Share

8. Ada yang Aneh

Author: Li Na
last update Last Updated: 2021-08-30 20:10:36

Di Dukuh Gelap ….

Suara binatang malam bersahutan, seakan-akan membicarakan pertemuan dua orang di tepi telaga.

Ada lelaki dan perempuan sedang berhadapan di sana. Wajah mereka tak tampak, sebab tertutup gelapnya malam. Derak ranting yang telah menjadi arang terdengar saat si perempuan melangkah maju.

Lelaki itu dalam posisi duduk bersila itu matanya terpejam, tapi bibirnya berucap.

“Bagus! Aku sekarang bisa bersamanya, hahahaaa. Kau sudah jalankan perintah dengan baik. Pulanglah, apa yang kujanjikan sudah menunggumu di rumah.” Suara berat dan serak itu mengakhiri pertemuan mereka.

Perempuan berperawakan sedang itu berbalik, dalam gelap melangkah cepat menyusuri jalan setapak. Daster lebarnya mengepak tertiup angin malam, mengiringi kibasan rambut yang terurai sepinggang. Ia tampak beberapa kali mengusap air mata.

“Maaf, Ni … aku terpaksa,” lirihnya sambil terisak. Di pikirannya, ada penyesalan telah merelakan teman sendiri untuk dijadikan sebagai korban lelaki itu. Ia tahu setelah ini Nilam tak akan bisa lepas lagi.

***

Nilam telah sampai di Jakarta. Walaupun tertidur lama, hampir sepanjang perjalanan tadi, tak membuat gadis berkaos pink itu terlihat lemas. Wajahnya justru tampak semringah saat memberhentikan angkutan kota yang ditumpangi.

“Kiri, Bang,” ucapnya.

Semburat lembayung indah terlihat menyambut mentari yang di ufuk Barat, seakan turut menyambut kedatangan Nilam. Di terminak bus tadi ia berpisah dengan Juju, naik angkot jurusan berbeda, pulang ke rumah masing-masing.

Gadis berkuncir satu itu bergegas menuju rumah luas ber-cat hijau tosca.

Pagar besi hitam setinggi tiga meter didorongnya, setelah memutar kode pada gembok yang sudah ia hapal di luar kepala.

“Babee,” sapa Nilam pada saat matanya menangkap seorang lelaki berperut buncit, tengah berada di depan dua sangkar burung piaraan.

Siulan lelaki paruh baya itu terhenti. Menurunkan kaca mata tebalnya ke batang hidung, memicing menatap Nilam saksama.

“Eh, Nilam?” katanya setelah menyadari gadis itu sangat dikenal.

“Iya, Be. Baru aja nyampe.” Nilam mengangguk kecil sembari tersenyum.

“Buru-buru amat ninggalin Mak, Lu? Bukannye dimari bilang cuti seminggu?” Suara besar milik lelaki berkulit gelap itu keluar, matanya belum lepas dari sosok Nilam.

Secara penampilan, pakaian yang dipakai gadis penghuni kos-nya selama tiga tahun ini sama seperti biasa--sederhana, tapi cantik. Hanya … Babe merasa ada sesuatu lain berbeda. Mata Babe makin menyipit memandangi Nilam.

“Ng, iya, Be.” Nilam memainkan anak rambutnya, kemudian garuk-garuk kepala yang tak gatal. Ia bingung akan menjawab apa. Mau dijelaskan semua terlalu panjang lebar, sekarang ia hanya ingin cepat bertemu kasur tercinta yang dirindukan.

“Nilam masuk dulu, ya, Be. Capek, nih.” Tangannya mengipas-ngias wajah yang mengkilap berkeringat, efek tadi berdesakan di dalam angkutan.

“Iye, istirahat, gih! Eh, si Juki langsung pulang?”

“Iya, Be. Tadi langsung misah di terminal. Mari, Be,” pamit Nilam gegas ke belakang.

“Iye.”

Babe akan kembali menimang burung hijau kekuningan berparuh pink itu, ia tersentak mundur beberapa langkah. Ada sekelebat bayangan gelap melesat lewat—mengikuti langkah Nilam.

Tatapan Babe masih melongo ke arah punggung gadis berambut coklat itu, sampai menghilang tertutup tembok belakang rumah.

‘Ada yang aneh …,’ pikirnya keras.

Babe kembali terkejut saat merasakan sesuatu menarik telinganya cukup keras. Lelaki berwajah khas Betawi ini bergerak ke arah seseorang bermata lebar berdiri di sampingnya.

“Liat ape? Liat ape?!” Wanita bertubuh tinggi besar melotot penuh amarah.

“Kagak Munah, itu—“

“Itu ape?! Sejak kapan liatin Nilam begitu? Ingat, Be, die itu pantas jadi anak. Anak!” Ulangnya sekeras mungkin seakan-akan menembus telinga suaminya.

Babe mengusap wajah, memasang raut kesal. Istrinya ini kalau bicara terlalu cepat dan keras begini, selalu muncul hujan kecil dari mulutnya, menyiprat keluar.

“Iye, tau! Sape juga. Itu tadi ada-“ Ucapan Babe terputus saat wanita itu memelintir daging lengannya dengan jari. Ia mengaduh seraya mundur selangkah, mengusap bekas cubitan Maemunah.

“Awas, kalau Babe genit! Gua akan keluarin semua ntu anak cewek, biar ganti jadi kost-an laki aje!” kata Maemunah berakhir dengan hentakan kaki masuk ke rumah.

“Eh, Maemunah. Jangan sembarang nuduh lu jadi bini, kagak baek!” Babe berkacak pinggang, kesal.

Setelah ditinggal Maemunah masuk, mulut Babe hampir akan bersiul lagi, tapi urung. Menurut lelaki pecinta burung ini, siulan itu akan dirasakan tak nyaman oleh piaraan kalau dilakukan dengan rasa tak senang.

Karena, sekarang hatinya sedang kesal dicurigai Maemunah. Menurut Babe, biar ia dibilang suami jelek, tapi kesetiaan itu utama yang dijaganya sejak dulu. Dua puluh lima tahun menikahi Maemunah, tak pernah terbersit mau mencari istri baru. Walaupun tubuh wanita yang dulunya langsing sekarang tak berbentuk lagi. Dan, Babe paling tak suka di curigai.

Belum lagi … hawa angin dingin serasa berdesir sampai masuk ke dalam dadanya, membuat Babe merasa tak enak.

Ia mengusap-usap dada, sambil berucap istighfar. Sebelum masuk rumah, kembali matanya menyapu ke sekitar halaman.

“Aneh, kenape berasa kaya ada orang, ye?” Ia bergumam lagi pada diri sendiri, kemudian menggaruk dahi.

Setelah yakin tak ada siapa pun, Babe cepat-cepat masuk sambil mengusap tengkuk. Ia merasa bulu halusnya semua berdiri.

Sementara itu, Nilam melangkah ringan menuju bangunan bertuliskan Kost Putri. Letaknya menghadap tembok pembatas halaman belakang rumah Babe.

Bangunan itu ber-cat kuning, dengan empat pintu. Masing-masing ruang berukuran lima kali enam, tambah dua meter dapur dan jemuran pribadi. Selasar antar kamar dihalangi tembok setinggi dada.

Luas tanah milik Babe dan Nyak—panggilan mereka untuk Maemunah—ini cukup untuk dua rumah ukuran besar. Halaman yang tersisa juga masih cukup luas.

Yang Nilam tahu dari Juju, teman sekaligus keponakan Maemunah. Wanita bersuara cempreng itu dulunya adalah anak seorang tuan tanah yang disegani di Kampung Betawi.

Orang tuanya tak pernah tertarik menjual tanah-tanah yang mereka miliki, meski ditawar dengan harga tinggi. Karena itu sekarang Maemunah dan dua saudaranya bisa berjaya hidup dari usaha rumah kontrakan di ibu kota ini.

Selain di sini, ada tiga kontrakan lain milik keluarga yang dikenal selalu ramai itu—semua penghuninya suka berbicara dengan suara keras, mengalahkan satu toa masjid. Apalagi kalau saudara lain datang berkumpul di sana, mungkin pasar saja akan kalah dengan ramainya.

Empat perempuan yang tinggal di kost ini semua sudah bekerja. Biasanya mereka akan berkumpul menjelang matahari tenggelam, atau kalau jalanan macet bisa saat gelap baru tiba di kamar masing-masing.

Baru pergi beberapa hari, Nilam sudah merindu suasana. Hubungan bersama teman-temannya di sini sudah seperti keluarga.

Nilam menempati pintu nomor dua dari Barat. Ia melepas sepatu saat akan naik ke selasar berkeramik hijau. Gadis itu merogoh kantung depan ransel, menarik kunci bergantungan Hello Kitty berpita biru.

Saat mendorong pintu, indera penciumannya mendengkus bau busuk dan amis. Seperti bau saluran pembuangan pencucian yang pernah tersumbat dulu, di dapur resto tempatnya bekerja. Udara yang pengap membuat Nilam menahan napas.

Cepat-cepat ia dorong lebar daun pintu, jendela depan dan dapur pun dibuka menganga. Udara sejuk yang masuk cukup melonggarkan rongga pernapasan Nilam.

Merasa malas membuka pintu belakang untuk mengecek asal bau, Nilam memilih masuk kamar. Di ruang tiga kali empat bercat pink itu, ia segera menjatuhkan tubuh di kasur. Kasur busa ini tempat ternyaman baginya melepas penat.

Tangannya menggapai kipas angin duduk di meja, menekan tombol angka satu.

“Ah, leganya ….”

Ia terlentang, menjejakkan dua tapak kakinya di dinding, menatap langit-langit. Ini kebiasaan yang ia lakukan biasanya setiap pulang bekerja—posisi ternyaman menghilangkan lelah kaki. Dan, itu cukup manjur.

Teringat sesuatu, Nilam mengambil ponsel yang sudah ia aktifkan tadi di bis.

“Pak Min, tolong. Ini ada bau busuk di kamarku.” Kalimat singkat ia tuju pada tukang taman dan bagian perbaikan di rumah Babe ini. Biasanya apa saja keluhan penghuni kos akan cepat ditangani.

“Neng Nilam, bapak ijin masuk, ya?”

Tak menunggu lama, suara khas lelaki lima puluhan tahun itu muncul di pintu. Itulah kenapa Nilam sangat puas dengan pelayanan di sini, sedikit ada keluhan akan cepat ditangani. Selain nyaman, masalah keamanan penghuni juga utama oleh Babe.

Harga sewa masih di bawah tempat lain yang sebagus ini. Nilam merasa beruntung memiliki teman sebaik Juju. Pemuda yang sudah membantunya bisa tinggal di sini, pun mengeluarkan ia dari masa sulit saat-saat awal merantau.

“Iya, masuk aja, Pak Min,” jawab Nilam tanpa merubah posisi.

Lelaki tinggi kurus itu gayanya sedikit gemulai, tapi ia sudah memiliki empat orang anak di kampung. Pak Min sangat akrab dengan semua penghuni kost, sebab orangnya lucu dan terkadang mengundang keusilan mereka.

“ASTAGFIRULLAHALADZHIM!!”

Suara keras berasal dari Pak Min membuat Nilam terduduk. Tadinya ia bermaksud akan menghubungi seorang teman, suara ‘tut’ pertama sudah terdengar, segera Nilam tekan tombol merah di layar ponselnya.

“Ada apa, Pak Min?”

Setiba di dapur Nilam melihat lelaki tua itu pasi, matanya tertuju pada satu titik. Kalimat istighfar terucap lirih berulang dari mulutnya.

“Pak Min?” Nilam menyodok lengan lelaki yang masih terpaku itu dengan telunjuk. Pak Min sontak menoleh.

“I-itu, Neng. Ada orang terasa memegang kuat tangan bapak. Tadi teh bapak mau benerin itu yang copot. Tangannya sedingin es, Neng,” katanya cepat dengan logat Sunda kental, sambil menunjuk saluran air di sisi bawah tembok luar.

Sambungan pipa itu menyambung antar kamar, sebagai pembuangan air mandi dan cuci.

Nilam ikut melihat, sepertinya pada bagian sambungan sedikit terlepas. Beberapa air sampai meluber ke lantai tanpa keramik di tempat jemurannya. Mengeluarkan bau tak sedap.

“Tangan siapa, Pak Min? Nggak ada orang di sini,” goda Nilam berpura melihat ke sana-sini.

Kemudian keusilannya tiba-tiba muncul. Ia bermaksud menakuti lelaki ceking yang terlihat ragu-ragu berjalan kembali mendekati pipa.

Nilam keluarkan tawa menyerupai suara hantu di film yang pernah ditonton. Menurutnya terdengar cempreng dan lucu. Namun, di pendengaran Pak Min suara itu seperti tawa lengking menggema di dalam gua.

“WWUUAAAAA!”

Pak Min berlari keluar, tanpa menengok kembali ke belakang. Sandal jepit hijaunya di paving tak sempat terpasang, sebelahnya malah teronggok tiga meter jauhnya, akibat tertendang kaki lelaki itu.

Nilam tertawa puas sambil memegang perut. Matanya berair, akibat terlalu geli melihat lelaki tua itu terbirit seolah melihat Jin seram.

Tak ia sadari, Pak Min amat ketakutan sampai ngompol di celana.

Related chapters

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    9. Nilam yang Berbeda

    Dari rumah besar di depan terdengar suara tawa keras dari Babe dan Nyak, menertawakan Pak Min.“Bersihkan sendiri tuh ompol. Udeh tua juga sampe ngucur begitu,” kata Babe terkekeh, sambil menunjuk tetesan air memanjang dari luar hingga ke garasi.Di pojokan Pak Min membungkuk, menutupi celana yang basah. Lutut dan badannya gemetar hebat.Wajahnya pasi tanpa warna, kecamuk rasa bercampur di kepala lelaki paruh baya itu. Rasa malu tertutupi oleh takut luar biasa. Sosok bayangan hitam ia lihat tadi melingkupi tubuh Nilam. Belum lagi suara tawanya ... Iih! Pak Min menggidik sambil memeluk badan.Jantungnya bertalu berusaha menenangkan diri. Dua majikan yang ada di ruang itu tak menyadari apa yang ia rasa. Mereka malah terus tergelak lucu, lalu meninggalkannya ke belakang.Pak min kembali terlo

    Last Updated : 2021-08-31
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    10. Teror Gaib yang Tak Disadari

    Tetes demi tetes darah mengalir dari hidung Nilam membasahi sprei. Bau amis menyengat merebak memenuhi kamar. Tubuh yang belum bisa bergerak membuat Nilam pasrahmemejamkan mata kuat. Merasakan pemilik napas dingin yang tak terlihat itu seakan menghisap darah dari tubuhnya. Semakin banyak keluar Nilam merasa lemah. Sampai kemudian tubuhnya terasa melayang, saat mencoba buka mata pandangannya menggelap. Detik kemudian, wajah Nilam tertelungkup di tempat, basah terkena genangan darah di kasurnya. *** Di Dusun Gelap, seorang lelaki tua duduk tampak duduk bersila, dalam kegelapan. Tiba-tiba ia tersentak mundur. Seketika itu juga mulutnya meringis dengan tangan mengusap dada. “Sial! Apa yang dimiliki anak itu sampai sulit kudapatkan?!” Penuh amarah ia mengamuk, memukul tanah dan menendang rerumputan.

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    11. Menginginkan Kematiannya

    Di ruang khusus karyawan, para gadis dan pemuda menyiapkan diri akan bekerja sebelum restoran buka. Seragam yang mereka kenakan hari ini paduan warna pink dan putih, perempuan mengenakan Dress Vintage dengan rok berenda mekar di atas lutut. Dilengkapi stoking dan sepatu balet. Hampir semua berambut panjang berwarna mencolok. Coklat kemerahan seperti rambut Nilam, blonde, sampai ghosted hair yang keputihan seperti uban. Tampilan sempurna itu ditunjang dengan mata berbinar dan senyum tak lepas dari bibir, salah satu standar pelayanan mereka. Selain menikmati hidangan istimewa, para pelanggan pun terhibur melihat para Waiter dan Waitress lalu-lalang seperti Putri dan Pangeran dari negeri Dongeng. Bisa sejenak melepas penat mereka yang ingin bersantai. Nilam memasang kontak lensa coklat muda. Rambut panjangnya bagian sisi dijepit ke tenga

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    12. Tameng

    Lelaki tua itu terpental sambil memekik kesakitan. Punggungnya menubruk pohon besar, lalu tersungkur di atas akarnya. Erangan kesakitannya terdengar oleh Nilam, tapi ia tak bisa melihat kondisi orang itu.Detik selanjutnya tubuh Nilam kembali melayang, melesat cepat menampati pada raga kaku di atas kasur. Tubuhnya sempat bergerak lemah, lalu kembali tenang dalam lelap.Di tempat lain, seorang lelaki muda duduk di atas hamparan sajadah. Jari kanannya bergerak pelan bertasbih dengan suara kecil, hanya terdengar di telinganya sendiri. Setelah selesai ia memanjatkan doa dengan sepenuh hati.Sepulang dari kampung Nilam, Juju rutin terbangun tengah malam, mengambil wudu dan salat sunah. Peristiwa yang dialami Nilam amat lekat dalam benak. Kekhawatiran yang menguatkan imannya. Menyadari tidak ada tempat meminta pertolongan selain pada Sang Pemilik Kehidupan itu sendiri.

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    13. Nyawa Selalu Diintai

    “Kalau kita nikah gue akan jaga loe.” Baru kali ini Nilam melihat Juju sangat serius, ia sampai menahan diri untuk tak tertawa. “Besok aja kita omongin. Ini jam berapa?” Nilam menarik pergelangan Juju melihat jam tangan. “Ya ampun jam sebelas, Ju, Babe—“ “Ni, serius. Kita harus nikah secepatnya.” Hening tercipta, Juju menahan dua bahu Nilam untuk saling bertatapan dalam jarak dekat, terhenti saat gadis itu membuang pandang ke sekitar, dua orang dewasa sampai berhenti melihat arah mereka. Cepat Nilam melepaskan tangan Juju. “Diliatin orang, tuh,” katanya kikuk. Merasa tak nyaman jadi tontonan Juju mengajaknya pulang, naik taksi tanpa argo yang mangkal depan gedung rumah sakit. Selama perjalanan keduanya hening, hanyut dalam pikiran masing-masing. Juju yang berusaha meredam perasaannya bercampur ke

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    14. Perlawanan Dimulai

    Kenapa dengan gadis itu?Ada apa dengan Nilam?Benak Hwa terus bertanya sambil sesekali melihat spion belakang da suasana depan padat belum bisa membuat mobilnya bergerak.Juju yang tadi melaju lebih dulu di depan sana terlihat kembali berlari ke sini, menyelip di antara padatnya roda dua dan empat yang berhenti.“Di depan ada kecelakaan. Biar Nilam ikut motor aja,” saran Juju pada Hwa setelah kaca mobil diturunkan.“Tidak bisa, Ju, lihat dia menggigil,” jawab Bon Hwa. Rahangnya menegang, menekan klakson berkali-kali. Usahanya sia-sia.“Darah lagi?!” Leli kaget menyadari cairan merah yang tadi cuma menetes kini mengucur keluar dari hidung Nilam.Buru-buru ia lagi menyambar tisu, mengus

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    15. Hasad Tersembunyi

    Hari hampir siang, setengan sebelas Juju sudah berangkat dari rumah. Sebelum bekerja ia akan ke kos Nilam dulu, gadis itu memang sudah mendapat izin tak masuk hari ini, oleh Hwa. Juju hanya ingin memastikan kondisinya saja.Ponsel Nilam dihubungi tidak aktif sedari pagi, itu membuatnya khawatir.Tanpa mampir ke rumah Babe, pemuda itu gegas mengayunkan langkah ke kos belakang. Nilam pasti sendiri, teman kos lain sudah berangkat kerja, Juju hanya merasa atas kejadian mengerikan tadi malam tak seharusnya Nilam ditinggal sendiri.Melihat pintu tertutup rapat degup jantung Juju berdetak cepat, ada perasaan tak enak menghinggapi melihat ruang yang ditempati Nilam itu. Terasa suram.“Nilam!” panggilnya sambil mengetuk pintu.Tak ada jawaban.Diulang lagi. Tetap hening.Jangan-jangan … gadis itu kambuh lagi? pikirnya segera ke samping, menggedor jendela kaca bagian kamar.Juju terpaksa menginjak tanaman di b

    Last Updated : 2021-09-02
  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    16. Dengki

    Brukk! Pintu terdorong keras, Juju langsung melangkah ke kamar Nilam. Terdorong perasaan tidak enak ia tadi kembali ke sini. Segera terlihat olehnya Suci duduk di samping Nilam, menepuk pelan pipi gadis itu. Juju mendekat melihat Nilam tegak di tempatnya dengan mata membulat, lalu memegang perut terbungkuk seperti menahan mual. “Loe kenapa, Ni?” Juju mendorong Suci yang tergeragap bingung melihat keadaan Nilam, agar menjauh. “Hoekk!” Nilam terbungkuk menekan perut yang terasa bergelombang, ada sesuatu bergerak naik ke dada. Juju membuka plastik yang diambil dari meja dipasang ke pangkuan Nilam. Dengan sabar menepuk-nepuk punggung, sembari memijit ringan bahunya berharap mual Nilam berkurang. “Kalau ada apa-apa sama Nilam elo harus tanggungjawab!” ancam Juju pada Suci, yang ia tahu ada di belakangnya. Suci memang berdiri di sudut, merapat pada dinding. Pisau kecil yang sempat disembunyikan di dalam baju tadi kembali diambil, tub

    Last Updated : 2021-09-03

Latest chapter

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    61. Akhir

    Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    60. Mengamankan Keluarga Kecil Nilam

    Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    59. Sosok Pembebas Bayang Gelap

    Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada Apa?

    “Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada yang Aneh

    Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    57. Juju Junior

    Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    56. Dihantui Takut

    Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    55. Dara Kembali?

    Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    54. Ujian

    Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status