“Apa aku bilang? Sekali orang licik, ya, tetap licik!” Kalimat itu menyambut kedatangan Arum di ruangannya. Dia mencoba untuk tetap sabar, tenang dan tidak peduli dengan apa yang orang lain bicarakan tentang gosip itu--seperti yang dikatakan oleh Bagas tadi.“Bukannya Pak Bagas udah punya istri, ya? Apa jangan-jangan karena perempuan itu juga pernikahan Pak Bagas dan istrinya hancur?” Masih dari mulut yang sama, ejekan terus terang itu terlontar. Siapa lagi kalau bukan Silvi. “Kalian lihat sendiri, ‘kan? Dari awal perempuan itu datang ke perusahaan kita, ada aja masalahnya. Pak Bagas juga mendadak unjuk gigi, padahal sebelumnya misterius banget orangnya.” Silvi menambahkan. Dia sengaja melirik Arum yang baru saja duduk di kursi kerjanya. Silvi menghampiri Vera dan mulai menyampaikan kekesalannya. “Dia itu nggak tahu malu banget, ya? Masih aja dateng ke kantor!”“Berita itu juga belum tentu bener, ‘kan, Sil?” Vera menjawab tanpa memandang lawan bicaranya. Pandangan gadis itu masih t
Tawa keras meluncur dari mulut temannya Vera. “Ya ampun, Ver. Aku kira kamu nggak setuju sama gosip yang beredar.”“Mana ada gosip? Orang buktinya ada di foto itu, ‘kan?” jawab Vera santai. Dia mematut diri di depan cermin dan memoleskan lip tint ke bibirnya. “Iya, makanya!” Perempuan itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir. “Heran aku sama cewek kayak dia. Muka badak banget! Udah tahu masih anak baru di sini, tapi cari gara-gara mulu. Dasar murahan!” Arum tidak bisa menahan air matanya lagi. Padahal dia menunggu Vera akan mengatakan dengan lantang bahwa dia tidak percaya dengan gosip murahan itu. Arum tahu bahwa mungkin Vera kecewa karena masalah kemarin, tetapi sekarang berbeda. Harga diri Arum sebagai wanita yang menjunjung tinggi kehormatannya tengah direndahkan dan dihina. Bagaimana bisa Vera yang sudah dia anggap sahabat sendiri telah menusuknya dari belakang?“Udah lah. Biarin aja. Nggak lama juga gosipnya bakal mereda.” Suara Vera kembali terdengar. “Nggak mungkin kalau
Alex dan Arum berjalan beriringan menuju ke ruangan Bagas. Lelaki itu berkata, “Maaf, ya. Sebenernya yang tadi itu saya berbohong. Pak Bagas nggak beneran memanggil, tapi saya yang nggak sengaja lewat terus denger kalian lagi bertengkar.” Meski tampak kaget, tetapi Arum justru merasa bersyukur. “Terima kasih, Pak. Kalau nggak ada Pak Alex mungkin aja saya udah terbawa emosi lebih-lebih dari yang tadi.”“Tapi ngomong-ngomong gimana kondisinya? Kamu merasa harus ada yang turun tangan?”Arum sadar apa yang dikatakan oleh Alex, yang dimaksud lelaki itu pasti Bagas. “Nggak, Pak. Saya harap masalah ini akan selesai. Seperti masalah kemarin, saya mau menyelesaikan masalah ini juga dengan mencari sumbernya.”“Saya mengerti, tapi ini juga masalah Pak Bagas. Dia kaget banget sampai nyariin kamu. Saya sendiri baru lihat dia sampai sebegitunya.”Arum termenung. “Apa maksudnya, Pak?”“Bagas itu,” kata Alex. Kali ini dia menggunakan bahasa santai untuk menyebut nama bosnya. “Dia kayak orang yang
Seperti yang Alex duga. Bagas kembali ke laboratorium untuk mengecek keadaan Arum. Bos sekaligus temannya itu diam-diam memperhatikan Arum yang sedang lembur bekerja.“Aku cuma mau ngecek aja. Bagaimanapun dia tetap karyawanku dan keselamatannya di kantor ini adalah tanggungjawabku,” adalah kata Bagas saat berasalan. “Saya nggak ngomong apa-apa, loh, Pak.” Alex sengaja memasang wajah polos untuk menggoda temannya. Bagas berdehem, kembali bersikap tegas yang tampak dipaksakan itu. “Aku cuma kasihan sama dia. Dia masih pegawai baru, tapi udah kena fitnah sana-sini.” Kali ini dia terdengar tulus, begitu juga dengan tatapannya.Alex tidak bisa menampik akan hal itu. Dia juga merasa iba pada masalah yang bersangkutan dengan Arum. Seperti yang Bagas tahu, Alex juga cukup mengenal profil dan latar belakang gadis itu. Prestasi, kebaikan dan kinerja Arum yang jujur. “Tapi Anda juga bertindak buat dia, Pak,” kata Alex. Benar, Bagas tidak pernah membiarkan Arum menyelesaikan masalahnya sendir
Keesokan paginya, Bagas meminta Alex untuk meretas situs perusahaan. Pihak IT yang bertugas diwajibkan menyelesaikan perintah ini secepatnya.“Saya sudah menyuruh tim untuk meretas situs kita, Pak. Bapak tenang saja, semuanya pasti berjalan dengan lancar.” Alex mencoba memberi semangat kepada bosnya. “Karena masalah kemarin sudah selesai, apakah kita perlu mengatur ulang acara launching yang tertunda, Pak?”Alex terbiasa dengan sikap Bagas yang pendiam, tetapi diamnya lelaki itu saat ini terlihat tidak seperti biasanya. “Pak?” Dia heran dengan bosnya yang tampak tidak fokus hari ini. “Aku dengerin kamu, kok, Lex. Iya, biarkan mereka yang bekerja untuk sekarang.” Kendati berbicara demikian, pandangan mata lelaki itu terarah ke objek lain. Atau bahkan tidak kepada apa pun. Tubuh Bagas ada di tempat ini, tetapi tidak dengan pikiran dan hatinya. “Apa ada masalah lain, Pak?”“Nggak ada--seharunya nggak ada.” Bagas membuang napas panjang. Dia tidak mengerti mengapa isi pikirannya saat in
Ancaman itu sempat membuat Arum gentar. Dia sadar dengan konsekuensi yang nantinya akan dia dapatkan, tetapi itu jika dia terbukti bersalah--atau memang dia melakukan kesalahan. Namun, pada kenyataannya Arum tidak melakukan kesalahan apa pun. Foto-foto itu juga tidak menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang pelakor. “Silakan,” katanya. Arum meninggikan sedikit dagunya, menatap Silvi tak gentar. “Pihak HRD juga nggak akan langsung mengambil keputusan hanya karena foto-foto murahan kayak gitu,” lanjut Arum dengan sedikit senyuman. Silvi mendadak heran, ke mana perginya Arum yang beberapa menit lalu terlihat ketakutan dan rapuh? “Aku nggak lagi main-main. Semua orang juga ada di pihakku. Kamu nggak akan bertahan lama di sini.” Mendengar itu lantas membuat Arum tersenyum. “Bahkan jika seluruh dunia berpihak padamu, memusuhiku, saya nggak peduli. Silvi, kebenaran akan selalu menang dengan cara apa pun dan nggak peduli seberapa lama waktu yang akan diambil.” Arum sadar bahwa ini bukan
Bagas segera beranjak dari kursi kerjanya setelah jam istirahat tiba. Lelaki itu tidak yakin apakah dirinya perlu membicarakan hal ini dengan Arum lebih dulu atau tidak. Sama seperti Alex, Bagas juga merasa ada yang ganjil dengan masalah ini. Bagaimana bisa Arum dengan sengaja membuat skandal tentang mereka? Saat melihat Arum di lobi, Bagas buru-buru menghampirinya. Namun, kedatangan Sam membuat lelaki itu mendadak ragu. Bagas tahu bahwa Sam memiliki perasaan mendalam kepada gadis itu dan hal tersebut juga yang membuat Bagas ragu untuk mendekat. Namun, entah mengapa ada dorongan dalam hatinya ketika melihat dua orang itu berjalan bersama. Dorongan yang membuat Bagas merasa tidak rela jika harus membiarkan lelaki lain berada di samping gadis itu.“Arum, bisa minta waktunya sebentar?” tanya Bagas. Ada yang aneh dalam dirinya. Bagas tidak benar-benar ingin membicarakan tentang skandal itu, tetapi dia tetap berkeras ingin menahan Arum.Arum melirik ke arah Sam yang berdiri di sampingnya
“Tunggu dulu, Pak!” Alex mengejar saat Bagas hampir mencapai pintu. “Bapak tahu siapa cowok itu?”Bagas mengangguk. “Kamu ingat sama cowok yang datengin Arum pas hujan waktu itu?”Seketika Alex terbelalak. “Ya Tuhan! Kenapa aku baru sadar.”“Dia sering jemput Arum kalau pulang. Hubungan mereka dekat, meski aku nggak tahu mereka sedekat apa. Tapi--”“Cowok itu suka sama Bu Arum. Dia cinta mati?” Alex tertawa sinis. “Tapi cara mainnya kotor.”Bagas mengepalkan kedua tangannya, dia setuju dengan ucapan Alex. “Aku minta kamu urus ini, ya. Arum mungkin bakal bareng sama cowok itu lagi--Sam namanya. Selidiki latar belakang cowok itu dan pastikan dia nggak bisa lari. Ambil tindakan secepat mungkin dan aku yang akan memastikan Arum tetap aman.”Alex menyanggupi interupsi lelaki itu. “Baik, Pak.”“Aku mengandalkanmu, Lex.” Sekali lagi, Bagas melihat Arum bersama dengan lelaki itu. Sejauh ini, dia sendiri tidak tahu apa hubungan mereka--atau mungkin lebih tepatnya Bagas tidak peduli karena itu