“Aku ingin kamu memberitahuku, satu informasi. Satu aja. Tapi kuharap kau jujur, tak berbohong.” Aku sempat diam berpikir. Haruskah aku mengiyakan? Bagaimana kalau ternyata syarat yang diajukannya adalah tentang hubungan antara aku dan Redy? Bukankah itu artinya sama saja? “Sepertinya kau sangat ragu. Sekarang begini saja, aku hanya ingin tahu sesuatu. Apa mungkin kau mengenal orang ini?” Bang Yunan menunjukkan layar ponselnya padaku. Mataku melotot melihat wajah yang terpampang di sana. Itu Ela! “Dilihat dari ekspresimu, sepertinya kamu mengenal dia.” Ujar Bang Yunan tersenyum sambil menarik kembali gawainya itu. Aku tak menjawab, hanya memandangi wajah lelaki di hadapanku ini dengan lekat. Ada hubungan apa antara dia dengan Ela? “Dia siapa Bang?” aku bertanya, hanya untuk memastikan kalau wanita yang baru saja kulihat fotonya itu benar adalah Ela. “Dia..? Kenalanku. Hanya saja aku punya urusan dengannya.” Aku mengerutkan alis. Tunggu dulu, urusan seperti apa yang dimaksud? A
“Ayolah, Mak Nyah. Lagi pula kudengar Mak Nyah memang mau memberinya libur dua hari kan, akhir bulan ini? Hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku perlu dia. Tenang saja, pasti kukembalikan.” Bujuk Redy.Mak Nyah tampak memandangku garang.“Kau menelepon Redy diam-diam? Memberitahunya kalau kuberi libur? Lancang sekali kau Laras!”“Jangan salah paham, Mak Nyah. Dia sama sekali nggak ada menghubungiku. Aku datang ke sini mendadak, dan mendengar hal itu baru saja tadi. Jangan salahkan dia.” Ujar Redy membelaku.“Sebenarnya mau kau bawa ke mana dia? Kalian mau bermesraan?” nada suara Mak Nyah terdengar cemburu.“Nggak. Aku punya pekerjaan bagus untuknya selama dua hari ini. Karena dia masih berhutang padaku, jadi dia harus mau melakukan pekerjaan itu.”Aku diam, karena aku tahu itu hanya alasan Redy.“Pekerjaan seperti apa?”“Biasa--- ada Om-Om kaya yang minta ditemani karaoke. Bayaran untukku lumayan.” Redy cengengesan.“Nggak. Tetap nggak! Aku nggak akan beri izin. Ini belum wakt
Badanku gemetar dan jantungku berdebar keras saking takutnya. Aku tak menyangka, ternyata Redy masih ada di sini. Sepertinya dia memang sengaja mengujiku. Matilah aku kali ini.“Bang Redy--- aku minta maaf. Aku... Aku...” Tatapan dingin Redy yang tajam membuatku semakin panas dingin. Saking takutnya, aku hanya bisa menunduk sambil menggigit bibir.“Kenapa kau buka penutup matamu?” Pertanyaan itu diulanginya lagi. Aku tak terpikirkan jawaban karena otakku jadi buntu karena ketakutan. Kudengar Redy menghela nafas kasar. “Maaf Bang, aku udah salah. Tolong jangan apa-apakan anak-anakku.” Ujarku memohon.“Turun....” Redy berkata dengan ekspresi wajah yang nyaris datar.Aku mengerutkan kening. “Apa?”“Ayo turun. Kau bilang mau membeli makanan untukmu dan anak-anak kan?”Aku mengangguk tapi tetap merasa heran. Memangnya tak berbahayakah untuknya? “Kalau nggak jadi, kita pulang aja sekarang. Kamu kelamaan bengong.” Cetusnya.“Eh, jangan Bang. Iya aku turun.” Kataku cepat berg
Aku memeluk kedua anakku dengan erat. Kami menangis bersama, menumpahkan kerinduan yang nyaris tak bisa ditahan selama dua bulan ini. Sungguh terasa bagai mimpi bisa bertemu kembali dengan mereka. “Mama pulang? Jangan pergi lagi ya.” Pinta Nurul. Aku hanya bisa mengelus pucuk kepalanya dengan lembut. “Mama bawa apa?” kali ini Melina yang terlihat sangat antusias melihat kantong plastik yang ada di tanganku. Aku baru ingat kalau ada membawakan makanan untuk dimakan bersama dengan mereka. “Mama bawakan nasi bungkus. Kita makan sama-sama ya.” Teriakan riang terdengar dari bibir Nurul dan Melina. “Om, sini... Kita makan bareng.” Nurul melambai pada Redy. Aku baru sadar, kalau ada dia sedang memperhatikan kami di pintu. Tapi--- kenapa aku merasa kalau Nurul begitu berani bicara dengan Redy? Ia bahkan dengan santainya melambaikan tangan saat memanggil lelaki itu. Apa dia tak takut? “Nggak usah. Kalian aja yang makan. Aku makan pakai lauk yang ada di dapur. Aku udah masak, jadi saya
“Udah selesai Bang....”Redy menepuk-nepuk pundak dan pucuk kepalanya. Menyingkirkan potongan rambut kecil-kecil yang tersisa. Tangannya meraih cermin di atas meja dan mengarahkan benda datar itu ke seluruh bagian kepalanya.“Hmm, boleh juga. Nggak panjang pendek kan?” tanyanya.“Nggak Bang. Bagus kok. Tapi kenapa Abang nggak potong rambut ke salon aja, biar pasti lebih bagus dan rapi.”“Udah nggak sempat lagi. Orangnya sebentar lagi mau datang.” Jawabnya.“Siapa yang mau datang, Bang?” Mulutku langsung mengatup, begitu Redy memandangku dengan tatapan tak suka setelah aku bertanya seperti itu.“Maaf, Bang. Aku nggak berhak tahu.” Ujarku sadar diri, sebelum ia mengomel.“Kau bersihkan ini. Aku mau mandi dulu.” Katanya sambil berdiri. Aku hanya mengiyakan.Aku baru saja mulai menyapu, saat kudengar Redy kembali mengumpat.“Hei Laras, cepat selesaikan menyapu. Setelah itu, kau siap-siap. Ikut aku.” Titahnya.Aku bengong. “Ikut ke mana Bang?” tanyaku kemudian.“Udah, jangan b
“Dari mana Abang tahu tentang kami? Bagaimana Abang menemukan tempat ini?” Aku memberondong pertanyaan pada Bang Yunan yang menenteng semua tas yang dulu kubawa saat kabur dari rumah.Lelaki itu sempat mengomel saat aku memintanya untuk mendobrak kamar depan, tempat di mana Redy menyimpan semua barangku. Wajar saja, waktu kami memang terbatas karena takut Redy sewaktu-waktu bisa saja pulang ke rumah. Sedangkan aku, tak mungkin mau meninggalkan semua barang bawaanku. Selain karena aku membutuhkannya, di dalam tas-tas itu juga ada banyak barang milik Andra.Kalau aku meninggalkannya, sama saja aku meninggalkan Andra. Aku pasti akan membawa dan menyimpan pakaian atau barang peninggalan Andra, sebagai kenang-kenangan.“Sebaiknya kau diam dulu! Simpan dulu semua pertanyaanmu itu sampai kita sudah berada di tempat yang lebih aman. Kalau kita sudah bisa menjauh dari sini, aku pasti akan menjawab semuanya.”Bang Yunan memasukkan semua tas ke dalam mobil. Saat aku dan anak-anakku mas
Bagaimana Abang bisa kenal sama Ella? Dan apa yang udah dia lakukan sampai Abang berniat seperti itu kalau ketemu dengan dia?” tanyaku penasaran.“Ella itu, dulunya adalah anak buah Mak Nyah.”Kalimat pertama Bang Yunan membuatku tercengang. Sungguh ini suatu hal yang sama sekali tak kuduga.“Dia kerja di warkop Mak Nyah?” aku memastikan.“Iya. Seperti yang kau kerjakan kemarin. Cuma bedanya, Ella itu memang panjang tangan. Tapi dia cukup pintar sampai-sampai semua uang yang dia gelapkan tak terendus Mak Nyah.”“Trus apa hubungannya dengan Abang?”“Waktu Ella yang pegang warkop, kami memang cukup akrab. Aku, Ella dan Redy.”“Bang Redy?” mataku menyipit.Bang Yunan mengangguk. “Waktu itu Redy masih jadi simpanan Mak Nyah. Kami selalu nongkrong dari malam hingga ketemu pagi. Lalu, suatu hari Ella diam-diam menemuiku di rumah. Dia datang dengan memohon-mohon supaya dipinjamkan uang sebesar 50 juta. Dia bilang, untuk operasi ibu kandungnya yang sedang sakit keras. Waktu itu, karen
PoV Ella“Kamu kenapa nggak masak hari ini?” Mas Edar menatapku dengan kilatan emosi.Namun aku tak menggubris, hanya meliriknya sekali kemudian kembali fokus menatap layar ponsel. Aku sedang berselancar di salah satu marketplace online , mengincar beberapa baju dan tas keluaran terbaru.“Ella! Kamu nggak dengar aku ngomong apa?!” nada suaranya naik lagi satu oktaf, namun tentu saja itu tak mempengaruhiku, apalagi membuat takut. Mungkin karena kami sudah keseringan bertengkar dari sejak menikah karena masalah ekonomi.Ya, tak disangka semua usahaku yang habis-habisan merebut Mas Edar dari istri dan anaknya, tak juga mengubah hidupku yang menyedihkan.Aku pikir, dengan menikahi orang kaya seperti Mas Edar akan membuatku hidup enak bak seorang ratu, atau minimal wanita sosialita. Kenyataannya, malah lebih enak hidup sendiri dibandingkan punya suami super pelit seperti dia.Lahir dari keluarga kaya dan berpengaruh, punya beberapa cabang minimarket dan aset di mana-mana, tak otomatis