“Aku kan udah bilang, selagi kau masih belum diterima bekerja secara pasti di sana, maka kau belum boleh bertemu dengan anak-anakmu.”“Tapi aku sangat merindukan mereka, Bang…” ku dengar nada suara Laras yang mulai menangis.“Kalau gitu tahanlah rindu itu. Kalau kau masih mau bertemu mereka lagi maka kau harus berusaha keras agar dapat diterima bekerja di tempat Mak Nyah. Kau sendiri kan yang menyanggupi untuk memberiku uang?”“Aku mohon Bang, aku hanya ingin tahu keadaan mereka. Aku mau memastikan kalau mereka baik-baik saja.”“Jadi kau tak percaya padaku? Kau pikir aku tak memperlakukan mereka dengan baik?” tanyaku agak emosi.“Bukannya begitu Bang…”“Aaah, udahlah. Jangan banyak omong. Besok aku akan ke sana. Siapkan uangnya. Dan ingat, jangan pasang wajah sedih. Jangan sampai kau terlihat habis menangis. Aku tak mau kelakuanmu menimbulkan kecurigaan. Kau sadar kan kalau nasib anak-anakmu itu berada di tanganku?” kataku panjang lebar.Ku dengar ia menghela napas di seberang sana.“
Aku turun dari sepeda motor. Sapaan beberapa orang yang memang lumayan mengenalku karena aku sering berkunjung ke ruko tempat Mak Nyah membuka warung kopi, sempat beberapa kali kudengar. Aku pun menyahut sekedarnya, karena memang aku tak terlalu akrab dengan mereka.Apalagi semenjak aku memutuskan untuk tak lagi hidup sebagai lelaki simpanan Mak Nyah, otomatis aku jadi semakin jarang datang ke tempat ini. Dan kali ini aku datang kembali ke sini lagi pun karena aku masih punya urusan dengan Laras.Saat masuk ke dalam ruko, ku lihat Mak Nyah sedang duduk di belakang meja kasir, seperti biasa. Tak nampak batang hidung Laras, mungkin dia sedang di belakang membuat pesanan kopi pelanggan.“Tumben kau datang ke sini,” ujar Mak Nyah dengan nada agak sinis.Padahal aku baru saja menjejakkan pantatku di atas kursi. Sengaja ku pakai meja yang agak jauh darinya, karena aku tak terlalu suka kalau Mak Nyah dekat-dekat denganku.“Aku ada urusan.” Kataku agak malas.“Urusan dengan pacarmu?”“Memangn
“Banyak juga uang tip yang kau dapat. Sepertinya di sini kau sudah mulai banyak penggemar.” Aku menghitung lembaran uang yang bercampur mulai pecahan ribuan hingga puluhan ribu. Hebat juga dia, hanya dalam waktu kurang lebih dua minggu saja sudah bisa mengumpulkan uang sebanyak ini. Mungkin memang benar, jadi perempuan itu jauh lebih mudah dalam mencari uang.“Nggak juga Bang, kebetulan dapat rezekinya segitu.” “Kau dicium apa dipangku?” Tanyaku sambil tertawa kecil. Padahal niatku hanya bercanda, namun sepertinya Laras terlihat sangat marah, bisa kulihat dari kilatan benci di matanya. Namun aku tahu, ia tak berani membantah apalagi marah atas kata-kataku barusan.“Saya Cuma buatin kopi atau masak mie aja Bang.” Sahutnya dengan nada bergetar.“Ini semua kuambil ya.” Ujarku senang, setelah menerima lembaran uang sebanyak lima ratus ribu.Kulihat Laras mengangguk. Wajahnya kini kulihat jauh lebih bersih, namun gurat kesedihan jelas terlihat di sana. Ia pasti sangat merindukan an
Kami bertiga makan dengan lahap. Aku membeli dua bungkus nasi Padang, yang mana sebungkus kumakan sendiri dan sebungkus mereka bagi berdua. Aku juga membeli buah semangka dan beberapa Snack yang pasti jadi kesukaan anak-anak. Rencananya akan kami makan bersama setelah makan nasi.Kulihat mereka sangat menikmati makanan yang kubelikan. Sudah pasti, karena itu adalah makanan yang lezat. Aku sampai menghabiskan uang yang tadi diberikan Laras sebanyak hampir dua ratus ribu. Rencanaku untuk berjudi dan membeli minuman keras justru berganti menjadi acara makan bersama anak-anak. “Enak?” Tanyaku pada Nurul. Ia hanya mengangguk tanpa berhenti mengunyah. Sesekali tangannya menyuapkan nasi ke mulut mungil Melina. Meski balita itu sudah bisa makan sendiri, tetap saja ia butuh bantuan untuk makan. Tangan kecilnya membuat hanya sedikit nasi yang bisa masuk ke mulut. Selebihnya, jatuh berhamburan sampai ke baju dan lantai.“Yang jatuh biarkan aja. Jangan diambil apalagi dimakan. Kotor.” Aku m
Sudah sejak tadi aku mematut diri di depan cermin. Dari sejam yang lalu aku sudah rapi dan wangi. Kemeja flanel lengan panjang dan celana kain hitam membungkus rapi tubuhku yang ku rasa semakin kurus. Sebuah kopiah hitam menutupi rambutku yang kini sudah hampir sepanjang bahu. Entah kapan aku ada waktu untuk memotongnya.Hari ini, sudah tanggal 21. Karena memikirkan hari ini, beberapa malam belakangan aku sampai tak bisa tidur. Ini adalah hari ulang tahun anak lelaki tak berdosa yang menjadi korban kebiadabanku.Sejak hari itu, saat kulihat Laras berteriak seperti orang gila karena anak lelakinya meninggal di pangkuannya sendiri, sejak itu pula siang dan malam aku menyalahkan diriku atas apa yang telah terjadi.Sungguh, aku tak pernah berniat menyakiti apalagi membunuh siapa pun. Semua terjadi begitu saja karena kebiasaan burukku yang suka mabuk-mabukan.Masih kuingat, wajah anak kecil itu, yang matanya separuh tertutup tanpa nyawa. Badannya begitu kurus karena lama tak kuberi mak
Suasana tahlil Andra terasa khidmat meski seadanya. Aku hanya bisa meminta tolong pada Ustadz Ilmi, seorang Ustadz kenalanku dan membeli makanan seadanya untuk membacakan doa dan tahlil di hari yang sebenarnya adalah hari ulang tahun Andra. Uang yang diberikan Laras kemarin tinggal sekitar dua ratus lima puluh ribuan, telah kubelikan makanan untuk keperluan tahlil Andra malam ini. Sisanya, mungkin akan kuberikan pada Ustadz Ilmi sebagai ucapan terima kasih karena telah mau membantuku mengadakan tahlil sederhana untuk Andra.Selama tahlil, aku sempat melihat mimik wajah Nurul yang terlihat sedih. Ia pasti mengingat adiknya yang sudah meninggal itu. Sementara aku sendiri, semakin kuat bacaan doa Ustadz Ilmi, semakin besar pula rasa bersalahku pada Andra. Aku hanya tak mau menampakkannya di depan siapa pun, terutama Nurul.Setelah selesai membaca doa, kami menyantap hidangan makanan yang tadi kubeli dan tentu saja sudah dibacakan doa. Menu ayam bakar lengkap dengan nasi dan lalapan,
PoV Laras Aku baru saja selesai mencuci piring kotor saat terdengar suara seorang pelanggan laki-laki memanggil. Dengan cepat ku lap tanganku yang basah dan dengan setengah berlari aku menuju ke depan. “Mbak, buatin mie rebus ya.” “Pakai telur sama cabe potong nggak?” tanyaku. “Nggak usah. Polosan aja. Aku nggak makan telur dan nggak tahan makan pedas.” Jawabnya. “Oke tunggu sebentar. Mau minum apa?” “Kopi susu, tapi nggak usah pake gula ya.” Aku mengangguk dan segera mengambil gelas. Aku akan membuat kopi terlebih dulu, agar pelanggan tak merasa bosan sambil menunggu mie matang. Setelah jadi, aku mengantar kopi itu ke depan. Tempat di mana pelanggan yang tadi memesan sedang duduk menunggu di meja luar di bawah pohon. Kebanyakan pelanggan warkop Mak Nyah memang lebih suka duduk di situ, apalagi saat malam. Mungkin karena agak jauh dari warkop dan mereka bisa merokok sambil mengobrol dengan tenang. Malam ini warkop tak terlalu ramai. Jadi aku agak sedikit santai. Jam sudah men
“Laras, buatkan kopi satu lagi. Aku ada tamu. Kalau sudah jadi, antar ke atas ya.” Teriak Mak Nyah dari atas tangga.Mak Nyah memerintahku di saat warkop sedang dalam kondisi ramai. Ini memang jam di mana pelanggan menyerbu. Kulirik jam dinding, baru jam setengah sembilan malam. Masih lama waktu untukku beristirahat. Sungguh badanku sudah terasa sangat lelah.Dalam waktu sehari semalam, aku Cuma punya waktu istirahat tak lebih dari dua jam. Itu pun tak bisa langsung tidur. Aku harus mengemasi kamar serta mencuci dan menjemur pakaian milikku. Kalau saja bukan karena ada semangat yang kuat demi anak-anakku, mungkin sudah sejak kemarin aku tumbang.Sambil menguap karena kantuk, aku mengaduk kopi hitam pesanan Mak Nyah. Aku tahu, tamu yang ia maksud adalah pacar berondongnya. Namun kali ini, pacar barunya berbeda dengan yang dulu pernah kulihat saat pertama kali datang kemari.Setelah memastikan kalau belum ada pelanggan yang membuat pesanan baru, aku naik ke atas untuk mengantar kopi