Datang ke kelab malam adalah hal akhir yang Damian lakukan setelah mengantar Sassy ke rumahnya. Dengan lengangnya jalanan kota Jakarta di tengah malam. Tak butuh waktu lama bagi Damian untuk segera sampai di rubanah kelab malam tepat waktu untuk memenuhi janjinya dengan seorang wanita cantik dan sensual yang menggodanya di media sosial.Damian melepas pakaian yang membungkus tubuh atletisnya setelah dipakainya seharian di kantor. Dengan kondisi setengah telanjang, Damian meraih perbekalan pribadinya yang slalu ada di kursi penumpang untuk menunjang penampilannya sebagai cowok metropolitan sesungguhnya. Damian menyugar rambutnya sembari tersenyum misterius setelah pakaian bersih dan wangi melekat di tubuhnya.Undangan pesta semalam dari Karmen Fernandes seperti oase di tengah kegelisahannya mencari Pamela.Terminal, bandara, pelabuhan dan seluruh pintu keluar masuk ke pulau Bali sudah dia telusuri dan jaga untuk mencari kekasihnya. Pamela tetap nihil. Keberadaannya susah di temukan.
Pamela bergeming di dekat jendela kamar. Menunggu Berlian dan Ace mandi bersama setelah melewatkan sore hari di pinggir pantai tanpanya. Pamela tidak mengerti mengapa Ace melarangnya ikut, padahal sudah samar rasa takutnya kepada Damian jika bersamanya. Dia pasti menjaganya. Entah mengapa firasat itu slalu menang ketimbang rasa khawatirnya. Ace mengembalikannya ke Damian. Pamela tidak mau itu. Dia mau bertahan hidup di sisi Ace walau tekanannya tidak main-main. Semalam adalah kejutan awal, kejutan-kejutan lain pasti akan datang dan ia tidak bisa menyiapkan apapun untuk menghadapinya.Ace baginya terlalu misterius. Meski di satu sisi, setelah dia telaah lebih dalam lagi, ada yang belum terbiasanya dengan kehadirannya sebagai wanita asing yang tiba-tiba harus menjadi urusannya.Ace membuat jarak. Itu sudah pasti karena dia masih masih mencintai kehilangan.Asih sudah menceritakan kematian Natasha semalam ketika ia menghabiskan satu botol wiski di kamarnya sambil merenungi nasibnya dan
Pamela menyusuri bibir pantai. Di antara sisa ombak yang menyentuh kakinya dan semilir angin yang membelai raganya. Sesekali ia menoleh dengan kecemasan yang sangat besar.Matanya mencari-cari kedatangan Ace yang menghubunginya di tempat persembunyiannya.Oh, Pamela bersyukur karenanya, karena dia sepenuhnya lupa dengan perintah Asih sebab isi kepalanya hanya di penuhi oleh Damian.Pamela bergeming, memilih menunggunya di dekat batu karang sambil mengamati pantulan cahaya matahari di permukaan laut dengan kapal pesiar kecil sebagai penghias luasnya samudra.“Damian ternyata gak ngelupain aku. Aneh! Harusnya dia pergi sejauh-jauhnya dari api, memangnya dia siap terbakar?” Pamela mengambil batu pantai dan melemparnya ke pantai. “Andai aku bisa menolak pertemuan-pertemuan sinting yang Papa dan mama lampir lakukan, aku pasti masih baik-baik saja sebagai jomblo sejati!” Pamela menggeram frustasi.Ia tidak mengerti jalan pikiran laki-laki. Ibarat batu yang tenggelam ke dasar laut yang memil
Sambil mencengkeram pundak Ace, Pamela turun dari ATV sesampainya mereka di belakang villa.Pamela menyunggingkan senyum. Rasanya senang bisa bersama pria yang tepat sekarang, pria patah hati yang membangun benteng pertahanan untuk menjalani monogami setelah kematian sang istri. Pamela menyayangkan keputusan Ace untuk tidak menikah lagi. Ace terlalu keren untuk hanya memiliki seorang anak dan duda seumur hidup. Ace masih pantas memiliki bayi-bayi lucu yang akan terlahir dari istri barunya. Tapi apapun alasan Ace tidak menikah lagi, Pamela senang. Ia bersyukur karena rasa aman yang tercipta karena reaksi patah hatinya.‘Aku bisa aman berada di rumahnya, aman dari kenakalan duda itu dan kesempatan bertemu Ace adalah anugerah!’Sambil tetap tersenyum, Pamela mengedipkan sebelah matanya.“Makasih, Pak. Hari ini pasti hanya permulaan, besok-besok jangan patah semangat nolongin aku.”Ace nyaris tersedak ludahnya sendiri melihat gadis itu bertingkah seperti kebanyakan wanita yang menemuinya.
“Aku harus membersihkan diri dulu, Pak. Sebentar!” Izin Pamela sewaktu Ace memintanya menemani Berlian ke kamar untuk mengurusi Karmen Fernandes seorang diri.Pamela beranjak dari kursi dengan air muka mengkerut. Lagi-lagi, tatapan Ace tertuju padanya. Tajam dan penuh isyarat hingga mengubah makan malam menjadi acara rapat dan ‘silent treatment’ yang menegangkan.Sepotong wagyu dan buncis berulangkali nyaris membuatnya tersedak karena terintimidasi matanya yang menggelisahkan. Harusnya...Pertarungan Berlian dan Karmen yang membangun prahara baru di villa itu tidak mengikutsertakannya. Harusnya! Pamela tidak tahu permasalahan mereka. Tidak ada yang menjelaskan, orang-orang di sana cenderung bungkam di setiap detik dan menit yang melaju dengan lamban di meja makan.‘Berlian vs Karmen. Oh sial... Haruskah aku menjadi wasit atau terdakwa?’Pamela mengangguk sebagai pamitan kepada tuan dan nona yang masih berdiam di ruang makan.“Biarkan aku ikut!” Ace berdiri, mengabaikan ekspresi jenaka
“Banyak pria yang galau setelah kepergian istri tercinta itu belalainya ikut galau, Bi. Aku pikir pak es juga begitu, letoyy... Taunya... Aku takut banget waktu dia kurung aku di kamarnya! Aku takut Berlian bakal punya adik.”Pamela menggeleng kuat-kuat setelah mengeluhkan kejadian yang menimpanya.Asih tergelak dengan apa yang diceritakan Pamela setelah menidurkan Berlian di kamarnya.Asih menyeka sudut matanya yang berair. Bukan, bukan karena dia tertawa sampai menangis, tapi dia ngantuk banget dan menangisi pemikiran polos Pamela. ‘Kalau ejakulasi dini mungkin iya, Mbak. Tapi kalau letoy aku tidak seyakin itu. Pak Ace masih berstamina kuat, gendong bibi saja pasti kuat. Tapi apa mungkin?’ Tawa Asih semakin menjadi-jadi, dan ia menarik Pamela menjauhi ranjang Berlian agar tidak mengganggu nona muda itu.“Terus-terus Pak Ace gimana tadi waktu Mbak Pamela suruh bukain resleting gaun? Dia mau melakukannya?” Air muka Asih tambah penasaran setelah Pamela tiba-tiba menyemburkan pernyata
Pamela sedang memandang keluar dari sebuah jendela yang berada di bagian loteng villa. Bukit-bukit yang mengelilingi nun jauh dari villa tampak memahkotai sinar matahari terbit di antara kabut yang masih menyelimuti pepohonan.Pamela menyandarkan kepalanya di kusen jendela. Sepi menemani kesendiriannya sewaktu ia memikirkan Ace yang berniat mengekangnya dengan hutang-hutang yang tidak ia harapkan dalam hidupnya.Total ada tiga puluh lima juta dari total biaya rumah sakit dan perintilannya serta uang tebusan barang pribadinya. Jika ia bisa membayar empat juta setiap bulan dari uang gajinya yang sebesar enam juta—lebih satu juta dari perjanjian sebelumnya—kurang dari satu tahun ia bisa melunasinya. “Satu tahun? Apa aku siap jadi pengasuh anak sepenuhnya?” Setelah sekian menit yang terbuang dalam lamunan panjang, Pamela menyunggingkan senyum lepas.“Hp bisa beli lagi, isi dompet dan paspor nggak penting-penting banget sekarang. Isi flashdisk biarin ajalah jadi simpanan pak es. Jadi... A
Pamela menjauh dari ruang kerja Ace. Sudut bibirnya terangkat melihat betapa gencar Ace berusaha menyingkirkan jejak-jejak sentuhannya. “Aku cuma sengaja. Tapi aslinya itu duda gampang tergoda. Gayanya aja cinta mati sama Bu Natasha.” Pamela ngedumel. “Padahal, Pak Ace hanya perlu tambahan endorfin biar bahagia!” Pamela melongok ke ruangan yang terletak di sebelah dapur kotor. Asih sedang mengeluarkan pakaian setengah kering dari dalam tabung mesin cuci.“Bibi nggak marah sama aku?” Pamela menghampirinya dengan perasaan khawatir karena mendepak Asih dari pengasuh kesayangan Berlian.Asih menggeleng, malah dia nyengir seakan-akan menunjukkan adanya kebahagiaan yang diterimanya atas sikap berani Pamela. “Aku nggak bisa cuti kalo Bapak nggak tahu isi hatiku, Mbak. Lumayan empat bulan di rumah. Kangen sama Bapak Ibuku terobati. Mereka sudah sepuh!” Asih tersenyum hangat. “Kemungkinan besok pagi aku pulang, Mbak. Bareng Pak Armando dan Mbak Karmen. Udah nggak sabar aku ketemu mereka. Na
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep