“Banyak pria yang galau setelah kepergian istri tercinta itu belalainya ikut galau, Bi. Aku pikir pak es juga begitu, letoyy... Taunya... Aku takut banget waktu dia kurung aku di kamarnya! Aku takut Berlian bakal punya adik.”Pamela menggeleng kuat-kuat setelah mengeluhkan kejadian yang menimpanya.Asih tergelak dengan apa yang diceritakan Pamela setelah menidurkan Berlian di kamarnya.Asih menyeka sudut matanya yang berair. Bukan, bukan karena dia tertawa sampai menangis, tapi dia ngantuk banget dan menangisi pemikiran polos Pamela. ‘Kalau ejakulasi dini mungkin iya, Mbak. Tapi kalau letoy aku tidak seyakin itu. Pak Ace masih berstamina kuat, gendong bibi saja pasti kuat. Tapi apa mungkin?’ Tawa Asih semakin menjadi-jadi, dan ia menarik Pamela menjauhi ranjang Berlian agar tidak mengganggu nona muda itu.“Terus-terus Pak Ace gimana tadi waktu Mbak Pamela suruh bukain resleting gaun? Dia mau melakukannya?” Air muka Asih tambah penasaran setelah Pamela tiba-tiba menyemburkan pernyata
Pamela sedang memandang keluar dari sebuah jendela yang berada di bagian loteng villa. Bukit-bukit yang mengelilingi nun jauh dari villa tampak memahkotai sinar matahari terbit di antara kabut yang masih menyelimuti pepohonan.Pamela menyandarkan kepalanya di kusen jendela. Sepi menemani kesendiriannya sewaktu ia memikirkan Ace yang berniat mengekangnya dengan hutang-hutang yang tidak ia harapkan dalam hidupnya.Total ada tiga puluh lima juta dari total biaya rumah sakit dan perintilannya serta uang tebusan barang pribadinya. Jika ia bisa membayar empat juta setiap bulan dari uang gajinya yang sebesar enam juta—lebih satu juta dari perjanjian sebelumnya—kurang dari satu tahun ia bisa melunasinya. “Satu tahun? Apa aku siap jadi pengasuh anak sepenuhnya?” Setelah sekian menit yang terbuang dalam lamunan panjang, Pamela menyunggingkan senyum lepas.“Hp bisa beli lagi, isi dompet dan paspor nggak penting-penting banget sekarang. Isi flashdisk biarin ajalah jadi simpanan pak es. Jadi... A
Pamela menjauh dari ruang kerja Ace. Sudut bibirnya terangkat melihat betapa gencar Ace berusaha menyingkirkan jejak-jejak sentuhannya. “Aku cuma sengaja. Tapi aslinya itu duda gampang tergoda. Gayanya aja cinta mati sama Bu Natasha.” Pamela ngedumel. “Padahal, Pak Ace hanya perlu tambahan endorfin biar bahagia!” Pamela melongok ke ruangan yang terletak di sebelah dapur kotor. Asih sedang mengeluarkan pakaian setengah kering dari dalam tabung mesin cuci.“Bibi nggak marah sama aku?” Pamela menghampirinya dengan perasaan khawatir karena mendepak Asih dari pengasuh kesayangan Berlian.Asih menggeleng, malah dia nyengir seakan-akan menunjukkan adanya kebahagiaan yang diterimanya atas sikap berani Pamela. “Aku nggak bisa cuti kalo Bapak nggak tahu isi hatiku, Mbak. Lumayan empat bulan di rumah. Kangen sama Bapak Ibuku terobati. Mereka sudah sepuh!” Asih tersenyum hangat. “Kemungkinan besok pagi aku pulang, Mbak. Bareng Pak Armando dan Mbak Karmen. Udah nggak sabar aku ketemu mereka. Na
“Pagi... Tante putri duyung... Aaa... calon mama...,” Berlian membalas sapaan Pamela seraya menghambur ke arahnya untuk menyambut Pamela yang belum selesai menuruni anak tangga.Senyum geli di wajah setengah pengar itu menerima ciuman selamat pagi dari Berlian.“Hai... Nona manis. Maaf... Tante baru bangun...” Pamela memelas sambil mengusap rambutnya yang sudah wangi. Penampilan Berlian juga sudah rapi jali. Bocah itu menggunakan stocking pink untuk melengkapi pakaian santainya yang serupa pakaian balerina. “Berlian tidak marah?” tanya Pamela “Gak masalah...” Berlian meringis lebar. “Hari ini kita mau ke bandara, Tante siap?”“Siap untuk?” Pamela menyipitkan mata. Ia kan tidak boleh keluar villa. Bahaya, nanti ada yang lihat, lalu terjadi hal tak terduga. Ia tidak mau itu terjadi. Lebih dari itu, ia agak curiga dengan gelagat Berlian yang menggandeng tangannya ke arah Ace. Pria berpakaian seperti warna putrinya. Perpaduan antara warna putih dan merah muda.‘Ada apa pemirsa? Apa aku
“Kelingking kita berjanji... Jari manis jadi saksi.Bahagia... hingga sang bumi enggan berputar lagi. Yeyy...”Pamela, Berlian, Asih dan Karmen bertepuk tangan ketika mereka berhasil mengakhiri karaoke bersama setibanya di lahan parkir bandara Ngurah Rai Bali. Ace menurunkan kedua tangannya yang spontan menutupi kedua telinganya saat Karmen Fernandes mengajak antek-anteknya bernyanyi sepanjang perjalanan menuju bandara. “Kalian bernyanyi seperti ceret bunyi. Berisik dan tidak enak di dengar!” maki Ace dengan nada sarkasme. Karmen menjentikkan jarinya di kuping Ace. “Kamu sudah lama tidak berkumpul dengan rekan-rekan gilamu rupanya!”“Hentikan!” Ace mendorong pintu mobil. Tatapannya beralih ke Pamela yang tidak merasa bersalah sedikitpun memakai gaun kesayangan Natasha. “Kamu tetap di mobil. Kami hanya sebentar!” Pamela memeluk Asih kemudian, “Pokoknya kami tunggu undangan pernikahan dari bibi. Aku dan Berlian pasti datang!” janjinya dengan sungguh-sungguh.Asih mengelus punggung P
Pamela menyisir rambut Berlian setelah anak asuhnya membersihkan diri dan berpakaian.Pamela tersenyum sambil memandangi wajah mereka di cermin kamar mandi yang bermandikan cahaya. Semerbak aromatherapy dari diffuser reed stick dan debur ombak yang samar-samar menyusup di sana menemani awal kedekatan mereka tanpa adanya Asih.Pamela akan berdamai dengan pekerjaannya walau rangkaian peristiwa yang akan terjadi pasti akan ia tunggangi dengan keluhan dan gerutuan. “Cantiknya anak papa Ace. Boleh kasih Tante senyuman sekarang?” Berlian menguncupkan bibirnya dengan di buat-buat. “Aku lapar, Tante. Kita ke kamar papa yuk. Aku mau makan pizza!” serunya bersemangat.Pamela mengiyakan, tapi ke kamar Ace bukan masalah gampang. Ia ngeri jika Ace hanya berbalut handuk seperti kejadian kemarin. Pamela bergeming di depan pintu berukir, ia yang tak sejalan dengan Berlian membuat bocah itu bertanya kenapa. Pamela mencubit gemas pipinya. “Berlian harus ketuk pintu dulu, terus teriak, papa pakai baj
Pamela tersenyum geli sambil mengaduk smoothies stoberi miliknya. “Rupanya aku memang ada dipikiran Bapak. Seneng deh berasa di anggap penting!” Pamela terbatuk-batuk kemudian. Dengan sengaja. Sementara itu Berlian yang melihat ayahnya keki dan membuang muka terkekeh. “Papa kenapa sih sama Tante Pamela ribut terus. Sama mama enggak marah-marah, sama bibi Asih enggak. Papa kenapa?” tanyanya dengan suara yang menyerupai bisikan. “Papa takut jatuh cinta lagi?” Ace nyaris menyemburkan kopi yang baru ia seruput.“Kamu tidak tahu persoalan apa yang terjadi saat jatuh cinta, Berlian. Jadi makanlah! Tidak perlu menanyakan hal itu pada papa.” Berlian menatapnya dengan senyum menyelidik. “Kata om Ar, jatuh cinta bikin papa awet muda dan aku mau papa awet muda terus!”Pamela mulai mengeluarkan suara tawa tertahan yang berubah menjadi tawa lepas saat Ace terlihat kelabakan menjawab permintaan putrinya.“Kepalaku pusing,” ledek Pamela di sela tawanya. “Nggak bisa ini, nggak bisa terus egois beg
Pamela memastikan Berlian sudah jatuh dalam mimpi sebelum menyingkirkan lengan Berlian yang memeluk perutnya dengan hati-hati. Dengan kondisi setengah mengangkat tubuhnya dari ranjang, dia melirik Ace yang menutup wajahnya dengan lengan.‘Bagus sekali malam ini. Tidur bersama duda dan putri seperti aku ini seorang istri sesungguhnya. Pantas saja bibi Asih suka ngaku jadi istri bayangan. Begini ceritanya? Ngeri...’Pamela berdiri dengan susah payah seraya menaruh guling sebagai pembatas tempat tidur agar Berlian tak terjatuh.‘Jam bebas. Akhirnya.’ Pamela ingin berseru dengan lepas sambil berjingkrak-jingkrak kalau perlu. Namun dia terlampau cemas dengan apa yang tiba-tiba menghangat di dalam celana dalamnya. ‘Apa jangan-jangan aku datang bulan?’ Pamela memastikan Ace dan Berlian sudah lelap sebelum pergi ke kamarnya dengan langkah seringan mungkin.Pamela menutup setengah pintu kamarnya seraya menyusupkan tangannya ke dalam gaun merah muda yang terasa lengket. Ia menarik turun celana