Pamela gegas masuk ke dalam villa tanpa menunggu persetujuan dari pemiliknya terlebih dahulu. Masih dengan keadaan panik, Pamela kebingungan mencari tempat bersembunyi.
“Aku harus ke mana. Tuhan...”“Sembunyi di belakang meja bar mungkin!” celetuk Ace.Sekonyong-konyong Pamela pergi ke sana lantas meringkuk di bawah sudut meja.Pamela yakin Damian sudah jauh dari radiusnya mengingat betapa sigap Ace membawa motor ATV-nya keluar dari bibir pantai tadi. Namun kenyataan bersama seorang pria asing menambah rasa paniknya seolah ia mengantarkan tubuhnya sendiri untuk dinikmati.Pamela gegas meraih apapun yang ada di atas meja lalu menggenggamnya sebagai sebuah harapan terakhirnya untuk menyelamatkan diri jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.Ace mendekatinya seraya menghidupkan lampu bar. Ia berlutut, memandangnya dengan mata penuh pengertian. Ace meneliti sekali lagi kehadiran seorang gadis menyedihkan yang menggelengkan kepala sekarang.“Jangan dekat-dekat, Pak. Jangan!” seru Pamela dengan suara parau. “Jangan!” Pamela menggelengkan kepala.Ace menghindar. Dari ruangan yang berjarak enam meter dari bar, Ace memanggil pengasuh putrinya.Asih Sukaesih mencelat dari tempat tidurnya dengan kesadaran yang seratus persen langsung siap.“Temui seorang gadis di bar, kamu urus dia!” Ace menyuruh dengan nada memerintah.Asih mengikat rambutnya dengan kening berkerut. “Seorang gadis?” gumamnya. “Siapa gadis itu, Pak? Kenapa Bapak membawa pulang wanita? Bagaimana jika nona Berlian marah?”Ace berputar, mengacuhkan serangkaian pertanyaan Asih yang sebenarnya belum ia mengerti jawabannya.“Kamu periksa tangannya, katanya tangannya patah!”“Tangannya patah... Kok bisa, Pak? Bapak macam-macam ya?” tukas Asih.Alis Ace mengumpul di tengah dengan tangan mengepal di sisi tubuh.“Aku masih ingat Natasha!” Ace menggeram.Sekonyong-konyong Asih cepat-cepat pergi ke bar daripada mengurusi kemarahan duda sentimentil yang menyebut mantan istri tercintanya dengan kemarahan.Asih tersenyum kaku ketika mendapati Pamela celingukan.“Mbak siapa?”“Em... Pamela.”“Mbak siapanya Bapak Ace?” Asih memutuskan langsung menyelidikinya sebab pikirannya berkelana.Ace rutin menikmati pantai seorang diri saat malam hari untuk menjumpai keheningan dan mengais cerih-cerih kenangan istrinya di sana. Tapi mendapati Ace tanpa baju dan membawa seorang gadis dengan pakaian pesta, patah tulang, dan menangis menimbulkan tanda tanya besar. Asih berpikir Ace melakukan tindakan yang menyalahi hukum.Pamela menggeleng perlahan-lahan. “Em... Aku gak kenal. Aku cuma minta tolong waktu dia lewat di depanku.”“Terus-terus mana tangan Mbak yang patah? Kok bisa patah? Jatuh?”“Di banting.”“Di banting?” Asih membeo. “Di banting Bapak Ace?” sentaknya kemudian.“Damian, tunanganku.”Ace menuruni anak tangga sembari memakai sweater lengan panjangnya. Dia mendekati Asih yang masih tercengang.“Kamu sudah mendapatkan informasi?”Asih menoleh dan mengulang pernyataan Pamela. Kelopak mata pria berusia genap empat puluh tahun itu melebar sebelum tatapannya beralih ke Pamela.“Bawa dia ke mobil!” Ace kembali ke kamarnya untuk mengambil dompet dan kunci mobil. Sejenak dia bergeming dengan wajah termenung.‘Apa dia benar-benar menjadi korban rudapaksa? Kenapa laki-laki tadi tidak menghargai seorang wanita?’Di bawah meja bar, Asih takut-takut mengambil vas dari tangan Pamela.“Bapak memang gitu, mukanya sangar, tapi dia penyayang, buktinya aku betah kerja walaupun setiap hari di suruh-suruh, dicuekin lagi, gak pernah perhatian. Waktu sakit di suruh periksa sendiri. Nggak adil kan dia.” seloroh Asih sembari mengulurkan tangan.Pamela berdiri dengan bantuan Asih, stok tenaganya sudah habis.“Terima kasih.” ucap Pamela.“Sudah tugasku, Mbak!” Asih tersenyum sambil mengajaknya ke carport.Pamela berdiri di samping mobil SUV pabrikan asal Jerman, sedangkan Asih mencari sendal yang menganggur di rak sepatu.“Tunggu Bapak sebentar, paling-paling bapak lagi bingung cari dompetnya. Udah mau pikun, Mbak. Maklum.”Ace berdehem saat Asih menaruh sendal di depan kaki Pamela.Asih meringis. “Bercandyaaa... Pak.” ucapnya sambil mengatupkan kedua tangannya.Ace melewati celah-celah di antara dua mobilnya dengan wajah datar.“Jaga nona Berlian, katakan jika aku sedang mencari putri duyung di laut sampai siang!”Asih melontarkan tawa karena alasan itu. Tapi dia mengangguk lalu menyuruh Pamela memakai sendal jepit bertali kuning dan bergambar nanas di bagian insole-nya.Asih membuka pintu mobil saat mesin sudah menderu. “Masuk, Mbak. Tenang. Bapak Ace gak doyan cewek-cewek sekarang, gak akan goda. Aku jamin!”Pamela sekilas menatap sisi wajah Ace. Pamela mengusap matanya yang berair seraya masuk ke dalam mobil.Asih menutup pintunya lalu berlari sekencang mungkin untuk membuka pintu gerbang. Dia melambaikan tangan dengan napas ngos-ngosan sewaktu mobil bosnya melewatinya.Ace sekilas memutar mata dan melirik Pamela yang juga meliriknya.Kepalang malu, Pamela menundukkan kepala. Badannya otomatis bergeser sampai menempel ke pintu mobil, memperpanjang jarak dengan Ace sebisa mungkin.‘Gadis ini benar-benar ketakutan.’Ace melonggarkan cengkeramannya pada stir mobil di tengah perjalanannya yang tersendat karena sebagian kendaraan dari pesta pernikahan Miranti dan Assegaf telah meninggalkan lokasi.Damian keluar dari jalan setapak dengan muka kebingungan. Langkahnya gegas mendekati mobil-mobil dan melihat keadaan di dalamnya dengan menempelkan wajahnya di kaca mobil. Matanya merah dan berair.“Mel, Pamela.” teriaknya.Pamela otomatis membungkukkan badannya lalu memposisikan diri sebisa mungkin di bawah dasbor mobil untuk bersembunyi dengan hati-hati. Pamela mendongak, menatap Ace yang mencengkeram rem tangan dan menatapnya.Pamela menggeleng. Ekspresinya memohon dengan sengit. “Pergi dari sini!”Ace meraih jas kerjanya yang tergantung di sandaran kepala kursi seraya melemparnya ke Pamela.Damian mendekat ke arah pintu kemudi. Ace yang tidak ingin pribadinya di ganggu sedemikian dekat oleh orang asing lagi membanting setir ke arah kiri dan tancap gas melewati taman yang ditumbuhi tanaman hias.“Bangsat.” Damian menyalak lalu mengejarnya. Sassy yang baru mengantri untuk keluar dari jalan utama villa memanggilnya dari mobil sedan roadster convertible, mobil atap terbukanya.Dengan nada kesal, Damian melompat ke dalam mobil. “Semprul, aku yakin Pamela kabur dengan mobil itu!”“Aku sudah foto mobilnya, sayang. Kita cari pakai teknologi!”Damian menepis tangan Sassy yang berusaha membelai pipinya. “Balik ke hotel!”“Oh, oke. Kamu sabar sebentar, sayang. Kita pasti balik ke hotel kok.” ucapnya lalu mencibir.Damian mengusap air matanya yang berair sambil membuang muka ke samping. Perasaannya tak menentu, perhatian dari Sassy yang slalu menyegarkan dan hangat terasa bagai angin yang berhembus. Damian mengabaikan Sassy.Sementara itu. Dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ace melirik Pamela di tengah fokusnya mengemudi.“Duduklah di atas. Jangan membuatku terlihat seperti penculik gadis seseorang!” tuntutnya dengan suara tegas.Pamela menggeleng, dia lebih nyaman di bawah dasbor.“Aku minta maaf sudah merepotkanmu, Bapak Ace.”Hidung Ace berkerut. Dia mendengus. Panggilan bapak membuatnya terasa lebih tua dari yang seharusnya meskipun usianya lebih tua darinya dan Asih.“Alangkah lebih baiknya kamu berterima kasih daripada meminta maaf. Pindah atau aku akan mengeluarkanmu dari mobilku!” kecam Ace dengan serius.Pamela memegangi tangannya yang ia lindungi agar tidak terkena benturan lagi sebelum pindah ke kursi dengan hati-hati.‘Jelas dia gak akan pernah menemukan putri duyung kalo dia terlihat seperti Pak Gito yang hobinya marah-marah!’ batin Pamela.Ace menghela napas lega. Mereka sudah tiba di rumah sakit. Tanpa melepas sabuk pengamannya ia menyuruh Pamela keluar.“Kamu langsung ke IGD. Aku tidak bisa menemani!”Tidak apa-apa tidak di antara ke dalam, pikir Pamela. Yang penting dia selamat dari Damian.Pamela menatap Ace setelah membuka pintu mobil, bisa saja pria itu tidak akan dia jumpai lagi di kemudian hari. Pamela berterima kasih padanya.“Kapan-kapan aku akan berkunjung. Sampaikan salamku untuk Asih.”“Tidak perlu.” Ace mengibaskan tangannya dengan wajah acuh tak acuh.“Aku ke villamu juga untuk mengembalikan sendal yang aku pinjam sekarang kok. Sendal nanas. Bukan untuk bertemu Bapak!”Ace langsung teringat sendal Natasha. Sendal yang ia beli ketika istrinya mengeluh sendalnya terbawa ombak dan telapak kakinya kepanasan.“Lepaskan dan kembalikan sekarang!” tuntutnya dengan tegas.Pamela menatap kakinya, sendal itu pas di sana. Lucu lagi. Dan sebelum Ace berhasil keluar dari mobil, Pamela terseok-seok melewati area parkir sebelum masuk ke ruang instalasi gawat darurat.Ace menggeram. “Nat, gadis itu mencuri sandalmu!”***Walau sudah larut. Ace sama sekali tidak pulang dari rumah sakit. Ia menunggu kesempatan untuk mengambil sendal nanas milik Natasha walau harus ikut mengurus keberadaan gadis itu. Maka subuh-subuh yang berudara dingin, ia menghampiri Pamela yang terlelap di ruang inap perawatan intensif setelah melewati operasi pada tangannya yang patah. Bergeming di samping ranjang pasien. Ace memandangi Pamela dengan leluasa. Satu persatu keindahan di wajah itu bagaikan kesempurnaan seorang bidadari. Respon itu seakan lumrah terjadi, Pamela Khandita Kilmer berparas campuran, Jawa dan Belanda-Jerman.Wajahnya putih resik, hidungnya tidak begitu mancung tapi indah di pandang. Dan, setiap kali senyumnya mengembang, pipinya terlihat menggemaskan. Terlihat chubby meski tidak berbadan gempal berisi.Ace berdecak kagum. Usia Pamela sedang ranum-ranumnya. Bibir merah muda dengan sisa lipstik merah marun yang tertinggal di sana menggugah keinginan Ace untuk mengusapnya. Lipstik itu mengusik sensualitas bibir
“Tante putri duyung...”“Tante putri duyung...”“Kiu... kiu, kukuruyukkk...” Dengan alis bertaut curiga Pamela mengerang sambil menepis tangan seseorang yang menyentuh hidungnya. “Siapa sih? Jangan ganggu aku lagi, aku ngantuk banget!” protes Pamela dengan suara kusut dan terdistorsi seperti sebuah kaset tua. Matanya masih teramat berat terbuka meski sudah berjam-jam ia terlelap sampai bala bantuan milik Ace datang pukul sembilan pagi. Asih dan Berlian.Mereka berdua tidak punya pilihan lain selain mengikuti permintaan Ace untuk menjadi keluarga palsu Pamela. Asih dan Berlina menyukainya. “Papa, Tante putri duyung boboknya nyenyak sekali. Gak bangun-bangun.” adu Berlian ke Ace yang menunggu di sofa sambil memangku laptop.Ace berhenti sejenak dari aktivitasnya memandangi laptop untuk sekedar mengusap pipi putrinya yang memakai rok tutu merah jambu dan atasan kaus tanpa lengan. Senyum Ace merekah. “Tante putri duyung masih capek. Habis operasi patah tulang dan minum obat tidur. Berl
Ace menutup laptopnya dengan mantap ketika Asih mempergoinya dengan tatapan curiga. Rahangnya mengeras. Celetukan Pamela memicu terbukanya rahasia di depan seorang pengasuh yang menjadi bagian dari perjalanan hidupnya dengan Natasha dan Berlian. Dia sungguh-sungguh mencintai Natasha dan mendekati wanita lain sama saja mengkhianatinya. Hal itu sudah lama Ace jadikan sebagai pekerjaan di divisi hatinya.Ace tahu tadi adalah perbuatan yang tidak gentle, dan ia tidak benar-benar ingin membuatnya malah semakin terlibat dalam masalahnya. Ace cuma reflek, seperti respon otomatis kebanyakan pria yang bertemu Pamela untuk kali pertama.“Pegang-pegang apa sih, Pak?” goda Asih.“Diam!” bentak Ace.Berlian tersentak ketika ayahnya berkata seperti marah untuk pertama kali. Bibirnya bergetar. Berlian mundur, mendekati Pamela seolah meminta perlindungan, padahal kan tangannya patah, satu tangannya di infus. Pamela bisa apa? Wanita itu saja berwajah angkuh setelah membuka rahasia Ace tanpa basa-basi.
Damian menutup pintu mobilnya seraya menarik Sassy dan mendekapnya. Tak akan lama karena dia langsung menyuruh orangnya untuk menanyakan keberadaan Pamela Khandita Kilmer di dalam rumah sakit. Sassy memukul dadanya, “Bisa nggak sih Pamela nanti lagi!” desaknya. “Aku cemburu!” “Bukannya ini sudah risiko jadi pacar kedua?” Damian menyelipkan sehelai rambutnya ke belakang telinga. Isi kepala Sassy harus di isi dengan realita. Kecemburuannya kadang tidak masuk akal. Slalu menuntut lebih seperti lakonnya menjadi perebut milik orang. Ingin berkuasa. “Sabar dulu. Ngerti dong. Pamela bagaimana pun harus aku cari. Dia bisa menghancurkan hidupku. Jadi sebelum dia melakukan itu, aku akan menghancurkannya dulu!” Damian bersitegang dengan waktu, semakin cepat ketemu, semakin baik. Rumah sakit adalah tujuan utama sejak kehilangan Pamela semalam. Dan rumah sakit saat ini adalah rumah sakit ke lima sejak subuh tadi dia mendatangi lembaga pelayanan kesehatan di Bali.“Mungkin Pamela di klinik-klini
Pamela memperhatikan Asih untuk merespon pernyataannya. “Mungkin takdir.” Pamela tersenyum getir. Mungkin begitu, tak dipungkiri apa yang sudah ditakar tidak akan tertukar. Pamela tahu itu, dia tidak akan mengeluh mengapa harus ia yang mengalami kehilangan. Kematian mutlak terjadi kepada setiap nyawa dalam kehidupan. Hanya saja saat-saat seperti ini muncul rasa rindu tanpa peringatan.“Mamaku meninggal karena gagal ginjal. Namanya Joice Elizabeth Kilmer, dan Bali adalah rumah masa kecilku sebelum pindah ke Jakarta.” Pamela mengusap-usap gips tangannya. “Aku masih tahu persis harinya, dan aku sudah mengulang peristiwa itu ribuan kali di kepalaku.”Asih menarik selembar tisu untuk Pamela yang sudah berkaca-kaca matanya.“Setelah kehilangan mama, hidupku hancur.”Selama beberapa detik ruangan itu sunyi. Ace bergeming memandangi Berlian yang mendadak enggan menerima nasi ayam betutu darinya.Berlian menunduk, menarik serat kain rok tutunya yang kecantol paku di pos satpam tadi. Bibirn
“Pamela Kandhita Kilmer?”Ace memandangi Armando yang mengulangi ucapannya di lorong rumah sakit seraya menganggukkan kepala.“Siapa dia, Pak? Calon karyawan baru atau—” Armando–sekertaris Ace yang menyusul secepatnya ke Bali untuk menyokong kegentingan bosnya itu meringis.“Pacar baru ya?” tukasnya tidak segan.Ace memandangi pria bersetelan klasik, kumisan, dan berambut panjang yang di ikat rapi itu dengan sorot mata tajam.Armando langsung tahu, Ace tidak suka dengan candaannya. “Siapa Pamela? Jangan sampai aku jauh-jauh untuk mengurangi urusan nggak penting! Istriku ngambek, ngancam bakal baby blues kalo pulang-pulang gak bawa duit dan oleh-oleh!” Armando ganti memandangi Ace dengan sorot mata tajam. “Ini serius, Pak. Baru kemarin kami keluar dari rumah sakit, harusnya aku hari ini sedang menimangnya bukan datang ke rumah sakit lagi. “Siapa yang sakit? Oh, astaga, buset. Aku paham. Bapak nabrak orang yang bernama Pamela Kandhita Kilmer dan wanita itu minta tanggung jawab?” “Ken
Pamela meringis mendengar lelucon murahan Armando yang terdengar tidak pada tempatnya.Bagaimana tidak, laki-laki itu memamerkan kemampuannya mengurusi istrinya melahirkan di tengah suasana muram hatinya dan hati Ace, pastinya. Oke, Pamela mengerti Armando sedang bahagia. Tapi pamer kemesraan sebuah kesempurnaan keluarga kecil membuatnya bahkan Ace yang sudah mencecap campuran rasa berumah tangga tidak percaya diri kembali membangun sebuah hubungan baru.Pamela tidak bisa membayangkan lagi kisah sempurna bersama pria baru setelah kisahnya hancur demi kisah lain yang lebih panas dan mendebarkan jantung dan pikiran.Lain halnya dengan Pamela, Ace sendiri tidak percaya diri karena dia gagal menjaga Natasha. Seratus persen gagal.Pekerjaan lebih penting dari perhatian. Sebagai eksmud yang sedang naik daun, dulu Ace begitu tergila-gila untuk memberikan yang terbaik demi sanjungan, uang dan kedudukan. Kini semua itu sudah ada di genggaman tangannya. Alih-alih bahagia, Ace justru kehilangan
Pamela sedang merasa agak jahat dengan Berlian semenjak ia duduk bersamanya dan Asih di mobil sewaan. Pamela diam saja saat bocah itu berceloteh tentang tempat-tempat rekreasi yang ingin dia kunjungi bersama-sama. Meski begitu dia lumayan bersyukur bisa lolos dari pantauan orang suruhan Damian yang menjaga ketat mobil Ace setiap hari.Pamela bergidik. Membayangkan betapa getol Damian mencarinya, seratus persen ia yakin Damian ketakutan rahasianya terbongkar dan Damian rela melakukannya apa saja untuk mendapatkan dirinya kembali. Hati Pamela mengkerut. Takut, iya, bagaimana nasibnya nanti jika Damian menangkapnya dan mencincangnya hidup-hidup?Pamela panik. Kadar cemasnya meningkat, hatinya retak membentuk puzzle-puzzle berantakan. Susah kalau harus di satukan lagi pakai lem, butuhnya perhatian dan kasih sayang yang tulus dan cinta banget. Tapi siapa yang akan memberi itu semua? Pamela cemberut. Hidup macam apa yang menyambut kepulangannya dari rumah sakit?Taruhlah ia di atas pecah
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep