Semua orang yang ada di sana seketika mematung.
Dalam hening, hanya erangan Nilam yang terdengar lemah.
Mengiringi langkah lelaki berpakaian serba hitam bergerak masuk. Warga mengenalnya sebagai Ki Arya yang tinggal menyendiri di ujung dusun. Ia mendekati Nilam yang menggigil.
Kepala gadis itu terkulai lemah, dalam posisi setengah duduk di gotongan dua lelaki berwajah pasi.
“Aku dengar anakmu sakit, Mak Lumpit. Kenapa kau tidak memanggilku?” Suara serak dan berat itu bertanya.
Pengaruh suaranya seakan-akan menghentikan napas semua yang mendengar. Terlebih Mak Lumpit yang raganya terasa sudah melayang.
Tangan kurus Mak bergetar, berusaha kuat dengan mengepal jemari tangan. Melaki berwajah dingin itu kini berdiri sekitar dua meter dengan Nilam, anak gadis yang sangat ia cintai.
Kepalan tangan Mak Lumpit semakin kuat. Dadanya menyesak berusaha menarik napas panjang. Tak tahan melihat Ki Arya makin mendekati Nilam, wanita tua ini tiba-tiba merasa dapat kekuatan besar. Tubuh lelaki berpakaian hitam ditubruknya sekuat tenaga.
Keduanya jatuh ke depan mengenai salah pemuda yang bertubuh cukup besar.
Seakan-akan tersentak kesadaran, semuanya kembali bergerak cepat. Si pemuda refleks menahan tubuh Ki Arya dibantu Juju dan dua orang bapak di sampingnya.
Mak bangkit, jadi tak terkendali, rambut panjang lelaki kurus itu dijambak penuh amarah. Beberapa helai rambut panjang menggimbal itu tercerabut, menempel di tangan Mak Lumpit.
“Kamu juga manusia! Berani ganggu anakku, tau rasa!!”
Para lelaki dan wanita menjadi berani ikut menghakimi lelaki yang berusaha memberontak itu. Suara berat dari mulut ki Arya keluar seperti auman hewan bertaring saat terganggu.
Tubuh Ki Arya terdorong ke sana-sini. Hujan pukulan cukup melumpuhkan tulang berlapis sedikit daging itu.
“Ayo cepat bawa Nilam!”
Pak Guruh mengingatkan Supri yang ikut memegang tangan Ki Arya, tadi ia tadi mau melayangkan tinju, hanya belum berani. Nyali Supri kalah dengan rasa takut, kalau-kalau Ki Arya akan membalas dendam suatu hari.
Mendengar seruan Pak Guruh, Supri melepaskan tangan kanan lelaki itu. Ia berlari keluar bersiap akan menahan keseimbangan motor, saat Nilam didudukkan ke boncengannya.
Tubuh terkulai lemah Nilam segera diapit oleh Mbak Asih yang naik ke boncengan, sambil menahan tubuh Nilam dari belakang.
Juju dan yang lainnya ikut keluar, mulai sibuk mengatur siapa saja yang ikut berangkat, mengiringi motor Supri.
Sementara di dalam, tujuh orang yang menangani Ki Arya mulai lengah. Selepasnya tangan Supri dan Juju tadi, tinggal satu lelaki yang memeganginya kuat. Mendapat kesempatan, lelaki tua itu menendang keras ke arah belakang.
“AAWWWW! AWW!!” Pemuda itu berteriak kencang.
Semua mata mengarah padanya, heran—mereka mengira-ngira sesuatu apa terjadi padanya. Seorang bapak yang muncul membawa tali dari belakang, bermaksud akan mengikat Ki Arya urung mendekat.
Pegangan si pemuda makin melemah, tubuhnya melorot dengan wajah memerah, mata pun terlihat membelalak, kesakitan. Tak lama badannya tersungkur dengan dua telapak tangan menangkup sela paha.
“Ughh! Sakiiit.” Ia merintih. Yang lain mau membantunya bangun, tapi ia menolak karena belum mampu berdiri.
Kesibukan mereka dimanfaatkan lelaki berpakaian hitam untuk mengambil langkah cepat, gesit menyelip, melewati mereka bak embusan angin. Yang di luar berusaha menangkap, tapi terlepas.
“Dia lari. Cepat kejar!!” Tiga orang serempak berteriak.
Bak dipimpin akan maju berperang mereka sontak berlari, mengejar. Dua orang kembali mengambil obor di sisi pintu. Bayangan lelaki itu tampak ke Barat kampung, arah ke rumah Ki Arya.
“Biarkan mereka mengurusnya, kalian cepat berangkat! Aku akan menyusul,” perintah Pak Guruh.
Enam orang lainnya menaiki tiga motor, mengiringi Supri yang membonceng Nilam dan Mbak Asih dari belakang.
Pagi makin dingin, terpaan angin serasa menembus tulang.
Belum separuh jalan Mbak Asih gemetar hebat, Ia memeluk tubuh Nilam—berpegang erat pada jaket Supri, sesekali posisi gadis itu oleng dan berat ke samping membuatnya kewalahan. Sementara Nilam masih seakan tertidur tak sadarkan diri, hanya erangan kecil dari bibirnya.
Di salah satu motor, Mak Lumpit diboncengi seorang bapak berperawakan kecil dan kurus, sesekali mengangkat dagu, melewati pundak pengemudi demi melihat kondisi Nilam di depan.
Mak memilih ikut agar bisa melihat Nilam dengan mata kepala sendiri, sampai keluar kampung dengan selamat.
Juju di boncengan Mardin, menggendong ransel miliknya dan memeluk ransel Nilam. Tak lama mereka dikagetkan oleh sebuah motor bersuara memekak, muncul dari belakang.
Pengemudinya adalah Pak Guruh yang menarik gerobak kayu. Tadi ia sempatkan ke kandang, mengambil gerobak yang biasa dipakai untuk mencari rumput. Ia memberi kode agar Supri berhenti.
Mbak Asih memukul pundak Supri yang terlihat melamun. Pemuda itu menoleh ke belakang sebelum menepi.
“Syukurlah Pak Guruh. Asih sebenarnya sudah ndak kuat. Tubuh Nilam makin berat disangga,” keluh Mbak Asih dengan napas ngos-ngosan, tangannya masih menahan tubuh Nilam.
Pak Guruh dan yang lain turun dari motor. Mereka membantu menahan tubuh Nilam saat perempuan berbaju tidur warna kuning itu turun, ia terlihat langsung meregangkan tangan dan badan yang kebas.
Cahaya dari lampu sepeda motor yang menyala membantu penerangan, sebab matahari belum juga muncul.
Tubuh Nilam diangkat ke dalam gerobak yang telah dialasi dua kain sarung, Mak minta ikut duduk di dalam bersama Nilam. Wanita itu tak henti memandang wajah anaknya itu. Tangan kasar miliknya menggenggam erat jemari gadis putih yang dingin.
Mak Lumpit merapatkan jaket kulit tebal yang dipinjamkan Juju, sebelum mereka kembali berangkat tadi. Cukup membantu badannya merasa hangat.
Perjalanan yang ditempuh sekitar 45 menit lagi itu terasa seolah melewati satu hari. Mak tak sabar ingin waktu cepat terlewat. Wajah dan tubuh wanita yang terlihat tua dari usianya ini sudah lelah, tapi hatinya yang lebih nyeri. Mak Lumpit berharap kondisi Nilam akan lebih baik setelah melewati perbatasan nanti.
***
Di Dusun Gelap ….
Warga yang riuh berlari ke sisi Barat semakin bertambah. Warga lain ikut terbangun mendengar jeritan ibu-ibu yang memanggil warga meminta tolong. Sekitar tiga puluhan orang dewasa ikut mengejar bayangan hitam yang tadi sempat terlihat, tapi sekarang menghilang.
Mereka mengepung area antara telaga dan rumah Ki Arya. Meyakini lelaki itu pasti masih di sekitar sini. Tadi ia cukup terluka terkena pukulan mereka, pasti akan kepayahan berlari jauh.
Satu jam pencarian dalam kepungan itu hasilnya nihil. Mereka kembali bertemu di titik tengah tanpa menemukan siapa pun.
Sinar mentari mulai mengintip di ufuk Timur, membantu penglihatan mereka menyapu ke segala arah.
“Pasti sudah kabur.”
“Iya, mana berani dia ke sini lagi. Apalagi tau semua orang sekarang berani melawannya!”
“Pasti, itu. Cuma aku puas sudah nonjok tiga kali. Manusia biasa juga rupanya dia, kelihatannya tadi pukulanku cukup sakit kena pipinya!” Lelaki pemegang obor berkata sambil tertawa lebar.
Ia hendak mematikan obor, sebab merasa hari cukup terang.
“Jangan dimatikan!” Seorang bapak menghentikannya.
“Kenapa?”
“Ki Arya jangan sampai kembali lagi ke sini!” katanya seraya mengambil alih obor terbuat dari batang bambu besar itu.
“Bakaaar!!” teriaknya pada semua, sambil mengacungkan obor tinggi-tinggi.
Seakan dipandu, semua meneriakkan kata BAKAR, tak berhenti sampai rumah bertiang tinggi itu dilalap api. Nyala yang makin membesar mulai melahap seluruh bangunan.
Semua bergerak mundur. Panas si jago merah itu serasa dekat dengan tubuh mereka. Hawa dingin tadi pun lenyap. Semua mata menyaksikan atap dan badan bangunan rubuh, merata dengan tanah. Sebagian percikannya membakar rumput tinggi di sekitar.
Sempat lena dalam kegembiraan, takjub melihat kobaran serasa turut meruntuhkan ketakutan mereka selama ini, sampai-sampai warga tak menyadari api mulai merambati rumput hingga puluhan meter di sekitar.
“Cepat, padamkan!”
“Ayo, padamkan!”
“Ya, Gusti. Jangan sampai kampung ini ikut terbakar.” Lelaki yang lebih tua menggumamkan doa.
Api terlihat merambat cepat, rumput yang masih basah terkena embun pagi segera berubah menjadi abu.
Warga bahu-membahu memukul api dengan ranting pohon basah. Mereka berusaha mematikan titik api yang makin mendekati jalan. Takut mengenai salah satu rumah penduduk lain yang tak jauh dari sini. Penuh perjuangan mereka lakukan sambil meminta pertolongan Tuhan. Beberapa sudah sesak napas dan memilih mundur, menjauh.Seketika mentari yang tadi muncul kembali bersembunyi, tertutup awan gelap. Makin lama makin pekat menggantung di wajah langit. Semua berseru memohon hujan sambil menjauh dari titik api.Kepasrahan tampak dari wajah-wajah lelah, hanya mampu memandang lemah pada jilatan api makin menjalar dari kejauhan.Rintik mulai terasa menetes mengenai tubuh mereka. Puluhan lelaki itu menatap langit, menerima guyuran air jatuh semakin lebat. Semuanya bisa menarik senyum lebar penuh kelegaan, kemudian tawa mulai keluar dari seorang disambut yang lain. Berderai menyamai
Di Dukuh Gelap ….Suara binatang malam bersahutan, seakan-akan membicarakan pertemuan dua orang di tepi telaga.Ada lelaki dan perempuan sedang berhadapan di sana. Wajah mereka tak tampak, sebab tertutup gelapnya malam. Derak ranting yang telah menjadi arang terdengar saat si perempuan melangkah maju.Lelaki itu dalam posisi duduk bersila itu matanya terpejam, tapi bibirnya berucap.“Bagus! Aku sekarang bisa bersamanya, hahahaaa. Kau sudah jalankan perintah dengan baik. Pulanglah, apa yang kujanjikan sudah menunggumu di rumah.” Suara berat dan serak itu mengakhiri pertemuan mereka.Perempuan berperawakan sedang itu berbalik, dalam gelap melangkah cepat menyusuri jalan setapak. Daster lebarnya mengepak tertiup angin malam, mengiringi kibasan rambut yang terurai sepinggang. Ia tampak
Dari rumah besar di depan terdengar suara tawa keras dari Babe dan Nyak, menertawakan Pak Min.“Bersihkan sendiri tuh ompol. Udeh tua juga sampe ngucur begitu,” kata Babe terkekeh, sambil menunjuk tetesan air memanjang dari luar hingga ke garasi.Di pojokan Pak Min membungkuk, menutupi celana yang basah. Lutut dan badannya gemetar hebat.Wajahnya pasi tanpa warna, kecamuk rasa bercampur di kepala lelaki paruh baya itu. Rasa malu tertutupi oleh takut luar biasa. Sosok bayangan hitam ia lihat tadi melingkupi tubuh Nilam. Belum lagi suara tawanya ... Iih! Pak Min menggidik sambil memeluk badan.Jantungnya bertalu berusaha menenangkan diri. Dua majikan yang ada di ruang itu tak menyadari apa yang ia rasa. Mereka malah terus tergelak lucu, lalu meninggalkannya ke belakang.Pak min kembali terlo
Tetes demi tetes darah mengalir dari hidung Nilam membasahi sprei. Bau amis menyengat merebak memenuhi kamar. Tubuh yang belum bisa bergerak membuat Nilam pasrahmemejamkan mata kuat. Merasakan pemilik napas dingin yang tak terlihat itu seakan menghisap darah dari tubuhnya. Semakin banyak keluar Nilam merasa lemah. Sampai kemudian tubuhnya terasa melayang, saat mencoba buka mata pandangannya menggelap. Detik kemudian, wajah Nilam tertelungkup di tempat, basah terkena genangan darah di kasurnya. *** Di Dusun Gelap, seorang lelaki tua duduk tampak duduk bersila, dalam kegelapan. Tiba-tiba ia tersentak mundur. Seketika itu juga mulutnya meringis dengan tangan mengusap dada. “Sial! Apa yang dimiliki anak itu sampai sulit kudapatkan?!” Penuh amarah ia mengamuk, memukul tanah dan menendang rerumputan.
Di ruang khusus karyawan, para gadis dan pemuda menyiapkan diri akan bekerja sebelum restoran buka. Seragam yang mereka kenakan hari ini paduan warna pink dan putih, perempuan mengenakan Dress Vintage dengan rok berenda mekar di atas lutut. Dilengkapi stoking dan sepatu balet. Hampir semua berambut panjang berwarna mencolok. Coklat kemerahan seperti rambut Nilam, blonde, sampai ghosted hair yang keputihan seperti uban. Tampilan sempurna itu ditunjang dengan mata berbinar dan senyum tak lepas dari bibir, salah satu standar pelayanan mereka. Selain menikmati hidangan istimewa, para pelanggan pun terhibur melihat para Waiter dan Waitress lalu-lalang seperti Putri dan Pangeran dari negeri Dongeng. Bisa sejenak melepas penat mereka yang ingin bersantai. Nilam memasang kontak lensa coklat muda. Rambut panjangnya bagian sisi dijepit ke tenga
Lelaki tua itu terpental sambil memekik kesakitan. Punggungnya menubruk pohon besar, lalu tersungkur di atas akarnya. Erangan kesakitannya terdengar oleh Nilam, tapi ia tak bisa melihat kondisi orang itu.Detik selanjutnya tubuh Nilam kembali melayang, melesat cepat menampati pada raga kaku di atas kasur. Tubuhnya sempat bergerak lemah, lalu kembali tenang dalam lelap.Di tempat lain, seorang lelaki muda duduk di atas hamparan sajadah. Jari kanannya bergerak pelan bertasbih dengan suara kecil, hanya terdengar di telinganya sendiri. Setelah selesai ia memanjatkan doa dengan sepenuh hati.Sepulang dari kampung Nilam, Juju rutin terbangun tengah malam, mengambil wudu dan salat sunah. Peristiwa yang dialami Nilam amat lekat dalam benak. Kekhawatiran yang menguatkan imannya. Menyadari tidak ada tempat meminta pertolongan selain pada Sang Pemilik Kehidupan itu sendiri.
“Kalau kita nikah gue akan jaga loe.” Baru kali ini Nilam melihat Juju sangat serius, ia sampai menahan diri untuk tak tertawa. “Besok aja kita omongin. Ini jam berapa?” Nilam menarik pergelangan Juju melihat jam tangan. “Ya ampun jam sebelas, Ju, Babe—“ “Ni, serius. Kita harus nikah secepatnya.” Hening tercipta, Juju menahan dua bahu Nilam untuk saling bertatapan dalam jarak dekat, terhenti saat gadis itu membuang pandang ke sekitar, dua orang dewasa sampai berhenti melihat arah mereka. Cepat Nilam melepaskan tangan Juju. “Diliatin orang, tuh,” katanya kikuk. Merasa tak nyaman jadi tontonan Juju mengajaknya pulang, naik taksi tanpa argo yang mangkal depan gedung rumah sakit. Selama perjalanan keduanya hening, hanyut dalam pikiran masing-masing. Juju yang berusaha meredam perasaannya bercampur ke
Kenapa dengan gadis itu?Ada apa dengan Nilam?Benak Hwa terus bertanya sambil sesekali melihat spion belakang da suasana depan padat belum bisa membuat mobilnya bergerak.Juju yang tadi melaju lebih dulu di depan sana terlihat kembali berlari ke sini, menyelip di antara padatnya roda dua dan empat yang berhenti.“Di depan ada kecelakaan. Biar Nilam ikut motor aja,” saran Juju pada Hwa setelah kaca mobil diturunkan.“Tidak bisa, Ju, lihat dia menggigil,” jawab Bon Hwa. Rahangnya menegang, menekan klakson berkali-kali. Usahanya sia-sia.“Darah lagi?!” Leli kaget menyadari cairan merah yang tadi cuma menetes kini mengucur keluar dari hidung Nilam.Buru-buru ia lagi menyambar tisu, mengus
Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi
Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny
Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan
“Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka
Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya
Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan
Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan
Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem
Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.