Semua orang yang berada di aula itu mulai saling berbisik. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bagas melangkah meninggalkan panggung setelah meminta maaf dan mengakhiri sesi pidatonya. Untuk beberapa saat, ruangan itu mendadak sunyi dan hanya diisi oleh rasa heran dari banyak tamu. Arum dan timnya merasa ada yang tidak beres, terutama ketika seseorang datang mendekati kursi Arum dan memintanya untuk bicara empat mata.Arum tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi dia menurut saja karena yang dia tahu, orang itu adalah salah satu orangnya Bagas. “Ada apa ini, Pak?” tanya Arum ketika sudah berada di luar aula.“Pak Bagas meminta Anda untuk bertemu,” katanya, kemudian melirik jam tangan. “Lima menit dari sekarang, beliau meninggu di ruangannya.”Ini sesuatu yang tidak terduga. Tentu saja aneh karena saat ini seharusnya Bagas dan yang lain tengah fokus untuk acara launcing, tetapi kenapa mendadak pria itu mengajaknya bertemu? Lalu, bagaimana kelanjutan d
“Jadi ide dari Bu Arum itu hasil jiplakan?”“Plagiat konsep merek saingan kita!”“Haus validasi dari Bos, nyatanya hasil jiplakan!”“Orang baru, tapi udah cari gara-gara!”“Nggak tahu malu! Pasti Pak Bagas kena penalti dan perusahaan kena masalah besar.”Masih banyak lagi ujaran kebencian dan penghakiman yang dilontarkan kepada Arum. Dia mendadak jadi bahan perbincangan seantero Scilab dan rekan satu timnya pun mulai menunjukkan sikap tidak nyaman pada Arum. Lebih dari apa yang Vera lakukan kemarin saat mereka terlibat pertentangan. Mereka dengan terus terang selalu menghindari perbincangan atau interaksi lainnya dari Arum. Seperti saat sekarang ini. Salah satu rekan mereka ada yang berulang tahun, tetapi dengan sengaja Arum tereliminasi dan tidak ikut dalam acara mereka tanpa sebab.“Jadi kamu nggak diundang?” tanya Vera saat jam kerja sudah habis. Mereka sedang menuju ke pintu keluar, hanya berdua saja karena yang lain sudah lebih dulu pergi ke tempat acara.Arum tersenyum miris. “
Alex segera pergi dari sana untuk mengurus masalah terkait surat tuntutan itu. Sementara Arum masih berhadapan dengan Bagas. “Jadi bagaimana, Pak?” Gadis itu masih menunggu respons lanjut terkait apa yang dirinya sampaikan. “Apa penjelasan saya tadi udah cukup membuktikan saya nggak bersalah?” “Kita bisa lihat nanti. Meskipun keterangan kamu itu masuk akal, tapi bukan berarti semuanya selesai begitu saja.”Arum terpaksa harus menerima kenyataan pahit itu. Meski usahanya sudah maksimal, tetapi hasil juga tidak bisa dia prediksi secara akurat. Dia sungguh berharap masalah ini selesai, bukan untuk dirinya, tetapi untuk kelangsungan nama baik Scilab. “Baik, Pak,” kata Arum. “Sekali lagi saya minta maaf karena saya Scilab jadi menerima banyak kritik, baik dari dalam maupun dari luar.” Kepalanya tertunduk dalam. “Kamu bagaimana?” Alih-alih menjawab, Bagas justru bertanya soal hal lain. Ketika melihat gadis itu mengernyitkan dahi, Bagas kembali berkata, “Kamu. Saya tanya soal kamu. Saya
“Pak Bagas?” Arum sampai mengambil langkah mundur karena saking kagetnya. Atmosfer di sana terasa sangat tegang bagi siapa saja yang melihatnya. Terlebih pandangan Bagas menyapu ruangan itu dengan tatapan tajam. Hingga dia berhenti di salah satu karyawan yang dia kenali kemarin malam saat di koridor. Silvi yang mendapat tatapan tajam itu seketika menunduk dalam. Sementara Arum buru-buru mencairkan suasana yang menegangkan ini. “Pak Bagas, apa yang membawa Anda ke mari, Pak?” tanya Arum dengan nada suara yang ramah. Bagas tidak langsung menjawab, dia melangkah masuk ke ruangan itu yang otomatis membuat Arum menyingkir beberapa langkah ke samping. Jujur saja, Arum merasakan aura Bagas yang lebih dominan saat ini. Lelaki itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain wajah datar. “Pak Bagas--” “Apa perseteruan tadi nggak dilanjutin lagi?” tanya Bagas skeptis. Tidak ada yang berani menatap Bagas, apalagi sampai menjawabnya. Namun, tidak dengan Arum. Gadis itu bukannya merasa beran
Di penghujung hari itu, Arum merasakan kelegaan yang luar biasa. Dia tidak bisa langsung mengambil kesimpulan, tetapi dia merasa ada kesempatan yang bagus untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Karena hal itu juga gadis itu keluar dari laboratorium dengan riang dan bersemangat. Bersamaan dengan itu, pesan singkat dari Sam muncul. Namun, tidak sempat Arum lihat karena bunyi petir dari luar yang mengagetkannya. Sepertinya cuaca malam ini tidak begitu bersahabat lantaran langit menjadi mendung dan rintik hujan mulai turun, petir pun menyambar memecah kegelapan malam.“Aduh, aku lupa bawa payung lagi.” Arum menghela napas panjang, menyesali keteledorannya. “Terpaksa, deh, harus basah-basahan lagi.”Saat sampai di pintu depan gedung, hujan turun semakin deras. Dia sempat melihat rekan-rekan satu timnya lebih dulu berbondong-bondong masuk ke kendaraan. Sepintas dia juga melihat Vera, entah mengapa mendadak sepercik kekecewaan muncul. “Mungkin aku yang terlalu berharap. Wajar aja kala
Suasana kantor hari itu tampak heboh. Orang-orang berkerumun sambil membicarakan sesuatu dengan sangat serius. Ponsel mereka menjadi satu-satunya media yang menjadi pusat perhatian, sebelum Bagas datang bersama Alex di belakangnya. Bagas mengernyit heran saat kebisingan itu mendadak menjadi hening, ditambah dengan tatapan para karyawan yang memusat pada dirinya. “Ada apa ini?” tanya Bagas dengan nada datar.Alex di sampingnya juga tampak heran. Dia sampai memanggil salah satu orang di antara mereka dan bertanya, “Ada apa ini?”Lelaki yang memakai kacamata baca dengan lensa cukup tebal itu melirik Alex dan Bagas dengan takut. “A-anu, Pak. Ada kabar yang menyebar soal Pak Bagas.”“Kabar apa?” Bagas merasa ada yang tidak beres dengan situasi ini. Kabar yang dimaksud pasti sesuatu yang cukup kurang atau bahkan tidak baik. Lihat saja orang-orang di sekitarnya, tatapan dan sikap menghindar itu mengingatkannya dengan masa-masa di mana dirinya di-bully karena latar belakangnya sebagai yatim
“Apa aku bilang? Sekali orang licik, ya, tetap licik!” Kalimat itu menyambut kedatangan Arum di ruangannya. Dia mencoba untuk tetap sabar, tenang dan tidak peduli dengan apa yang orang lain bicarakan tentang gosip itu--seperti yang dikatakan oleh Bagas tadi.“Bukannya Pak Bagas udah punya istri, ya? Apa jangan-jangan karena perempuan itu juga pernikahan Pak Bagas dan istrinya hancur?” Masih dari mulut yang sama, ejekan terus terang itu terlontar. Siapa lagi kalau bukan Silvi. “Kalian lihat sendiri, ‘kan? Dari awal perempuan itu datang ke perusahaan kita, ada aja masalahnya. Pak Bagas juga mendadak unjuk gigi, padahal sebelumnya misterius banget orangnya.” Silvi menambahkan. Dia sengaja melirik Arum yang baru saja duduk di kursi kerjanya. Silvi menghampiri Vera dan mulai menyampaikan kekesalannya. “Dia itu nggak tahu malu banget, ya? Masih aja dateng ke kantor!”“Berita itu juga belum tentu bener, ‘kan, Sil?” Vera menjawab tanpa memandang lawan bicaranya. Pandangan gadis itu masih t
Tawa keras meluncur dari mulut temannya Vera. “Ya ampun, Ver. Aku kira kamu nggak setuju sama gosip yang beredar.”“Mana ada gosip? Orang buktinya ada di foto itu, ‘kan?” jawab Vera santai. Dia mematut diri di depan cermin dan memoleskan lip tint ke bibirnya. “Iya, makanya!” Perempuan itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir. “Heran aku sama cewek kayak dia. Muka badak banget! Udah tahu masih anak baru di sini, tapi cari gara-gara mulu. Dasar murahan!” Arum tidak bisa menahan air matanya lagi. Padahal dia menunggu Vera akan mengatakan dengan lantang bahwa dia tidak percaya dengan gosip murahan itu. Arum tahu bahwa mungkin Vera kecewa karena masalah kemarin, tetapi sekarang berbeda. Harga diri Arum sebagai wanita yang menjunjung tinggi kehormatannya tengah direndahkan dan dihina. Bagaimana bisa Vera yang sudah dia anggap sahabat sendiri telah menusuknya dari belakang?“Udah lah. Biarin aja. Nggak lama juga gosipnya bakal mereda.” Suara Vera kembali terdengar. “Nggak mungkin kalau