Rossa dan Arka telah tiba di butik yang mewah. Rossa tampak semangat memilih gaun yang elegan, berharap dapat tampil memukau saat mendampingi Arka di acara reuni akbar teman-temannya. Arka tersenyum di sisinya, memberikan beberapa saran saat Rossa menunjuk beberapa gaun yang terpajang.“Gaun merah itu bagus untukmu, sayang,” ujar Arka sambil menunjuk gaun merah elegan dengan aksen renda di bagian leher.Rossa menatap gaun yang dimaksud, matanya berbinar. “Kamu yakin? Aku tidak ingin terlalu mencolok.”Arka mengangguk sambil tersenyum hangat. “Justru itu yang akan membuatmu terlihat istimewa,” ujarnya. “Aku ingin kamu tampil percaya diri saat bersamaku nanti.”Rossa tersenyum dan memegang tangan Arka erat. “Terima kasih, sayang. Aku tidak ingin mengecewakanmu.”Sementara itu, di sudut butik yang sama, Nabila, mantan kekasih Arka berada di sana bersama sahabatnya, Nana. Tatapan Nabila terpaku pada kemesraan Rossa dan Arka, membuat hatinya seakan teriris. Baginya, dulu Arka adalah soso
Arka memberhentikan mobilnya di depan rumah Rangga yang megah, lalu beralih menatap Rossa yang duduk di sampingnya. Lampu-lampu jalanan memantulkan cahaya lembut di wajah Rossa, membuatnya tampak semakin anggun dalam gaun merah elegan yang dipakainya malam itu. Mereka baru saja menghabiskan waktu bersama, dan meski malam sudah larut, Arka merasa enggan berpisah.“Aku aku pulang dulu ya,” ujar Arka pelan, masih menatap Rossa dengan lembut. Rossa tersenyum, sedikit menunduk menahan malu. “Iya sayang. Aku senang bisa bersamamu. Malam ini terasa sangat istimewa.”Arka mengangguk, lalu dengan perlahan mengulurkan tangan, meraih tangan Rossa dan menggenggamnya dengan penuh kehangatan. Mereka saling bertukar pandang, seolah dalam diam mengungkapkan semua perasaan yang belum sempat tersampaikan.“Semoga suatu hari nanti kita bisa menikmati lebih banyak waktu bersama seperti ini,” bisik Arka, suaranya hampir tak terdengar, tetapi sarat dengan ketulusan.Rossa menatapnya dengan lembut. “Aku j
Saat tiba di ruang kerja Rangga untuk menaruh berkas, Arka menghela napas berat."Apa-apaan coba sok perhatian tumben," gumamnya kaget bercampur kesal.Sejak ada Rossa di sisinya Arka sama sekali tak butuh wanita lain. Arka hanya ingin Rossa seorang. Arka menghela napas sekali lagi, lalu kembali ke meja kerjanya. Tak berselang lama Rangga tiba di lantai ruang kerjanya."Pagi Tuan," apa Nabila dan Arka kompak, sambil sedikit membungkuk memberi hormat."Pagi juga, Arka, Nabila," jawab Rangga terus masuk ke ruang kerjanya.Sepanjang pagi, Nabila tampak seperti sengaja mencari alasan untuk mendekati Arka. Ia bicara tentang laporan kecil yang sebenarnya bisa ia urus sendiri, menawarkan kopi hangat, dan bahkan sesekali melontarkan pujian terhadap cara Arka menangani pekerjaan. Setiap kali Nabila bicara, Arka berusaha tetap tenang dan sopan, meskipun tak bisa menyembunyikan perasaan risih yang perlahan-lahan merayapi hatinya.“Arka, kamu ingin kopi atau teh?” tanya Nabila tiba-tiba, sambil
"Nabila!" panggil Rangga ketika ia sudah ada di lobi. Kebetulan, Nabila juga masih berada di sekitar lobi. Dengan cepat, Nabila mendekati Rangga."Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan."Harusnya sih, saya tidak perlu bicara seperti ini. Saya minta maaf sebelumnya kalau apa yang akan saya ucapkan ini menyinggung perasaanmu," ucap Rangga mengawali kalimatnya, membuat jantung Nabila berdebar semakin kencang."I-iya, Tuan. Ada apa?" tanya Nabila dengan suara lirih."Tolong jangan berharap apa pun lagi pada Arka, apalagi mengejarnya secara berlebihan. Dia bisa menjadi orang yang paling membencimu karena dia sangat tidak menyukai wanita agresif. Dan sekarang, Arka sudah memiliki calon istri, dan mereka akan segera menikah. Calon istrinya itu adalah kakak iparku sendiri. Jadi, jangan coba-coba untuk mengganggu hubungan mereka lagi. Kamu sudah pernah melewatkan kesempatan emas, di mana saat itu Arka benar-benar ingin mengulang kembali hubungan kalian yang pernah terputus," uca
Rangga menatap Febby dengan perasaan yang tak menentu, dia nyaris tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar. Matanya menatap lekat-lekat wajah istrinya, seolah mencari kepastian lebih dalam dari sekadar kata-kata.“Ka—kamu beneran hamil, sayang?” tanyanya dengan suara terbata, penuh harap dan ketidakpercayaan.Febby tersenyum hangat, lalu mengangguk dengan penuh keyakinan. “Iya, sayang. Kita akan punya anak lagi,” jawabnya lembut, seolah kata-katanya itu adalah musik indah yang meresap ke dalam hati Rangga.Seolah tak mampu menahan luapan rasa bahagianya, Rangga menarik tubuh Febby ke dalam pelukan. Air mata jatuh tanpa malu-malu dari kedua matanya, namun ia tak peduli. Dalam hatinya, ia terus-menerus bersyukur pada Tuhan atas anugerah ini. Ia mengusap wajah Febby dengan jemari lembutnya, lalu menghujani pipi, kening, dan bibir istrinya dengan ciuman bertubi-tubi.“Aku bahagia sekali, sayang. Aku benar-benar nggak menyangka kalau Tuhan memberi kita kepercayaan lagi,” ucap Ra
“Febby! Apa-apaan ini? Bisa-bisanya kamu berbuat mesum dengan lelaki lain, dan beritamu viral!” Deg! Febby yang baru tiba, melotot saat melihat berita viral di sosial media yang sudah diunggah oleh salah satu akun yang tak dikenalnya. Ia tak menyangka insiden semalam tersebar begitu cepat. Bukan hanya wajah Febby dan anak magang itu yang terlihat, tapi juga kartu identitas mereka dan kartu karyawan di Sejahtera Group. “Ma-” Plak! Belum sempat menjelaskan, tamparan yang begitu kencang sudah mendarat di pipi sang anak tiri, hingga sudut bibirnya seketika mengeluarkan darah. "Dasar anak kurang ajar," maki wanita paruh baya itu. "Tapi, itu bukan seperti yang Mama duga. Rangga hanya membantuku dan berniat mengantarkanku pulang, namun kami terjebak dalam hujan lebat, hingga harus berteduh di gubuk kosong yang ada di sekitar sana." Febby menjelaskan dengan nada putus asa, mencoba meredam hujan prasangka yang berkecamuk di dalam hati Mama tirinya. "Sayangnya, kami tidak tahu kalau da
Tanpa memedulikan teriakan atau hinaan di belakang, Rangga membawa Febby. Ternyata, mereka menuju ke sebuah restoran yang tak jauh dari rumah Febby. Pria itu langsung memesan makanan untuk mereka berdua. Semua itu membuat Febby menghela napas. Terlalu banyak yang terjadi tak sampai 24 jam. Bahkan, ia mendadak mengingat kejadian tak menyenangkan itu. “Aku ingin menuntut akun itu, tak seharusnya mereka menyebarkan berita bohong. Jelas-jelas kita bukan pasangan mesum seperti yang mereka tuduhkan. Sekarang nama baik kita hancur.” Kepala Febby rasanya mau pecah. Terlebih, reputasinya pun terkena imbas. Dirinya yang sebelumnya dikenal sebagai wanita pendiam dan beretika, kini hancur berkeping-keping. Rangga yang duduk di hadapan Febby mengangguk. “Aku tahu ini berat, tapi alangkah baiknya yang perlu kita pikirkan bagaimana kita menjalani ini ke depannya. Meski rumit tapi ini merupakan fakta pahit yang harus kita terima . Kita tak bisa mempermainkan pernikahan begitu saja,” jelasnya
Srak! Rangga menarik kerah baju pria itu lalu menghimpitnya ke dinding, tangannya melayang di udara hendak melayangkan bogem mentah atas tuduhan tak berdasar itu. “Sekali lagi kamu bicara sembarangan, akan aku patahkan tulang lehermu!” seru Rangga lalu menghempas tubuh pria itu sampai tersungkur di lantai. Sementara itu di tempat berbeda, Febby baru saja membuka pintu rumah dan terkejut mendengar suara melengking sang mama tiri, "Kenapa kamu bawa banyak berkas pulang? Apa itu yang kamu pegang?" Febby menoleh ke sumber suara. Sang mama sedang duduk di ruang keluarga. "Berkas pribadi, Ma," jawab Febby sambil menggenggam tasnya lebih erat. Mayang, menghembuskan napas berat seolah mencoba menahan emosi. "Kamu mengundurkan diri dari kantor?" Febby mengangguk pelan, "Iya, Ma, seperti yang sebelumnya sudah Febby bilang, suami istri memang tidak diizinkan berada dalam satu tempat kerja yang sama." "Lalu, kenapa kamu yang harus keluar? Kenapa bukan laki-laki miskin itu?" Nada suara Mayan