Share

10. Teror Gaib yang Tak Disadari

Author: Li Na
last update Last Updated: 2021-09-02 14:56:43

Tetes demi tetes darah mengalir dari hidung Nilam membasahi sprei. Bau amis menyengat merebak memenuhi kamar. Tubuh yang belum bisa bergerak membuat Nilam pasrahmemejamkan mata kuat.

Merasakan pemilik napas dingin yang tak terlihat itu seakan menghisap darah dari tubuhnya. Semakin banyak keluar Nilam merasa lemah. Sampai kemudian tubuhnya terasa melayang, saat mencoba buka mata pandangannya menggelap.

Detik kemudian, wajah Nilam tertelungkup di tempat, basah terkena genangan darah di kasurnya.

***

Di Dusun Gelap, seorang lelaki tua duduk tampak duduk bersila, dalam kegelapan. Tiba-tiba ia tersentak mundur. Seketika itu juga mulutnya meringis dengan tangan mengusap dada.

“Sial! Apa yang dimiliki anak itu sampai sulit kudapatkan?!” Penuh amarah ia mengamuk, memukul tanah dan menendang rerumputan.

Gadis yang ditandainya sebagai perawan kesembilan itu tak mudah didapat seperti korban sebelumnya. Sementara tanda telah permanen di sana, itu akan membuatnya harus terus berusaha.

“Ia harus mati! Harus mati!!” geramnya sambil mencakar tanah dengan kuku-kuku panjang nan hitam.

Tanda yang telah terlanjur tersemat wajib harus dikorbankan. Ilmu hitam yang tengah diperdalam itu membutuhkan tumbal pamungkas, demi kesempurnaannya. Jika sosok yang telah ditandai lepas kemungkinan ia yang akan menjadi korban, senjata makan tuan!

Lelaki tua itu tentu tidak mau. Bagaimanapun cara, korbannya harus kalah. Ia amat penasaran, ada apa dengan gadis itu sampai sulit mendapatkan jiwanya?

***

“Ni, Nilam?”

Ketukan berubah gedoran, seketika menggerakkan tubuh Nilam yang masih tertelungkup. Matanya membuka perlahan, mengumpulkan penuh kesadaran yang seakan telah berkelana dari raga. Setelah sadar Nilam terlonjak bangun, wajah pucatnya terangkat langsung melirik jam dinding yang menunjuk angka tujuh.

Tak terlihat hal aneh padanya, seakan yang terjadi semalam hanya sebatas mimpi.

Panggilan terdengar lagi. Gegas nilam bangkit keluar kamar dan membuka pintu depan. Dian sudah berdiri di depan pintu, bersama Pak Min dan satpam rumah bernama Mang Didin.

“Tumben bangun siang? Dari tadi elo dipanggil-panggil,” gerutu Dian menyambut gadis yang rambutnya awut-awutan itu.

Nilam membalas dengan senyum kecil, sambil mengusap-usap mata yang terkena silau matahari.

“Disuruh Babe segera pebaiki pipanya, Neng,” sela Pak Min.

“Oh, iya, Pak Min. Maaf … tidur nyenyak banget,” ucap Nilam meringis seraya persilakan Pak Min masuk.

Lelaki paruh baya itu terlihat ragu, mengode Mang Didin yang berbadan besar untuk masuk duluan. Mungkin masih teringat kejadian kemarin sore.

“Aku juga masuk hari ini, kemarin udah ngabari bos,” kata Nilam masih di depan pintu. Dian sudah memakai kemeja kerja bersiap berangkat.

“Elo mulai kerja, Ni? Bukannya jatah cuti lo seminggu, kan masih tujuh hari besok?”

"Pengen masuk aja, bosen di kos sendiri.”

“Tapi … lo beneran gak papa, kan?” Dian menyentuh kening Nilam, memastikan gadis itu sehat. Wajahnya terlihat sangat pucat.

“Enggak pa-pa. Aku sehat, kok,” sahut Nilam memegang tangan Dian, bantu tempelkan merata ke dahi pipi sampai lehernya, sambil senyum-senyum.

“Iya sih normal aja, gak panas ...” Dian bergumam. “Lo dijemput Juju, kan?” lanjutnya bertanya.

“Iya, sama siapa lagi? Juju itu all in one buatku, hahaa,” tawa Nilam dibalas Dian dengan cubitan ringan di lengannya.

“Kasian tau cuman dianggep temen, pengorbanannya udah banyak buat elo.”

“Neng, i-itu pipanya baik-baik aja. Enggak ada yang lepas, siapa yang perbaiki?” ujar Pak Min yang tiba-tiba muncul dari belakang. Mang Didin juga memasang wajah heran.

“Gak ada yang perbaiki, Pak.”

“Iya itu sudah seperti semula, enggak ada bau juga,” kata Pak Min lagi.

Semua terdiam, saling tatap.

Pak Min cepat pamit karena merasa merinding, Mang Didin juga pergi setelah memberi pesan kalau ada apa-apa Nilam harus segera hubungi mereka di depan. Gadis itu mengangguk meski sedikit menganga, heran.

Tinggal Dian yang mengkerut dahi, mau bertanya tapi urung karena Nilam cepat menyuruhnya berangkat.

“Lambat absen kepotong gaji nanti,” goda Nilam membuatnya gegas kembali ke kamar.

Mata Nilam sejenak membulat, berputar pelan ke arah belakang, memikirkan saluran pipa yang kemarin rusak dilihat dengan mata kepala sendiri, bau busuk, dan … entahlah. Tak mau banyak berpikir gadis itu kembali ke kamar, bersiap akan mandi dan bekerja lagi hari ini.

Nilam seakan-akan mudah terlupa pada rentetan kejadian aneh padanya. Tak ada rasa takut dan terganggu. Kejadian itu seolah datang dan pergi tanpa meninggalkan bekas dalam ingatan.

***

Di rumah depan, seorang pemuda muncul mengendarai motor besar masuk ke halaman, bertemu Babe yang sedang menimang burung di sangkar. Lelaki berperut buncit itu sepagi ini mengisi waktu dengan pekerjaan rutin. Memandikan burung dan membersihkan sangkar berukir warna emas itu.

“Eh, Juki elu baru muncul. Udeh masuk kerja?” Babe menyapa si pemuda jangkung yang tak lain merupakan anak dari adik Maemunah ini.

Juju senyam-senyum, menyalami tangan Babe. “Iya, Be. Nilam ngajak masuk hari ini.”

“Lah elu, ape-ape Nilam. Gue tau lu demen ama die. Sampai pulang kampung aja bela-belain anter.”

Juju menggaruk-garuk kepala. “Ah, Babe. Ini ‘kan biasa ojek jemputan gratis dateng,” jawabnya cengengesan.

Pemuda itu mengambil duduk di kursi rotan depan rumah. Lututnya bergoyang, terlihat sekali sedang gelisah.

“Jemput ape jemput? Biasanya elu datang lambat, sampe si Nilam yang nungguin. Gua bisa tebak elu udah kebelet kawin, ye?” Tembak Babe tanpa putus langsung memerahkan wajah Juju.

“Ih, Babe. Juki masuk dulu ah, Be.”

“Masuk ke rumah ape ke belakang sono?”

“Ya, ke rumah, Be. Mau numpang sarapan.” Juju meninggalkan Babe yang menyembur tawa melihat wajahnya makin merah.

Di dapur luas Juju bertegur sapa dengan Maemunah yang sedang menyiangi sayuran. Lalu Juju duduk di depan meja makan, letaknya di beranda dapur. Halaman belakang yang luas diatapi kanopi stainless, menghadap tanaman bumbu dan bunga-bunga milik tantenya, yang biasa dipanggil Encing atau Cing.

Sarapan dengan telur dadar, dan semur jengkol dinikmati Juju dengan perasaan tak karuan. Sejak tadi malam jantungnya bekerja tak normal. Ia makin merasa khawatir pada keadaan Nilam. Sejak datang dari kampung gadis itu, Juju merasa pikirannya tak bisa lepas dari Nilam. Bahaya yang pernah dialami temannya itu amat mengganggu hati.

Mereka bekerja di restoran yang sama. Ia dulu yang membantu Nilam masuk sebagai Waiters. Namun, gadis lincah dan pandai itu karirnya melesat cepat. Nilam sedang dipersiapkan memegang admin, meski masih membantu meng-handle pelanggan.

Juju yang masih bertahan di posisi Captain Waiter ikut merasa bahagia dengan perkembangan Nilam.

Selepas sarapan, Juju melihat jam di pergelangan, menunjuk angak setengah delapan kurang lima menit. Harusnya mereka sudah berangkat.

[Gue sudah nunggu di depan.]

Chat Juju masuk dikirim kontak Nilam Cantix.

Di kamarnya senyum terbit di bibir Nilam. Jarinya mengetik balasan singkat.

[Okey, Ju, sebentar.]

Nilam menyelesaikan makan dua bungkus mie instan. Ia sudah mandi, dan memakasi seragam kerja. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Seragam ditutupi blazer navy. Setelah mengenakan stocking sewarna kulit dengan sepatu hitam balet gegas ia ke rumah depan.

“Ni,” sapa si pemuda jangkung begitu Nilam terlihat. Juju sudah menunggu di teras.

“Hei, udah lama nungguin?”

Juju membuka mulut mau menjawab terhenti saat Babe mendahului.

“Sudah dari gelap tadi,” ucap Babe kencang sambil terkekeh. Sejenak Nilam dan Juju saling pandang, menahan senyum.

“Kami berangkat, Be.” Juju cepat bangkit dari duduk menyalami pamannya itu.

“Iye, hati-hati bawa anak orang,” pesan Babe dengan menekan kata ‘anak orang’ membuat keduanya tertawa nyengir.

Juju ini pertama mengenalkan Nilam pada keluarga Babe, sejak gadis itu masih bekerja sebagai tukang keramas di Salon Ayyi, tak jauh dari rumahnya.

Ia pula yang mengajak gadis kampung berwajah cantik alami itu bergabung dengan anak Klub Pecinta Korea, yaitu Korean Lovers yang menjadi wadah anak-anak muda berekspresi, mengembangkan diri, mengenal budaya dan Bahasa Korea.

Selama bergabung Nilam merasa wawasannya bertambah tentang negeri ginseng itu, meski ia belum pernah menginjakkan kaki di sana.

Klub mereka disponsori oleh pemilik Restoran K-Food, yang memiliki banyak cabang di ibu kota dan beberapa kota besar di sekitarnya. Restoran induk inilah tempat Nilam dan Juju bekerja. Selain gajinya di atas UMR, suasana resto yang nyaman juga membuat mereka bekerja dengan rasa senang.

Motor ninja hitam itu tiba di area parkir Food Court. Nilam turun dari motor, memberikan helmnya pada Juju.

“Kenapa, sih, liatnya gitu?” Nilam bertanya melihat Juju menatapnya lama, bukan tatapan usil seperti biasa, tapi raut heran—menatapnya saksama seolah meneliti sesuatu.

“Juju!” pekik Nilam kesal pertanyaannya tak dijawab.

Pemuda itu kaget lalu berucap terbata. “Kok, aneh, ya. Tadi gue boncengin loe terasa berat banget, ya, Ni?”

Mata Nilam membulat bulat sembari mendekat ke wajah Juju. “Maksudmu aku sekarang gemukan?”

“Eh, enggak. Aneh aja, rasanya sama berat dari Cing waktu itu. Yang pernah gue ceritain,” kata Juju jujur, saat mereka melangkah masuk pintu samping khusus karyawan.

Ia pernah memboncengi Maemunah, sepulang mengantar Nilam. Saudara ibunya itu minta ikut ke rumahnya, biasanya naik mobil Babe, tapi waktu itu Babe sedang keluar. Karena penumpang belakang lebih berat berkali lipat dari orang di depannya, motor Juju beberapa kali hilang keseimbangan. Setelahnya Juju selalu berharap bibi yang tambun itu tak memaksa lagi meminta tumpangan.

“Ngaco, ih, masa aku dibandingin sama Nyak.” Bibir Nilam mengerucut, mengabaikan Juju yang masih menjelaskan kalau tadi rasa berat tubuh kurusnya seperti lima kali lipat.

Jangan-jangan ada orang lain tinggal di tubuh Nilam? Seketika bulu di sekujur tubuh Juju berdiri.

Related chapters

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    11. Menginginkan Kematiannya

    Di ruang khusus karyawan, para gadis dan pemuda menyiapkan diri akan bekerja sebelum restoran buka. Seragam yang mereka kenakan hari ini paduan warna pink dan putih, perempuan mengenakan Dress Vintage dengan rok berenda mekar di atas lutut. Dilengkapi stoking dan sepatu balet. Hampir semua berambut panjang berwarna mencolok. Coklat kemerahan seperti rambut Nilam, blonde, sampai ghosted hair yang keputihan seperti uban. Tampilan sempurna itu ditunjang dengan mata berbinar dan senyum tak lepas dari bibir, salah satu standar pelayanan mereka. Selain menikmati hidangan istimewa, para pelanggan pun terhibur melihat para Waiter dan Waitress lalu-lalang seperti Putri dan Pangeran dari negeri Dongeng. Bisa sejenak melepas penat mereka yang ingin bersantai. Nilam memasang kontak lensa coklat muda. Rambut panjangnya bagian sisi dijepit ke tenga

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    12. Tameng

    Lelaki tua itu terpental sambil memekik kesakitan. Punggungnya menubruk pohon besar, lalu tersungkur di atas akarnya. Erangan kesakitannya terdengar oleh Nilam, tapi ia tak bisa melihat kondisi orang itu.Detik selanjutnya tubuh Nilam kembali melayang, melesat cepat menampati pada raga kaku di atas kasur. Tubuhnya sempat bergerak lemah, lalu kembali tenang dalam lelap.Di tempat lain, seorang lelaki muda duduk di atas hamparan sajadah. Jari kanannya bergerak pelan bertasbih dengan suara kecil, hanya terdengar di telinganya sendiri. Setelah selesai ia memanjatkan doa dengan sepenuh hati.Sepulang dari kampung Nilam, Juju rutin terbangun tengah malam, mengambil wudu dan salat sunah. Peristiwa yang dialami Nilam amat lekat dalam benak. Kekhawatiran yang menguatkan imannya. Menyadari tidak ada tempat meminta pertolongan selain pada Sang Pemilik Kehidupan itu sendiri.

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    13. Nyawa Selalu Diintai

    “Kalau kita nikah gue akan jaga loe.” Baru kali ini Nilam melihat Juju sangat serius, ia sampai menahan diri untuk tak tertawa. “Besok aja kita omongin. Ini jam berapa?” Nilam menarik pergelangan Juju melihat jam tangan. “Ya ampun jam sebelas, Ju, Babe—“ “Ni, serius. Kita harus nikah secepatnya.” Hening tercipta, Juju menahan dua bahu Nilam untuk saling bertatapan dalam jarak dekat, terhenti saat gadis itu membuang pandang ke sekitar, dua orang dewasa sampai berhenti melihat arah mereka. Cepat Nilam melepaskan tangan Juju. “Diliatin orang, tuh,” katanya kikuk. Merasa tak nyaman jadi tontonan Juju mengajaknya pulang, naik taksi tanpa argo yang mangkal depan gedung rumah sakit. Selama perjalanan keduanya hening, hanyut dalam pikiran masing-masing. Juju yang berusaha meredam perasaannya bercampur ke

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    14. Perlawanan Dimulai

    Kenapa dengan gadis itu?Ada apa dengan Nilam?Benak Hwa terus bertanya sambil sesekali melihat spion belakang da suasana depan padat belum bisa membuat mobilnya bergerak.Juju yang tadi melaju lebih dulu di depan sana terlihat kembali berlari ke sini, menyelip di antara padatnya roda dua dan empat yang berhenti.“Di depan ada kecelakaan. Biar Nilam ikut motor aja,” saran Juju pada Hwa setelah kaca mobil diturunkan.“Tidak bisa, Ju, lihat dia menggigil,” jawab Bon Hwa. Rahangnya menegang, menekan klakson berkali-kali. Usahanya sia-sia.“Darah lagi?!” Leli kaget menyadari cairan merah yang tadi cuma menetes kini mengucur keluar dari hidung Nilam.Buru-buru ia lagi menyambar tisu, mengus

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    15. Hasad Tersembunyi

    Hari hampir siang, setengan sebelas Juju sudah berangkat dari rumah. Sebelum bekerja ia akan ke kos Nilam dulu, gadis itu memang sudah mendapat izin tak masuk hari ini, oleh Hwa. Juju hanya ingin memastikan kondisinya saja.Ponsel Nilam dihubungi tidak aktif sedari pagi, itu membuatnya khawatir.Tanpa mampir ke rumah Babe, pemuda itu gegas mengayunkan langkah ke kos belakang. Nilam pasti sendiri, teman kos lain sudah berangkat kerja, Juju hanya merasa atas kejadian mengerikan tadi malam tak seharusnya Nilam ditinggal sendiri.Melihat pintu tertutup rapat degup jantung Juju berdetak cepat, ada perasaan tak enak menghinggapi melihat ruang yang ditempati Nilam itu. Terasa suram.“Nilam!” panggilnya sambil mengetuk pintu.Tak ada jawaban.Diulang lagi. Tetap hening.Jangan-jangan … gadis itu kambuh lagi? pikirnya segera ke samping, menggedor jendela kaca bagian kamar.Juju terpaksa menginjak tanaman di b

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    16. Dengki

    Brukk! Pintu terdorong keras, Juju langsung melangkah ke kamar Nilam. Terdorong perasaan tidak enak ia tadi kembali ke sini. Segera terlihat olehnya Suci duduk di samping Nilam, menepuk pelan pipi gadis itu. Juju mendekat melihat Nilam tegak di tempatnya dengan mata membulat, lalu memegang perut terbungkuk seperti menahan mual. “Loe kenapa, Ni?” Juju mendorong Suci yang tergeragap bingung melihat keadaan Nilam, agar menjauh. “Hoekk!” Nilam terbungkuk menekan perut yang terasa bergelombang, ada sesuatu bergerak naik ke dada. Juju membuka plastik yang diambil dari meja dipasang ke pangkuan Nilam. Dengan sabar menepuk-nepuk punggung, sembari memijit ringan bahunya berharap mual Nilam berkurang. “Kalau ada apa-apa sama Nilam elo harus tanggungjawab!” ancam Juju pada Suci, yang ia tahu ada di belakangnya. Suci memang berdiri di sudut, merapat pada dinding. Pisau kecil yang sempat disembunyikan di dalam baju tadi kembali diambil, tub

    Last Updated : 2021-09-03
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    17. Hitam dan Putih

    “Senang lihat Abang pulang,” kata Juju pada Hanif saat ngobrol sebentar sebelum naik ke motornya. “Nilam butuh Abang di sini, Juki curiga temannya itu punya niat jahat, Bang.” Lelaki berahang tegas itu mendengarkan Juju saksama. “Banyak doa aja, kita gak bisa juga suudzon, semoga aja temanmu itu bisa mawas diri, yang penting dari dirinya dulu, keyakinan hatinya, baru kita bantu semampu yang kita bisa.” “Iye, Bang. Juki agak tenang nih, titip die ya,” ujar Juju. “Wah, kayaknya istimewa tuh. Kita cuma bermohon pada Allah yang bisa menjaga sebaik-baiknya penjaga.” “Iye, Bang. Juki percaya itu. Yuk, Bang Hanif, berangkat dulu.” “Iye hati-hati, jangan lupa doa sebelum jalan.” Juju berkomat-kamit sebelum menutup kaca helm. “Dari awal gue curiga Juki itu demen sama si Nilam.” Babe sama Maemunah rupanya tadi diam-diam mendengar pembicaraan Juju sama putranya. Hanif menoleh dengan senyum manis. “Suka itu normal, Be.” “Ka

    Last Updated : 2021-09-03
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    18. Terbongkar

    Mentari sudah mengintip di ufuk Timur, bersiap keluar membagi hangatnya pagi. Di kamar bernuansa pink, perempuan bermata kecil mengerjap. Matanya terbuka menerima terang yang masuk dari celah ventilasi. Beberapa saat ia mencoba mengembalikan kesadaran, mengingat apa yang terjadi semalam. Lalu tersentak seakan menyadari sesuatu, ia terduduk. Rambutnya kusut masai disibak ke belakang telinga. Seingatnya tadi malam ia di lantai, tapi sekarang sudah di tempat tidur. “Nilam?” gumamnya bertanya pada diri sendiri. Mata disapu ke sekitar, tak menemukan gadis itu. Apa aku berhasil? Nilam … hilang tanpa jejak …? Suci membulatkan mata, berdiri sambil memekik di hati, tangan terkepal, merasa usahanya tak sia-sia. Meski masih lemah, ia seakan mendapat energi baru, akan segera pulang sebelum penghuni lain mengetahui semua. Perempuan itu menguncir cepat rambutnya, meraih tas. Mengintip di luar masih terdengar sepi, ia harus bergegas

    Last Updated : 2021-09-03

Latest chapter

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    61. Akhir

    Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    60. Mengamankan Keluarga Kecil Nilam

    Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    59. Sosok Pembebas Bayang Gelap

    Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada Apa?

    “Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada yang Aneh

    Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    57. Juju Junior

    Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    56. Dihantui Takut

    Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    55. Dara Kembali?

    Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    54. Ujian

    Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status