Selama seminggu terakhir, Rossa telah menghabiskan banyak waktu bersama Arka lebih banyak dari biasanya. Hampir setiap hari, mereka berangkat bersama-sama untuk mengurus kasus Monica di Sun City, bertemu berbagai pihak, hingga mengecek setiap perkembangan yang diperlukan. Rossa merasa nyaman berada di samping Arka, dan kehadiran pria itu membuatnya merasa terlindungi dan didengarkan.Hari ini, seperti biasanya, Arka datang untuk sarapan di rumah Rossa sebelum mereka berangkat mengurus semuanya. Suasana meja makan hangat dengan obrolan ringan di antara mereka, ditemani hidangan yang sederhana tapi penuh keakraban."Saya pasti akan merindukan sarapan di sini, Tante," ucap Arka sambil tersenyum, menatap Rossa dan Mayang dari seberang meja.“Tante juga pasti merindukan kebersamaan kita ini,” sahut Mayang.Rossa menatapnya dengan tatapan tak mengerti. "Kenapa begitu? Besok kamu masih bisa sarapan di sini kalau mau," jawab Rossa ringan.Arka tersenyum tipis, namun kali ini ada kesedihan ya
“Neneeeeeeek!” teriak Elina dan Elio sambil berlari ke arah Mayang begitu mereka melihatnya tiba di rumah mereka. Suara keduanya terdengar riang, penuh kebahagiaan, seakan sudah lama menunggu momen ini.Mayang tersenyum lebar, hatinya hangat melihat semangat cucu-cucunya yang selalu ceria setiap kali mereka bertemu. Meski bukan cucu kandungnya, ia telah menganggap Elina dan Elio sebagai darah dagingnya sendiri. “Cucu nenek yang cantik dan yang tampan!” serunya penuh sayang, merentangkan kedua tangannya untuk menyambut mereka. “Nenek kangen sama kalian!”Elina dan Elio segera masuk ke dalam pelukan nenek mereka, tawa riang terdengar saat Mayang mencium pipi mereka bergantian, memberikan kecupan bertubi-tubi yang membuat keduanya terkikik. “Neneek, geli!” seru Elio sambil tertawa, mencoba menghindar dari ciuman-ciuman sang nenek, meskipun wajahnya menunjukkan bahwa dia sebenarnya sangat senang.Sudah empat tahun berlalu sejak Mayang pertama kali bertemu dengan si kembar, dan esok adal
"Ini beneran untuk Elina dan Elio?" tanya si kembar sambil menatap kotak kado yang dipegang Arka dengan mata berbinar. Wajah mereka penuh antusias, seolah tidak percaya bahwa hadiah itu benar-benar untuk mereka.Arka mengangguk sambil tersenyum hangat. "Beneran dong, lihat saja, jumlahnya ada dua! Jadi, kalian mau atau nggak?" tanyanya dengan nada menggoda.Elina dan Elio segera mengangguk penuh semangat. Senyum mereka makin lebar, dan mata mereka tak bisa lepas dari kotak-kotak kado yang dihias dengan pita merah menyala."Cium dulu dong baru boleh lihat isi dalam kotak ini," ucap Arka, memberikan syarat dengan nada penuh godaan.Tanpa ragu, si kembar langsung menghujani pipi kanan dan kiri Arka dengan ciuman manis, membuat pria itu tertawa senang. "Nah, itu baru keponakan kesayangan Om Arka!" katanya dengan penuh kegembiraan, memandang keduanya dengan kasih sayang. Arka sudah menganggap Elina dan Elio sebagai keponakannya sendiri, terlebih sejak hubungannya dengan Rossa semakin seri
“Boleh ya Ma, kadonya adik kembar,” pinta Elina lagi sambil mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali."Capeknya Mama ngebesarin kalian saja belum hilang, malah dimintain adik lagi? Aduh, takut, deh!" jawab Febby dengan nada setengah bercanda, sambil menatap kedua anaknya yang kini duduk manis di depannya.Wajah Elina langsung berubah kecewa. "Yah, Mama nggak keren! Padahal Elina sama Elio bisa jagain adik, kok! Mama tinggal buat, kami yang jagain nanti," jawabnya, memasang wajah serius seolah sedang berdiskusi berat.Elio yang biasanya tidak seceria kakaknya, kali ini justru ikut-ikutan mengangguk setuju. "Iya, tuh! Masa, Mama nggak keren gitu?" tambahnya dengan polos.Rangga, yang baru saja selesai merapikan tumpukan dokumen di meja, tiba-tiba ikut mengompori. "Ya tuh, Mama nggak keren! Coba, bayangkan, kalau ada bayi kecil yang bisa kalian gendong setiap hari!" ucapnya sambil mengedipkan mata kepada anak-anak kembarnya.Febby hanya bisa menggelengkan kepala, menyerah dengan keiseng
“Nyonya besar marah,” ucap Elina pada Elio. Saat bicara mereka sudah tahan nafas agar hanya mereka yang mendengarnya.Elina terkikik, “marah adalah hobinya nyonya,” sahut Elina. Rangga tak kuasa menahan tawanya mendengar obrolan kedua anaknya. Sementara Febby langsung menyalakan lampu di kamar si kembar.Klik“Elio, pindah ke ranjang sendiri!” titah Febby.“Elio, udah tidur Ma,” jawab Elio.“Pindah!” seru sang mama.Karena kalau dibiarkan tidur satu ranjang mereka tak akan bisa tidur.“Baiklah, Ma,” sahutnya lemah. Saat Elio hendak turun dari ranjang kakak kembarnya, ternyata Elina ikut juga.“Elina!” tegur sang mama.“Baiklah, Ma. Kami pisah ranjang,” jawab Elina. Gadis berambut panjang itu menarik selimutnya lagi.Setelah memastikan kedua anaknya tidur, Febby dan Rangga masuk ke dalam kamar.***Esok Harinya.Restoran mewah itu tampak hidup dan gemerlap, dihiasi dengan balon warna-warni dan dekorasi bertema playground yang menggambarkan keceriaan anak-anak. Di pintu masuk, Elina dan
“Duh kumat manjanya.” Rossa mencubit gemas pipi Elina saat sang keponakan nempel kayak perangko dengan sang mama.“Neneeeeeek,” rengek Elina.“Iya sayang,” jawab Mayang lembut. Dia duduk di samping Febby sambil memangku Elio yang terlelap. Mereka masih di dalam restoran mewah itu dan akan segera pulang.“Pipi Elina dicubit lagi sama tante,” adunya pura-pura kesakitan.“Nanti sampai di rumah nenek akan hukum dia,” ujarnya.Elina tergelak, “makasi nenek,” sahutnya.“Sama-sama sayang.”“Yuk pulang,” ajak Rangga.“Yeeeeee, udah semua masuk hadiahnya Papa?” tanya Elina.“Udah sayang. Sini gendong sama Papa,” ajaknya. Elina masuk dalam dekapan sang papa. Tangannya usil menarik jambul sang kembaran hingga Elio yang tengah tidur menangis kencang.“Elinaaaaa!” tegur sang mama.“Maaf Mama. Gak sengaja ketarik.”Febby mengambil alih Elio dari gendongan sang mama. Tubuh bongsor keduanya mewarisi sang papa hingga mereka terlihat lebih besar dari usianya.Mereka pun kembali ke rumah.****Setelah p
“Maaaaaa, Mamaaaaaaa!” suara teriakan Elina memecah keheningan malam. Di tengah kelelahannya, Febby yang masih terjaga segera menuju ke kamar si kembar.Sudah kesekian kalinya malam-malam Elina terbangun dengan mimpi buruk yang membuatnya ketakutan. Febby mempercepat langkah, membayangkan apa yang mungkin membuat putrinya cemas.“Ma... jangan pergi, Ma...” Suara Elina terdengar parau, seolah berbicara di antara mimpi dan kenyataan. Mata gadis kecil itu masih tertutup rapat, tapi wajahnya tampak jelas memperlihatkan keresahan yang begitu besar.Febby mendekati tempat tidur Elina, duduk di tepi ranjang, lalu dengan lembut mengusap pipi putrinya yang mulai basah karena keringat. “Sayang, bangun. Ini Mama di sini, Sayang,” ucap Febby lembut sambil mengguncang tubuh kecil Elina pelan, mencoba membangunkannya dari mimpi buruknya.Mata Elina akhirnya terbuka, dan begitu melihat wajah sang mama, ia langsung merangkul Febby erat, seolah takut kehilangan. “Jangan pergi, Ma... Elina nggak mau
Setelah Febby tertidur dengan tenang di samping Elina dan Elio, Rangga duduk di ujung ranjang, memandangi ketiga orang yang paling ia cintai. Sebuah perasaan was-was menghantui pikirannya, mengingat kejadian berulang kali di mana Elina bangun ketakutan di tengah malam. Mimpi buruk Elina bukan lagi sebuah kebetulan bagi Rangga. Ia merasa perlu bertindak demi menjaga keamanan keluarganya.Perlahan, Rangga bangkit dan berjalan keluar kamar, kemudian mengambil ponsel dan mengetik pesan singkat. Dalam hitungan detik, pesan itu terkirim, dan tidak lama kemudian ponselnya berdering. “Halo,” jawabnya. Rangga berdiri di balkon kamarnya.“Hallo Tuan, ada yang bisa saya bantu?” suara tenang Arka, yang selalu Rangga percayai, terdengar di seberang.“Elina mimpi buruk lagi. Aku merasa ini bukan hanya mimpi biasa,” ujar Rangga tanpa basa-basi. “Tolong cari tahu apakah ada seseorang yang mungkin mengincar keluargaku. Dan segera siapkan pengawal masing-masing dua orang untuk Febby dan anak-anak. A