Damian menutup pintu mobilnya seraya menarik Sassy dan mendekapnya. Tak akan lama karena dia langsung menyuruh orangnya untuk menanyakan keberadaan Pamela Khandita Kilmer di dalam rumah sakit.
Sassy memukul dadanya, “Bisa nggak sih Pamela nanti lagi!” desaknya. “Aku cemburu!”“Bukannya ini sudah risiko jadi pacar kedua?” Damian menyelipkan sehelai rambutnya ke belakang telinga. Isi kepala Sassy harus di isi dengan realita. Kecemburuannya kadang tidak masuk akal. Slalu menuntut lebih seperti lakonnya menjadi perebut milik orang. Ingin berkuasa.“Sabar dulu. Ngerti dong. Pamela bagaimana pun harus aku cari. Dia bisa menghancurkan hidupku. Jadi sebelum dia melakukan itu, aku akan menghancurkannya dulu!” Damian bersitegang dengan waktu, semakin cepat ketemu, semakin baik.Rumah sakit adalah tujuan utama sejak kehilangan Pamela semalam. Dan rumah sakit saat ini adalah rumah sakit ke lima sejak subuh tadi dia mendatangi lembaga pelayanan kesehatan di Bali.“Mungkin Pamela di klinik-klinik kecil atau tukang urut. Bisa jadi tangannya cuma terkilir, Dam?” tukas Sassy dengan nada melunak. Dia mencium rahang Damian sebelum lelakinya mencium bibirnya beberapa saat.“Bagaimana?” tanya Damian ke orang suruhannya mengetuk kaca mobil.“Tidak ada yang namanya Pamela, Bos.”“Nah kan.” sahut Sassy, “Coba sekarang cari di tukang urut dekat pantai. Aku yakin si melon itu pasti masih di sekitar sana!”Damian enggan menggampangkan ucapan Sassy yang terbiasa menikmati kemudahan termasuk menjadi pacar kedua.“Kalian cek kembali semua mobil yang kita cari. Pastikan di semua parkiran kalo perlu sampai di luar wilayah rumah sakit!” pungkas Damian seraya menaikkan kaca mobilnya.Sassy mengelus rahangnya dengan lembut, berusaha mengendorkan otot-otot tegang Damian. Sassy percaya pernyataan Damian untuk menghancurkan Pamela bukan isapan jempol.Damian Airlangga adalah pria petualang yang senang bermain risiko. Sudah bulanan ia menemani pria langganan kamarnya hingga mengerti sisi gelapnya.“Lagian kalo Pamela di bawa mobil semalam, apa dia selamat? Gimana kalo dia malah—”Damian mencengkeram rahangnya sambil mendelik tajam. Kalau sudah begitu, Sassy biasanya hanya diam dan memutuskan menampung kemarahannya sampai emosinya luluh sendiri.Damian cenderung temperamen setiap kali dia menjelekkan Pamela dan berharap yang tidak-tidak, Damian slalu tersulut emosi seakan tidak terima Pamela kenapa-kenapa. Oh, sial. sampai Sassy kadang-kadang tidak memahami Damian cintanya kepada siapa?Tidak mungkin dengan Pamela! Dia berselingkuh.Tidak mungkin juga dengannya karena Damian masih betah mempertahankan hubungan kotor mereka tanpa ikatan yang jelas.“Pamela masih di bumi, dia masih bisa di cari!” Damian menggeram sembari melepas cengkeramannya.Sassy mengelus rahangnya seraya menggeser posisi duduknya. Sudah berbagi cinta, kasar lagi, apa yang bisa di banggakan dari Damian jika bukan uang dan ketampanannya?Damian memalingkan wajahnya yang muram, biarpun Pamela hanyalah gadis yang dia kencani saban malam Minggu saja untuk keperluan asmara dan hubungan kerjasama dengan ayahnya, sebentuk hatinya tetap menyayanginya.Damian memandangi orang-orangnya yang berseliweran di sekitar mobil Ace.Satu diantaranya menuding mobil Ace. “Aku yakin ini mobilnya!” tukasnya lalu mengernyit, memeriksa kesamaan foto yang diberi Damian dan wujud asli mobilnya.“Mobil orang kaya ini, platnya satu. Bisa jadi nggak pakai ini. Orang-orang kaya biasanya pemilih.” tukas yang lain.“Terus menurutmu penggede gak ada hati nurani?” sahut yang lain.Kerumunan yang berjumlah lima orang itu berkacak pinggang. Berpikir.“Kita intai saja!” pungkas pria bertato naga di lengannya. Yang lain mendatangi Damian. Memberitahunya.Ego Damian melarangnya untuk menyerah sekarang meski rasa lelahnya lumayan parah. Dia mabuk semalam dan bangun dengan mata bengkak karena kebanyakan menangis. Entah menangisi apa, Sassy yang menemaninya sampai terheran-heran dengan tingkah lelakinya.“Kita cari di rumah sakit lain dan klinik-klinik pijat di sekitar sini, Bli. Kalian amankan mobil itu!”Ace mengamati rombongan Damian pergi dari parkiran rumah sakit dari kejauhan.“Apa sudah selesai papa?” tanya Berlian setelah Ace berdiri di dalam pos satpam. Dalih bermain petak umpet dengan monster penculik putri duyung berhasil tanpa adanya campur tangan pertanyaan Berlian. Itu hebat menurutnya.“Sudah, kerja bagus!” Ace menyunggingkan senyum seraya menarik ponselnya dari kantong celananya. Dia menghubungi seseorang lalu menyinggung keberadaan mobilnya.“Selesai. Ayo kita cari ayam betutu!”-Pamela membuka mulutnya lebar-lebar untuk menyantap ayam betutu dari tangan Asih. Pamela merasa saat ini semua terasa berbeda, Asih memperhatikannya seperti seorang ibu yang sudah fasih mengurusinya hingga membuat dadanya menghangat.Dua tahun sudah berlalu sejak Tuhan mengambil ibunya dari hidupnya. Sudah dua tahun Pamela kehilangan perhatian dan kasih sayang dari sosok penuh pengertian dan tanpa pamrih itu hingga ia merasa dirinya hanyalah tamu dalam semesta ini. Tamu yang tak di undang sebab masih jelas di telinganya bahwa ia anak hasil hubungan di luar nikah.Banyak yang terjadi dua tahun terakhir itu.Pertama, ayahnya menikah lagi setelah lima bulan kematian ibunya dengan senior Damian. Karena itu ia menjalani dinasti asmara kantoran setelan mendatangi banyak kegiatan non resmi perusahaan dan dijodoh-jodohkan oleh ibu tirinya. Dia terpaksa melakoni istilah pacaran dulu cintanya belakangan. Damian tidak keberatan saat itu, dia justru bahagia karena pada akhirnya berakhir sudah tekanan dari seniornya.Kedua, dia memiliki dua adik tiri masih SMP dan SMA, dia membencinya karena mereka sering minta traktiran. Dan ini yang paling merepotkan dan menyebalkan sekali dalam hidupnya selama dua tahun ibunya tiada. Dia memiliki adik bayi! Bayangkan berapa banyak selisih umurnya. Dia lebih pantas menjadi tantenya daripada kakak.Ketiga, ayahnya mendukung seratus persen hubungannya dengan Damian. Bagi Anang Brotoseno, Damian adalah lelaki matang dan mapan. Punya apartemen dan mobil sendiri. Pokoknya paket komplit mantu idaman yang bisa di banggakan di kampung halaman. Mungkin Anang Brotoseno akan menyangkal jika nanti ia mengetahuinya anaknya babak belur karena lelaki kebanggaannya? Tapi untuk hal itu Pamela tidak begitu khawatir. Dia sudah pisah dengan Damian. Aman.Keempat, hari ini dia harus melihat betapa manisnya Ace mengasuh Berlian. Ace menyuapinya dengan sabar sambil sekali-kali berlagak membawa sendok pesawat sebelum mulut putrinya mangap.Pamela mencebikkan bibir. ‘Agak gila sih orangnya. Bisa semanis itu sama anaknya tapi sama aku dan Asih mirip AC lama lupa servis. Nggak dingin banget, dan berisik. Sama-sama nyebelin pokoknya.’Asih menyipitkan mata, reaksi Pamela seperti aksinya saat Ace menggunakan sikap kebapak-bapakannya dengan tulus menyenangkan. Mau juga digituin, tapi langsung sadar diri ia siapa.“Emang suka gitu, Mbak. Maklum ibunya sudah nggak ada!” bisik Asih. Takut Ace mendengar dan marah lagi. Kapok dia memancing emosi duda sentimentil, bawanya marah terus seperti kurang minum dan pelepasan.“Dua tahun lalu perginya.”“Kok sama. Mamaku juga meninggal dua tahun lalu, Bi.”Asih tersenyum sedih. Kesulitan mencari canda untuk menghibur suasana. Tapi ia cukup pintar mendapat jawaban dengan cepat.“Mungkin takdir yang berkuasa di atas itu semua, Mbak!”-Next-Pamela memperhatikan Asih untuk merespon pernyataannya. “Mungkin takdir.” Pamela tersenyum getir. Mungkin begitu, tak dipungkiri apa yang sudah ditakar tidak akan tertukar. Pamela tahu itu, dia tidak akan mengeluh mengapa harus ia yang mengalami kehilangan. Kematian mutlak terjadi kepada setiap nyawa dalam kehidupan. Hanya saja saat-saat seperti ini muncul rasa rindu tanpa peringatan.“Mamaku meninggal karena gagal ginjal. Namanya Joice Elizabeth Kilmer, dan Bali adalah rumah masa kecilku sebelum pindah ke Jakarta.” Pamela mengusap-usap gips tangannya. “Aku masih tahu persis harinya, dan aku sudah mengulang peristiwa itu ribuan kali di kepalaku.”Asih menarik selembar tisu untuk Pamela yang sudah berkaca-kaca matanya.“Setelah kehilangan mama, hidupku hancur.”Selama beberapa detik ruangan itu sunyi. Ace bergeming memandangi Berlian yang mendadak enggan menerima nasi ayam betutu darinya.Berlian menunduk, menarik serat kain rok tutunya yang kecantol paku di pos satpam tadi. Bibirn
“Pamela Kandhita Kilmer?”Ace memandangi Armando yang mengulangi ucapannya di lorong rumah sakit seraya menganggukkan kepala.“Siapa dia, Pak? Calon karyawan baru atau—” Armando–sekertaris Ace yang menyusul secepatnya ke Bali untuk menyokong kegentingan bosnya itu meringis.“Pacar baru ya?” tukasnya tidak segan.Ace memandangi pria bersetelan klasik, kumisan, dan berambut panjang yang di ikat rapi itu dengan sorot mata tajam.Armando langsung tahu, Ace tidak suka dengan candaannya. “Siapa Pamela? Jangan sampai aku jauh-jauh untuk mengurangi urusan nggak penting! Istriku ngambek, ngancam bakal baby blues kalo pulang-pulang gak bawa duit dan oleh-oleh!” Armando ganti memandangi Ace dengan sorot mata tajam. “Ini serius, Pak. Baru kemarin kami keluar dari rumah sakit, harusnya aku hari ini sedang menimangnya bukan datang ke rumah sakit lagi. “Siapa yang sakit? Oh, astaga, buset. Aku paham. Bapak nabrak orang yang bernama Pamela Kandhita Kilmer dan wanita itu minta tanggung jawab?” “Ken
Pamela meringis mendengar lelucon murahan Armando yang terdengar tidak pada tempatnya.Bagaimana tidak, laki-laki itu memamerkan kemampuannya mengurusi istrinya melahirkan di tengah suasana muram hatinya dan hati Ace, pastinya. Oke, Pamela mengerti Armando sedang bahagia. Tapi pamer kemesraan sebuah kesempurnaan keluarga kecil membuatnya bahkan Ace yang sudah mencecap campuran rasa berumah tangga tidak percaya diri kembali membangun sebuah hubungan baru.Pamela tidak bisa membayangkan lagi kisah sempurna bersama pria baru setelah kisahnya hancur demi kisah lain yang lebih panas dan mendebarkan jantung dan pikiran.Lain halnya dengan Pamela, Ace sendiri tidak percaya diri karena dia gagal menjaga Natasha. Seratus persen gagal.Pekerjaan lebih penting dari perhatian. Sebagai eksmud yang sedang naik daun, dulu Ace begitu tergila-gila untuk memberikan yang terbaik demi sanjungan, uang dan kedudukan. Kini semua itu sudah ada di genggaman tangannya. Alih-alih bahagia, Ace justru kehilangan
Pamela sedang merasa agak jahat dengan Berlian semenjak ia duduk bersamanya dan Asih di mobil sewaan. Pamela diam saja saat bocah itu berceloteh tentang tempat-tempat rekreasi yang ingin dia kunjungi bersama-sama. Meski begitu dia lumayan bersyukur bisa lolos dari pantauan orang suruhan Damian yang menjaga ketat mobil Ace setiap hari.Pamela bergidik. Membayangkan betapa getol Damian mencarinya, seratus persen ia yakin Damian ketakutan rahasianya terbongkar dan Damian rela melakukannya apa saja untuk mendapatkan dirinya kembali. Hati Pamela mengkerut. Takut, iya, bagaimana nasibnya nanti jika Damian menangkapnya dan mencincangnya hidup-hidup?Pamela panik. Kadar cemasnya meningkat, hatinya retak membentuk puzzle-puzzle berantakan. Susah kalau harus di satukan lagi pakai lem, butuhnya perhatian dan kasih sayang yang tulus dan cinta banget. Tapi siapa yang akan memberi itu semua? Pamela cemberut. Hidup macam apa yang menyambut kepulangannya dari rumah sakit?Taruhlah ia di atas pecah
Ace menyesali keputusannya untuk duduk manis sambil menelepon Armando. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Dengan niat yang sudah paten dalam hati sejak skenarionya matang, ia bertanya bagaimana hasil dari pembobolan kamar hotel Pamela. Armando menghirup rokok elektriknya di serambi bungalow beratap jerami. Semilir angin di pedesaan dengan sawah yang menghijau membawa asapnya menghilang dengan cepat.“Orang resepsionis ngomong si brengsek itu kemarin datang. Damian udah ambil semua barang Pamela. Aksesnya lebih gampang!” ujar Armando sembari melangkah ke parkiran. “Usahamu gagal buat mengamankan Pamela, mau apa sekarang, Pak?”Ace terdiam, lalu menarik napas. “Cari Damian. Jangan sampai data pribadinya digunakan untuk macam-macam! Pamela udah jadi anggota geng anakku! Dia tidak akan lepas dariku.” Armando mencibirnya dengan terang-terangan sambil bersandar di badan mobil. “Jangan menggunakan Berlian sebagai alat, Pak!”“Maksudmu apa?” Ace berdiri, meninggalkan gelasnya yang masih
‘Apa aku harus menjilat atasan biar dia mau melindungi ku? Hm... Repotnya. Pak Es kenal Damian, sewaktu-waktu aku bisa di lempar ke dia kalo aku bikin salah. Gawat. Aku tidak mau!’Pamela mengekori Berlian menuju kamar Ace di lantai dua. Perasaannya campur aduk. Bawaannya takut salah, salah dalam memilih pakaian Berlian. Salah memilih pola asuh dan cemas rambut Berlian tidak rapi sesuai penilaian Ace. “Aku harus bilang papa kalau papa nggak boleh marah-marah terus, Tante. Papa bisa-bisa jadi monster beneran nanti!” keluh Berlian.Pamela mengangguk dan tersenyum geli. “Betul itu, Non. Papa Ace tidak boleh marah-marah, nanti jantungan. Ahli waris masih kecil, kasian.”“Ahli waris itu apa, Tante?” tanya Berlian heran. “Non Berlian tanya saja sama papa, ya. Papa tahu, tapi Non, itu gawat, papa nona harus segera diberitahu biar tidak marah-marah terus.” bujuk Pamela, akal bulusnya bekerja.“Kalo gitu ayo Tante, cepat! Papa harus kita kasih tahu sebelum gawat! Berlian takut.” Berlian mena
Pamela menutup buku ensiklopedia anak seri rahasia samudra ketika Berlian sudah terlelap. Kepalanya menindih tangan kirinya sampai kesemutan. Pamela mengerjapkan mata sewaktu Ace meraih buku itu seraya menyimpannya di rak buku, di samping meja belajar. Deretan buku-buku lain berjejeran, menunggu giliran untuk diceritakan setiap malam atau setiap ada keinginan mendengarnya. Pamela ingin menyumpahi dirinya sendiri karena harus setuju apapun masalah pribadinya sekarang. Ace menuntutnya memberi sisi positif untuk Berlian.Dunia Pamela mengecil seakan kembali ke masa kanak-kanak. Tapi dia senang melihat warna-warni dan gambar-gambar yang kian artistik dan menarik. Hal itu lumayan membuat pikirannya teralihkan.Ace membetulkan posisi tidur Berlian sebelum mengecup keningnya. Ciuman sakral dan paling romantis dari seorang ayah ke anak. Pamela mendengus, mendadak iri dengan Berlian. Bocah itu dipenuhi rasa sayang, kemewahan dan kenyamanan meski tidak punya ibu. Sementara ia tidak pernah me
Datang ke kelab malam adalah hal akhir yang Damian lakukan setelah mengantar Sassy ke rumahnya. Dengan lengangnya jalanan kota Jakarta di tengah malam. Tak butuh waktu lama bagi Damian untuk segera sampai di rubanah kelab malam tepat waktu untuk memenuhi janjinya dengan seorang wanita cantik dan sensual yang menggodanya di media sosial.Damian melepas pakaian yang membungkus tubuh atletisnya setelah dipakainya seharian di kantor. Dengan kondisi setengah telanjang, Damian meraih perbekalan pribadinya yang slalu ada di kursi penumpang untuk menunjang penampilannya sebagai cowok metropolitan sesungguhnya. Damian menyugar rambutnya sembari tersenyum misterius setelah pakaian bersih dan wangi melekat di tubuhnya.Undangan pesta semalam dari Karmen Fernandes seperti oase di tengah kegelisahannya mencari Pamela.Terminal, bandara, pelabuhan dan seluruh pintu keluar masuk ke pulau Bali sudah dia telusuri dan jaga untuk mencari kekasihnya. Pamela tetap nihil. Keberadaannya susah di temukan.
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep