Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
“Di mana sih kamu mas?” Pamela Kandhita Kilmer berkacak pinggang di belakang villa. Lampu-lampu kecil berwarna-warni di taman memantul di selaput matanya. Pamela mengedarkan pandang, nihil. Tidak ada orang yang dia cari. Pamela kembali ke aula. Para penikmat pesta membanjir di situ, membawa gelas-gelas anggur merah bergagang panjang sambil berdansa atau membawa piring makanan di kursi dan meja cantik berhias bunga-bunga dengan perpaduan warna putih dan ungu.Pamela mengerang, hawa perayaan pernikahan itu bercampur dengan kesuraman karena dia tidak menemukan Damian Airlangga atau Sassy di aula villa. Di antara rekan-rekan satu divisi personalia dan general affair, Pamela menanyakan mereka. ”Aku lihat tadi ke atas, lewat pintu samping!” bisik pria berbadan kurus.Sambil menggerutu tidak jelas, bayangan sekertaris sang tunangan yang bertubuh elok dan berambut coklat pucat itu menjajah kewarasannya. Sassy, janda tanpa anak itu!Pamela menarik napas, pertama-tama dia melepas sepatu hak t
Pamela gegas masuk ke dalam villa tanpa menunggu persetujuan dari pemiliknya terlebih dahulu. Masih dengan keadaan panik, Pamela kebingungan mencari tempat bersembunyi.“Aku harus ke mana. Tuhan...”“Sembunyi di belakang meja bar mungkin!” celetuk Ace.Sekonyong-konyong Pamela pergi ke sana lantas meringkuk di bawah sudut meja.Pamela yakin Damian sudah jauh dari radiusnya mengingat betapa sigap Ace membawa motor ATV-nya keluar dari bibir pantai tadi. Namun kenyataan bersama seorang pria asing menambah rasa paniknya seolah ia mengantarkan tubuhnya sendiri untuk dinikmati.Pamela gegas meraih apapun yang ada di atas meja lalu menggenggamnya sebagai sebuah harapan terakhirnya untuk menyelamatkan diri jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ace mendekatinya seraya menghidupkan lampu bar. Ia berlutut, memandangnya dengan mata penuh pengertian. Ace meneliti sekali lagi kehadiran seorang gadis menyedihkan yang menggelengkan kepala sekarang.“Jangan dekat-dekat, Pak. Jangan!” seru Pamela
Walau sudah larut. Ace sama sekali tidak pulang dari rumah sakit. Ia menunggu kesempatan untuk mengambil sendal nanas milik Natasha walau harus ikut mengurus keberadaan gadis itu. Maka subuh-subuh yang berudara dingin, ia menghampiri Pamela yang terlelap di ruang inap perawatan intensif setelah melewati operasi pada tangannya yang patah. Bergeming di samping ranjang pasien. Ace memandangi Pamela dengan leluasa. Satu persatu keindahan di wajah itu bagaikan kesempurnaan seorang bidadari. Respon itu seakan lumrah terjadi, Pamela Khandita Kilmer berparas campuran, Jawa dan Belanda-Jerman.Wajahnya putih resik, hidungnya tidak begitu mancung tapi indah di pandang. Dan, setiap kali senyumnya mengembang, pipinya terlihat menggemaskan. Terlihat chubby meski tidak berbadan gempal berisi.Ace berdecak kagum. Usia Pamela sedang ranum-ranumnya. Bibir merah muda dengan sisa lipstik merah marun yang tertinggal di sana menggugah keinginan Ace untuk mengusapnya. Lipstik itu mengusik sensualitas bibir
“Tante putri duyung...”“Tante putri duyung...”“Kiu... kiu, kukuruyukkk...” Dengan alis bertaut curiga Pamela mengerang sambil menepis tangan seseorang yang menyentuh hidungnya. “Siapa sih? Jangan ganggu aku lagi, aku ngantuk banget!” protes Pamela dengan suara kusut dan terdistorsi seperti sebuah kaset tua. Matanya masih teramat berat terbuka meski sudah berjam-jam ia terlelap sampai bala bantuan milik Ace datang pukul sembilan pagi. Asih dan Berlian.Mereka berdua tidak punya pilihan lain selain mengikuti permintaan Ace untuk menjadi keluarga palsu Pamela. Asih dan Berlina menyukainya. “Papa, Tante putri duyung boboknya nyenyak sekali. Gak bangun-bangun.” adu Berlian ke Ace yang menunggu di sofa sambil memangku laptop.Ace berhenti sejenak dari aktivitasnya memandangi laptop untuk sekedar mengusap pipi putrinya yang memakai rok tutu merah jambu dan atasan kaus tanpa lengan. Senyum Ace merekah. “Tante putri duyung masih capek. Habis operasi patah tulang dan minum obat tidur. Berl
Ace menutup laptopnya dengan mantap ketika Asih mempergoinya dengan tatapan curiga. Rahangnya mengeras. Celetukan Pamela memicu terbukanya rahasia di depan seorang pengasuh yang menjadi bagian dari perjalanan hidupnya dengan Natasha dan Berlian. Dia sungguh-sungguh mencintai Natasha dan mendekati wanita lain sama saja mengkhianatinya. Hal itu sudah lama Ace jadikan sebagai pekerjaan di divisi hatinya.Ace tahu tadi adalah perbuatan yang tidak gentle, dan ia tidak benar-benar ingin membuatnya malah semakin terlibat dalam masalahnya. Ace cuma reflek, seperti respon otomatis kebanyakan pria yang bertemu Pamela untuk kali pertama.“Pegang-pegang apa sih, Pak?” goda Asih.“Diam!” bentak Ace.Berlian tersentak ketika ayahnya berkata seperti marah untuk pertama kali. Bibirnya bergetar. Berlian mundur, mendekati Pamela seolah meminta perlindungan, padahal kan tangannya patah, satu tangannya di infus. Pamela bisa apa? Wanita itu saja berwajah angkuh setelah membuka rahasia Ace tanpa basa-basi.
Damian menutup pintu mobilnya seraya menarik Sassy dan mendekapnya. Tak akan lama karena dia langsung menyuruh orangnya untuk menanyakan keberadaan Pamela Khandita Kilmer di dalam rumah sakit. Sassy memukul dadanya, “Bisa nggak sih Pamela nanti lagi!” desaknya. “Aku cemburu!” “Bukannya ini sudah risiko jadi pacar kedua?” Damian menyelipkan sehelai rambutnya ke belakang telinga. Isi kepala Sassy harus di isi dengan realita. Kecemburuannya kadang tidak masuk akal. Slalu menuntut lebih seperti lakonnya menjadi perebut milik orang. Ingin berkuasa. “Sabar dulu. Ngerti dong. Pamela bagaimana pun harus aku cari. Dia bisa menghancurkan hidupku. Jadi sebelum dia melakukan itu, aku akan menghancurkannya dulu!” Damian bersitegang dengan waktu, semakin cepat ketemu, semakin baik. Rumah sakit adalah tujuan utama sejak kehilangan Pamela semalam. Dan rumah sakit saat ini adalah rumah sakit ke lima sejak subuh tadi dia mendatangi lembaga pelayanan kesehatan di Bali.“Mungkin Pamela di klinik-klini
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep