Pamela ragu. Sang benak memintanya untuk berbalik arah dan menyudahi pertengkaran mereka dengan beristirahat di kamar masing-masing dan bertemu di pagi yang lebih akur daripada harus menyusuri tepi pantai semalam itu.Pamela ngeri dengan kedatangan begal atau yang lebih parah orang suruhan Damian yang mendeteksi keberadaannya. Namun, seolah tersihir oleh energi yang terpancar dari tubuh Ace. Pamela tidak bisa memerintahkan mulutnya berkata atau memerintahkan kakinya untuk segera melakukan apa yang diperintahkan sang benak. Pamela menghentikan langkahnya ketika Ace berhenti di antara kapal jukung yang berlabuh di bibir pantai.Ace berbalik, menyorot Pamela dengan matanya yang rapuh. “Aku terlalu sering mengalami kehilangan tanpa persiapan. Itu menyakitkan dan membingungkan, Mel.”Pamela kebingungan dalam menjawab curahan hatinya. Namun, selagi Ace tidak peduli ia merespon atau tidak. Pamela menyimpulkan Ace hanya ingin membagi risau yang mendasari kemarahannya sekaligus memberi infor
Pamela mengurai tangannya yang melingkari leher Ace setelah ia menurunkannya di depan penginapan. Dangan kondisi kelelahan yang luar biasa dan napas pendek-pendek, Ace buru-buru membuka pintu resor sebelum terseok-seok ke sofa dan menjatuhkan diri di sana.Pamela menyunggingkan senyum dengan lepas sembari menutup pintu dan menguncinya. “Bapak nggak papa?” godanya. Nyengir. Ace tidak tahu harus memaki atau semringah setelah mengalami hal yang begitu konyol saat di kejar-kejar anjing di pagi buta dengan Pamela yang berada digendongnya.Ace menyeka peluh yang mengalir di pelipisnya. Suhu tubuhnya memanas dan basah oleh keringat.Ace menatap Pamela dengan tatapan tidak suka. “Kamu pikir berat badanmu seperti Berlian?” tuturnya dengan kondisi tenggorokannya kering. “Kalo kamu ingin berterima kasih. Harusnya kamu sudah mengambil segelas air untukku. Baju gantiku, handuk dan minimal memijat kakiku!”Sesudah Ace meluapkan imbal balik yang perlu Pamela lakukan, dia memejamkan mata sambil m
Segalanya teramat berarti ketika yang berarti telah pergi. Dan di luar kepedihan yang begitu mendalam, menjalani hari-hari tanpa adanya yang berarti adalah yang terberat.Ace sudah menghabiskan waktu terberatnya di rumah sakit jiwa. Mendatangi psikolog, menjalani terapi dan mengulangi lagi. Walau kesekian kalinya hidup dalam penyangkalan memberinya rasa aman termasuk menanggapi kehadiran Pamela. Karenanya mengacaukan irama kehidupannya yang sudah lama berjalan dengan tenang.-“Papa... Tante... Papa... Tante...” Berlian menggoyangkan bahu Ace dan Pamela bergantian ketika matahari pagi merekah dari balik awan.“Ya ampun, kukuruyukkk... kukuruyukkk... Ayam sudah bangun. Papa, Tante... Bangun dong!” Berlian berkokok berulangkali sampai dia kesal sendiri melihat kedua manusia dewasa tidak kunjung bangkit dari mimpi.Berlian mendekati wajah Ace. Dia menarik hidung mancung ayahnya sampai Ace gelagapan. Tangannya menggapai-gapai udara sebelum mendelik menatap Berlian yang terkekeh kecil. Ac
Jakarta. Setelah Karmen mencuri hp, dompet, paspor dan flashdisk dari tas Pamela. Meninggalkan Damian dalam ikatan shibari di tembok apartemennya.-Damian tidak bisa menggerakkan tangannya dan kakinya. Pengelihatannya berkunang-kunang. Kepalanya terasa pening. Mulutnya terlihat kering. Perutnya perih.Damian berusaha membuka matanya yang sukar terbuka sambil menarik-narik tangannya dari sesuatu yang memancing keingintahuannya. Tapi perlahan-lahan dia ingat sesuatu. Terasa masih segar di benaknya walau mabuk kepayang dan mabuk beneran.Muncul kesenangan dan harapan-harapan manis dan panas bersama si seksi, Karmen Fernandes. Damian tersenyum bergairah, kontrol di tubuhnya aus. Dia mencoba memberontak dari ikatan tangan dan kakinya. Meski ia tahu kemungkinan untuk terlepas dari borgol shibari tidak mungkin begitu saja. Damian berteriak. Gerakannya terlalu intensif dan kuat hingga menyakiti pergelangan tangan dan kakinya sendiri. “Karmen...” “Karmen...” Damian memanggilnya dengan ti
Clary yang perasa memang tidak salah. Firasatnya tidak kaleng-kaleng seperti kaleng rombeng. Kecurigaannya pada lembar cuti yang disahkan oleh Damian tidak serta merta menghapuskan segala monolog panjang dalam pergulatan pemikiran yang keluar masuk di hari-hari paska pernikahan Miranti selesai. Kembalinya tamu undangan ke Jakarta dan nyemplung di perusahaan yang sama membuatnya heran terheran-heran mengapa Pamela mengajukan cuti secepat itu. Wong, jika di telaah lebih baik, Pamela itu sudah mendatangi formulir lembur selama dua Minggu untuk menambah ragat menikah bersamanya.Dan kini keingintahuannya akan menemukan jawabannya saat Damian meminta secangkir kopi untuk lembur dari pantry sore itu. Clary mencegat mbak-mbak office girls di samping ruang kerja Damian dengan cara ganjil. Ia mengedipkan sebelah matanya.“Aku saja, Mbak. Mbak bisa istirahat!” Jelas saja mbak-mbak office girls senang bukan main, secuil tugas mengantar kopi pada orang menyebalkan seperti Damian tersingkirkan.
Jakarta yang sejuk. Mungkin habis hujan menerjang bumi dengan kapasitas tinggi seakan-akan mewakili tangis kegelisahan tiga manusia yang terjebak dalam kemacetan panjang arus lalu lintas yang diubah untuk menghindari beberapa wilayah yang terdampak langganan banjir dari arah Jakarta selatan ke Jakarta barat.Antoni memukul setir meski wajahnya tenang. Dan Clary blingsatan. Entah apa yang dipikirkannya sekarang, duduknya terlihat gelisah, wajahnya was-was, dan jika tidak ada sabuk pengaman dan mobil terkunci yang membelenggunya mungkin gadis itu memilih keluar dan berlari...Memburu Damian agaknya seperti berlomba-lomba mencari waktu yang tepat untuk menyergap mangsa. Ketepatan waktu harus diperhatikan baik-baik. Meleng sedikit, mangsa minggat. Kesibukan pria itu melebihipegawai kantoran pada umumnya karena baginya kerja adalah kompetisi yang ketat demi kedudukan yang mentereng di perusahaan. “Om coba deh telepon Damian. Iseng-iseng tanya gitu dia di mana sekarang.” Anang Brotoseno m
Dalam keadaan benar-benar terdesak, Damian mengangkat tangannya ke udara sambil menggelengkan kepala. “Sumpah, Om. Pamela bersamaku. Tapi-tapi...” Damian tampak kesulitan mengeluarkan kata-kata dari mulutnya selagi moncong pistol itu tetap mengarah ke jantungnya.Anang Brotoseno tersenyum kecil. Lihatlah betapa kerdil blegug sia macam Damian Airlangga sekarang. Menggigil ketakutan dengan tampang yang dia buat sedemikian tidak terpengaruh pada tekanannya. “Tapi apa?” Anang Brotoseno menarik sudut bibirnya. Astaga, pria itu terlihat menyeramkan dalam senyuman seperti itu. Pantas saja cita-citanya jadi jendral, tampangnya mendukung dalam mengintimidasi lawan meski dalam kewibawaan yang terlatih.“Tapi—”Jakun Damian terlihat naik-turun, meneguk ludahnya di tengah tenggorokannya yang kering. Yakin, Anang Brotoseno tidak membawa pistol mainan. Pistol itu bisa mengubahnya menjadi jasad seketika jika ia tidak berbalik dan menurunkan tangannya ke arah belakang tubuh sesuai perintahnya.Anang
Melalui kumpulan data-data yang sudah tersimpan di tabletnya, Anang Brotoseno menginjak tanah kelahiran Pamela Kandhita Kilmer keesokan harinya.Terang saja, rangkaian kenangan yang terjadi dua puluh lima tahun silam merongrong di ingatannya. Ia rasa, desir pantai, aroma asin lautan dan pedesaan di Bali tak akan pernah terlupakan. Anang Brotoseno jatuh cinta pada Joice Elizabeth Kilmer yang kala itu sedang melakukan tamasya untuk sejenak melupakan dinginnya benua Eropa di musim dingin. Dan sejak saat itu, Anang Brotoseno merasa harus dekat dengannya dan harus mempersuntingnya. Yah... sebagai laki-laki pemberani yang unggul saat itu sedang mengenyam pendidikan di salah satu universitas Bali sebelum berlabuh di sekolah militer, kulit gosong dan otot-ototnya yang kencang menyita perhatian Joice, si kulit putih dan hobi berbikini cerah. Ibarat mereka suka lalu mereka jadian saja. Anang senang. Sekonyong-konyong Joice yang telah menjadi magnetnya membuatnya gencar melakukan apa yang suda
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep