Pamela sedang merasa agak jahat dengan Berlian semenjak ia duduk bersamanya dan Asih di mobil sewaan. Pamela diam saja saat bocah itu berceloteh tentang tempat-tempat rekreasi yang ingin dia kunjungi bersama-sama. Meski begitu dia lumayan bersyukur bisa lolos dari pantauan orang suruhan Damian yang menjaga ketat mobil Ace setiap hari.Pamela bergidik. Membayangkan betapa getol Damian mencarinya, seratus persen ia yakin Damian ketakutan rahasianya terbongkar dan Damian rela melakukannya apa saja untuk mendapatkan dirinya kembali. Hati Pamela mengkerut. Takut, iya, bagaimana nasibnya nanti jika Damian menangkapnya dan mencincangnya hidup-hidup?Pamela panik. Kadar cemasnya meningkat, hatinya retak membentuk puzzle-puzzle berantakan. Susah kalau harus di satukan lagi pakai lem, butuhnya perhatian dan kasih sayang yang tulus dan cinta banget. Tapi siapa yang akan memberi itu semua? Pamela cemberut. Hidup macam apa yang menyambut kepulangannya dari rumah sakit?Taruhlah ia di atas pecah
Ace menyesali keputusannya untuk duduk manis sambil menelepon Armando. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Dengan niat yang sudah paten dalam hati sejak skenarionya matang, ia bertanya bagaimana hasil dari pembobolan kamar hotel Pamela. Armando menghirup rokok elektriknya di serambi bungalow beratap jerami. Semilir angin di pedesaan dengan sawah yang menghijau membawa asapnya menghilang dengan cepat.“Orang resepsionis ngomong si brengsek itu kemarin datang. Damian udah ambil semua barang Pamela. Aksesnya lebih gampang!” ujar Armando sembari melangkah ke parkiran. “Usahamu gagal buat mengamankan Pamela, mau apa sekarang, Pak?”Ace terdiam, lalu menarik napas. “Cari Damian. Jangan sampai data pribadinya digunakan untuk macam-macam! Pamela udah jadi anggota geng anakku! Dia tidak akan lepas dariku.” Armando mencibirnya dengan terang-terangan sambil bersandar di badan mobil. “Jangan menggunakan Berlian sebagai alat, Pak!”“Maksudmu apa?” Ace berdiri, meninggalkan gelasnya yang masih
‘Apa aku harus menjilat atasan biar dia mau melindungi ku? Hm... Repotnya. Pak Es kenal Damian, sewaktu-waktu aku bisa di lempar ke dia kalo aku bikin salah. Gawat. Aku tidak mau!’Pamela mengekori Berlian menuju kamar Ace di lantai dua. Perasaannya campur aduk. Bawaannya takut salah, salah dalam memilih pakaian Berlian. Salah memilih pola asuh dan cemas rambut Berlian tidak rapi sesuai penilaian Ace. “Aku harus bilang papa kalau papa nggak boleh marah-marah terus, Tante. Papa bisa-bisa jadi monster beneran nanti!” keluh Berlian.Pamela mengangguk dan tersenyum geli. “Betul itu, Non. Papa Ace tidak boleh marah-marah, nanti jantungan. Ahli waris masih kecil, kasian.”“Ahli waris itu apa, Tante?” tanya Berlian heran. “Non Berlian tanya saja sama papa, ya. Papa tahu, tapi Non, itu gawat, papa nona harus segera diberitahu biar tidak marah-marah terus.” bujuk Pamela, akal bulusnya bekerja.“Kalo gitu ayo Tante, cepat! Papa harus kita kasih tahu sebelum gawat! Berlian takut.” Berlian mena
Pamela menutup buku ensiklopedia anak seri rahasia samudra ketika Berlian sudah terlelap. Kepalanya menindih tangan kirinya sampai kesemutan. Pamela mengerjapkan mata sewaktu Ace meraih buku itu seraya menyimpannya di rak buku, di samping meja belajar. Deretan buku-buku lain berjejeran, menunggu giliran untuk diceritakan setiap malam atau setiap ada keinginan mendengarnya. Pamela ingin menyumpahi dirinya sendiri karena harus setuju apapun masalah pribadinya sekarang. Ace menuntutnya memberi sisi positif untuk Berlian.Dunia Pamela mengecil seakan kembali ke masa kanak-kanak. Tapi dia senang melihat warna-warni dan gambar-gambar yang kian artistik dan menarik. Hal itu lumayan membuat pikirannya teralihkan.Ace membetulkan posisi tidur Berlian sebelum mengecup keningnya. Ciuman sakral dan paling romantis dari seorang ayah ke anak. Pamela mendengus, mendadak iri dengan Berlian. Bocah itu dipenuhi rasa sayang, kemewahan dan kenyamanan meski tidak punya ibu. Sementara ia tidak pernah me
Datang ke kelab malam adalah hal akhir yang Damian lakukan setelah mengantar Sassy ke rumahnya. Dengan lengangnya jalanan kota Jakarta di tengah malam. Tak butuh waktu lama bagi Damian untuk segera sampai di rubanah kelab malam tepat waktu untuk memenuhi janjinya dengan seorang wanita cantik dan sensual yang menggodanya di media sosial.Damian melepas pakaian yang membungkus tubuh atletisnya setelah dipakainya seharian di kantor. Dengan kondisi setengah telanjang, Damian meraih perbekalan pribadinya yang slalu ada di kursi penumpang untuk menunjang penampilannya sebagai cowok metropolitan sesungguhnya. Damian menyugar rambutnya sembari tersenyum misterius setelah pakaian bersih dan wangi melekat di tubuhnya.Undangan pesta semalam dari Karmen Fernandes seperti oase di tengah kegelisahannya mencari Pamela.Terminal, bandara, pelabuhan dan seluruh pintu keluar masuk ke pulau Bali sudah dia telusuri dan jaga untuk mencari kekasihnya. Pamela tetap nihil. Keberadaannya susah di temukan.
Pamela bergeming di dekat jendela kamar. Menunggu Berlian dan Ace mandi bersama setelah melewatkan sore hari di pinggir pantai tanpanya. Pamela tidak mengerti mengapa Ace melarangnya ikut, padahal sudah samar rasa takutnya kepada Damian jika bersamanya. Dia pasti menjaganya. Entah mengapa firasat itu slalu menang ketimbang rasa khawatirnya. Ace mengembalikannya ke Damian. Pamela tidak mau itu. Dia mau bertahan hidup di sisi Ace walau tekanannya tidak main-main. Semalam adalah kejutan awal, kejutan-kejutan lain pasti akan datang dan ia tidak bisa menyiapkan apapun untuk menghadapinya.Ace baginya terlalu misterius. Meski di satu sisi, setelah dia telaah lebih dalam lagi, ada yang belum terbiasanya dengan kehadirannya sebagai wanita asing yang tiba-tiba harus menjadi urusannya.Ace membuat jarak. Itu sudah pasti karena dia masih masih mencintai kehilangan.Asih sudah menceritakan kematian Natasha semalam ketika ia menghabiskan satu botol wiski di kamarnya sambil merenungi nasibnya dan
Pamela menyusuri bibir pantai. Di antara sisa ombak yang menyentuh kakinya dan semilir angin yang membelai raganya. Sesekali ia menoleh dengan kecemasan yang sangat besar.Matanya mencari-cari kedatangan Ace yang menghubunginya di tempat persembunyiannya.Oh, Pamela bersyukur karenanya, karena dia sepenuhnya lupa dengan perintah Asih sebab isi kepalanya hanya di penuhi oleh Damian.Pamela bergeming, memilih menunggunya di dekat batu karang sambil mengamati pantulan cahaya matahari di permukaan laut dengan kapal pesiar kecil sebagai penghias luasnya samudra.“Damian ternyata gak ngelupain aku. Aneh! Harusnya dia pergi sejauh-jauhnya dari api, memangnya dia siap terbakar?” Pamela mengambil batu pantai dan melemparnya ke pantai. “Andai aku bisa menolak pertemuan-pertemuan sinting yang Papa dan mama lampir lakukan, aku pasti masih baik-baik saja sebagai jomblo sejati!” Pamela menggeram frustasi.Ia tidak mengerti jalan pikiran laki-laki. Ibarat batu yang tenggelam ke dasar laut yang memil
Sambil mencengkeram pundak Ace, Pamela turun dari ATV sesampainya mereka di belakang villa.Pamela menyunggingkan senyum. Rasanya senang bisa bersama pria yang tepat sekarang, pria patah hati yang membangun benteng pertahanan untuk menjalani monogami setelah kematian sang istri. Pamela menyayangkan keputusan Ace untuk tidak menikah lagi. Ace terlalu keren untuk hanya memiliki seorang anak dan duda seumur hidup. Ace masih pantas memiliki bayi-bayi lucu yang akan terlahir dari istri barunya. Tapi apapun alasan Ace tidak menikah lagi, Pamela senang. Ia bersyukur karena rasa aman yang tercipta karena reaksi patah hatinya.‘Aku bisa aman berada di rumahnya, aman dari kenakalan duda itu dan kesempatan bertemu Ace adalah anugerah!’Sambil tetap tersenyum, Pamela mengedipkan sebelah matanya.“Makasih, Pak. Hari ini pasti hanya permulaan, besok-besok jangan patah semangat nolongin aku.”Ace nyaris tersedak ludahnya sendiri melihat gadis itu bertingkah seperti kebanyakan wanita yang menemuinya.
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep