Di penghujung hari itu, Arum merasakan kelegaan yang luar biasa. Dia tidak bisa langsung mengambil kesimpulan, tetapi dia merasa ada kesempatan yang bagus untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Karena hal itu juga gadis itu keluar dari laboratorium dengan riang dan bersemangat. Bersamaan dengan itu, pesan singkat dari Sam muncul. Namun, tidak sempat Arum lihat karena bunyi petir dari luar yang mengagetkannya. Sepertinya cuaca malam ini tidak begitu bersahabat lantaran langit menjadi mendung dan rintik hujan mulai turun, petir pun menyambar memecah kegelapan malam.“Aduh, aku lupa bawa payung lagi.” Arum menghela napas panjang, menyesali keteledorannya. “Terpaksa, deh, harus basah-basahan lagi.”Saat sampai di pintu depan gedung, hujan turun semakin deras. Dia sempat melihat rekan-rekan satu timnya lebih dulu berbondong-bondong masuk ke kendaraan. Sepintas dia juga melihat Vera, entah mengapa mendadak sepercik kekecewaan muncul. “Mungkin aku yang terlalu berharap. Wajar aja kala
Suasana kantor hari itu tampak heboh. Orang-orang berkerumun sambil membicarakan sesuatu dengan sangat serius. Ponsel mereka menjadi satu-satunya media yang menjadi pusat perhatian, sebelum Bagas datang bersama Alex di belakangnya. Bagas mengernyit heran saat kebisingan itu mendadak menjadi hening, ditambah dengan tatapan para karyawan yang memusat pada dirinya. “Ada apa ini?” tanya Bagas dengan nada datar.Alex di sampingnya juga tampak heran. Dia sampai memanggil salah satu orang di antara mereka dan bertanya, “Ada apa ini?”Lelaki yang memakai kacamata baca dengan lensa cukup tebal itu melirik Alex dan Bagas dengan takut. “A-anu, Pak. Ada kabar yang menyebar soal Pak Bagas.”“Kabar apa?” Bagas merasa ada yang tidak beres dengan situasi ini. Kabar yang dimaksud pasti sesuatu yang cukup kurang atau bahkan tidak baik. Lihat saja orang-orang di sekitarnya, tatapan dan sikap menghindar itu mengingatkannya dengan masa-masa di mana dirinya di-bully karena latar belakangnya sebagai yatim
“Apa aku bilang? Sekali orang licik, ya, tetap licik!” Kalimat itu menyambut kedatangan Arum di ruangannya. Dia mencoba untuk tetap sabar, tenang dan tidak peduli dengan apa yang orang lain bicarakan tentang gosip itu--seperti yang dikatakan oleh Bagas tadi.“Bukannya Pak Bagas udah punya istri, ya? Apa jangan-jangan karena perempuan itu juga pernikahan Pak Bagas dan istrinya hancur?” Masih dari mulut yang sama, ejekan terus terang itu terlontar. Siapa lagi kalau bukan Silvi. “Kalian lihat sendiri, ‘kan? Dari awal perempuan itu datang ke perusahaan kita, ada aja masalahnya. Pak Bagas juga mendadak unjuk gigi, padahal sebelumnya misterius banget orangnya.” Silvi menambahkan. Dia sengaja melirik Arum yang baru saja duduk di kursi kerjanya. Silvi menghampiri Vera dan mulai menyampaikan kekesalannya. “Dia itu nggak tahu malu banget, ya? Masih aja dateng ke kantor!”“Berita itu juga belum tentu bener, ‘kan, Sil?” Vera menjawab tanpa memandang lawan bicaranya. Pandangan gadis itu masih t
Tawa keras meluncur dari mulut temannya Vera. “Ya ampun, Ver. Aku kira kamu nggak setuju sama gosip yang beredar.”“Mana ada gosip? Orang buktinya ada di foto itu, ‘kan?” jawab Vera santai. Dia mematut diri di depan cermin dan memoleskan lip tint ke bibirnya. “Iya, makanya!” Perempuan itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir. “Heran aku sama cewek kayak dia. Muka badak banget! Udah tahu masih anak baru di sini, tapi cari gara-gara mulu. Dasar murahan!” Arum tidak bisa menahan air matanya lagi. Padahal dia menunggu Vera akan mengatakan dengan lantang bahwa dia tidak percaya dengan gosip murahan itu. Arum tahu bahwa mungkin Vera kecewa karena masalah kemarin, tetapi sekarang berbeda. Harga diri Arum sebagai wanita yang menjunjung tinggi kehormatannya tengah direndahkan dan dihina. Bagaimana bisa Vera yang sudah dia anggap sahabat sendiri telah menusuknya dari belakang?“Udah lah. Biarin aja. Nggak lama juga gosipnya bakal mereda.” Suara Vera kembali terdengar. “Nggak mungkin kalau
Alex dan Arum berjalan beriringan menuju ke ruangan Bagas. Lelaki itu berkata, “Maaf, ya. Sebenernya yang tadi itu saya berbohong. Pak Bagas nggak beneran memanggil, tapi saya yang nggak sengaja lewat terus denger kalian lagi bertengkar.” Meski tampak kaget, tetapi Arum justru merasa bersyukur. “Terima kasih, Pak. Kalau nggak ada Pak Alex mungkin aja saya udah terbawa emosi lebih-lebih dari yang tadi.”“Tapi ngomong-ngomong gimana kondisinya? Kamu merasa harus ada yang turun tangan?”Arum sadar apa yang dikatakan oleh Alex, yang dimaksud lelaki itu pasti Bagas. “Nggak, Pak. Saya harap masalah ini akan selesai. Seperti masalah kemarin, saya mau menyelesaikan masalah ini juga dengan mencari sumbernya.”“Saya mengerti, tapi ini juga masalah Pak Bagas. Dia kaget banget sampai nyariin kamu. Saya sendiri baru lihat dia sampai sebegitunya.”Arum termenung. “Apa maksudnya, Pak?”“Bagas itu,” kata Alex. Kali ini dia menggunakan bahasa santai untuk menyebut nama bosnya. “Dia kayak orang yang
Seperti yang Alex duga. Bagas kembali ke laboratorium untuk mengecek keadaan Arum. Bos sekaligus temannya itu diam-diam memperhatikan Arum yang sedang lembur bekerja.“Aku cuma mau ngecek aja. Bagaimanapun dia tetap karyawanku dan keselamatannya di kantor ini adalah tanggungjawabku,” adalah kata Bagas saat berasalan. “Saya nggak ngomong apa-apa, loh, Pak.” Alex sengaja memasang wajah polos untuk menggoda temannya. Bagas berdehem, kembali bersikap tegas yang tampak dipaksakan itu. “Aku cuma kasihan sama dia. Dia masih pegawai baru, tapi udah kena fitnah sana-sini.” Kali ini dia terdengar tulus, begitu juga dengan tatapannya.Alex tidak bisa menampik akan hal itu. Dia juga merasa iba pada masalah yang bersangkutan dengan Arum. Seperti yang Bagas tahu, Alex juga cukup mengenal profil dan latar belakang gadis itu. Prestasi, kebaikan dan kinerja Arum yang jujur. “Tapi Anda juga bertindak buat dia, Pak,” kata Alex. Benar, Bagas tidak pernah membiarkan Arum menyelesaikan masalahnya sendir
Keesokan paginya, Bagas meminta Alex untuk meretas situs perusahaan. Pihak IT yang bertugas diwajibkan menyelesaikan perintah ini secepatnya.“Saya sudah menyuruh tim untuk meretas situs kita, Pak. Bapak tenang saja, semuanya pasti berjalan dengan lancar.” Alex mencoba memberi semangat kepada bosnya. “Karena masalah kemarin sudah selesai, apakah kita perlu mengatur ulang acara launching yang tertunda, Pak?”Alex terbiasa dengan sikap Bagas yang pendiam, tetapi diamnya lelaki itu saat ini terlihat tidak seperti biasanya. “Pak?” Dia heran dengan bosnya yang tampak tidak fokus hari ini. “Aku dengerin kamu, kok, Lex. Iya, biarkan mereka yang bekerja untuk sekarang.” Kendati berbicara demikian, pandangan mata lelaki itu terarah ke objek lain. Atau bahkan tidak kepada apa pun. Tubuh Bagas ada di tempat ini, tetapi tidak dengan pikiran dan hatinya. “Apa ada masalah lain, Pak?”“Nggak ada--seharunya nggak ada.” Bagas membuang napas panjang. Dia tidak mengerti mengapa isi pikirannya saat in
Ancaman itu sempat membuat Arum gentar. Dia sadar dengan konsekuensi yang nantinya akan dia dapatkan, tetapi itu jika dia terbukti bersalah--atau memang dia melakukan kesalahan. Namun, pada kenyataannya Arum tidak melakukan kesalahan apa pun. Foto-foto itu juga tidak menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang pelakor. “Silakan,” katanya. Arum meninggikan sedikit dagunya, menatap Silvi tak gentar. “Pihak HRD juga nggak akan langsung mengambil keputusan hanya karena foto-foto murahan kayak gitu,” lanjut Arum dengan sedikit senyuman. Silvi mendadak heran, ke mana perginya Arum yang beberapa menit lalu terlihat ketakutan dan rapuh? “Aku nggak lagi main-main. Semua orang juga ada di pihakku. Kamu nggak akan bertahan lama di sini.” Mendengar itu lantas membuat Arum tersenyum. “Bahkan jika seluruh dunia berpihak padamu, memusuhiku, saya nggak peduli. Silvi, kebenaran akan selalu menang dengan cara apa pun dan nggak peduli seberapa lama waktu yang akan diambil.” Arum sadar bahwa ini bukan