Mata lamur wanita tua itu membelalak, melihat siapa di depan pintu. Tatapannya melekat pada anak gadis yang sudah lama tak ditemui itu dengan raut khawatir.
“Mak, gimana kabar, Mak?” Nilam menyerbu tubuh kurusnya, memeluk.
“Kenapa pulang, Nduk? Cepat balik sana,” kata Mak sedikit mendorong tubuhnya.
“Mak kenapa?” Mata bulat gadis itu menatap heran, ia lupa teman lelaki di sampingnya juga mengernyit dahi.
“O ya, Mak ini kenalin teman Nilam, namanya Juju. Dia ngantar Nilam ke sini karena khawatir.”
Pemuda berbibir tipis itu senyum lebar, meraih tangan Mak, sedikit menunduk menempelkan di keningnya.
Saat Nilam akan ke kamar wanita tua itu kembali mendorong ranselnya. Bahkan sedikit memaksa meminta si gadis segera kembali saja ke kota.
“Bukannya Mak ndak suka kamu pulang, Nilam. Cuma kampung ini lagi ndak aman untukmu,” katanya setengah bergumam, seolah takut akan ada yang mendengar ucapannya.
Mereka sedikit berdebat di ruang tamu.
“Nilam baru aja datang, Mak. Capek. Masa disuruh balik lagi. Perjalanan Nilam ke sini setengah hari, Mak …,” gerutu gadis itu terlihat sedikit kesal, lalu menerobos masuk ke bilik. Juju sedikit bingung, ia disuruh mak duduk dan akan dibikinkan teh.
Nilam segera merebahkan diri pada ranjang kayu yang mengeluarkan suara berderit. Kaki ia naikkan ke penghalang ujung ranjang. Cara itu cukup membuatnya bisa mengistirahatkan badan yang lelah.
Duduk selama delapan jam di bus tadi malam. Lanjut naik ojek satu jam baru ia tiba di kampung kelahirannya ini.
“Minum dulu tehnya, mumpung hangat.” Mak menyuguhkan penganan kecil untuk Juju. Ngobrol sebentar wanita tua itu masuk bilik Nilam, membawa segelas besar teh.
Langsung disodorkan ke tangan Nilam. Gadis dua puluh empat tahun itu bangun, meraih gelas langsung meminumnya tandas.
“Pemuda ganteng itu teman apa teman?” kata mak sempatnya menggoda.
“Teman, Mak. Dia maksa ikut.”
“Ohh.” Mak mengangguk-angguk.
“Mak kenapa, sih, khawatir banget Nilam pulang. Apa nggak kangen sama anak?” tanyanya dengan bibir maju.
“Bukan begitu, nanti kamu juga paham apa maksud Mak. Pokoknya hari ini juga kamu berdua harus balik.”
Mak kembali menampakkan raut wajah serius. Pias dari wajah berkeriput itu semakin tampak, saat mereka duduk bersisian.
Ia terharu melihat anak gadisnya ini tumbuh begitu cantik. Kulitnya yang dulu legam akibat bermain di bawah terik matahari sekarang putih mulus, pipinya pun bening mengkilap.
Telah lima tahun tak bersua, setelah lulus sekolah menengah atas gadis pandai ini merantau ke kota.
Namun, di antara rasa bangga itu menumbuh kekhawatiran yang sangat kini di hati Mak. Bukan saat tepat Nilam pulang sekarang.
“Mak ini aneh. Nilam sudah lima tahun nggak pulang, pingin liat kondisi Mak di sini, malah disuruh balik. Pokoknya Nilam balik setelah keliling-keliling, mengenang tempat Nilam dan kawan-kawan bermain dulu, Mak. Sudah terlanjur ambil cuti seminggu,” kata gadis bersweater rajut berwarna merah muda itu panjang-lebar sambil turun dari dipan.
“Nilam mau ke rumah Suci,” katanya lagi, sambil berjalan keluar kamar menuju ruang depan.
“Jangan!” bentak Mak sedikit keras menahan langkahnya. Tubuh kurus Mak menghalangi Nilam yang akan membuka pintu.
Juju yang tadi setengah berbaring di kursi bingung melihat ibu anak itu. Ia berdiri, memandang heran.
“Kenapa, Ni?”
“Tau nih Mak, bingungin aja.” Dua tangannya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
“Nilam mau ke tempat Suci, dia pasti kaget liat Nilam sekarang,” katanya lagi.
Mak malah menutup pintu, menguncinya. Setelah sempat melirik ke kaca luar, wanita itu melangkah cepat ke kamarnya.
Nilam dan Juju bertatapan, heran. Tak lama wanita itu kembali menemui Nilam dengan membawa baju lebar berlengan panjang, warnanya kubas dan rombeng—baju yang biasa dipakai ke ladang.
“Kalau keluar pakai ini, jangan baju itu.”
Gadis ber-andeng-andeng di batang hidung ini kembali melebarkan mata, bibir penuhnya menganga sempurna. Belum juga tangannya menyentuh baju itu, ia tertawa lebar sampai memegangi perut yang terasa seperti digelitik.
“Mak ini, ada-ada aja. Aneh, tau. Anak udah cantik gini mau disuruh tampil jelek, gimana, sih?” ucapnya di sela tawa.
“Sudah nurut aja, pokoknya baju ini jangan dilepas sampai kamu balik ke rumah!”
Meski merasa lucu, Nilam mengikuti saja kemauan Mak. Juju menahan tawa melihatnya, mendapat pelototan oleh Nilam.
“Gue ikut, Ni.” Juju berdiri bersiap.
“Gak usah, kamu istirahat aja. Aku cuma bentar kok.” Pemuda berambut tebal itu kembali duduk.
Setelah Nilam melapisi pakaian yang dikenakan dengan baju bau deterjen itu, Mak menggosokkan arang ke pipi dan dahinya. Juju langsung menyembur tawa. Nilam sempat menolak, tapi tangannya dipukul Mak. Jadilah Nilam pasrah, sambil membayangkan apa bentuk penampilannya kini.
Ia gadis pecinta semua hal berbau negeri ginseng. Dari ujung kaki hingga kepala sudah persis si idolanya, Bae Suzy. Aktris serba bisa yang menginspirasinya sampai bisa seperti sekarang.
Merasa risih dengan penampilan anehnya, Nilam melepas baju ‘kerja’ Mak itu di tengah jalan. Sebelum kain itu dilempar ke semak, ia menggosok kain itu rata ke wajahnya sampai dirasa sudah bersih.
Jalan setapak yang sepi membuatnya lega, tak ada yang sempat melihat penampilannya tadi. Kalau tidak, ia pasti akan malu dikira orang hilang akal.
Langkah kaki Nilam percepat ke arah Selatan, dua ratus meter ke sana ada rumah yang mau dituju sebelum ke tempat Suci. Setelah melewati beberapa rumah dan tanah kosong pandangannya menyapu rumah sederhana yang terlihat sepi, pintu dan jendelanya tertutup.
“Neni,” panggilnya pada pemilik rumah yang juga salah satu teman masa kecil.
Tak ada jawaban. Rumah beratap genteng tua itu tampak tak terurus. Nilam melihat rumah terdekat di sekitar juga sepi.
Apa keluarga Neni juga merantau? pikirnya sambil melanjutkan langkah menuju rumah Suci, teman akrabnya sejak kecil itu letaknya sedikit ke ujung kampung.
Kampung ini hanya dihuni sekitar lima puluhan rumah. Jarak satu dengan yang lain cukup jauh. Masih banyak lahan kosong yang berumput tinggi, ditanami pohon kelapa atau buah-buahan.
Banyak warga yang pindah ke kota atau kampung lain sebab merasa terisolasi di sini. Kampung tanpa listrik, apalagi sinyal telepon. Jalan menujunya juga setapak, berumput setinggi mata kaki. Melewati hutan panjang yang sebagiannya becek dan licin saat hujan.
Nilam melewati sebuah bangunan panjang dari kayu, tujuh ruangnya terkunci gembok coklat. Cat putih kapur di dindingnya mengelupas sana-sini, rumput di lapangan itu tumbuh rumput setinggi betis anak-anak. Itu sekolah dasarnya dulu.
Hari Minggu begini tak tampak anak-anak yang dulu biasa memakai halamannya sebagai tempat bermain. Sekolah tua itu satu-satunya tempat pendidikan yang dimiliki kampung terpencil ini.
Seingat Nilam, saat masa SD hanya dua guru yang bertugas mengajar siswa yang jumlahnya tak sampai dua puluh orang. Sekolah yang tidak punya jam disiplin, masuk jam tujuh kemudian pulang jam Sembilan pagi. Hanya menghabiskan waktu dengan bermain bersama teman.
Fasilitasnya belum diakui, hingga saat ujian kelulusan siswanya akan bergabung dengan sekolah di kecamatan yang jaraknya ditempuh dua jam perjalanan.
Setelah lulus, Nilam dan beberapa teman melanjutkan SMP dan SMA di kecamatan. Tinggal di rumah saudara sampai tamat. Saat itu sebulan sekali ia pulang menengok Mak.
Kali ini di kepulangannya, ia berharap ibunya mau tinggal bersama di kota. Meski masih mengontrak, ia ingin selalu bisa melihat wajah wanita yang tampak makin tua itu.
Awal mengadu nasib ke ibu kota, Nilam bekerja sebagai tukang keramas di sebuah salon. Suatu saat ia bertemu Juju, berteman akrab dan kemudian pemuda itu yang membawanya bergabung di Komunitas Pecinta Korea. Setelah belajar banyak bahasa dan budaya negeri ginseng itu, gadis pemberani ini akhirnya bisa bekerja di sebuah K-Food sampai sekarang.
Perjalanan beberapa tahun mampu mengubah si gadis dekil dari kampung ini berubah penampilan bak aktris.
Rambut coklat kemerahan Nilam yang licin sesekali menutupi mata karena tersibak angin. Hari yang tadi terlihat cerah berubah mendung dan berhawa dingin. Ia melirik jam di tangan kirinya, masih menunjuk angka sepuluh pagi.
“Suci,” pekiknya girang saat melihat seorang perempuan muda berdaster tengah menyapu selasar.
Orang yang dipanggil melongok heran. Seperti berpikir keras, apa ia tengah bermimpi didatangi bidadari?
“Kok, heran gitu, sih? Ini Nilam. Nilam Kumalasari.” Begitu mendekat gadis itu langsung merangkul teman lamanya.
“Nilam?” Perempuan yang dipeluk bergumam datar, Nilam melonggarkan pelukan. Ditatapnya lekat wajah Suci yang tampak menua. Mungkin sebab bercak hitam dan kerut di bawah matanya mulai muncul.
“Iya, aku Nilam, Ci.” Nilam memegang kedua pundaknya, menatap saksama mata yang terlihat berkaca.
“Suci?” katanya setengah heran melihat perempuan bertubuh sedikit berisi ini langsung meletakkan sapu dan melangkah ke dalam rumah.
Nilam mengikuti langkah kaku temannya itu sampai ke ruang tamu. Suci terlihat tanpa senyum duduk di kursi rotan. Wajahnya bertambah murung. Nilam duduk di sampingnya masih menatap Suci penuh tanya.
“Kenapa kamu pulang?”
Mendengar pertanyaan itu, sontak Nilam menyembur tawa.
“Kok, tanyanya aneh, sih? Mamakku, kan, ada di sini. Masa nggak boleh pulang. Emang kenapa, sih, Ci? Mak tadi juga bersikap aneh. Sama kayak kamu.”
Suci langsung menghadapkan wajah ke arah Nilam, gadis bermata bulat itu ditatapnya saksama.
“Kamu harus cepat pergi dari kampung ini, Nilam. Sekarang kampung kita nggak seperti dulu. Sudah nggak aman,” tegas Suci cepat.
Nilam terpaku sejenak.
“Ada apa memangnya?” tanyanya setengah bergumam. Ia merasa ada yang tak beres melihat reaksi Suci. Gadis yang dulu dikenal cukup ceria ini tampak jauh berubah sekarang.
Suci masih menatapnya lurus. “Semua gadis yang diinginkannya akan sulit lepas. Mereka pasti menghilang. Kamu bisa jadi korban selanjutnya,” ceracau gadis itu dengan bibir bergetar.
“Korban siapa? Apa maksudnya, Ci? Aku nggak paham.” Nilam terus bertanya bersamaan dengan jantungnya mulai berdebar.
“Ki Arya ....” Suci bergumam, setengah berbisik. Sorot matanya berkilat aneh.
“Cepat pulang, Ni, sebelum ia ketemu kamu.” Tangan perempuan berparas manis ini dingin dan gemetar, memegang punggung tangan Nilam.Nilam menggigit bibir berusaha menenangkan degup jantung, ia mengangguk patuh pada apa yang dikatakan temannya ini. Meski tak paham sepenuhnya ucapan Suci tadi, Nilam bisa menangkap adanya bahaya yang mengancam.Buru-buru pamit, setengah berlari menyusur kembali jalan setapak menuju rumah. Sesampai di tempat baju Mak dibuang tadi, ia melihat pakaian bermotif kembang itu masih teronggok di semak belukar.Perlahan tangan Nilam menggapai, sedikit sulit sebab terhalang rumput tinggi.Hup!Dapat. Segera Nilam kembali memakainya.Kemudian membungkuk ke tepi jalan setapak itu, ia mengorek tanah kecoklatan yang langsung diusapkan ke sel
Sesampai di pekarangan rumah, Mak Lumpit bergegas turun dari boncengan dan masuk ke rumah. Supri lanjut ke rumah Mardin sekitar 20 rumah ke arah Barat kampung.Di dalam rumah Nilam dan Juju sudah bersiap. Ransel keduanya tergeletak di kursi kayu. Mak langsung ke dapur, menyiapkan makanan untuk Supri.Dua motor bersuara kencang berhenti tepat depan selasar. Supri dan lelaki tinggi berkulit gelap turun, akan masuk ke rumah sejenak tertahan. Tertumbuk pandang pada gadis berkulit bening, mengenakan kaos lengan panjang berwarna putih, berpadu celana panjang skinny biru tua.Cantiknyaaa ....Dalam balutan penampilan yang sederhana, tapi membuat Nilam tampat amat cantik paripurna. Sukses membuat Mardin dan Supri sesaat terpana. Senyum dari pemilik bibir merah alami dan gadis berambut basah itu merekah. Terasa menerbangkan keduanya
“Ni … lo kenapa?” Juju bertanya dari tempatnya yang masih terpaku.Mata Nilam menatap kosong, tanpa kedip.Supri dan Mardin mendekat perlahan, pandangan mereka tak lepas dari Nilam. Takut kalau tiba-tiba gadis itu mengamuk mereka bersiap menangkapnya. Ini hutan, kalau sampai Nilam kabur ke dalam hutan bisa jadi ia akan hilang tanpa jejak.Namun, perkiraan mereka berdua salah. detik berikutnya tubuh Nilam melemas layu, lalu jatuh berbaring di tanah. Segera tiga pemuda itu mendekat. Setelah memeriksa kondisi Nilam yang seperti orang tidur, mereka berniat membawa gadis itu kembali ke rumah.“Coba nyalakan lagi motornya,” kata Juju pada Mardin. Segera pemuda itu lakukan, diikuti Supri. Ajaib sekali tekan starter langsung menyala.Juju segera mengangkat tubuh Nilam ke motor M
Malam itu suasana rumah diramaikan suara obrolan antar lelaki di luar, sementara di dalam kamar Mak dan ibu-ibu lain bercerita tentang padi yang sudah mulai menguning. Sebagian jagung juga beberapa sudah panen dan diantar ke pasar di kecamatan.Mak duduk di sisi dipan sambil mengusap-usap dahi Nilam. Sejak tadi, gadis itu tertidur dan masih menggigil begini, Mak tak tega membangunkan. Namun tak lama perlahan Nilam membuka mata. Wanita yang selalu memakai kebaya kutu baru dan jarik ini segera mendekatkan wajahnya.“Nilam?”“Lapar, Mak …,” kata Nilam lemah. Matanya sudah terbuka penuh, menyapu pandang ke langit-langit. Kemudian memandang heran ke arah ibu-ibu yang mengerumuni tempat tidurnya.Semua bergantian menanyakan kondisinya. Nilam menjawab kalau ia kedinginan dan lapar.
Semua orang yang ada di sana seketika mematung.Dalam hening, hanya erangan Nilam yang terdengar lemah.Mengiringi langkah lelaki berpakaian serba hitam bergerak masuk. Warga mengenalnya sebagai Ki Arya yang tinggal menyendiri di ujung dusun. Ia mendekati Nilam yang menggigil.Kepala gadis itu terkulai lemah, dalam posisi setengah duduk di gotongan dua lelaki berwajah pasi.“Aku dengar anakmu sakit, Mak Lumpit. Kenapa kau tidak memanggilku?” Suara serak dan berat itu bertanya.Pengaruh suaranya seakan-akan menghentikan napas semua yang mendengar. Terlebih Mak Lumpit yang raganya terasa sudah melayang.Tangan kurus Mak bergetar, berusaha kuat dengan mengepal jemari tangan. Melaki berwajah dingin itu kini berdiri sekitar dua meter dengan Nilam, anak gadis yang
Warga bahu-membahu memukul api dengan ranting pohon basah. Mereka berusaha mematikan titik api yang makin mendekati jalan. Takut mengenai salah satu rumah penduduk lain yang tak jauh dari sini. Penuh perjuangan mereka lakukan sambil meminta pertolongan Tuhan. Beberapa sudah sesak napas dan memilih mundur, menjauh.Seketika mentari yang tadi muncul kembali bersembunyi, tertutup awan gelap. Makin lama makin pekat menggantung di wajah langit. Semua berseru memohon hujan sambil menjauh dari titik api.Kepasrahan tampak dari wajah-wajah lelah, hanya mampu memandang lemah pada jilatan api makin menjalar dari kejauhan.Rintik mulai terasa menetes mengenai tubuh mereka. Puluhan lelaki itu menatap langit, menerima guyuran air jatuh semakin lebat. Semuanya bisa menarik senyum lebar penuh kelegaan, kemudian tawa mulai keluar dari seorang disambut yang lain. Berderai menyamai
Di Dukuh Gelap ….Suara binatang malam bersahutan, seakan-akan membicarakan pertemuan dua orang di tepi telaga.Ada lelaki dan perempuan sedang berhadapan di sana. Wajah mereka tak tampak, sebab tertutup gelapnya malam. Derak ranting yang telah menjadi arang terdengar saat si perempuan melangkah maju.Lelaki itu dalam posisi duduk bersila itu matanya terpejam, tapi bibirnya berucap.“Bagus! Aku sekarang bisa bersamanya, hahahaaa. Kau sudah jalankan perintah dengan baik. Pulanglah, apa yang kujanjikan sudah menunggumu di rumah.” Suara berat dan serak itu mengakhiri pertemuan mereka.Perempuan berperawakan sedang itu berbalik, dalam gelap melangkah cepat menyusuri jalan setapak. Daster lebarnya mengepak tertiup angin malam, mengiringi kibasan rambut yang terurai sepinggang. Ia tampak
Dari rumah besar di depan terdengar suara tawa keras dari Babe dan Nyak, menertawakan Pak Min.“Bersihkan sendiri tuh ompol. Udeh tua juga sampe ngucur begitu,” kata Babe terkekeh, sambil menunjuk tetesan air memanjang dari luar hingga ke garasi.Di pojokan Pak Min membungkuk, menutupi celana yang basah. Lutut dan badannya gemetar hebat.Wajahnya pasi tanpa warna, kecamuk rasa bercampur di kepala lelaki paruh baya itu. Rasa malu tertutupi oleh takut luar biasa. Sosok bayangan hitam ia lihat tadi melingkupi tubuh Nilam. Belum lagi suara tawanya ... Iih! Pak Min menggidik sambil memeluk badan.Jantungnya bertalu berusaha menenangkan diri. Dua majikan yang ada di ruang itu tak menyadari apa yang ia rasa. Mereka malah terus tergelak lucu, lalu meninggalkannya ke belakang.Pak min kembali terlo
Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi
Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny
Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan
“Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka
Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya
Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan
Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan
Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem
Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.