Pamela menoleh sewaktu pintu ruang kerja Ace berbunyi, menandakan kekasihnya telah kembali dari rapat kerja mingguan bersama para direksi dan komisaris perusahaan. “Bosan?” Ace memeluknya dari belakang, mengistirahatkan dagunya di puncak kepalanya sambil menatap pemandangan gedung-gedung di sekelilingnya dari jendela panjang yang terpatri di beton.“Kondisi seperti ini yang menyebabkan Natasha bosan dan membisu.” Pamela menangkup tangannya yang melingkari pinggangnya dengan lembut. “Natasha bucin banget kali sama kamu, Ace. Jadi dia maunya sama kamu terus.” “Bucin?” Ace menaikkan kedua alisnya. “Sepertimu dengan Damian? Cinta buta? Budak cinta?” godanya sebelum mencium ubun-ubunnya dan terkekeh karena Pamela mencubit kecil punggung tangannya. “Hubungan kita gimana sih? Kenapa kita mudah sekali membahas masa lalu tanpa rasa cemburu!”“Masa lalu yang mempertemukan kita, kenapa harus cemburu? Atau...” Ace memutar tubuhnya, kini ia menatap Pamela. “Kamu diam-diam cemburu?”“Ya kali-ka
Lima jam setelah Pamela pamitan dari kantor sambil membawa serta mobil gratis dan pengawal pribadinya. Ace hijrah ke rumah sore harinya menggunakan mobil operasional perusahaan yang tak di kenali dua satpam yang berjaga-jaga di pos satpam. Ace keluar dari kendaraannya, alih-alih kesal tidak mendapatkan sambutan penuh menyelidik, Ace menyulut rokoknya dengan korek api yang di pinjamnya dari petugas yang melototi mobilnya tadi.“Sejak kapan mereka datang?” tanya Ace sambil memandangi mobil Natasha yang ia hadiahkan saat ulang tahunnya ke tiga puluh. Gerbang di buka, petugas kedua mengambil kemudi dan membawa mobil itu parkir di samping mobil Natasha yang kini menjadi milik orang tuanya. “Jam empatan, Pak. Mau ketemu Berlian katanya.” ‘Mau ketemu Berlian atau tanya-tanya soal Pamela?’ Ace memberi senyum kecut selagi mulutnya masih mengapit batang rokok. “Berlian jadi di jemput papa? Pulang jam berapa mereka?”“Sama, jam empatan. Selisih setengah jam paling, Pak. Nggak lama mereka da
Pamela meminta Wulan agar tidak membuka pintu mobilnya setelah mereka tiba di pelataran parkir kelab Hotwings di jam yang sudah di sepakati dengan Ace.“Jangan membantah tugasku, nona muda. Ace... sudah membayarku untuk memberi pelayanan terbaik bagimu!” Pamela angkat tangan, Wulan terlalu tegas sebagai perempuan dan ia merasa slalu terintimidasi oleh suaranya yang berat.”Oke... jangan galak-galak, atau aku minta ganti pengawal nanti?” ancamnya sambil mendelik. Wulan mendorong pintu kendaraannya. “Silakan saja melakukan protes, Ace tahu apa yang aku lakukan benar!” Pamela mengumpat panjang pendek seraya bersedekap. Menunggu Wulan menarik pintu kendaraannya. “Silakan keluar, Ace sudah di dalam.” “Dia mau ngapain sih ke sini malam-malam? Emangnya besok gak kerja? Gak capek? Aku aja yang nganggur capek banget.” keluh Pamela seraya mengikuti Wulan melangkah di antara mobil-mobil yang terparkir.”Kenapa juga harus kelab ini? Dengar-dengar setiap jam dua belas malam cewek-cewek bersay
Dengan jalinan cinta dan gairah yang menggabungkan petualangan, keluarga, persahabatan dan benang merah yang memikat Pamela dan Ace di Jakarta, tercenung wajah Damian menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh kurang lima menit dari sela-sela terali. Pada jam-jam tersebut, ia slalu menanti kedatangan sipir penjara yang ia harap memberitahu kedatangan keluarga, Sassy atau orang lembaga bantuan hukum pengadilan yang membesuknya di penjara. Namun hari itu semuanya nihil, lorong penjara lengang tanpa panggilan namanya. “Lagi ada halangan paling keluargamu, Dam.” hibur Bondan, teman satu penjaranya dengan kasus sama. Penganiayaan berat.“Bukan ada halangan, Dan. Tapi mereka memang nggak ingin ketemu, mereka malu punya anak sepertiku.”Monolog Damian diakhiri dengan senyuman kecut sembari memeluk terali dan menyandarkan kepalanya di sana. “Aku kangen Pamela. Di kantor aku selingkuh, dia kirim makan siang sama surat cinta kecil-kecilan. Sayang banget dia sama aku.” Damian tersenyu
Hari berikutnya. Damian sulit meredam renjana yang mematik hatinya yang lesu menjadi sesuatu yang menggebu-gebu. Ia menunggu, berpikir, dan berharap kedatangan Hanung dapat menekan emosi dan membayar lunas perjuangannya menaklukkan jam-jam yang teramat lamban, bosan dan menjengkelkan di detik-detik mendekati jam besuk. Bondan berdecak di atas tikar buluk tipis yang menjadi alas tidurnya. “Kamu mirip orang kerasukan, Dam! Komat-kamit terus.” cibirnya terang-terangan. Bukan tidak bersimpati, bukan, Bondan cuma ikut gusar melihat rekannya itu tidak bisa diam di dalam satu teralis besi yang tidak mempunyai sirkulasi udara yang baik, dan segalanya terlihat amat jelas membuat segalanya yang terasa merambat dengan cepat, contohnya kegelisahan dan kecemasan yang terpancar dari Damian sekarang.“Orang macam Hanung itu cuma mau memanfaatkan moment untuk menyakiti mantan menantunya dengan menggunakanmu, Dam. Niatnya nggak tulus, jangan gampang percaya. Ada harga yang perlu di bayar.”Damian m
Hanung tidak menyangka waktu Damian bilang, ‘Mungkin nanti setelah tiba di Jakarta’ akan menjadi hari yang memusingkan—mengingat tabiatnya yang runyam. Tapi begitu urusan hukum di Bali resik dan ia dipindahkan ke Jakarta untuk menuntaskan kasus penggelapan uang perusahaan, Hanung justru ingin tertawa. Demi apa, Damian memintanya untuk menemaninya pergi ke klinik kecantikan dan dokter kulit. Itu hal yang paling menggelikan dari sisi lain Damian yang ia ketahui dari orang suruhannya. “Pak.” panggil Damian, terlihat senyum percaya diri setelah menikmati paket perawatan khusus jerawat di klinik kecantikan ternama, langganannya dulu.Hanung menaruh ponselnya di sofa, ia tak dapat menahan senyum melihat ada perubahan dari ekspresi wajah Damian dan kulit-kulit wajahnya yang mengalami perbaikan untuk merebut kembali Pamela. “Hanya ini saja yang kamu butuhkan?” Hanung bertanya dengan lembut sebagaimana kemurahan hatinya akan menjadi air bah dan badai untuk mantan menantunya. “Mungkin parfum
Pamela mengangkat pot berisi bunga krisan merah yang sedang rekah sempurna seraya meminta Wulan memeganginya sebentar.“Untuk Ace, titip ya.” Pamela mengerling sambil menarik slang air. “Jangan di banting, awas!”Wulan menatap pot bunga dari bahan plastik kuyup oleh air lalu mengernyitkan, “Untuk apa?” tanyanya heran. Bunga krisan merah mana romantis, lagian wanita mana yang rela memberi pria bunga jika wanita itu tidak setengah gila. Wulan mencibirnya, “Tidak usah mempermalukan diri sendiri. Ini tidak penting, ada bunga lain yang lebih bagus!” sarannya dengan galak.Pamela memutar kran dan mengelap tangannya yang basah di kaos Ace. Budak cinta itu mengirim kaos-kaosnya agar di pakai Pamela, akunya agar slalu dekat.“Itu untuk merayunya, biar dia tahu aku punya inisiatif untuk romantis. Lagian bunga krisan merah melambangkan cinta, hasrat, dan keberanian. Itu seperti kami, kan?” ‘Tapi ini hanya satu tangkai!’ Wulan mendengus, ‘Melambangkan arti yang mana?’ keluhnya sambil mengendikka
“Nah selesai.” Pamela tersenyum setelah mengikat tangan Ace dengan dasi birunya. “Aku ingin melihatmu lepas dan tertahan, Ace.”Ace balas tersenyum, senang rasanya bisa bermain-main dengan Pamela di ranjang barunya yang berlapis seprai coklat tua dengan wangi pelembut pakaian pilihan gadisnya. Sentuhan warna, interior dan pajangan kamarnya yang gres pun sudah menutup kenangan yang terlukis di kamarnya dengan sesuatu yang manis dan manja. Pamela memilih satu lukisan bertema pedesaan Eropa saat musim semi. Warna cerah dari bunga yang bermekaran mengekspresikan perasaannya, dan langitnya yang biru, mengekspresikan perasaannya.“Kamu ingin melakukan apa, sayang?” Ace bertanya dengan gusar, meski secuil perasaannya mengira bahwa Pamela meniru gaya Damian. Jakun Ace bergerak, menelan secepatnya duga-duganya sendiri sebelum menanyakannya.“Atau kamu ingin memuaskan dirimu sendiri? Kamu ingin melihatku terlena dan tersiksa karena fantasimu?”Punggung Ace berpasrah pada sandaran kepala ranja