"Arka, apakah kau merasa… mungkin istriku punya musuh?" tanya Rangga tiba-tiba. Suaranya pelan, namun nada khawatirnya jelas terasa. Rangga dan Arka sedang berbicara di dalam ruang kerja Rangga.Arka menatapnya sejenak, menimbang kata-kata yang akan ia ucapkan. Akhirnya, ia bicara dengan mantap, "Menurut saya pribadi, musuh itu tidak datang dari Ibu Febby. Musuh yang mengincar nyawanya… kemungkinan besar datang dari Anda, Tuan."Kening Rangga berkerut, kebingungan. "Maksudmu apa, Arka?" tanyanya sambil bersandar di kursi, mempersilakan Arka untuk duduk di seberangnya.Arka menarik napas sejenak, lalu menjelaskan, "Saya hanya menyimpulkan, Tuan. Orang yang ingin menyakiti Ny. Febby pasti memiliki alasan kuat. Dan alasan itu, menurut saya, bukan semata untuk menyakiti Ny. Febby, tetapi untuk menyakiti Anda secara mendalam. Dengan menyerang orang yang paling Anda cintai, musuh Anda tahu, luka yang mereka berikan akan lebih dari sekadar fisik. Itu akan mengoyak hati Anda."Rangga terdiam.
"Baiklah, Arka, lanjutkan pekerjaanmu," ujar Rangga dengan nada penuh wibawa, namun tampak ada kekhawatiran tersirat di matanya."Baik, Tuan. Kalau begitu, saya permisi dulu," jawab Arka dengan sopan, sebelum membungkuk sedikit dan berjalan keluar dari ruang kerja Rangga. Ia kembali ke meja kerjanya yang terletak persis di depan ruang kerja sang atasan.Begitu Arka keluar, Rangga mencoba kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya yang sempat tertunda. Namun, pikirannya terus terganggu oleh bayangan ancaman yang baru saja mereka bicarakan. Siapa yang mungkin berani menyakiti keluarganya? Siapa yang punya dendam begitu besar terhadapnya sampai-sampai mengincar nyawa istri dan anak-anaknya?Rangga mendesah panjang dan memejamkan mata sejenak. Dalam hati, ia bersumpah, Aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun yang berani mengusik kebahagiaan keluargaku, apalagi sampai menyakiti anak dan istriku.Meskipun ancaman itu masih membayangi pikirannya, ia mencoba menepisnya dan fokus pada pekerja
Setelah kejutan ulang tahun yang menyentuh hati, Rangga memandang keluarganya dan seluruh orang di rumah dengan penuh kasih sayang. Ia merasa begitu beruntung dikelilingi orang-orang yang tulus mendukung dan melindungi keluarganya, dari istri dan anak-anaknya hingga para pekerja dan pengawal setia. Hari itu terasa sangat spesial, dan Rangga ingin membagikan kebahagiaan ini dengan semuanya.Rangga memanggil Arka, asisten setianya, yang berdiri tak jauh darinya. “Arka, bisakah kamu memesankan makanan dari restoran terbaik di kota? Pastikan pesanannya cukup untuk semua orang di rumah. Malam ini kita akan makan bersama di sini, di rumah.”Arka mengangguk dengan senyum lebar. “Tentu, Tuan. Saya akan segera mengurus semuanya,” jawab Arka, penuh semangat. Ia segera beranjak untuk menelpon restoran langganan Rangga dan memastikan pesanan akan tiba secepat mungkin.Febby, yang berdiri di samping Rangga, menatap suaminya dengan penuh kebanggaan. “Sayang, kamu ingin berbagi kebahagiaan dengan s
Di ruang keluarga yang mewah itu, suara tawa Elio dan Elina mengisi ruangan. Mereka duduk di antara kedua orang tua mereka, Rangga dan Febby, dengan wajah ceria dan penuh rasa penasaran.“Mama, Papa,” panggil Elio dengan suara polosnya. “Kapan kita pulang kampung ke rumah nenek? Kami ingin tahu rasanya pulang kampung,” ujarnya, matanya berbinar menatap kedua orang tuanya.Rangga tersenyum, menyadari betapa besar rasa ingin tahu putranya tentang kampung halaman. “Nanti, kalau kalian sudah liburan, kita akan pulang kampung bersama-sama, Sayang,” jawab Rangga lembut sambil mengusap kepala Elio.“Yay, kita akan pulang kampung!” teriak Elio dengan semangat, wajahnya berseri-seri. “Mama, kapan kita liburan? Berapa lama kita di rumah nenek?” Elina ikut bertanya, penuh antusiasme sambil menggoyang-goyangkan tangan sang mama.Febby tersenyum lembut, menatap kedua buah hatinya dengan penuh kasih. “Liburannya masih lama, Sayang. Tapi kalau sudah dekat, Mama pasti kasih tahu. Kita akan habiskan
Rossa dan Arka telah tiba di butik yang mewah. Rossa tampak semangat memilih gaun yang elegan, berharap dapat tampil memukau saat mendampingi Arka di acara reuni akbar teman-temannya. Arka tersenyum di sisinya, memberikan beberapa saran saat Rossa menunjuk beberapa gaun yang terpajang.“Gaun merah itu bagus untukmu, sayang,” ujar Arka sambil menunjuk gaun merah elegan dengan aksen renda di bagian leher.Rossa menatap gaun yang dimaksud, matanya berbinar. “Kamu yakin? Aku tidak ingin terlalu mencolok.”Arka mengangguk sambil tersenyum hangat. “Justru itu yang akan membuatmu terlihat istimewa,” ujarnya. “Aku ingin kamu tampil percaya diri saat bersamaku nanti.”Rossa tersenyum dan memegang tangan Arka erat. “Terima kasih, sayang. Aku tidak ingin mengecewakanmu.”Sementara itu, di sudut butik yang sama, Nabila, mantan kekasih Arka berada di sana bersama sahabatnya, Nana. Tatapan Nabila terpaku pada kemesraan Rossa dan Arka, membuat hatinya seakan teriris. Baginya, dulu Arka adalah soso
Arka memberhentikan mobilnya di depan rumah Rangga yang megah, lalu beralih menatap Rossa yang duduk di sampingnya. Lampu-lampu jalanan memantulkan cahaya lembut di wajah Rossa, membuatnya tampak semakin anggun dalam gaun merah elegan yang dipakainya malam itu. Mereka baru saja menghabiskan waktu bersama, dan meski malam sudah larut, Arka merasa enggan berpisah.“Aku aku pulang dulu ya,” ujar Arka pelan, masih menatap Rossa dengan lembut. Rossa tersenyum, sedikit menunduk menahan malu. “Iya sayang. Aku senang bisa bersamamu. Malam ini terasa sangat istimewa.”Arka mengangguk, lalu dengan perlahan mengulurkan tangan, meraih tangan Rossa dan menggenggamnya dengan penuh kehangatan. Mereka saling bertukar pandang, seolah dalam diam mengungkapkan semua perasaan yang belum sempat tersampaikan.“Semoga suatu hari nanti kita bisa menikmati lebih banyak waktu bersama seperti ini,” bisik Arka, suaranya hampir tak terdengar, tetapi sarat dengan ketulusan.Rossa menatapnya dengan lembut. “Aku j
Saat tiba di ruang kerja Rangga untuk menaruh berkas, Arka menghela napas berat."Apa-apaan coba sok perhatian tumben," gumamnya kaget bercampur kesal.Sejak ada Rossa di sisinya Arka sama sekali tak butuh wanita lain. Arka hanya ingin Rossa seorang. Arka menghela napas sekali lagi, lalu kembali ke meja kerjanya. Tak berselang lama Rangga tiba di lantai ruang kerjanya."Pagi Tuan," apa Nabila dan Arka kompak, sambil sedikit membungkuk memberi hormat."Pagi juga, Arka, Nabila," jawab Rangga terus masuk ke ruang kerjanya.Sepanjang pagi, Nabila tampak seperti sengaja mencari alasan untuk mendekati Arka. Ia bicara tentang laporan kecil yang sebenarnya bisa ia urus sendiri, menawarkan kopi hangat, dan bahkan sesekali melontarkan pujian terhadap cara Arka menangani pekerjaan. Setiap kali Nabila bicara, Arka berusaha tetap tenang dan sopan, meskipun tak bisa menyembunyikan perasaan risih yang perlahan-lahan merayapi hatinya.“Arka, kamu ingin kopi atau teh?” tanya Nabila tiba-tiba, sambil
"Nabila!" panggil Rangga ketika ia sudah ada di lobi. Kebetulan, Nabila juga masih berada di sekitar lobi. Dengan cepat, Nabila mendekati Rangga."Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan."Harusnya sih, saya tidak perlu bicara seperti ini. Saya minta maaf sebelumnya kalau apa yang akan saya ucapkan ini menyinggung perasaanmu," ucap Rangga mengawali kalimatnya, membuat jantung Nabila berdebar semakin kencang."I-iya, Tuan. Ada apa?" tanya Nabila dengan suara lirih."Tolong jangan berharap apa pun lagi pada Arka, apalagi mengejarnya secara berlebihan. Dia bisa menjadi orang yang paling membencimu karena dia sangat tidak menyukai wanita agresif. Dan sekarang, Arka sudah memiliki calon istri, dan mereka akan segera menikah. Calon istrinya itu adalah kakak iparku sendiri. Jadi, jangan coba-coba untuk mengganggu hubungan mereka lagi. Kamu sudah pernah melewatkan kesempatan emas, di mana saat itu Arka benar-benar ingin mengulang kembali hubungan kalian yang pernah terputus," uca