“Cepat pulang, Ni, sebelum ia ketemu kamu.” Tangan perempuan berparas manis ini dingin dan gemetar, memegang punggung tangan Nilam.
Nilam menggigit bibir berusaha menenangkan degup jantung, ia mengangguk patuh pada apa yang dikatakan temannya ini. Meski tak paham sepenuhnya ucapan Suci tadi, Nilam bisa menangkap adanya bahaya yang mengancam.
Buru-buru pamit, setengah berlari menyusur kembali jalan setapak menuju rumah. Sesampai di tempat baju Mak dibuang tadi, ia melihat pakaian bermotif kembang itu masih teronggok di semak belukar.
Perlahan tangan Nilam menggapai, sedikit sulit sebab terhalang rumput tinggi.
Hup!
Dapat. Segera Nilam kembali memakainya.
Kemudian membungkuk ke tepi jalan setapak itu, ia mengorek tanah kecoklatan yang langsung diusapkan ke seluruh wajah. Seperti yang ibunya lakukan sebelum berangkat tadi. Berharap kalau bertemu lelaki tua yang disebut Suci, tak akan tertarik padanya_Nilam baru paham, maksud Mak Lumpit mendandaninya begini tadi.
Saat akan berdiri, mata Nilam tertumbuk pada sepasang sandal kulit, yang dikenakan seseorang bertelapak lebar, kuku-kuku kakinya panjang dan hitam.
Gadis itu mendongak sambil berdiri perlahan.
“Sedang apa, Nak?” Suara berat menegur, sontak menambah cepat degup jantung Nilam.
Matanya seketika membelalak begitu melihat wajah siapa yang sedang berdiri tepat di depannya.
Lelaki berpakaian serba hitam, berkumis tebal, rambut panjang menggimbal. Matanya yang besar itu memandang sedikit menyipit ke arah Nilam.
Apa ia Ki Arya?! tanyanya dalam hati.
Gadis ini cepat-cepat menunduk, sambil menyela hendak berlalu. Namun, terhenti saat sebuah tangan menahan lengannya. Di saat bersamaan langit makin menggelap, muncul petir diikuti guntur setelahnya. Menandakan akan segera turun hujan.
Nilam tak bisa bergerak, tangan itu begitu kuat menahan.
“Mau ke mana ... kamu cantik sekali. Sangat segar ...,” desis lelaki tua itu sambil menggertakkan gigi.
“A-aku mau pulang,” jawab Nilam gemetar, tanpa berani mengangkat wajah.
“Merdu sekali suaramu, Cantik,” ujar si lelaki tua, makin membuat jantung Nilam seakan-akan meloncat dari dadanya.
Hujan turun deras seketika. Nilam terus meronta dari cengkeraman lelaki paruh baya itu, yang terus berusaha menahan badannya. Setelah sekuat tenaga melawan, tangan lelaki itu akhirnya terlepas, tak membuang kesempatan Nilam segera mengambil langkah seribu.
Ketakutan hebat membawanya berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke belakang, sampai tiba di halaman dengan badan gemetar dan basah kuyup. Napasnya tersengal-sengal terlihat sulit meraup udara.
Nilam memeluk badan yang menggigil, hendak masuk saat melihat Mak dan Juju sudah menunggunya di depan pintu.
Aneh, Mak dan temannya itu mematung tak segera menyuruh masuk. Mak Lumpit yang selalu memakai kebaya dan kain jarik itu seolah-olah tak bernapas, mengarah pandang pada sesuatu di belakang Nilam. Sama seperti Juju yang berubah bak patung menganga.
Dari sudut mata, Nilam melirik, ada bayang hitam berdiri lalu menjajari tubuhnya.
“Jadi ... ini anakmu, Mak Lumpit?” Suara berat itu keluar dari seseorang yang kini berdiri tepat di samping Nilam.
Dalam sekejap tubuh dan tulang Nilam terasa melemas. Tanpa berani memandang, raganya ikut menegang, membelalak mata menatap Mak yang belum juga bergerak.
Juju seketika tersentak, segera menarik tangan Nilam masuk. Begitu juga Mak. Saat matanya berkedip, kesadaran Mak terjaga. Segera diperintahkan Nilam menjauh ke ruang belakang.
Nilam menuruti, segera berlari ke dapur.
Mak dan Juju yang bingung kembali melempar pandang pada lelaki berpakaian serba hitam, yang sudah berdiri tepat di garis pintu. Langkah keduanya serentak mundur, siaga jika saja diserang tiba-tiba. Aura si lelaki tampak berniat tidak baik.
Tangannya merentang, memegangi sisi kusen. Sebagian rambut panjangnya menutupi mata, dari celah ia menatap Mak Lumpit dan pemuda itu bergantian. Sorot mata itu sangat tajam.
Suara hujan deras menerpa atap, menutupi suara degupan jantung Mak. Setelah mengatur napas wanita tua itu memberanikan diri bicara.
“Tolong jangan ganggu kami,” mohon Mak Lumpit sambil menangkup tangan yang bergetar di dada.
Suara kecil tertahan Mak tak mungkin terdengar, tapi rautnya penuh permohonan terbaca jelas. Lelaki kurus itu menyengir, perlihatkan gigi coklatnya yang tak rata. Ia menyibak rambut dari wajah, dengan gerakan menyentak. Mengarahkan pandang ke dapur—seakan-akan memindai keberadaan Nilam. Lalu, sesaat kemudian berbalik pergi tanpa kata.
Tarikan napas lega Mak Lumpit terlepas, segera wanita yang sudah hampir kehilangan tenaga itu menutup pintu. Menyandari daun pintu kayu itu sambil mengatur napas.
“Si-siapa, Mak?” tanya Juju sambil membantu Mak duduk di kursi kayu.
Tubuh Mak amat gemetar. Belum bisa bicara sementara tenang. Ia benar-benar tak percaya, apa yang dikhawatirkan, telah benar-benar terjadi.
Pemuda tinggi berkulit bersih itu sigap ke belakang, akan mengambilkan minum untuk Mak.
Tubuh Mak yang kurus itu terduduk lemah di kursi. Tatapan kosong dengan dada masih naik-turun.
Nilam mengekori Juju yang sudah kembali membawa segelas air putih. Gadis itu berjingkat pelan, bajunya yang basah ditutupi handuk lebar milik Mak.
Sebelum ke ruang depan ia celingukan, menyapu pandang ke seluruh ruang tamu, setelah merasa aman Nilam mendekati Mak.
“Sudah pergi,” kata Juju menyikut lengannya.
“Pergi?”
Juju mengangguk membuat Nilam menarik napas lega.
Mak Lumpit meminum habis air yang diberi Juju, terlihat masih syok dengan kejadian tadi.
“Mak!" Nilam menepuk bahu kurus itu membuat Mak seketika terloncat berdiri. Rupanya tadi tak menyadari anak gadisnya sudah ada di situ.
“Ya, Gusti. Nilam!” pekik Mak sambil melotot garang.
Gadis itu terdiam, sedikit takut melihat Mak begitu marah.
“Lihat! Apa yang Mak khawatirkan ini terjadi, kan? Nilam … Nilaam,” ratap tiba-tiba keluar dari bibir keriput itu.
“Minum lagi, Mak.” Juju tadi ke dapur lagi menambah segelas, karena melihat Mak sangat kehausan.
Setelah minum lagi setengah gelas dan merasa cukup tenang, Mak menunjuk ransel hitam milik Nilam yang masih tergeletak di sudut ruang.
“Cepat ganti pakaian, habis itu makan. Kalian harus balik sekarang juga, Mak akan ke rumah Supri untuk minta tolong ngantar.”
“Iya, Mak," sahut Nilam patuh.
Gadis itu menyeret ranselnya ke belakang. Meski batin masih menyimpan banyak tanya, ia mengikuti saja apa yang ibunya perintahkan.
Melihat lelaki tua yang mencengkeram lengannya tadi itu amat mengerikan rupanya. Wajah seram, belum lagi bau badan seperti kemenyan membuat bulu seluruh tubuh Nilam merinding.
***
Sementara Nilam dan Juju bersiap, Mak Lumpit melangkah cepat menyusuri jalan becek, beberapa bagian yang tergenang air dilompati. Kepalanya penuh dengan pikiran, menemukan cara agar Nilam segera pergi dan terlepas dari manusia paling menakutkan di dukuh ini.
Terlihat sekali tatapan lelaki itu tadi, menyiratkan ketertarikan kuat pada Nilam. Bulu kuduk Mak berdiri. Ia merasa bersalah tak langsung menjelaskan semua pada Nilam sejak awal. Memang momok bagi warga yang memiliki anak gadis perawan membahas ‘orang itu’ di dalam rumahnya. Dan, sekarang semua sudah terjadi begitu cepat.
Setiba di pondok kecil yang berdampingan dengan lima kandang ayam, Mak Lumpit segera menggedor pintu keras. Ia tahu Supri pasti masih tidur, walaupun hari sudah sesiang ini.
Gedoran ke sekian kali, gagang pintu bergerak. Seorang pemuda berkulit gelap, bermata sembab dengan rambut acak-acakkan muncul.
“Eh, Mak,” katanya mengucek mata yang sembab.
Tanpa bicara, tubuh Mak menyelip masuk rumah, melewati lelaki berperawakan kecil yang menatapnya bingung.
“Supri, tolong, Mak. Nilam pulang dan ketemu ..." Mak mengatur napas. “ketemu orang itu tadi!”
Kalimat Mak terbata-bata, mulai ceritakan kedatangan Nilam, hingga munculnya lelaki itu di samping Nilam saat hujan deras tadi.
Supri makin menganga mendengar penuturan Mak. Ia tahu lelaki yang Mak maksud adalah orang yang paling ditakuti akhir-akhir ini. Semenjak delapan gadis raib tanpa diketahui rimbanya hingga sekarang.
Semua warga mencurigai Ki Arya pelakunya, tapi sayang belum ada bukti. Lebih lagi, semua tertunduk ketakutan jika menghadapi lelaki yang terkenal berilmu gaib itu.
Di akhir kalimat, wanita yang dikenalnya sejak kecil itu meminta ia segera mengantarkan Nilam keluar kampung, sekarang juga.
“Cepat Supri! Tolongin anak Mak!”
Tubuh lelaki berbaju kaus gober itu didorong Mak agar cepat mengambil kunci motor.
“Supri baru bangun, Mak. Mau mandi dulu, makan juga belum.” Supri menggaruk-garuk dada dan leher yang terasa gatal.
“Ndak usah mandi! Ayo, nanti Mak bekalin makanan dari rumah, pokoknya berangkat sekarang! Kamu panggil Mardin juga. Buat dua orang, Nilam itu datang sama kawannya!”
Pemuda yang masih melajang di usia tiga puluh ini tak bisa menolak. Setelah sempatkan mencuci muka dalam gerak cepat, Supri segera melaju motornya membonceng Mak. Sekali duakali ia menguap—efek masih mengantuk. Akibatnya, punggung Supri langsung panas mendapat pukulan dari Mak. Keras. Panas. Sampai Supri membuka mata lebar-lebar.
Nasib-nasib ... jadi tukang ojek kampung memang harus siap dipanggil darurat, benak Supri sambil garuk dahi.
Sesampai di pekarangan rumah, Mak Lumpit bergegas turun dari boncengan dan masuk ke rumah. Supri lanjut ke rumah Mardin sekitar 20 rumah ke arah Barat kampung.Di dalam rumah Nilam dan Juju sudah bersiap. Ransel keduanya tergeletak di kursi kayu. Mak langsung ke dapur, menyiapkan makanan untuk Supri.Dua motor bersuara kencang berhenti tepat depan selasar. Supri dan lelaki tinggi berkulit gelap turun, akan masuk ke rumah sejenak tertahan. Tertumbuk pandang pada gadis berkulit bening, mengenakan kaos lengan panjang berwarna putih, berpadu celana panjang skinny biru tua.Cantiknyaaa ....Dalam balutan penampilan yang sederhana, tapi membuat Nilam tampat amat cantik paripurna. Sukses membuat Mardin dan Supri sesaat terpana. Senyum dari pemilik bibir merah alami dan gadis berambut basah itu merekah. Terasa menerbangkan keduanya
“Ni … lo kenapa?” Juju bertanya dari tempatnya yang masih terpaku.Mata Nilam menatap kosong, tanpa kedip.Supri dan Mardin mendekat perlahan, pandangan mereka tak lepas dari Nilam. Takut kalau tiba-tiba gadis itu mengamuk mereka bersiap menangkapnya. Ini hutan, kalau sampai Nilam kabur ke dalam hutan bisa jadi ia akan hilang tanpa jejak.Namun, perkiraan mereka berdua salah. detik berikutnya tubuh Nilam melemas layu, lalu jatuh berbaring di tanah. Segera tiga pemuda itu mendekat. Setelah memeriksa kondisi Nilam yang seperti orang tidur, mereka berniat membawa gadis itu kembali ke rumah.“Coba nyalakan lagi motornya,” kata Juju pada Mardin. Segera pemuda itu lakukan, diikuti Supri. Ajaib sekali tekan starter langsung menyala.Juju segera mengangkat tubuh Nilam ke motor M
Malam itu suasana rumah diramaikan suara obrolan antar lelaki di luar, sementara di dalam kamar Mak dan ibu-ibu lain bercerita tentang padi yang sudah mulai menguning. Sebagian jagung juga beberapa sudah panen dan diantar ke pasar di kecamatan.Mak duduk di sisi dipan sambil mengusap-usap dahi Nilam. Sejak tadi, gadis itu tertidur dan masih menggigil begini, Mak tak tega membangunkan. Namun tak lama perlahan Nilam membuka mata. Wanita yang selalu memakai kebaya kutu baru dan jarik ini segera mendekatkan wajahnya.“Nilam?”“Lapar, Mak …,” kata Nilam lemah. Matanya sudah terbuka penuh, menyapu pandang ke langit-langit. Kemudian memandang heran ke arah ibu-ibu yang mengerumuni tempat tidurnya.Semua bergantian menanyakan kondisinya. Nilam menjawab kalau ia kedinginan dan lapar.
Semua orang yang ada di sana seketika mematung.Dalam hening, hanya erangan Nilam yang terdengar lemah.Mengiringi langkah lelaki berpakaian serba hitam bergerak masuk. Warga mengenalnya sebagai Ki Arya yang tinggal menyendiri di ujung dusun. Ia mendekati Nilam yang menggigil.Kepala gadis itu terkulai lemah, dalam posisi setengah duduk di gotongan dua lelaki berwajah pasi.“Aku dengar anakmu sakit, Mak Lumpit. Kenapa kau tidak memanggilku?” Suara serak dan berat itu bertanya.Pengaruh suaranya seakan-akan menghentikan napas semua yang mendengar. Terlebih Mak Lumpit yang raganya terasa sudah melayang.Tangan kurus Mak bergetar, berusaha kuat dengan mengepal jemari tangan. Melaki berwajah dingin itu kini berdiri sekitar dua meter dengan Nilam, anak gadis yang
Warga bahu-membahu memukul api dengan ranting pohon basah. Mereka berusaha mematikan titik api yang makin mendekati jalan. Takut mengenai salah satu rumah penduduk lain yang tak jauh dari sini. Penuh perjuangan mereka lakukan sambil meminta pertolongan Tuhan. Beberapa sudah sesak napas dan memilih mundur, menjauh.Seketika mentari yang tadi muncul kembali bersembunyi, tertutup awan gelap. Makin lama makin pekat menggantung di wajah langit. Semua berseru memohon hujan sambil menjauh dari titik api.Kepasrahan tampak dari wajah-wajah lelah, hanya mampu memandang lemah pada jilatan api makin menjalar dari kejauhan.Rintik mulai terasa menetes mengenai tubuh mereka. Puluhan lelaki itu menatap langit, menerima guyuran air jatuh semakin lebat. Semuanya bisa menarik senyum lebar penuh kelegaan, kemudian tawa mulai keluar dari seorang disambut yang lain. Berderai menyamai
Di Dukuh Gelap ….Suara binatang malam bersahutan, seakan-akan membicarakan pertemuan dua orang di tepi telaga.Ada lelaki dan perempuan sedang berhadapan di sana. Wajah mereka tak tampak, sebab tertutup gelapnya malam. Derak ranting yang telah menjadi arang terdengar saat si perempuan melangkah maju.Lelaki itu dalam posisi duduk bersila itu matanya terpejam, tapi bibirnya berucap.“Bagus! Aku sekarang bisa bersamanya, hahahaaa. Kau sudah jalankan perintah dengan baik. Pulanglah, apa yang kujanjikan sudah menunggumu di rumah.” Suara berat dan serak itu mengakhiri pertemuan mereka.Perempuan berperawakan sedang itu berbalik, dalam gelap melangkah cepat menyusuri jalan setapak. Daster lebarnya mengepak tertiup angin malam, mengiringi kibasan rambut yang terurai sepinggang. Ia tampak
Dari rumah besar di depan terdengar suara tawa keras dari Babe dan Nyak, menertawakan Pak Min.“Bersihkan sendiri tuh ompol. Udeh tua juga sampe ngucur begitu,” kata Babe terkekeh, sambil menunjuk tetesan air memanjang dari luar hingga ke garasi.Di pojokan Pak Min membungkuk, menutupi celana yang basah. Lutut dan badannya gemetar hebat.Wajahnya pasi tanpa warna, kecamuk rasa bercampur di kepala lelaki paruh baya itu. Rasa malu tertutupi oleh takut luar biasa. Sosok bayangan hitam ia lihat tadi melingkupi tubuh Nilam. Belum lagi suara tawanya ... Iih! Pak Min menggidik sambil memeluk badan.Jantungnya bertalu berusaha menenangkan diri. Dua majikan yang ada di ruang itu tak menyadari apa yang ia rasa. Mereka malah terus tergelak lucu, lalu meninggalkannya ke belakang.Pak min kembali terlo
Tetes demi tetes darah mengalir dari hidung Nilam membasahi sprei. Bau amis menyengat merebak memenuhi kamar. Tubuh yang belum bisa bergerak membuat Nilam pasrahmemejamkan mata kuat. Merasakan pemilik napas dingin yang tak terlihat itu seakan menghisap darah dari tubuhnya. Semakin banyak keluar Nilam merasa lemah. Sampai kemudian tubuhnya terasa melayang, saat mencoba buka mata pandangannya menggelap. Detik kemudian, wajah Nilam tertelungkup di tempat, basah terkena genangan darah di kasurnya. *** Di Dusun Gelap, seorang lelaki tua duduk tampak duduk bersila, dalam kegelapan. Tiba-tiba ia tersentak mundur. Seketika itu juga mulutnya meringis dengan tangan mengusap dada. “Sial! Apa yang dimiliki anak itu sampai sulit kudapatkan?!” Penuh amarah ia mengamuk, memukul tanah dan menendang rerumputan.
Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi
Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny
Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan
“Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka
Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya
Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan
Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan
Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem
Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.