Iye, Bang. Juki agak tenang nih, titip die ya,” ujar Juju.

“Wah, kayaknya istimewa tuh. Kita cuma bermohon pada Allah yang bisa menjaga sebaik-baiknya penjaga.”

“Iye, Bang. Juki percaya itu. Yuk, Bang Hanif, berangkat dulu.”

“Iye hati-hati, jangan lupa doa sebelum jalan.”

Juju berkomat-kamit sebelum menutup kaca helm.

“Dari awal gue curiga Juki itu demen sama si Nilam.” Babe sama Maemunah rupanya tadi diam-diam mendengar pembicaraan Juju sama putranya.

Hanif menoleh dengan senyum manis. “Suka itu normal, Be.”

“Ka

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    18. Terbongkar

    Mentari sudah mengintip di ufuk Timur, bersiap keluar membagi hangatnya pagi. Di kamar bernuansa pink, perempuan bermata kecil mengerjap. Matanya terbuka menerima terang yang masuk dari celah ventilasi. Beberapa saat ia mencoba mengembalikan kesadaran, mengingat apa yang terjadi semalam. Lalu tersentak seakan menyadari sesuatu, ia terduduk. Rambutnya kusut masai disibak ke belakang telinga. Seingatnya tadi malam ia di lantai, tapi sekarang sudah di tempat tidur. “Nilam?” gumamnya bertanya pada diri sendiri. Mata disapu ke sekitar, tak menemukan gadis itu. Apa aku berhasil? Nilam … hilang tanpa jejak …? Suci membulatkan mata, berdiri sambil memekik di hati, tangan terkepal, merasa usahanya tak sia-sia. Meski masih lemah, ia seakan mendapat energi baru, akan segera pulang sebelum penghuni lain mengetahui semua. Perempuan itu menguncir cepat rambutnya, meraih tas. Mengintip di luar masih terdengar sepi, ia harus bergegas

    Last Updated : 2021-09-03
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    19. Pengkhianatan Seorang Sahabat

    Nilam mencoba melawan, ia mendorong tangan Suci yang terus memaksanya hingga gelas jatuh dan pecah di lantai. “Nilam?!” Suci berdiri, berkacak pinggang. Wajahnya merah tanda murka melihat perlawanan gadis itu. Lalu ia berjongkok mendekati Nilam yang terlihat melemah. “Aku juga mau bahagia, Ni. Bukan cuma kamu.” Suci menarik sudut bibir. “Kamu terlalu sempurna, di kota besar gini juga banyak suka, banyak yang sayang! Huh, rasanya aneh, bisa jadi kamu punya ilmu pengasih, kan?” “Ci ….” “Alasan kamu pasti cuma kasian masih mau berteman sama aku. Pasti di hatimu mengejek, kan? Aku hanya gadis nggak berguna yang menjadi penghuni kampung?!” Perempuan muda itu meluapkan amarahnya. Mengeluarkan semua isi hati yang selama ini tersembunyi. Mendengar semua itu, batin Nilam t

    Last Updated : 2021-09-03
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    20. Keinginan Terakhir

    “Sorry baru bilang, gue juga syok,” kata Hanif pada Juju yang memerah mukanya begitu sampai di rumah sakit. Ia kecewa baru dikabari keadaan Nilam pagi ini. Sebagai orang terdekat Nilam, Juju merasa bersalah tak bisa menjaga gadis itu lebih baik. Hanif sejak selesai Subuh tadi mengisi heningnya ruang rawat dengan mengaji, duduk di kursi lipat tak jauh dari dipan Nilam. Pak Min dan Babe ketiduran lagi di sofa tunggu ruang kelas satu ini. Juju duduk di sisi tempat tidur, Nilam masih memakai oksigen pembantu. Dadanya menyesak begitu tahu Nilam sempat kritis sulit bernapas karena ada darah terhirup saluran napasnya tadi malam. Kalau ada apa-apa tanpa sepengetahuannya Juju akan merasa sangat bersalah. “Apa ini karena si Suci?” tanya Juju datar. “Temannya itu baru datang juga, saat Nilam ke belakang dia sempat sembunyi di balik bonsai, lalu ngikutin, makanya gue keluar juga. Sepertinya Nilam sudah tersungkur sebelum dia datang,” jelas Hanif. Meskipun

    Last Updated : 2021-09-03
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    21. Perjalanan Kembali Ke Dukuh Gelap

    Pagi keesokan hari Nilam memaksa ingin keluar rumah sakit. Nilam mengatakan dirinya mulai membaik, mengabaikan rasa berat di kepala dan panas dalam dada. Selama kuat berjalan, Nilam ingin di akhir waktu ini berada di sisi wanita yang melahirkannya itu. “Itu berbahaya, Nilam, kamu akan aku bawa ke pondok guru Hamid. Biar Mak kami jemput ke sini,” saran Hanif masih membujuknya, sebelum mengikuti perawat yang memintanya ke meja admin di luar. “Nggak bisa, Bang. Aku mimpi Mak sakit keras, terkurung di rumah, nggak ada orang yang tau. Aku mau ketemu, Mak ….” Nilam masih memaksa. Hanif dan Juju saling pandang, mereka akhirnya mengalah. Hanif harus menandatangani pernyataan, karena pasien meminta keluar sebelum keputusan dari dokter. Setelah sampai di rumah, Juju dan keluarga Babe berembuk cepat, mencari jalan yang terbaik untuk gadis itu. Diputuskan Hanif akan menemani Nilam pulang dan Juju memaksa ikut. Ia menelepon Hwa mengabarkan kondisi Nilam da

    Last Updated : 2021-09-04
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    22. Rintangan

    Mereka memutuskan tetap di dalam mobil hingga hari terang, penerangan dengan ponsel Hwa cukup untuk mereka saling melihat. Hwa khawatir dengan Nilam yang menggigil. Selepas menunaikan Isya di tempat duduknya, Hanif meminta bertukar tempat dengan Hwa. Dua lelaki itu berpindah tempat melewati sela kursi depan. Ayat ruqyah dari akhir Al-Baqarah hingga surah pendek lain, Hanif perdengarkan ke telinga Nilam. Suaranya beradu dengan hujan di luar. Tangan Hanif menempel dipunggung gadis malang itu, berlapis jaket milik Hwa yang dipakai Nilam. Sebuah bayangan melesat mengagetkan Hwa dan Juju di depan. Terlihat dari cahaya ponsel, anginnya terasa masuk melalu kaca jendela yang sedikit diturunkan. ‘Aneh.’ Batin keduanya menyatakan kata yang sama. Juju beristighfar sambil berdoa. Hwa menenangkan diri juga memohon atas nama Tuhannya. Semakin malam, hujan tak jua reda, seakan tak ada habisnya tumpah dari langit. Hanif mulai kelelahan. Kantuk menyera

    Last Updated : 2021-09-04
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    23. Ditelan Rimba

    “Kampung ini sepi sekali, kenapa belum ada yang lewat?” Hwa bertanya pada Hanif.Mereka terus melihat ke jalan yang hanya membentuk setapak itu. Lengang, hanya ada kabut tipis yang menutupi setiap ujung pandangan.“Mungkin karena masih pagi,” sahut Hanif berharap. Ia menggosok telapak tangan yang dingin.“Juju?” Suara Hwa membuat Hanif ikut melihat ke arah Juju tadi. Tak ada seorang pun di belakang sana.“Juki, Juki?!” Hanif berlari ke arah bekas Juju berdiri, hanya terlihat jejak dari rumput yang terinjak, Hanif akan maju tapi ia urungkan. Lelaki itu kembali ke mobil.“Sepertinya ia masuk ke hutan, mungkin mencari sungai,” kata Hanif pada Hwa. Suaranya tak begitu yakin dengan apa yang terucap, tapi hatinya penuh harap kalau Juju hanya

    Last Updated : 2021-09-04
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    24. Kesadaran Suci

    Hwa menahan tubuh Nilam yang ditarik oleh seseorang dengan sekuat tenaga, sambil berteriak-teriak mengusir siapapun yang melakukannya. Saat bersamaan muncul sebuah nyala lampu dari kejauhan, bertepatan dengan terlepasnya Nilam dari cengkeraman. Hwa mendekap Nilam yang ketakutan sambil menanti cahaya itu mendekat. “Tenang … kamu nggak apa-apa,” kata Hwa berulang. *** Lelaki tua yang terkurung dalam gelap sekitar pohon rimbun itu telah tampak tak berdaya. Ia merasa tak sanggup menguasai gadis itu, tubuhnya terbungkuk menopang tangan di tanah. Sebuah bayangan cepat kembali muncul di hadapannya. “Hanya itu kemampuanmu? Hahahaa, terima saja akibatnya!” Bayangan itu pergi tak menghiraukan erangan kesakitan dan panas dari lelaki tua yang duduk di antara akar besar.

    Last Updated : 2021-09-04
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    25. Pengakuan

    Suci menganga setelah syarat yang diberikan sungguh berat. Akan tetapi, sebab termakan bujuk rayu lelaki tua itu, ia mengangguk pelan. Prosesi pengikatan perjanjian itu yang sekarang membelenggunya. Air mata berlinang perempuan ini sekarang menyesali nafsu yang menjerat. Ia tersungkur di tanah, pipinya menempel pada rumput dan dedaunan kering, kukunya mencakar semua yang tersentuh jemari. Amarah dan sesal yang terlambat. Bukan kebahagiaan yang didapat, justru ia merasa telah menjadi manusia paling kotor dan tak berguna yang hidup di bumi. Menjelang sore, perempuan itu melangkah gontai kembali ke rumah. Ia tak bisa melakukan apa-apa untuk membatalkan semua. Nilam, sahabat kecilnya telah tertanda …. Sesampai di depan rumah sederhana peninggalan ibunya, seseorang yang sangat dikenal telah menunggu. Tatapannya masi

    Last Updated : 2021-09-04

Latest chapter

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    61. Akhir

    Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    60. Mengamankan Keluarga Kecil Nilam

    Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    59. Sosok Pembebas Bayang Gelap

    Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada Apa?

    “Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada yang Aneh

    Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    57. Juju Junior

    Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    56. Dihantui Takut

    Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    55. Dara Kembali?

    Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    54. Ujian

    Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.

DMCA.com Protection Status