Share

7. Kembali Ke Kota

Author: Li Na
last update Last Updated: 2021-08-30 06:55:00

Warga bahu-membahu memukul api dengan ranting pohon basah. Mereka berusaha mematikan titik api yang makin mendekati jalan. Takut mengenai salah satu rumah penduduk lain yang tak jauh dari sini. Penuh perjuangan mereka lakukan sambil meminta pertolongan Tuhan. Beberapa sudah sesak napas dan memilih mundur, menjauh.

Seketika mentari yang tadi muncul kembali bersembunyi, tertutup awan gelap. Makin lama makin pekat menggantung di wajah langit. Semua berseru memohon hujan sambil menjauh dari titik api.

Kepasrahan tampak dari wajah-wajah lelah, hanya mampu memandang lemah pada jilatan api makin menjalar dari kejauhan.

Rintik mulai terasa menetes mengenai tubuh mereka. Puluhan lelaki itu menatap langit, menerima guyuran air jatuh semakin lebat. Semuanya bisa menarik senyum lebar penuh kelegaan, kemudian tawa mulai keluar dari seorang disambut yang lain. Berderai menyamai suara hujan yang makin menjadi.

Para lelaki, tua-muda menari bahagia di bawah nikmat kesejukan hati dan raga mereka kini. Berharap tak ada ketakutan. Tak ada teror lagi yang membisiki.

***

Tiga hari sudah, Nilam tinggal di Kampung Koneng—desa tetangga. Dalam masa pemulihan Mak dibantu Siti, yang merupakan adik bungsu Pak Guruh itu telaten merawatnya.

Wajah gadis itu mulai terlihat merona. Ia meyakinkan Mak akan siap pulang esok hari ke kota.

“Kasihan Juju jadi ikutan lama temanin Nilam, Mak.”

“Iya, Mak kasian juga lihatnya ikut khawatir sama kamu.”

“Mak, beneran nggak mau tinggal ikut Nilam?” Gadis berbibir penuh, yang suka memakai lip balm merah bata ini kembali merayu ibunya.

Sejak kemarin ia meminta Mak ikut dan tinggal bersamanya. Menikmati masa tua di kota dengan gaji yang dirasa cukup untuk hidup mereka berdua.

“Mak, suka pusing lihat orang ramai. Enak di kampung. Kalau Mak sudah sepuh baru kamu ambil, ya,” kata Mak Lumpit sambil mencubit pelan pipi Nilam.

Apa mau dikata, gadis itu tidak bisa memaksa, yang penting Mak senang. Ia bersandar manja di bahu ibunya. ketegangan selama di kampung tiga hari lalu membuatnya sedikit syok.

Ternyata di kampung tercinta, masih ada orang yang bernafsu memiliki kekuatan mistis sampai mau mengorbankan orang lain. Ia kembali bergidik. Seandainya bukan sebab pertolongan warga, mungkin sekarang hanya akan tertinggal nama Nilam Kumalasari.

Dalam senyum, ia membayangkan kehebohan teman-teman di kost dan kumpulan Korean Lovers kalang-kabut tanpa kehadirannya. Ia termasuk penceria suasana kalau mereka tengah berkumpul.

Apalagi di Gi Wa, restoran K-Food tempatnya bekerja, ada seseorang berahang kokoh yang menarik perhatian.

Pemilik wajah dingin itu bisa membuat Nilam tersenyum sendiri. Rupanya mirip aktor drama Korea. Cuek dan kadang semaunya sendiri, mengesalkan tapi tak menampik Nilam jadi suka saat berhadapan dengannya.

“Kenapa senyum sendiri?” Bu Siti menegur Nilam yang duduk melamun, selepas makan siang tadi ia duduk sendiri di teras rumah.

“Eh, Bu Siti.” Nilam tersipu malu.

Wanita empat puluhan itu mengambil duduk tak jauh dari Nilam, mengajaknya ngobrol_berbagi cerita tentang suasana ibu kota. Sementara Mak sedang di belakang, sedangkan Juju tertidur di ruang tengah, depan televisi tabung. TV-nya tak menyala, sebab aliran listrik belum pula masuk. Hanya warga mampu yang membeli mesin Genset untuk penerangan di malam hari. Mereka juga bisa menikmati siaran hiburan di TV yang tertangkap sinyal parabola.

Sedang asyik berbincang, sebuah motor berhenti di depan jalan.

“Suci?” Nilam menyambut temannya yang turun dari boncengan.

Suci memeluknya, lalu bersalaman dengan Bu Siti yang menemani mereka sebentar, kemudian masuk.

“Kok bisa sampai sini?” tanya Nilam penasaran.

“Aku senang kamu bisa keluar kampung …” Suci menunduk, lalu kembali berkata, “senang juga kamu bisa selamat dari Ki Arya, Ni.”

Nilam tersenyum seraya menyentuh tangan temannya itu.

“Makasih perhatianmu, Ci. Sampai capek-capek ke sini.

Suci terdiam sebentar, merogoh kantung celana panjang kain yang dipakai. Sebuah kalung etnik, batu oval kecil berselang-seling warna coklat tua dan muda, dengan bandul batu bulat hitam cukup besar.

“Ini untukmu, Ni. Kenang-kenangan, takutnya kita ndak ketemu lagi. Makanya aku sempatkan ke sini.” Wajah Suci berubah sendu saat mengakhiri kalimatnya.

Nilam menerima barang itu sambil mengucapkan terima kasih. Lalu ia melepas jam tangan di pergelangan kirinya. Arloji mini berbingkai pink itu ditangkupkan di telapak Suci.

Sedikit terkejut Suci memandangnya sejenak.

“Ambil aja ntuk kenang-kenangan kita,” kata Nilam sembari mengangguk kecil, ia memaksa Suci menerimanya.

Tak sampai sepuluh menit perempuan muda berambut sepinggang itu kemudian pamit pulang.

“Loh, kok, buru-buru. Nyari ojeknya dulu, Ci.” Nilam mencoba menahan Suci yang sudah turun dari teras.

“Enggak apa. Ojeknya nunggu di sana, kok,” balas Suci menunjuk ujung jalan. Ia setengah berteriak karena sudah melangkah jauh.

Nilam menatap punggungnya sampai tak terlihat, tertutup sebuah pohon mangga punya tetangga Bu Siti.

***

Hari perpisahan Mak dan Nilam pun tiba. Mereka berpelukan sambil menangis, cukup lama, sampai dua tukang ojek itu terlihat kesal menunggu.

Nilam dan Juju naik ojek sekitar dua puluh menit dari Kampung Koneng menuju sebuah terminal di kabupaten. Mereka akan naik bis kembali ke ibu kota.

Seandainya bisa memilih, Nilam ingin selalu bersama wanita yang begitu menghangatkan hatinya itu. Hanya, ia lebih merasa memiliki tujuan hidup di kota_memacu jiwanya bersaing untuk hidup lebih baik lagi. Walaupun Mak tak sependapat dengannya.

Bus PO ber-AC membawa semilir dingin dari lubang pendingin menerpa wajah Nilam. Gadis itu duduk di dekat kaca.

“Capek, Ni? Tidur aja sini,” tawar Juju sambil menepuk bahu sendiri.

“Masih mau lihat-lihat. Juju tidur aja kalau ngantuk,” jawab Nilam sembari melempar pandang keluar jendela.

“Bawa istirahat, lo jangan banyak pikiran.”

Nilam mengangguk kecil, sembari menoleh pada Juju yang bersandar pada kursi akan segera tidur. Wajah pemuda yang amat akrab dengannya itu terlihat lelah. Nilam tahu Juju kurang istirahat sejak beberapa hari lalu.

Juju yang tengah memejamkan mata memang merasa tubuhnya remuk. Mungkin pengaruh lelah badan dan syok. Baru sekarang pemuda ini mengalami kejadian mistis sebegitu mengerikan.

Ia terlahir asli Betawi, bernama asli Juki Ardiyasa. Nilam, teman-teman, dan anak-anak Korean Lover’lah yang terbiasa memanggilnya Juju. Kata mereka wajahnya bukan Betawi, tapi persis aktor Korea, Kim Bum. Ia sampai dibilang titisan pemain drama Boys Before Flowers itu.

Juju pemuda yang cukup kuat menjalankan perintah agama. Selama ini di lingkungannya tak pernah ada gangguan aneh seperti di kampung Nilam.

Mungkin benar kata Engkong dulu, pikir Juju sambil menutup mata.

Di mana kakeknya itu selalu mengingatkan mereka tak meninggalkan ibadah, agar tak diganggu jin yang wujudnya tak terlihat, atau terkena sihir orang yang memakai kekuatan set*n untuk kepentingan diri sendiri.

Kalau iman lemah akan mudah dimasuki kekuatan itu. Pantas saja, pikir Juju lagi. Selama ini Nilam tak pernah terlihat ibadah wajib. Perempuan cantik yang sudah lama berteman dekat dengannya itu tak pernah mengubris saat ia pernah bertanya dan menyarankan ibadah.

Hidup Nilam flat seperti biasa saja menanggapi agama yang tertulis di KTP-nya, mungkin karena kebiasaan semenjak kecil dan lingkungan. Juju sudah melihat Mak Lumpit dan orang sekitar seperti tak punya aturan agama. Hidup hanya berdasarkan kepercayaan leluhur turun temurun. Agama resmi tercatat di tanda penduduk mungkin sebagai formalitas saja.

Namun, Juju bersyukur Nilam selamat keluar kampung. Pemuda berwajah bersih itu berharap bisa kembali menggiring Nilam jadi lebih baik setelah kembali ke Jakarta. Ia merasa bertanggung jawab atas diri gadis itu.

Juju pun terlelap, hanyut bersama ribuan pikiran di benaknya. Sementara Nilam masih menikmati panorama sejauh mata memandang. Sampai lama-lama mata bolanya meredup, ngantuk.

Saat yang sama, tak sengaja ia melihat kepala bayi mengintipnya dari atas bangku depan. Bayi tanpa rambut itu menatapnnya tajam. Sempat menegang sejenak, Nilam segera mengalih pandang, melihat Juju yang menganga terlelap. Tanpa pikir panjang Nilam ikut meraih jaket, menutupi muka agar tertidur juga.

Sekilas ia mendengar suara seorang ibu di depannya menimang si anak agar tenang.

Hawa sejuk itu lama-lama membuat Nilam mengantuk, hingga makin tak tertahan. Beberapa kali kepalanya terkulai ke samping. Ia terbangun, kembali menegakkan kepala, kemudian tertidur lagi. Sampai terdiam lelap pada pundak Juju. Kepala mereka saling bersentuhan.

Semakin lelap, bibir Nilam makin terbuka. Dengkuran halus mencelos dari pita suaranya, sedikit bergetar.

Nilam amat lelap dan merasa terbang ke alam mimpi. Ada sebuah tangan dingin memegang jemarinya, mengajak ia ke suatu tempat. Nilam merasa sangat tertarik ikut, tapi sisi lain jiwanya memberontak.

Terasa sekali tangan dingin itu merambat hingga ke pinggulnya, saat orang asing itu menariknya ke pelukan. Tubuh Nilam mulai menggigil. Ia merasa tubuhnya melayang, baru disadari kalau mereka menari di udara. Terbang.

Detik kemudian Nilam tersentak bangun! Ia menangkup wajah, mengusapnya beberapa kali. Menghilangkan kecamuk sebab mimpi itu hampir sama dengan mimpinya saat di kampung.

Nilam perbaiki posisi, menyandarkan kepala di sandaran kursi busa empuk itu, memejamkan mata sambil mengatur napas yang berdetak cepat. Sejenak ia tertegun, merasa ada sesuatu menyentuh pipinya.

Rambut dan embusan napas dingin terasa hanya beberapa senti di pipi kanannya. Rasanya seperti di tempeli bibir seorang … berkumis?!

“WHUUAAAAA!!”

Nilam sontak membuka mata sambil berteriak. Ia terloncat berdiri di kursi, kepalanya berdenyut sebab terantuk keras pada atap bus.

Semua penumpang kaget mendengar teriakan dan ulah Nilam. Mata Juju yang merah lagsung terbuka, cepat melihat arah Nilam. Pun dengan bayi di kursi depan, mulut basah itu berhenti menyusu ibunya.

Lalu tangisan kuat dari bayi itu keluar seketika, sambil meronta menunjuk ke arah belakang, arah Nilam.

Suasana di dalam bus menjadi riuh, semua berdiri dari tempat duduk hendak melihat apa yang terjadi.

“Turun,” perintah Juju mendesis sambil menarik tangan Nilam.

Gadis itu kembali duduk dengan raut bersalah. Namun, tangis bayi perempuan di depan makin menyayat, melihat ke arahnya dari sela punggung kursi, makin sulit ditenangkan oleh ibunya.

Liur bertali mengalir dari mulut bayi yang terus menganga lebar. Wajahnya merah, tubuh bayi itu bermandi peluh. Ibunya dan beberapa orang ikut panik bantu menenangkan.

Seseorang bapak mendekat, meminta Nilam berpindah tempat. Semua bisa melihat kalau anak itu ketakutan melihatnya.

Setelah saling pandang dengan Juju, dan pemuda itu mengangguk kecil tanda mendukung Nilam berpindah ke belakang.

Nilam melangkah terasa melambat, melihat pandangan aneh dari semua mata tertuju padanya. Ia jadi merasa sangat gugup, mencoba menenangkan diri dengan meremas bandul kalung pemberian Suci yang menjuntai hingga ke dadanya itu.

Apa ada yang aneh? Kenapa mereka menatapku begitu ...? benak Nilam penuh tanya.

Related chapters

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    8. Ada yang Aneh

    Di Dukuh Gelap ….Suara binatang malam bersahutan, seakan-akan membicarakan pertemuan dua orang di tepi telaga.Ada lelaki dan perempuan sedang berhadapan di sana. Wajah mereka tak tampak, sebab tertutup gelapnya malam. Derak ranting yang telah menjadi arang terdengar saat si perempuan melangkah maju.Lelaki itu dalam posisi duduk bersila itu matanya terpejam, tapi bibirnya berucap.“Bagus! Aku sekarang bisa bersamanya, hahahaaa. Kau sudah jalankan perintah dengan baik. Pulanglah, apa yang kujanjikan sudah menunggumu di rumah.” Suara berat dan serak itu mengakhiri pertemuan mereka.Perempuan berperawakan sedang itu berbalik, dalam gelap melangkah cepat menyusuri jalan setapak. Daster lebarnya mengepak tertiup angin malam, mengiringi kibasan rambut yang terurai sepinggang. Ia tampak

    Last Updated : 2021-08-30
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    9. Nilam yang Berbeda

    Dari rumah besar di depan terdengar suara tawa keras dari Babe dan Nyak, menertawakan Pak Min.“Bersihkan sendiri tuh ompol. Udeh tua juga sampe ngucur begitu,” kata Babe terkekeh, sambil menunjuk tetesan air memanjang dari luar hingga ke garasi.Di pojokan Pak Min membungkuk, menutupi celana yang basah. Lutut dan badannya gemetar hebat.Wajahnya pasi tanpa warna, kecamuk rasa bercampur di kepala lelaki paruh baya itu. Rasa malu tertutupi oleh takut luar biasa. Sosok bayangan hitam ia lihat tadi melingkupi tubuh Nilam. Belum lagi suara tawanya ... Iih! Pak Min menggidik sambil memeluk badan.Jantungnya bertalu berusaha menenangkan diri. Dua majikan yang ada di ruang itu tak menyadari apa yang ia rasa. Mereka malah terus tergelak lucu, lalu meninggalkannya ke belakang.Pak min kembali terlo

    Last Updated : 2021-08-31
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    10. Teror Gaib yang Tak Disadari

    Tetes demi tetes darah mengalir dari hidung Nilam membasahi sprei. Bau amis menyengat merebak memenuhi kamar. Tubuh yang belum bisa bergerak membuat Nilam pasrahmemejamkan mata kuat. Merasakan pemilik napas dingin yang tak terlihat itu seakan menghisap darah dari tubuhnya. Semakin banyak keluar Nilam merasa lemah. Sampai kemudian tubuhnya terasa melayang, saat mencoba buka mata pandangannya menggelap. Detik kemudian, wajah Nilam tertelungkup di tempat, basah terkena genangan darah di kasurnya. *** Di Dusun Gelap, seorang lelaki tua duduk tampak duduk bersila, dalam kegelapan. Tiba-tiba ia tersentak mundur. Seketika itu juga mulutnya meringis dengan tangan mengusap dada. “Sial! Apa yang dimiliki anak itu sampai sulit kudapatkan?!” Penuh amarah ia mengamuk, memukul tanah dan menendang rerumputan.

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    11. Menginginkan Kematiannya

    Di ruang khusus karyawan, para gadis dan pemuda menyiapkan diri akan bekerja sebelum restoran buka. Seragam yang mereka kenakan hari ini paduan warna pink dan putih, perempuan mengenakan Dress Vintage dengan rok berenda mekar di atas lutut. Dilengkapi stoking dan sepatu balet. Hampir semua berambut panjang berwarna mencolok. Coklat kemerahan seperti rambut Nilam, blonde, sampai ghosted hair yang keputihan seperti uban. Tampilan sempurna itu ditunjang dengan mata berbinar dan senyum tak lepas dari bibir, salah satu standar pelayanan mereka. Selain menikmati hidangan istimewa, para pelanggan pun terhibur melihat para Waiter dan Waitress lalu-lalang seperti Putri dan Pangeran dari negeri Dongeng. Bisa sejenak melepas penat mereka yang ingin bersantai. Nilam memasang kontak lensa coklat muda. Rambut panjangnya bagian sisi dijepit ke tenga

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    12. Tameng

    Lelaki tua itu terpental sambil memekik kesakitan. Punggungnya menubruk pohon besar, lalu tersungkur di atas akarnya. Erangan kesakitannya terdengar oleh Nilam, tapi ia tak bisa melihat kondisi orang itu.Detik selanjutnya tubuh Nilam kembali melayang, melesat cepat menampati pada raga kaku di atas kasur. Tubuhnya sempat bergerak lemah, lalu kembali tenang dalam lelap.Di tempat lain, seorang lelaki muda duduk di atas hamparan sajadah. Jari kanannya bergerak pelan bertasbih dengan suara kecil, hanya terdengar di telinganya sendiri. Setelah selesai ia memanjatkan doa dengan sepenuh hati.Sepulang dari kampung Nilam, Juju rutin terbangun tengah malam, mengambil wudu dan salat sunah. Peristiwa yang dialami Nilam amat lekat dalam benak. Kekhawatiran yang menguatkan imannya. Menyadari tidak ada tempat meminta pertolongan selain pada Sang Pemilik Kehidupan itu sendiri.

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    13. Nyawa Selalu Diintai

    “Kalau kita nikah gue akan jaga loe.” Baru kali ini Nilam melihat Juju sangat serius, ia sampai menahan diri untuk tak tertawa. “Besok aja kita omongin. Ini jam berapa?” Nilam menarik pergelangan Juju melihat jam tangan. “Ya ampun jam sebelas, Ju, Babe—“ “Ni, serius. Kita harus nikah secepatnya.” Hening tercipta, Juju menahan dua bahu Nilam untuk saling bertatapan dalam jarak dekat, terhenti saat gadis itu membuang pandang ke sekitar, dua orang dewasa sampai berhenti melihat arah mereka. Cepat Nilam melepaskan tangan Juju. “Diliatin orang, tuh,” katanya kikuk. Merasa tak nyaman jadi tontonan Juju mengajaknya pulang, naik taksi tanpa argo yang mangkal depan gedung rumah sakit. Selama perjalanan keduanya hening, hanyut dalam pikiran masing-masing. Juju yang berusaha meredam perasaannya bercampur ke

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    14. Perlawanan Dimulai

    Kenapa dengan gadis itu?Ada apa dengan Nilam?Benak Hwa terus bertanya sambil sesekali melihat spion belakang da suasana depan padat belum bisa membuat mobilnya bergerak.Juju yang tadi melaju lebih dulu di depan sana terlihat kembali berlari ke sini, menyelip di antara padatnya roda dua dan empat yang berhenti.“Di depan ada kecelakaan. Biar Nilam ikut motor aja,” saran Juju pada Hwa setelah kaca mobil diturunkan.“Tidak bisa, Ju, lihat dia menggigil,” jawab Bon Hwa. Rahangnya menegang, menekan klakson berkali-kali. Usahanya sia-sia.“Darah lagi?!” Leli kaget menyadari cairan merah yang tadi cuma menetes kini mengucur keluar dari hidung Nilam.Buru-buru ia lagi menyambar tisu, mengus

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    15. Hasad Tersembunyi

    Hari hampir siang, setengan sebelas Juju sudah berangkat dari rumah. Sebelum bekerja ia akan ke kos Nilam dulu, gadis itu memang sudah mendapat izin tak masuk hari ini, oleh Hwa. Juju hanya ingin memastikan kondisinya saja.Ponsel Nilam dihubungi tidak aktif sedari pagi, itu membuatnya khawatir.Tanpa mampir ke rumah Babe, pemuda itu gegas mengayunkan langkah ke kos belakang. Nilam pasti sendiri, teman kos lain sudah berangkat kerja, Juju hanya merasa atas kejadian mengerikan tadi malam tak seharusnya Nilam ditinggal sendiri.Melihat pintu tertutup rapat degup jantung Juju berdetak cepat, ada perasaan tak enak menghinggapi melihat ruang yang ditempati Nilam itu. Terasa suram.“Nilam!” panggilnya sambil mengetuk pintu.Tak ada jawaban.Diulang lagi. Tetap hening.Jangan-jangan … gadis itu kambuh lagi? pikirnya segera ke samping, menggedor jendela kaca bagian kamar.Juju terpaksa menginjak tanaman di b

    Last Updated : 2021-09-02

Latest chapter

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    61. Akhir

    Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    60. Mengamankan Keluarga Kecil Nilam

    Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    59. Sosok Pembebas Bayang Gelap

    Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada Apa?

    “Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada yang Aneh

    Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    57. Juju Junior

    Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    56. Dihantui Takut

    Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    55. Dara Kembali?

    Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    54. Ujian

    Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.

DMCA.com Protection Status