Pamela sedang memandang keluar dari sebuah jendela yang berada di bagian loteng villa. Bukit-bukit yang mengelilingi nun jauh dari villa tampak memahkotai sinar matahari terbit di antara kabut yang masih menyelimuti pepohonan.Pamela menyandarkan kepalanya di kusen jendela. Sepi menemani kesendiriannya sewaktu ia memikirkan Ace yang berniat mengekangnya dengan hutang-hutang yang tidak ia harapkan dalam hidupnya.Total ada tiga puluh lima juta dari total biaya rumah sakit dan perintilannya serta uang tebusan barang pribadinya. Jika ia bisa membayar empat juta setiap bulan dari uang gajinya yang sebesar enam juta—lebih satu juta dari perjanjian sebelumnya—kurang dari satu tahun ia bisa melunasinya. “Satu tahun? Apa aku siap jadi pengasuh anak sepenuhnya?” Setelah sekian menit yang terbuang dalam lamunan panjang, Pamela menyunggingkan senyum lepas.“Hp bisa beli lagi, isi dompet dan paspor nggak penting-penting banget sekarang. Isi flashdisk biarin ajalah jadi simpanan pak es. Jadi... A
Pamela menjauh dari ruang kerja Ace. Sudut bibirnya terangkat melihat betapa gencar Ace berusaha menyingkirkan jejak-jejak sentuhannya. “Aku cuma sengaja. Tapi aslinya itu duda gampang tergoda. Gayanya aja cinta mati sama Bu Natasha.” Pamela ngedumel. “Padahal, Pak Ace hanya perlu tambahan endorfin biar bahagia!” Pamela melongok ke ruangan yang terletak di sebelah dapur kotor. Asih sedang mengeluarkan pakaian setengah kering dari dalam tabung mesin cuci.“Bibi nggak marah sama aku?” Pamela menghampirinya dengan perasaan khawatir karena mendepak Asih dari pengasuh kesayangan Berlian.Asih menggeleng, malah dia nyengir seakan-akan menunjukkan adanya kebahagiaan yang diterimanya atas sikap berani Pamela. “Aku nggak bisa cuti kalo Bapak nggak tahu isi hatiku, Mbak. Lumayan empat bulan di rumah. Kangen sama Bapak Ibuku terobati. Mereka sudah sepuh!” Asih tersenyum hangat. “Kemungkinan besok pagi aku pulang, Mbak. Bareng Pak Armando dan Mbak Karmen. Udah nggak sabar aku ketemu mereka. Na
“Pagi... Tante putri duyung... Aaa... calon mama...,” Berlian membalas sapaan Pamela seraya menghambur ke arahnya untuk menyambut Pamela yang belum selesai menuruni anak tangga.Senyum geli di wajah setengah pengar itu menerima ciuman selamat pagi dari Berlian.“Hai... Nona manis. Maaf... Tante baru bangun...” Pamela memelas sambil mengusap rambutnya yang sudah wangi. Penampilan Berlian juga sudah rapi jali. Bocah itu menggunakan stocking pink untuk melengkapi pakaian santainya yang serupa pakaian balerina. “Berlian tidak marah?” tanya Pamela “Gak masalah...” Berlian meringis lebar. “Hari ini kita mau ke bandara, Tante siap?”“Siap untuk?” Pamela menyipitkan mata. Ia kan tidak boleh keluar villa. Bahaya, nanti ada yang lihat, lalu terjadi hal tak terduga. Ia tidak mau itu terjadi. Lebih dari itu, ia agak curiga dengan gelagat Berlian yang menggandeng tangannya ke arah Ace. Pria berpakaian seperti warna putrinya. Perpaduan antara warna putih dan merah muda.‘Ada apa pemirsa? Apa aku
“Kelingking kita berjanji... Jari manis jadi saksi.Bahagia... hingga sang bumi enggan berputar lagi. Yeyy...”Pamela, Berlian, Asih dan Karmen bertepuk tangan ketika mereka berhasil mengakhiri karaoke bersama setibanya di lahan parkir bandara Ngurah Rai Bali. Ace menurunkan kedua tangannya yang spontan menutupi kedua telinganya saat Karmen Fernandes mengajak antek-anteknya bernyanyi sepanjang perjalanan menuju bandara. “Kalian bernyanyi seperti ceret bunyi. Berisik dan tidak enak di dengar!” maki Ace dengan nada sarkasme. Karmen menjentikkan jarinya di kuping Ace. “Kamu sudah lama tidak berkumpul dengan rekan-rekan gilamu rupanya!”“Hentikan!” Ace mendorong pintu mobil. Tatapannya beralih ke Pamela yang tidak merasa bersalah sedikitpun memakai gaun kesayangan Natasha. “Kamu tetap di mobil. Kami hanya sebentar!” Pamela memeluk Asih kemudian, “Pokoknya kami tunggu undangan pernikahan dari bibi. Aku dan Berlian pasti datang!” janjinya dengan sungguh-sungguh.Asih mengelus punggung P
Pamela menyisir rambut Berlian setelah anak asuhnya membersihkan diri dan berpakaian.Pamela tersenyum sambil memandangi wajah mereka di cermin kamar mandi yang bermandikan cahaya. Semerbak aromatherapy dari diffuser reed stick dan debur ombak yang samar-samar menyusup di sana menemani awal kedekatan mereka tanpa adanya Asih.Pamela akan berdamai dengan pekerjaannya walau rangkaian peristiwa yang akan terjadi pasti akan ia tunggangi dengan keluhan dan gerutuan. “Cantiknya anak papa Ace. Boleh kasih Tante senyuman sekarang?” Berlian menguncupkan bibirnya dengan di buat-buat. “Aku lapar, Tante. Kita ke kamar papa yuk. Aku mau makan pizza!” serunya bersemangat.Pamela mengiyakan, tapi ke kamar Ace bukan masalah gampang. Ia ngeri jika Ace hanya berbalut handuk seperti kejadian kemarin. Pamela bergeming di depan pintu berukir, ia yang tak sejalan dengan Berlian membuat bocah itu bertanya kenapa. Pamela mencubit gemas pipinya. “Berlian harus ketuk pintu dulu, terus teriak, papa pakai baj
Pamela tersenyum geli sambil mengaduk smoothies stoberi miliknya. “Rupanya aku memang ada dipikiran Bapak. Seneng deh berasa di anggap penting!” Pamela terbatuk-batuk kemudian. Dengan sengaja. Sementara itu Berlian yang melihat ayahnya keki dan membuang muka terkekeh. “Papa kenapa sih sama Tante Pamela ribut terus. Sama mama enggak marah-marah, sama bibi Asih enggak. Papa kenapa?” tanyanya dengan suara yang menyerupai bisikan. “Papa takut jatuh cinta lagi?” Ace nyaris menyemburkan kopi yang baru ia seruput.“Kamu tidak tahu persoalan apa yang terjadi saat jatuh cinta, Berlian. Jadi makanlah! Tidak perlu menanyakan hal itu pada papa.” Berlian menatapnya dengan senyum menyelidik. “Kata om Ar, jatuh cinta bikin papa awet muda dan aku mau papa awet muda terus!”Pamela mulai mengeluarkan suara tawa tertahan yang berubah menjadi tawa lepas saat Ace terlihat kelabakan menjawab permintaan putrinya.“Kepalaku pusing,” ledek Pamela di sela tawanya. “Nggak bisa ini, nggak bisa terus egois beg
Pamela memastikan Berlian sudah jatuh dalam mimpi sebelum menyingkirkan lengan Berlian yang memeluk perutnya dengan hati-hati. Dengan kondisi setengah mengangkat tubuhnya dari ranjang, dia melirik Ace yang menutup wajahnya dengan lengan.‘Bagus sekali malam ini. Tidur bersama duda dan putri seperti aku ini seorang istri sesungguhnya. Pantas saja bibi Asih suka ngaku jadi istri bayangan. Begini ceritanya? Ngeri...’Pamela berdiri dengan susah payah seraya menaruh guling sebagai pembatas tempat tidur agar Berlian tak terjatuh.‘Jam bebas. Akhirnya.’ Pamela ingin berseru dengan lepas sambil berjingkrak-jingkrak kalau perlu. Namun dia terlampau cemas dengan apa yang tiba-tiba menghangat di dalam celana dalamnya. ‘Apa jangan-jangan aku datang bulan?’ Pamela memastikan Ace dan Berlian sudah lelap sebelum pergi ke kamarnya dengan langkah seringan mungkin.Pamela menutup setengah pintu kamarnya seraya menyusupkan tangannya ke dalam gaun merah muda yang terasa lengket. Ia menarik turun celana
Pamela ragu. Sang benak memintanya untuk berbalik arah dan menyudahi pertengkaran mereka dengan beristirahat di kamar masing-masing dan bertemu di pagi yang lebih akur daripada harus menyusuri tepi pantai semalam itu.Pamela ngeri dengan kedatangan begal atau yang lebih parah orang suruhan Damian yang mendeteksi keberadaannya. Namun, seolah tersihir oleh energi yang terpancar dari tubuh Ace. Pamela tidak bisa memerintahkan mulutnya berkata atau memerintahkan kakinya untuk segera melakukan apa yang diperintahkan sang benak. Pamela menghentikan langkahnya ketika Ace berhenti di antara kapal jukung yang berlabuh di bibir pantai.Ace berbalik, menyorot Pamela dengan matanya yang rapuh. “Aku terlalu sering mengalami kehilangan tanpa persiapan. Itu menyakitkan dan membingungkan, Mel.”Pamela kebingungan dalam menjawab curahan hatinya. Namun, selagi Ace tidak peduli ia merespon atau tidak. Pamela menyimpulkan Ace hanya ingin membagi risau yang mendasari kemarahannya sekaligus memberi infor
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep