“Nyonya besar marah,” ucap Elina pada Elio. Saat bicara mereka sudah tahan nafas agar hanya mereka yang mendengarnya.Elina terkikik, “marah adalah hobinya nyonya,” sahut Elina. Rangga tak kuasa menahan tawanya mendengar obrolan kedua anaknya. Sementara Febby langsung menyalakan lampu di kamar si kembar.Klik“Elio, pindah ke ranjang sendiri!” titah Febby.“Elio, udah tidur Ma,” jawab Elio.“Pindah!” seru sang mama.Karena kalau dibiarkan tidur satu ranjang mereka tak akan bisa tidur.“Baiklah, Ma,” sahutnya lemah. Saat Elio hendak turun dari ranjang kakak kembarnya, ternyata Elina ikut juga.“Elina!” tegur sang mama.“Baiklah, Ma. Kami pisah ranjang,” jawab Elina. Gadis berambut panjang itu menarik selimutnya lagi.Setelah memastikan kedua anaknya tidur, Febby dan Rangga masuk ke dalam kamar.***Esok Harinya.Restoran mewah itu tampak hidup dan gemerlap, dihiasi dengan balon warna-warni dan dekorasi bertema playground yang menggambarkan keceriaan anak-anak. Di pintu masuk, Elina dan
“Duh kumat manjanya.” Rossa mencubit gemas pipi Elina saat sang keponakan nempel kayak perangko dengan sang mama.“Neneeeeeek,” rengek Elina.“Iya sayang,” jawab Mayang lembut. Dia duduk di samping Febby sambil memangku Elio yang terlelap. Mereka masih di dalam restoran mewah itu dan akan segera pulang.“Pipi Elina dicubit lagi sama tante,” adunya pura-pura kesakitan.“Nanti sampai di rumah nenek akan hukum dia,” ujarnya.Elina tergelak, “makasi nenek,” sahutnya.“Sama-sama sayang.”“Yuk pulang,” ajak Rangga.“Yeeeeee, udah semua masuk hadiahnya Papa?” tanya Elina.“Udah sayang. Sini gendong sama Papa,” ajaknya. Elina masuk dalam dekapan sang papa. Tangannya usil menarik jambul sang kembaran hingga Elio yang tengah tidur menangis kencang.“Elinaaaaa!” tegur sang mama.“Maaf Mama. Gak sengaja ketarik.”Febby mengambil alih Elio dari gendongan sang mama. Tubuh bongsor keduanya mewarisi sang papa hingga mereka terlihat lebih besar dari usianya.Mereka pun kembali ke rumah.****Setelah p
“Maaaaaa, Mamaaaaaaa!” suara teriakan Elina memecah keheningan malam. Di tengah kelelahannya, Febby yang masih terjaga segera menuju ke kamar si kembar.Sudah kesekian kalinya malam-malam Elina terbangun dengan mimpi buruk yang membuatnya ketakutan. Febby mempercepat langkah, membayangkan apa yang mungkin membuat putrinya cemas.“Ma... jangan pergi, Ma...” Suara Elina terdengar parau, seolah berbicara di antara mimpi dan kenyataan. Mata gadis kecil itu masih tertutup rapat, tapi wajahnya tampak jelas memperlihatkan keresahan yang begitu besar.Febby mendekati tempat tidur Elina, duduk di tepi ranjang, lalu dengan lembut mengusap pipi putrinya yang mulai basah karena keringat. “Sayang, bangun. Ini Mama di sini, Sayang,” ucap Febby lembut sambil mengguncang tubuh kecil Elina pelan, mencoba membangunkannya dari mimpi buruknya.Mata Elina akhirnya terbuka, dan begitu melihat wajah sang mama, ia langsung merangkul Febby erat, seolah takut kehilangan. “Jangan pergi, Ma... Elina nggak mau
Setelah Febby tertidur dengan tenang di samping Elina dan Elio, Rangga duduk di ujung ranjang, memandangi ketiga orang yang paling ia cintai. Sebuah perasaan was-was menghantui pikirannya, mengingat kejadian berulang kali di mana Elina bangun ketakutan di tengah malam. Mimpi buruk Elina bukan lagi sebuah kebetulan bagi Rangga. Ia merasa perlu bertindak demi menjaga keamanan keluarganya.Perlahan, Rangga bangkit dan berjalan keluar kamar, kemudian mengambil ponsel dan mengetik pesan singkat. Dalam hitungan detik, pesan itu terkirim, dan tidak lama kemudian ponselnya berdering. “Halo,” jawabnya. Rangga berdiri di balkon kamarnya.“Hallo Tuan, ada yang bisa saya bantu?” suara tenang Arka, yang selalu Rangga percayai, terdengar di seberang.“Elina mimpi buruk lagi. Aku merasa ini bukan hanya mimpi biasa,” ujar Rangga tanpa basa-basi. “Tolong cari tahu apakah ada seseorang yang mungkin mengincar keluargaku. Dan segera siapkan pengawal masing-masing dua orang untuk Febby dan anak-anak. A
“Kau urus semuanya Arka. Biar aku sendirian yang meeting dengan klien,” ujarnya.“Baik Tuan.”“Aku ikut kamu sayang, aku mau tahu siapa orang itu,” ucap Rossa yang mendengar obrolan Rangga dan Arka.“Baiklah, ayo berangkat,” sahutnya.Sementara itu di sekolah pagi itu, Elina dan Elio tampak antusias dengan energi yang tampaknya tak pernah habis. Mereka berdua saling bergandengan tangan sambil berjalan menuju kelas, dengan wajah berseri-seri. Sekolah bukan hanya tempat belajar bagi mereka, tetapi juga taman bermain yang penuh dengan teman-teman dan petualangan baru. Sepanjang perjalanan ke kelas, mereka menyapa teman-temannya dan sesekali berhenti untuk memperlihatkan stiker lucu di kotak bekal mereka.Setelah mereka memasuki kelas, Febby dan Suster Barbara duduk di ruang tunggu orang tua yang berada di sebelah kantor sekolah. Febby merasa lebih tenang melihat Elina dan Elio yang tampak ceria di sekolah hari ini. Di luar sekolah, pengawal yang Rangga tugaskan berjaga dengan waspada,
"Arka, apakah kau merasa… mungkin istriku punya musuh?" tanya Rangga tiba-tiba. Suaranya pelan, namun nada khawatirnya jelas terasa. Rangga dan Arka sedang berbicara di dalam ruang kerja Rangga.Arka menatapnya sejenak, menimbang kata-kata yang akan ia ucapkan. Akhirnya, ia bicara dengan mantap, "Menurut saya pribadi, musuh itu tidak datang dari Ibu Febby. Musuh yang mengincar nyawanya… kemungkinan besar datang dari Anda, Tuan."Kening Rangga berkerut, kebingungan. "Maksudmu apa, Arka?" tanyanya sambil bersandar di kursi, mempersilakan Arka untuk duduk di seberangnya.Arka menarik napas sejenak, lalu menjelaskan, "Saya hanya menyimpulkan, Tuan. Orang yang ingin menyakiti Ny. Febby pasti memiliki alasan kuat. Dan alasan itu, menurut saya, bukan semata untuk menyakiti Ny. Febby, tetapi untuk menyakiti Anda secara mendalam. Dengan menyerang orang yang paling Anda cintai, musuh Anda tahu, luka yang mereka berikan akan lebih dari sekadar fisik. Itu akan mengoyak hati Anda."Rangga terdiam.
"Baiklah, Arka, lanjutkan pekerjaanmu," ujar Rangga dengan nada penuh wibawa, namun tampak ada kekhawatiran tersirat di matanya."Baik, Tuan. Kalau begitu, saya permisi dulu," jawab Arka dengan sopan, sebelum membungkuk sedikit dan berjalan keluar dari ruang kerja Rangga. Ia kembali ke meja kerjanya yang terletak persis di depan ruang kerja sang atasan.Begitu Arka keluar, Rangga mencoba kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya yang sempat tertunda. Namun, pikirannya terus terganggu oleh bayangan ancaman yang baru saja mereka bicarakan. Siapa yang mungkin berani menyakiti keluarganya? Siapa yang punya dendam begitu besar terhadapnya sampai-sampai mengincar nyawa istri dan anak-anaknya?Rangga mendesah panjang dan memejamkan mata sejenak. Dalam hati, ia bersumpah, Aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun yang berani mengusik kebahagiaan keluargaku, apalagi sampai menyakiti anak dan istriku.Meskipun ancaman itu masih membayangi pikirannya, ia mencoba menepisnya dan fokus pada pekerja
Setelah kejutan ulang tahun yang menyentuh hati, Rangga memandang keluarganya dan seluruh orang di rumah dengan penuh kasih sayang. Ia merasa begitu beruntung dikelilingi orang-orang yang tulus mendukung dan melindungi keluarganya, dari istri dan anak-anaknya hingga para pekerja dan pengawal setia. Hari itu terasa sangat spesial, dan Rangga ingin membagikan kebahagiaan ini dengan semuanya.Rangga memanggil Arka, asisten setianya, yang berdiri tak jauh darinya. “Arka, bisakah kamu memesankan makanan dari restoran terbaik di kota? Pastikan pesanannya cukup untuk semua orang di rumah. Malam ini kita akan makan bersama di sini, di rumah.”Arka mengangguk dengan senyum lebar. “Tentu, Tuan. Saya akan segera mengurus semuanya,” jawab Arka, penuh semangat. Ia segera beranjak untuk menelpon restoran langganan Rangga dan memastikan pesanan akan tiba secepat mungkin.Febby, yang berdiri di samping Rangga, menatap suaminya dengan penuh kebanggaan. “Sayang, kamu ingin berbagi kebahagiaan dengan s