“Duh kumat manjanya.” Rossa mencubit gemas pipi Elina saat sang keponakan nempel kayak perangko dengan sang mama.“Neneeeeeek,” rengek Elina.“Iya sayang,” jawab Mayang lembut. Dia duduk di samping Febby sambil memangku Elio yang terlelap. Mereka masih di dalam restoran mewah itu dan akan segera pulang.“Pipi Elina dicubit lagi sama tante,” adunya pura-pura kesakitan.“Nanti sampai di rumah nenek akan hukum dia,” ujarnya.Elina tergelak, “makasi nenek,” sahutnya.“Sama-sama sayang.”“Yuk pulang,” ajak Rangga.“Yeeeeee, udah semua masuk hadiahnya Papa?” tanya Elina.“Udah sayang. Sini gendong sama Papa,” ajaknya. Elina masuk dalam dekapan sang papa. Tangannya usil menarik jambul sang kembaran hingga Elio yang tengah tidur menangis kencang.“Elinaaaaa!” tegur sang mama.“Maaf Mama. Gak sengaja ketarik.”Febby mengambil alih Elio dari gendongan sang mama. Tubuh bongsor keduanya mewarisi sang papa hingga mereka terlihat lebih besar dari usianya.Mereka pun kembali ke rumah.****Setelah p
“Maaaaaa, Mamaaaaaaa!” suara teriakan Elina memecah keheningan malam. Di tengah kelelahannya, Febby yang masih terjaga segera menuju ke kamar si kembar.Sudah kesekian kalinya malam-malam Elina terbangun dengan mimpi buruk yang membuatnya ketakutan. Febby mempercepat langkah, membayangkan apa yang mungkin membuat putrinya cemas.“Ma... jangan pergi, Ma...” Suara Elina terdengar parau, seolah berbicara di antara mimpi dan kenyataan. Mata gadis kecil itu masih tertutup rapat, tapi wajahnya tampak jelas memperlihatkan keresahan yang begitu besar.Febby mendekati tempat tidur Elina, duduk di tepi ranjang, lalu dengan lembut mengusap pipi putrinya yang mulai basah karena keringat. “Sayang, bangun. Ini Mama di sini, Sayang,” ucap Febby lembut sambil mengguncang tubuh kecil Elina pelan, mencoba membangunkannya dari mimpi buruknya.Mata Elina akhirnya terbuka, dan begitu melihat wajah sang mama, ia langsung merangkul Febby erat, seolah takut kehilangan. “Jangan pergi, Ma... Elina nggak mau
Setelah Febby tertidur dengan tenang di samping Elina dan Elio, Rangga duduk di ujung ranjang, memandangi ketiga orang yang paling ia cintai. Sebuah perasaan was-was menghantui pikirannya, mengingat kejadian berulang kali di mana Elina bangun ketakutan di tengah malam. Mimpi buruk Elina bukan lagi sebuah kebetulan bagi Rangga. Ia merasa perlu bertindak demi menjaga keamanan keluarganya.Perlahan, Rangga bangkit dan berjalan keluar kamar, kemudian mengambil ponsel dan mengetik pesan singkat. Dalam hitungan detik, pesan itu terkirim, dan tidak lama kemudian ponselnya berdering. “Halo,” jawabnya. Rangga berdiri di balkon kamarnya.“Hallo Tuan, ada yang bisa saya bantu?” suara tenang Arka, yang selalu Rangga percayai, terdengar di seberang.“Elina mimpi buruk lagi. Aku merasa ini bukan hanya mimpi biasa,” ujar Rangga tanpa basa-basi. “Tolong cari tahu apakah ada seseorang yang mungkin mengincar keluargaku. Dan segera siapkan pengawal masing-masing dua orang untuk Febby dan anak-anak. A
“Kau urus semuanya Arka. Biar aku sendirian yang meeting dengan klien,” ujarnya.“Baik Tuan.”“Aku ikut kamu sayang, aku mau tahu siapa orang itu,” ucap Rossa yang mendengar obrolan Rangga dan Arka.“Baiklah, ayo berangkat,” sahutnya.Sementara itu di sekolah pagi itu, Elina dan Elio tampak antusias dengan energi yang tampaknya tak pernah habis. Mereka berdua saling bergandengan tangan sambil berjalan menuju kelas, dengan wajah berseri-seri. Sekolah bukan hanya tempat belajar bagi mereka, tetapi juga taman bermain yang penuh dengan teman-teman dan petualangan baru. Sepanjang perjalanan ke kelas, mereka menyapa teman-temannya dan sesekali berhenti untuk memperlihatkan stiker lucu di kotak bekal mereka.Setelah mereka memasuki kelas, Febby dan Suster Barbara duduk di ruang tunggu orang tua yang berada di sebelah kantor sekolah. Febby merasa lebih tenang melihat Elina dan Elio yang tampak ceria di sekolah hari ini. Di luar sekolah, pengawal yang Rangga tugaskan berjaga dengan waspada,
"Arka, apakah kau merasa… mungkin istriku punya musuh?" tanya Rangga tiba-tiba. Suaranya pelan, namun nada khawatirnya jelas terasa. Rangga dan Arka sedang berbicara di dalam ruang kerja Rangga.Arka menatapnya sejenak, menimbang kata-kata yang akan ia ucapkan. Akhirnya, ia bicara dengan mantap, "Menurut saya pribadi, musuh itu tidak datang dari Ibu Febby. Musuh yang mengincar nyawanya… kemungkinan besar datang dari Anda, Tuan."Kening Rangga berkerut, kebingungan. "Maksudmu apa, Arka?" tanyanya sambil bersandar di kursi, mempersilakan Arka untuk duduk di seberangnya.Arka menarik napas sejenak, lalu menjelaskan, "Saya hanya menyimpulkan, Tuan. Orang yang ingin menyakiti Ny. Febby pasti memiliki alasan kuat. Dan alasan itu, menurut saya, bukan semata untuk menyakiti Ny. Febby, tetapi untuk menyakiti Anda secara mendalam. Dengan menyerang orang yang paling Anda cintai, musuh Anda tahu, luka yang mereka berikan akan lebih dari sekadar fisik. Itu akan mengoyak hati Anda."Rangga terdiam.
"Baiklah, Arka, lanjutkan pekerjaanmu," ujar Rangga dengan nada penuh wibawa, namun tampak ada kekhawatiran tersirat di matanya."Baik, Tuan. Kalau begitu, saya permisi dulu," jawab Arka dengan sopan, sebelum membungkuk sedikit dan berjalan keluar dari ruang kerja Rangga. Ia kembali ke meja kerjanya yang terletak persis di depan ruang kerja sang atasan.Begitu Arka keluar, Rangga mencoba kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya yang sempat tertunda. Namun, pikirannya terus terganggu oleh bayangan ancaman yang baru saja mereka bicarakan. Siapa yang mungkin berani menyakiti keluarganya? Siapa yang punya dendam begitu besar terhadapnya sampai-sampai mengincar nyawa istri dan anak-anaknya?Rangga mendesah panjang dan memejamkan mata sejenak. Dalam hati, ia bersumpah, Aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun yang berani mengusik kebahagiaan keluargaku, apalagi sampai menyakiti anak dan istriku.Meskipun ancaman itu masih membayangi pikirannya, ia mencoba menepisnya dan fokus pada pekerja
Setelah kejutan ulang tahun yang menyentuh hati, Rangga memandang keluarganya dan seluruh orang di rumah dengan penuh kasih sayang. Ia merasa begitu beruntung dikelilingi orang-orang yang tulus mendukung dan melindungi keluarganya, dari istri dan anak-anaknya hingga para pekerja dan pengawal setia. Hari itu terasa sangat spesial, dan Rangga ingin membagikan kebahagiaan ini dengan semuanya.Rangga memanggil Arka, asisten setianya, yang berdiri tak jauh darinya. “Arka, bisakah kamu memesankan makanan dari restoran terbaik di kota? Pastikan pesanannya cukup untuk semua orang di rumah. Malam ini kita akan makan bersama di sini, di rumah.”Arka mengangguk dengan senyum lebar. “Tentu, Tuan. Saya akan segera mengurus semuanya,” jawab Arka, penuh semangat. Ia segera beranjak untuk menelpon restoran langganan Rangga dan memastikan pesanan akan tiba secepat mungkin.Febby, yang berdiri di samping Rangga, menatap suaminya dengan penuh kebanggaan. “Sayang, kamu ingin berbagi kebahagiaan dengan s
Di ruang keluarga yang mewah itu, suara tawa Elio dan Elina mengisi ruangan. Mereka duduk di antara kedua orang tua mereka, Rangga dan Febby, dengan wajah ceria dan penuh rasa penasaran.“Mama, Papa,” panggil Elio dengan suara polosnya. “Kapan kita pulang kampung ke rumah nenek? Kami ingin tahu rasanya pulang kampung,” ujarnya, matanya berbinar menatap kedua orang tuanya.Rangga tersenyum, menyadari betapa besar rasa ingin tahu putranya tentang kampung halaman. “Nanti, kalau kalian sudah liburan, kita akan pulang kampung bersama-sama, Sayang,” jawab Rangga lembut sambil mengusap kepala Elio.“Yay, kita akan pulang kampung!” teriak Elio dengan semangat, wajahnya berseri-seri. “Mama, kapan kita liburan? Berapa lama kita di rumah nenek?” Elina ikut bertanya, penuh antusiasme sambil menggoyang-goyangkan tangan sang mama.Febby tersenyum lembut, menatap kedua buah hatinya dengan penuh kasih. “Liburannya masih lama, Sayang. Tapi kalau sudah dekat, Mama pasti kasih tahu. Kita akan habiskan
Arka masih berdiri dengan ekspresi serius, berhadapan dengan Nabila yang tampak gugup. Sebuah kesalahan fatal baru saja terjadi, membuat Nabila harus menghadapi amarah Arka, rekan kerjanya yang juga dikenal sebagai tangan kanan Rangga.“Ma–maaf,” ucap Nabila dengan nada terbata-bata. Matanya menatap meja, tak berani menatap langsung ke arah Arka. “Aku akan memperbaikinya.”Arka menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya tetap tegas. “Sudah seharusnya begitu, Nabila. Jangan campur adukkan masalah pribadi dengan urusan kantor,” tegurnya. “Data ini sangat penting. Kita dibayar untuk bekerja, bukan untuk mengecewakan pemilik perusahaan.”Nada suaranya yang dingin membuat Nabila merasa semakin bersalah. Rekan kerja lain di tempat itu, yang mendengar percakapan mereka, memilih untuk mengabaikannya.Nabila menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu Arka benar, dan ia harus memperbaiki kesalahan ini secepat mungkin. “Baik, Arka,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan. “Unt
Arka mengetuk pintu ruang kerja Rangga dengan hati yang sudah terasa berat sejak tadi. Ia tahu, percakapan ini akan melibatkan Nabila, yang terlihat semakin berusaha mendekatinya belakangan ini. Setelah mendengar suara Rangga mempersilakan masuk, Arka membuka pintu dan melangkah masuk bersama Nabila. Mereka duduk berdampingan, meskipun suasana di antara keduanya terasa canggung.Rangga menatap mereka sejenak, matanya tajam namun tetap ramah. Ia memulai pembicaraan, “Arka, saya akan segera mempersiapkan penggantimu-”Belum selesai kalimat itu terucap, Nabila langsung memotong, “Maksud Anda bagaimana, Tuan?”Nada suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu, namun juga sedikit ketakutan. Ia menatap Rangga, mencoba mencari penjelasan dari kalimat yang setengah terucap itu.Rangga tersenyum tipis, mengalihkan pandangannya pada Arka yang tampak tenang. “Arka kan sebentar lagi akan menikah,” lanjut Rangga, nadanya penuh pengertian. “Dia akan menjadi pimpinan salah satu anak cabang Wijaya Group
“Kalian ini berani-beraninya, ya, ngomongin Mama,” ujar Febby pura-pura marah sambil memandang mereka dengan alis terangkat.Elina dan Elio hanya tertawa kecil, tampak tak terpengaruh oleh wajah pura-pura serius mamanya. “Kami hanya bercanda, Mama!” jawab mereka serempak dengan wajah polos dan senyum lebar, seperti berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak bersalah.Febby menggeleng, lalu tersenyum. “Ya sudah, ayo cepat sarapan dulu. Nanti keburu terlambat ke sekolah,” katanya dengan suara lembut, namun tetap tegas.“Siap, Mama!” balas mereka, masih dalam nada polos dan penuh semangat.Tak lama kemudian, Elina dan Elio mengambil tas mereka, dan bersiap turun ke lantai bawah. Di ruang makan, Rangga, sudah duduk dengan rapi dan tampan dalam setelan kerjanya, menunggu mereka dengan sabar. Di meja itu juga sudah ada nenek mereka, dan Rossa, yang duduk menunggu sambil tersenyum melihat keceriaan anak-anak itu.Melihat kedatangan mereka, Rangga segera berdiri dari kursinya dan dengan penuh kas
Malam telah larut ketika Mayang dan Rossa memasuki kamar. Setelah percakapan hangat bersama keluarga, mereka kini berdua, bersiap untuk beristirahat. Namun, suasana hati Rossa tampak tidak tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan pandangan menerawang, sementara Mayang mengamati anaknya dengan lembut dari sudut ruangan."Ma," Rossa akhirnya membuka suara dengan nada pelan, tapi penuh rasa takjub, "Rossa sama sekali nggak menyangka, ternyata Arka bakal mendapatkan hadiah sebesar itu dari Rangga. Padahal tadi kami sempat diskusi, setelah menikah mungkin dia hanya akan pulang ke Sun City setiap akhir pekan. Tapi sekarang… hadiah itu mengubah segalanya. Kami bahkan bisa tinggal di sana bersama Mama."Mayang mendekati anaknya dan duduk di sebelahnya. Ia menggenggam tangan Rossa dengan lembut. "Iya, Sayang. Mama juga nggak pernah menyangka. Kalau Mama ingat-ingat lagi… Mama malu sekali atas apa yang pernah Mama lakukan ke Rangga dulu." Suara Mayang mulai serak. "Mama dulu menghina dia
Setelah Arka pamit pulang, Febby, Rangga, dan Mayang masih duduk bersama. Di samping mereka, Rossa duduk tenang, menyimak obrolan sambil tersenyum kecil, namun di wajahnya ada keraguan yang tersirat.Febby yang duduk di sebelah Rossa menatapnya dengan penuh perhatian. "Kakak, rencananya mau menikah di sini atau di kota Sun City?" tanyanya lembut, ingin tahu keputusan kakak tirinya itu. Pertanyaan itu sontak membuat semua mata di ruangan tertuju pada Rossa, menunggu jawabannya.Rossa tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Kak Rossa sih inginnya di Sun City saja," jawabnya akhirnya, memandangi mereka satu per satu. "Di sana banyak kenangan yang ingin kami pertahankan, tempat-tempat yang istimewa untukku dan Arka. Lagipula, kami juga akan tinggal di sana setelah menikah... meskipun harus berpisah jarak dan waktu dengan Arka yang akan tetap bekerja di sini." Ada sedikit nada ragu di ujung kalimatnya, seakan-akan perpisahan itu adalah pengorbanan yang tak mudah baginya.Rangga ya
“Kamu serius, sayang?” tanya Arka.Rossa mengangguk, “aku serius sayang. Kapanpun aku siap,” ulang Rossa.“Dua bulan lagi ada hari baik, apa kamu mau?”Rossa mengangguk.Arka kembali masuk ke dalam rumah sang atasan, dia minta Rangga dan febby kembali turun sebentar. Mereka pun berkumpul di ruang keluarga rumah mewah Rangga.Suasana hangat penuh kekeluargaan begitu terasa, terutama dengan adanya Febby yang tengah mengandung anak kedua, membawa kebahagiaan tersendiri bagi seluruh keluarga. Melihat Arka yang tampak ragu-ragu, Rangga segera menepuk punggungnya dan mempersilakannya duduk di samping."Ada apa, Ark? Kok wajahmu serius banget?" tanya Rangga, berusaha mencairkan suasana.Arka menarik napas dalam-dalam, memandangi ketiganya satu per satu, lalu berkata, "Saya ingin minta izin, Sama tante, Tuan dan Nyonya. Setelah berdiskusi dengan Rossa, kami memutuskan untuk menikah dua bulan lagi."Pernyataan itu mengejutkan semua orang, terutama Mayang, yang tidak menyangka rencana pernika
Rangga dan keluarganya bersiap untuk malam spesial mereka. Ia merangkul bahu istrinya, Febby, yang sedang hamil, dengan lembut sembari mengajak kedua anak kembar mereka, Elina dan Elio."Ayo, sayang, kita bersiap," ucapnya dengan suara hangat yang penuh semangat.Bocah kembar berusia empat tahun yang energik, tidak bisa menahan kebahagiaan mereka. Setiap kali diajak makan di luar, mereka tahu pasti bisa memilih menu yang mereka inginkan tanpa batasan. Restoran mewah dengan berbagai pilihan hidangan daging adalah favorit mereka.Si kembar masuk ke dalam kamarnya bersama suster Barbara."Kamu mau daging apa nanti?" tanya Elina sambil memandang adik kembarnya, dengan mata berbinar. Mereka sedang dibantu mengganti pakaian oleh suster Barbara, yang setia menemani mereka setiap hari."Aku mau daging sapi saja, kamu daging ayam saja, nanti kita bagi," jawab Elio, mencoba memberi saran."Oke, tos dulu dong!" Elina mengulurkan tangannya, dan keduanya melakukan tos sambil tertawa kecil.Suster
Rangga menatap Febby dengan perasaan yang tak menentu, dia nyaris tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar. Matanya menatap lekat-lekat wajah istrinya, seolah mencari kepastian lebih dalam dari sekadar kata-kata.“Ka—kamu beneran hamil, sayang?” tanyanya dengan suara terbata, penuh harap dan ketidakpercayaan.Febby tersenyum hangat, lalu mengangguk dengan penuh keyakinan. “Iya, sayang. Kita akan punya anak lagi,” jawabnya lembut, seolah kata-katanya itu adalah musik indah yang meresap ke dalam hati Rangga.Seolah tak mampu menahan luapan rasa bahagianya, Rangga menarik tubuh Febby ke dalam pelukan. Air mata jatuh tanpa malu-malu dari kedua matanya, namun ia tak peduli. Dalam hatinya, ia terus-menerus bersyukur pada Tuhan atas anugerah ini. Ia mengusap wajah Febby dengan jemari lembutnya, lalu menghujani pipi, kening, dan bibir istrinya dengan ciuman bertubi-tubi.“Aku bahagia sekali, sayang. Aku benar-benar nggak menyangka kalau Tuhan memberi kita kepercayaan lagi,” ucap Ra
"Nabila!" panggil Rangga ketika ia sudah ada di lobi. Kebetulan, Nabila juga masih berada di sekitar lobi. Dengan cepat, Nabila mendekati Rangga."Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan."Harusnya sih, saya tidak perlu bicara seperti ini. Saya minta maaf sebelumnya kalau apa yang akan saya ucapkan ini menyinggung perasaanmu," ucap Rangga mengawali kalimatnya, membuat jantung Nabila berdebar semakin kencang."I-iya, Tuan. Ada apa?" tanya Nabila dengan suara lirih."Tolong jangan berharap apa pun lagi pada Arka, apalagi mengejarnya secara berlebihan. Dia bisa menjadi orang yang paling membencimu karena dia sangat tidak menyukai wanita agresif. Dan sekarang, Arka sudah memiliki calon istri, dan mereka akan segera menikah. Calon istrinya itu adalah kakak iparku sendiri. Jadi, jangan coba-coba untuk mengganggu hubungan mereka lagi. Kamu sudah pernah melewatkan kesempatan emas, di mana saat itu Arka benar-benar ingin mengulang kembali hubungan kalian yang pernah terputus," uca