Sudah sejak tadi aku mematut diri di depan cermin. Dari sejam yang lalu aku sudah rapi dan wangi. Kemeja flanel lengan panjang dan celana kain hitam membungkus rapi tubuhku yang ku rasa semakin kurus. Sebuah kopiah hitam menutupi rambutku yang kini sudah hampir sepanjang bahu. Entah kapan aku ada waktu untuk memotongnya.Hari ini, sudah tanggal 21. Karena memikirkan hari ini, beberapa malam belakangan aku sampai tak bisa tidur. Ini adalah hari ulang tahun anak lelaki tak berdosa yang menjadi korban kebiadabanku.Sejak hari itu, saat kulihat Laras berteriak seperti orang gila karena anak lelakinya meninggal di pangkuannya sendiri, sejak itu pula siang dan malam aku menyalahkan diriku atas apa yang telah terjadi.Sungguh, aku tak pernah berniat menyakiti apalagi membunuh siapa pun. Semua terjadi begitu saja karena kebiasaan burukku yang suka mabuk-mabukan.Masih kuingat, wajah anak kecil itu, yang matanya separuh tertutup tanpa nyawa. Badannya begitu kurus karena lama tak kuberi mak
Suasana tahlil Andra terasa khidmat meski seadanya. Aku hanya bisa meminta tolong pada Ustadz Ilmi, seorang Ustadz kenalanku dan membeli makanan seadanya untuk membacakan doa dan tahlil di hari yang sebenarnya adalah hari ulang tahun Andra. Uang yang diberikan Laras kemarin tinggal sekitar dua ratus lima puluh ribuan, telah kubelikan makanan untuk keperluan tahlil Andra malam ini. Sisanya, mungkin akan kuberikan pada Ustadz Ilmi sebagai ucapan terima kasih karena telah mau membantuku mengadakan tahlil sederhana untuk Andra.Selama tahlil, aku sempat melihat mimik wajah Nurul yang terlihat sedih. Ia pasti mengingat adiknya yang sudah meninggal itu. Sementara aku sendiri, semakin kuat bacaan doa Ustadz Ilmi, semakin besar pula rasa bersalahku pada Andra. Aku hanya tak mau menampakkannya di depan siapa pun, terutama Nurul.Setelah selesai membaca doa, kami menyantap hidangan makanan yang tadi kubeli dan tentu saja sudah dibacakan doa. Menu ayam bakar lengkap dengan nasi dan lalapan,
PoV Laras Aku baru saja selesai mencuci piring kotor saat terdengar suara seorang pelanggan laki-laki memanggil. Dengan cepat ku lap tanganku yang basah dan dengan setengah berlari aku menuju ke depan. “Mbak, buatin mie rebus ya.” “Pakai telur sama cabe potong nggak?” tanyaku. “Nggak usah. Polosan aja. Aku nggak makan telur dan nggak tahan makan pedas.” Jawabnya. “Oke tunggu sebentar. Mau minum apa?” “Kopi susu, tapi nggak usah pake gula ya.” Aku mengangguk dan segera mengambil gelas. Aku akan membuat kopi terlebih dulu, agar pelanggan tak merasa bosan sambil menunggu mie matang. Setelah jadi, aku mengantar kopi itu ke depan. Tempat di mana pelanggan yang tadi memesan sedang duduk menunggu di meja luar di bawah pohon. Kebanyakan pelanggan warkop Mak Nyah memang lebih suka duduk di situ, apalagi saat malam. Mungkin karena agak jauh dari warkop dan mereka bisa merokok sambil mengobrol dengan tenang. Malam ini warkop tak terlalu ramai. Jadi aku agak sedikit santai. Jam sudah men
“Laras, buatkan kopi satu lagi. Aku ada tamu. Kalau sudah jadi, antar ke atas ya.” Teriak Mak Nyah dari atas tangga.Mak Nyah memerintahku di saat warkop sedang dalam kondisi ramai. Ini memang jam di mana pelanggan menyerbu. Kulirik jam dinding, baru jam setengah sembilan malam. Masih lama waktu untukku beristirahat. Sungguh badanku sudah terasa sangat lelah.Dalam waktu sehari semalam, aku Cuma punya waktu istirahat tak lebih dari dua jam. Itu pun tak bisa langsung tidur. Aku harus mengemasi kamar serta mencuci dan menjemur pakaian milikku. Kalau saja bukan karena ada semangat yang kuat demi anak-anakku, mungkin sudah sejak kemarin aku tumbang.Sambil menguap karena kantuk, aku mengaduk kopi hitam pesanan Mak Nyah. Aku tahu, tamu yang ia maksud adalah pacar berondongnya. Namun kali ini, pacar barunya berbeda dengan yang dulu pernah kulihat saat pertama kali datang kemari.Setelah memastikan kalau belum ada pelanggan yang membuat pesanan baru, aku naik ke atas untuk mengantar kopi
“Aku ingin kamu memberitahuku, satu informasi. Satu aja. Tapi kuharap kau jujur, tak berbohong.” Aku sempat diam berpikir. Haruskah aku mengiyakan? Bagaimana kalau ternyata syarat yang diajukannya adalah tentang hubungan antara aku dan Redy? Bukankah itu artinya sama saja? “Sepertinya kau sangat ragu. Sekarang begini saja, aku hanya ingin tahu sesuatu. Apa mungkin kau mengenal orang ini?” Bang Yunan menunjukkan layar ponselnya padaku. Mataku melotot melihat wajah yang terpampang di sana. Itu Ela! “Dilihat dari ekspresimu, sepertinya kamu mengenal dia.” Ujar Bang Yunan tersenyum sambil menarik kembali gawainya itu. Aku tak menjawab, hanya memandangi wajah lelaki di hadapanku ini dengan lekat. Ada hubungan apa antara dia dengan Ela? “Dia siapa Bang?” aku bertanya, hanya untuk memastikan kalau wanita yang baru saja kulihat fotonya itu benar adalah Ela. “Dia..? Kenalanku. Hanya saja aku punya urusan dengannya.” Aku mengerutkan alis. Tunggu dulu, urusan seperti apa yang dimaksud? A
“Ayolah, Mak Nyah. Lagi pula kudengar Mak Nyah memang mau memberinya libur dua hari kan, akhir bulan ini? Hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku perlu dia. Tenang saja, pasti kukembalikan.” Bujuk Redy.Mak Nyah tampak memandangku garang.“Kau menelepon Redy diam-diam? Memberitahunya kalau kuberi libur? Lancang sekali kau Laras!”“Jangan salah paham, Mak Nyah. Dia sama sekali nggak ada menghubungiku. Aku datang ke sini mendadak, dan mendengar hal itu baru saja tadi. Jangan salahkan dia.” Ujar Redy membelaku.“Sebenarnya mau kau bawa ke mana dia? Kalian mau bermesraan?” nada suara Mak Nyah terdengar cemburu.“Nggak. Aku punya pekerjaan bagus untuknya selama dua hari ini. Karena dia masih berhutang padaku, jadi dia harus mau melakukan pekerjaan itu.”Aku diam, karena aku tahu itu hanya alasan Redy.“Pekerjaan seperti apa?”“Biasa--- ada Om-Om kaya yang minta ditemani karaoke. Bayaran untukku lumayan.” Redy cengengesan.“Nggak. Tetap nggak! Aku nggak akan beri izin. Ini belum wakt
Badanku gemetar dan jantungku berdebar keras saking takutnya. Aku tak menyangka, ternyata Redy masih ada di sini. Sepertinya dia memang sengaja mengujiku. Matilah aku kali ini.“Bang Redy--- aku minta maaf. Aku... Aku...” Tatapan dingin Redy yang tajam membuatku semakin panas dingin. Saking takutnya, aku hanya bisa menunduk sambil menggigit bibir.“Kenapa kau buka penutup matamu?” Pertanyaan itu diulanginya lagi. Aku tak terpikirkan jawaban karena otakku jadi buntu karena ketakutan. Kudengar Redy menghela nafas kasar. “Maaf Bang, aku udah salah. Tolong jangan apa-apakan anak-anakku.” Ujarku memohon.“Turun....” Redy berkata dengan ekspresi wajah yang nyaris datar.Aku mengerutkan kening. “Apa?”“Ayo turun. Kau bilang mau membeli makanan untukmu dan anak-anak kan?”Aku mengangguk tapi tetap merasa heran. Memangnya tak berbahayakah untuknya? “Kalau nggak jadi, kita pulang aja sekarang. Kamu kelamaan bengong.” Cetusnya.“Eh, jangan Bang. Iya aku turun.” Kataku cepat berg
Aku memeluk kedua anakku dengan erat. Kami menangis bersama, menumpahkan kerinduan yang nyaris tak bisa ditahan selama dua bulan ini. Sungguh terasa bagai mimpi bisa bertemu kembali dengan mereka. “Mama pulang? Jangan pergi lagi ya.” Pinta Nurul. Aku hanya bisa mengelus pucuk kepalanya dengan lembut. “Mama bawa apa?” kali ini Melina yang terlihat sangat antusias melihat kantong plastik yang ada di tanganku. Aku baru ingat kalau ada membawakan makanan untuk dimakan bersama dengan mereka. “Mama bawakan nasi bungkus. Kita makan sama-sama ya.” Teriakan riang terdengar dari bibir Nurul dan Melina. “Om, sini... Kita makan bareng.” Nurul melambai pada Redy. Aku baru sadar, kalau ada dia sedang memperhatikan kami di pintu. Tapi--- kenapa aku merasa kalau Nurul begitu berani bicara dengan Redy? Ia bahkan dengan santainya melambaikan tangan saat memanggil lelaki itu. Apa dia tak takut? “Nggak usah. Kalian aja yang makan. Aku makan pakai lauk yang ada di dapur. Aku udah masak, jadi saya