"Fianna!"
Suara seseorang menggema di ruangan itu, membuat semua mata sejenak beralih pada seseorang yang baru saja datang dengan segenggam kertas di tangannya. Seorang pria dengan kemeja biru pastel yang dipadukan dengan vest putih rapi dan celana hitam datang mendekat ke arah Fianna yang masih bergeming pada posisinya, tidak mendengar panggilan itu karena terlalu fokus pada pekerjaan. Ditepuknya pundak sang wanita pelan, membuat Fianna sedikit terlonjak dan menoleh dengan cepat. Headphone buru-buru ia lepaskan dan antensinya kini berpindah pada pria yang tengah menatapnya. "Ada apa, Pak Aryan?" tanya Fianna setelah ia menguasai diri. Aryan Aiden Mikhael, Manajer Pemasaran itu tersenyum maklum. "Dipanggil Pak Abian ke ruangannya sekarang," Kedua alis Fianna bertaut tak mengerti. "Pak Abian?" Raut wajah Fianna berubah menjadi cemas saat Aryan mengangguk mengiyakan. Hari yang awalnya dipenuhi oleh bunga-bunga bermekaran kini seolah berubah menjadi hari yang kelam dan dipenuhi oleh awan hitam. Dalam hati, Fianna mempertanyakan ada apakah gerangan Abian, Manajer Keuangan yang baru itu memanggil dirinya. Aryan melipat kedua tangannya di depan dada. "Jangan buat Pak Abian menunggu, ya, Fianna. Kalau beliau marah, kita yang bakalan dipersulit." Sebuah senyum karir yang kelewat lebar muncul di wajah Fianna, sontak ia lantas berdiri seraya mengangguk. Sebuah jempol kini terangkat pada Ryan yang tengah intens menatapnya. "Siap, Pak Aryan. Terima kasih untuk informasinya." Senyuman Ryan semakin lebar tanpa bisa ia cegah, membuat sepasang dimple yang tersembunyi kini menampakkan wujudnya. Tanpa kata, langkahnya kini berputar dan melangkah menuju meja lain di mana anggota divisi pemasaran tengah membentuk lingkaran untuk mendiskusikan sesuatu. "Ke mana?" tanya seorang pria yang kini menatap Fianna dengan tatapan bingung. Tirta Juanda namanya, rekan yang Fianna miliki di Divisi Kreatif. Sosoknya yang memang selalu terlihat lesu dan lemas itu terlihat kacau dibandingkan hari-hari sebelumnya. Kantung mata di bawah kedua matanya terlihat jelas dengan rambut berantakan karena sedari pagi, selain melakukan editing, Tirta terus saja mengacak rambutnya sebagai bentuk pelampiasan rasa frustrasi yang hadir karena deadline yang dikerjakan. "Dipanggil Pak Abian," jawab Fianna sembari berjalan berlalu. Ruangan Divisi Keuangan tepat berada di samping ruangan Divisi Pemasaran di mana Fianna bekerja, hanya terpisah lorong dan tangga, namun terasa seperti menyebrang ke alam lain. Divisi yang dipimpin oleh seseorang bernama Abian Aidan Mikhail, si beruang kutub dengan tempramen buruk itu senantiasa sunyi dan sepi, membuat Fianna sedikitnya merasa takut. Pikirannya kini menerka kesalahan apa atau hal apa yang membuatnya dipanggil oleh Abian. "Kak Soraya, Pak Abian, ada?" tanya Fianna pada seorang wanita pada saat ia sampai di ruangan keuangan. Soraya Anasthasia, salah satu anggota Divisi Keuangan itu mendongak. Jemari lentiknya bergerak untuk membetulkan letak kacamata yang melorot sembari menatap dalam diam sosok Fianna yang tengah tersenyum canggung. "Ada," jawab Soraya singkat lalu dengan segera ia berdiri dan memimpin Fianna untuk menuju ruangan bertuliskan 'Manager's Room' itu. "Sekedar info, mood Pak Abian lagi gak bagus, jadi hati-hati," bisik Soraya pada Fianna sebelum tangannya mengetuk pintu ruangan dengan hati-hati. Tatapan Fianna memincing dalam diam dan menghakimi ucapan yang baru saja terlontar. Abian, pria itu, memangnya kapan memiliki suasana hati yang bagus?! Bahkan semenjak kedatangannya ke perusahaan dua hari lalu, mood pria itu selalu buruk. "Masuk." Soraya membukakan pintu saat suara dari dalam ruangan terdengar dan mempersilahkan Fianna untuk masuk. Dan saat kakinya sudah menapaki ruangan dari Abian, tanpa diduga, Soraya kembali menutup pintu ruangan tanpa berniat menemani sejenak Fianna yang kini tengah menatap bingung ke arah pintu. KACAUUU! ucap Fianna dalam hati. Batinnya kini mencoba untuk menguatkan diri. "Mau sampai kapan kamu di sana?" Suara yang terdengar berat itu menyadarkan Fianna pada kenyataan. Dengan sigap, ia berdehem dan berjalan mendekat pada Abian yang kini tengah duduk di kursi kebesarannya. Sepasang mata itu menatap tajam gerak-gerik Fianna dengan alis tebal yang senantiasa menukik seperti Angry Bird. “Duduk,” ucapnya dengan dingin. Situasi ini jauh lebih menyeramkan dibandingkan saat Fianna bertemu hantu di parkiran saat sehabis lembur tempo hari. Dan dengan keberanian yang ada, Fianna tersenyum dan mengangguk kecil lalu duduk tepat di hadapan Abian. “Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Abian mengeluarkan sebuah buku keuangan tahunan dan menatap Fianna dengan sorot mata tajam. "Desain buku keuangan tahunan ini perlu diubah. Saya ingin sesuatu yang lebih elegan dan profesional. Saya ingin kamu desain buku ini dengan anggaran yang sudah saya sesuaikan dan hasilnya harus ada di atas meja saya besok pagi." Selembar kertas tersodor di hadapan Fianna dan terdapat nominal anggaran yang diajukan untuk projek desain yang Abian inginkan. Fianna terdiam sejenak dan kedua matanya berkedip beberapa kali sebelum akhirnya bisa menguasai diri. “Maaf, Pak Abian, untuk hasilnya besok sepertinya akan sedikit sulit karena estimasi percetakan paling cepat itu biasanya 2 hari, dan untuk anggaran, ini jauh di bawah harga pasar, nomimal ini biasanya untuk buku ukuran kecil dan pengerjaannya reguler, sekitar 7 hari kerja,” jelas Fianna. Abian mengerutkan alisnya. "Fianna, saya tidak peduli dengan masalah percetakan. Saya butuh hasilnya besok pagi dengan harga itu. Kamu mengerti?" Ah, sial. Ini adalah hal yang paling Fianna hindari, berhadapan langsung dengan Abian dan tingkah menyebalkannya seperti dalam rumor yang beredar. Fianna menghela napas diam-diam dan mencoba untuk tetap tenang di tengah gempuran badai yang Abian lakukan. "Saya mengerti, tapi yang saya tidak mengerti adalah permintaan Pak Abian yang tidak masuk akal. Dengan anggaran yang Pak Abian siapkan itu tidak bisa. Jika Pak Abian mau besok pagi hasilnya sudah ada, anggarannya lebih besar dari ini," “Anggaran lebih besar?” tanya Abian dengan nada yang mulai meninggi. “Kamu meminta anggaran lebih besar untuk bisa kamu manfaatkan sisanya, bukan?” “Jangan salah paham, Pak Abian,” jawab Fianna yang tengah menahan emosi setelah dituduh hal yang tidak-tidak. “Jika Pak Abian ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat, maka harus ada anggaran yang sesuai, saay bicara berdasarkan harga rata-rata di setiap percetakan yang sudah pernah saya datangi.” "Jangan buat saya marah, Fianna," potong Abian dengan cepat. Wajahnya tampak mengeras karena kekesalan yang memuncak. “Lakukan saja yang saya katakan, saya tidak butuh alasan.” Fianna menatap balik, mencoba menahan diri saat kekesalannya sudah ada di ambang batas. "Tapi, Pak-" “Saya tidak mau tahu, desainnya saya tunggu sore ini. Minimal 3 desain yang kamu ajukan nanti,” "Tidak bisa begitu dong, Pak!" jawab Fianna dengan tegas. “Anggarannya tidak cukup!” Fianna bisa mendengar helaan napas Abian dengan jelas. Pria itu melangkah mendekatinya, matanya menajam menatapnya. Fianna tercekat. “K-Kenapa, Pak?” “Kamu…” Abian membungkukkan badannya hingga wajahnya sejajar dengan Fianna. “Ingin korupsi?” “A-Apa?” “Anggaran yang saya berikan harusnya cukup. Jangan-jangan, justru kamu yang memiliki motif lain untuk menggunakan uang perusahaan!” tuduh Abian. Fianna kesal dituduh seperti itu. Namun, terpaan napas Abian di hadapannya sangat menggoda. Wangi mint dan citrus membuatnya ingin tetap bungkam dan melupakan kekesalannya. “Benar, ya? Kamu punya motif lain? Atau justru, kamu ingin berlama-lama dengan saya di sini sehingga kamu mendebat saya terus-menerus?” Sayangnya, kali ini Fianna naik pitam. Tak disangkanya kalau lelaki di hadapannya ini kelewat narsis. Fianna tak tahan lagi. “Saya permisi, Pak!” Tak ingin terus berada di sana, dengan cepat Fianna keluar ruangan. Ia menutup pintu dan mengacungkan dua jari tengahnya pada daun pintu yang tertutup. Seluruh mata di ruangan menatap Fianna terkejut namun Fianna tak memperdulikan hal itu. Dengan langkah cepat ia kini berjalan untuk kembali ke ruangannya dan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda dibandingkan harus menghadapi Abian. "Fianna!" Baru saja Fianna duduk di kursinya, Soraya datang menghampiri dengan langkah yang terbilang cepat. Kedatangan Soraya tentu saja membuat anggota tim pemasaran bingung. Alis Fianna berkerut bingung. "Kenapa Kak Soraya?" "Kamu dipanggil lagi ke ruangan Pak Abian, sekarang," ucap Soraya dengan terengah dan ada penekanan di akhir kalimat yang ia ucapkan. Astaga, ada apalagi ini?!Fianna berjalan kembali menuju ruangan Abian, hatinya berdebar-debar dan mulai mempertanyakan apakah Abian melihatnya mengacungkan jari tengah atau tidak saat tadi ia menutup pintu. Perasaan khawatir, cemas dan takut pun kini bercampur menjadi satu dan menghantui setiap langkahnya.Saat sudah tiba di depan ruangan Abian, Fianna lantas mengetuk pintu dan masuk, "Pak Abian, ada yang bisa saya bantu lagi?" tanyanya dengan sopan, berbeda dengan tingkahnya tadi. Abian mendongak. "Kerjakan di ruangan saya. Bawa semua peralatan kamu ke sini," kata Abian dengan suara datar. “Kursi, laptop, dan lainnya.”“Ya. Pak?” tanya Fianna memastikan pendengarannya. “Saya?”“Jika telinga kamu tidak berfungsi, jual saja. Jangan hanya jadi pajangan.”Fianna menghela napas kecil. "Baik, Pak Abian," jawabnya pelan.Fianna dengan langkah lesu kembali ke mejanya. Kini, dia mulai membereskan peralatan miliknya. Tirta dan anggota Divisi Pemasaran yang lain pun memperhatikan Fianna dengan penasaran. “Mau ke mana
“Akhirnya...”Fianna menyimpan buku keuangan tahunan yang sudah diubah covernya itu di atas meja lengkap dengan nota pembuatan di atasnya. Ruangan Abian kini tampak lenggang karena sang penghuni ruangan sepertinya sudah pulang. Tak ingin membuang waktu lebih lama, Fianna dengan segera membereskan barang-barangnya dan berjalan menuju parkiran, di mana kendaraannya terparkir. Raut wajahnya terlihat lelah, setelah seharian berkelahi dengan pekerjaan dadakan yang diberikan oleh Abian, yang membuatnya tertahan di kantor dalam beberapa jam.“Sepi banget,” keluhnya ngeri saat kondisi parkian sudah gelap dan sepi, mengingatkannya pada kejadian tempo hari saat ia melihat hantu.Tidak ingin kejadian serupa terulang, Fianna segera bersiap untuk mengemudikan motornya dan meninggalkan parkiran kantor. Suasana jalanan yang sedikit lenggang dimanfaatkan Fianna untuk bisa menenangkan dirinya dan bernafas lega, sedikitnya menikmati perjalanan pulang yang seolah meringankan beban di pundaknya.Di teng
Langkah Fianna terpacu pelan memasuki bagian dalam rumah Abian. Tetesan air dari bajunya kini membasahi lantai dan membuatnya tidak bisa melangkah lebih jauh. Ia lantas kembali mundur dan mencari keset yang bisa mengeringkan kakinya.Tak berselang lama, Abian kembali dengan handuk dan sepasang pakaian. “Kamu masuk aja, ngapain di sana?” tanyanya heran saat Fianna masih berdiri di ambang pintu. “Masuk sendiri atau mau saya bawa ke sini?”“Basah, Pak,” jawab Fianna.“Masuk aja dulu. Nanti bisa saya lap.” titah Abian. Tangannya kini menyerahkan handuk. “Pakai handuk dulu. Ganti juga pakaian kamu, dari sini lurus belok kiri, ada kamar mandi.”“Iya, terima kasih, Pak,” jawab Fianna yang menerima pemberian Abian itu dan dengan langkah seribu memasuki dalam rumah Abian.Setelah selesai mengganti pakaiannya, Fiana keluar dari kamar mandi dan berjalan dengan bingung menelusuri rumah Abian. Rasanya canggung dan juga tidak nyaman, terlebih sangat mengingat jikalau ini adalah rumah Abian, si Mana
Kejadian begitu saja terjadi tanpa bisa Fianna cerna terlebih dahulu. Kini, Fianna hanya bisa memandang kosong langit-langit kamar Abian dengan tatapan menerawang dan merenungi nasib buruk yang baru saja ia alami. Sangat amat menyesali mengapa ia harus menerima ajakan Abian untuk berteduh jika akan begini jadinya. "Arghhh!" Fianna menjambak rambutnya lalu berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang empuk berukuran besar itu membuat sprei yang mulanya rapih kini menjadi sedikit berantakan. Diraihnya ponsel yang sempat menganggur dan matanya menatap sebal ke arah potret dirinya dan Abian yang berdiri di atas pelaminan tadi siang dengan keluarga masing-masing. Jemari Fianna menggulirkan foto ke samping, dan lagi-lagi potret dirinya dan Abian yang sedang menunjukkan buku pernikahan. Fianna memperbesar foto itu dan memperhatikan raut wajah Abian yang tampak tersenyum lebar, berbeda dengan dirinya yang terlihat seperti senyuman karir. Astaga, dosa apa yang ia perbuat sampai-sampai h
Pagi itu, Fianna duduk di meja makan dengan dagu bertumpu pada kedua tangannya, menatap ke arah dapur dengan tatapan bosan. Aroma harum masakan mulai memenuhi ruangan, tapi Abian masih sibuk dengan kegiatan memasaknya. . Pemandangan ini rasanya seperti deja vu bagi Fianna, pemandangan punggung Abian yang membelakanginya karena sibuk memasak. "Masih lama, Pak Abian?" Fianna berseru dengan nada mengeluh bosan, di tangannya kini sudah ada selembar kertas dan pena. "Kita kan perlu ngobrol serius nihhh, cepetan," Abian, yang tengah fokus menyiapkan sarapan, melirik sekilas ke arah Fianna. "Sabar," Fianna mendesah pelan, matanya berputar malas. "Ini ketiga kalinya, Pak Abian ngomong hal yang sama," "Kamu kalau berisik saya kasih makan sawi rebus ya," ancam Abian yang mampu membungkam sepenuhnya mulut Fianna. Hal yang paling ditakutkan Fianna adalah memakan sayuran yang dimasak Abian. Fianna menidurkan kepalanya ke atas meja dengan lesu, merasa bosan duduk saja tanpa bisa melakukan
Kantor geger saat sebuah postingan di media sosial milik Abian membuat semua karyawan gempar. Sebuah foto pernikahan, menampilkan Abian berdiri di samping seorang wanita misterius dengan latar belakang pelaminan yang elegan. Para karyawan langsung heboh, memperdebatkan siapa gerangan wanita yang berhasil merebut hati bos baru yang selama ini dikenal galak dan tak tersentuh. Beberapa bahkan langsung menggosipkan apakah wanita itu mungkin seorang selebriti atau putri dari keluarga kaya yang menikah diam-diam. "Aduhhh," Fianna mengaduh kesal dan mengusap wajahnya saat postingan itu tidak dibicarakan dahulu dengannya. "Dasar," gumamnya yang kini mencoba untuk tetap tenang. Fianna menatap postingan Abian itu dengan jantung yang berdegup kencang, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Jemarinya kini memainkan pena di atas buku catatan, tetapi pikirannya melayang jauh. "Tumben?" tanya Tirta yang baru saja datang dengan segelaa kopi di tangan. "Gak nimbrung? Bi
Fianna menghela napas panjang begitu ia keluar dari ruangan Abian. Rasanya seperti beban berat yang akhirnya terangkat dari pundaknya setelah berhadapan dengan si beruang pemarah itu — ya, walaupun setelah menangis tadi, Abian sedikit melunak padanya perihal pekerjaan yang terbengkalai. Dia lantas berjalan dengan langkah cepat menuju kantin, tempat biasanya dia dan teman-temannya berkumpul untuk sekadar mengobrol atau melepaskan penat setelah bekerja. Sesampainya di kantin, Fianna melihat Tirta, Andrew, Dina, dan Zidan sudah duduk di salah satu meja di sudut ruangan. Mereka tertawa-tawa, jelas tengah menikmati waktu istirahat mereka — astaga, terlihat bahagia sekali mereka. Begitu melihat Fianna, Tirta melambai-lambaikan tangan dengan semangat. “Fi! Sini, cepat ke sini!” seru Tirta dengan senyum lebar. Fianna membalas senyuman itu, merasa lega bisa kembali ke suasana yang lebih nyaman dan akrab. Dia melangkah cepat menuju meja mereka dan segera duduk di antara Dina dan Zidan. “Gim
"Ayo lahhhh," Tirta mulai merengek dan langkahnya terus mengikuti kemanapun Fianna melangkah.Fianna menyimpan gelasnya dengan kesal dan memutar matanya. "Kan aku udah jujur, aku gak tau ya siapa istri Pak Abian,""Bohong," bantah Tirta tak percaya. "Kamu kan deket banget sama Pak Aryan,"Fianna menatap kopi yang mengalir perlahan dari mesin memilih untuk mengabaikan sepenuhnya Tirta yang semakin merengek. Kepalanya terasa berat, seolah semua informasi dan ketegangan yang terjadi di kantor hari ini membanjiri pikirannya tanpa henti. Ditambah sekarang masalah hidupnya bertambah setelah menjadi istri Abian. “Buset,” Tirta tiba-tiba berseru keras dan wajahnya berubah menjadi cemas. “Aku lupa harus laporan ke Pak Aryan, ah gara-gara kamu sih.” “Ya udah, sana, nanti Pak Aryan malah ngomel,” titah Fianna mengusir. “Duluan ya,” pamit Tirta yang kini berjalan tergesa meninggalkan pantry. Fianna mengaduk kopinya perlahan, menikmati momen sejenak dalam kesunyian. Akhirnya Tirta pergi juga d
"Ayo lahhhh," Tirta mulai merengek dan langkahnya terus mengikuti kemanapun Fianna melangkah.Fianna menyimpan gelasnya dengan kesal dan memutar matanya. "Kan aku udah jujur, aku gak tau ya siapa istri Pak Abian,""Bohong," bantah Tirta tak percaya. "Kamu kan deket banget sama Pak Aryan,"Fianna menatap kopi yang mengalir perlahan dari mesin memilih untuk mengabaikan sepenuhnya Tirta yang semakin merengek. Kepalanya terasa berat, seolah semua informasi dan ketegangan yang terjadi di kantor hari ini membanjiri pikirannya tanpa henti. Ditambah sekarang masalah hidupnya bertambah setelah menjadi istri Abian. “Buset,” Tirta tiba-tiba berseru keras dan wajahnya berubah menjadi cemas. “Aku lupa harus laporan ke Pak Aryan, ah gara-gara kamu sih.” “Ya udah, sana, nanti Pak Aryan malah ngomel,” titah Fianna mengusir. “Duluan ya,” pamit Tirta yang kini berjalan tergesa meninggalkan pantry. Fianna mengaduk kopinya perlahan, menikmati momen sejenak dalam kesunyian. Akhirnya Tirta pergi juga d
Fianna menghela napas panjang begitu ia keluar dari ruangan Abian. Rasanya seperti beban berat yang akhirnya terangkat dari pundaknya setelah berhadapan dengan si beruang pemarah itu — ya, walaupun setelah menangis tadi, Abian sedikit melunak padanya perihal pekerjaan yang terbengkalai. Dia lantas berjalan dengan langkah cepat menuju kantin, tempat biasanya dia dan teman-temannya berkumpul untuk sekadar mengobrol atau melepaskan penat setelah bekerja. Sesampainya di kantin, Fianna melihat Tirta, Andrew, Dina, dan Zidan sudah duduk di salah satu meja di sudut ruangan. Mereka tertawa-tawa, jelas tengah menikmati waktu istirahat mereka — astaga, terlihat bahagia sekali mereka. Begitu melihat Fianna, Tirta melambai-lambaikan tangan dengan semangat. “Fi! Sini, cepat ke sini!” seru Tirta dengan senyum lebar. Fianna membalas senyuman itu, merasa lega bisa kembali ke suasana yang lebih nyaman dan akrab. Dia melangkah cepat menuju meja mereka dan segera duduk di antara Dina dan Zidan. “Gim
Kantor geger saat sebuah postingan di media sosial milik Abian membuat semua karyawan gempar. Sebuah foto pernikahan, menampilkan Abian berdiri di samping seorang wanita misterius dengan latar belakang pelaminan yang elegan. Para karyawan langsung heboh, memperdebatkan siapa gerangan wanita yang berhasil merebut hati bos baru yang selama ini dikenal galak dan tak tersentuh. Beberapa bahkan langsung menggosipkan apakah wanita itu mungkin seorang selebriti atau putri dari keluarga kaya yang menikah diam-diam. "Aduhhh," Fianna mengaduh kesal dan mengusap wajahnya saat postingan itu tidak dibicarakan dahulu dengannya. "Dasar," gumamnya yang kini mencoba untuk tetap tenang. Fianna menatap postingan Abian itu dengan jantung yang berdegup kencang, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Jemarinya kini memainkan pena di atas buku catatan, tetapi pikirannya melayang jauh. "Tumben?" tanya Tirta yang baru saja datang dengan segelaa kopi di tangan. "Gak nimbrung? Bi
Pagi itu, Fianna duduk di meja makan dengan dagu bertumpu pada kedua tangannya, menatap ke arah dapur dengan tatapan bosan. Aroma harum masakan mulai memenuhi ruangan, tapi Abian masih sibuk dengan kegiatan memasaknya. . Pemandangan ini rasanya seperti deja vu bagi Fianna, pemandangan punggung Abian yang membelakanginya karena sibuk memasak. "Masih lama, Pak Abian?" Fianna berseru dengan nada mengeluh bosan, di tangannya kini sudah ada selembar kertas dan pena. "Kita kan perlu ngobrol serius nihhh, cepetan," Abian, yang tengah fokus menyiapkan sarapan, melirik sekilas ke arah Fianna. "Sabar," Fianna mendesah pelan, matanya berputar malas. "Ini ketiga kalinya, Pak Abian ngomong hal yang sama," "Kamu kalau berisik saya kasih makan sawi rebus ya," ancam Abian yang mampu membungkam sepenuhnya mulut Fianna. Hal yang paling ditakutkan Fianna adalah memakan sayuran yang dimasak Abian. Fianna menidurkan kepalanya ke atas meja dengan lesu, merasa bosan duduk saja tanpa bisa melakukan
Kejadian begitu saja terjadi tanpa bisa Fianna cerna terlebih dahulu. Kini, Fianna hanya bisa memandang kosong langit-langit kamar Abian dengan tatapan menerawang dan merenungi nasib buruk yang baru saja ia alami. Sangat amat menyesali mengapa ia harus menerima ajakan Abian untuk berteduh jika akan begini jadinya. "Arghhh!" Fianna menjambak rambutnya lalu berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang empuk berukuran besar itu membuat sprei yang mulanya rapih kini menjadi sedikit berantakan. Diraihnya ponsel yang sempat menganggur dan matanya menatap sebal ke arah potret dirinya dan Abian yang berdiri di atas pelaminan tadi siang dengan keluarga masing-masing. Jemari Fianna menggulirkan foto ke samping, dan lagi-lagi potret dirinya dan Abian yang sedang menunjukkan buku pernikahan. Fianna memperbesar foto itu dan memperhatikan raut wajah Abian yang tampak tersenyum lebar, berbeda dengan dirinya yang terlihat seperti senyuman karir. Astaga, dosa apa yang ia perbuat sampai-sampai h
Langkah Fianna terpacu pelan memasuki bagian dalam rumah Abian. Tetesan air dari bajunya kini membasahi lantai dan membuatnya tidak bisa melangkah lebih jauh. Ia lantas kembali mundur dan mencari keset yang bisa mengeringkan kakinya.Tak berselang lama, Abian kembali dengan handuk dan sepasang pakaian. “Kamu masuk aja, ngapain di sana?” tanyanya heran saat Fianna masih berdiri di ambang pintu. “Masuk sendiri atau mau saya bawa ke sini?”“Basah, Pak,” jawab Fianna.“Masuk aja dulu. Nanti bisa saya lap.” titah Abian. Tangannya kini menyerahkan handuk. “Pakai handuk dulu. Ganti juga pakaian kamu, dari sini lurus belok kiri, ada kamar mandi.”“Iya, terima kasih, Pak,” jawab Fianna yang menerima pemberian Abian itu dan dengan langkah seribu memasuki dalam rumah Abian.Setelah selesai mengganti pakaiannya, Fiana keluar dari kamar mandi dan berjalan dengan bingung menelusuri rumah Abian. Rasanya canggung dan juga tidak nyaman, terlebih sangat mengingat jikalau ini adalah rumah Abian, si Mana
“Akhirnya...”Fianna menyimpan buku keuangan tahunan yang sudah diubah covernya itu di atas meja lengkap dengan nota pembuatan di atasnya. Ruangan Abian kini tampak lenggang karena sang penghuni ruangan sepertinya sudah pulang. Tak ingin membuang waktu lebih lama, Fianna dengan segera membereskan barang-barangnya dan berjalan menuju parkiran, di mana kendaraannya terparkir. Raut wajahnya terlihat lelah, setelah seharian berkelahi dengan pekerjaan dadakan yang diberikan oleh Abian, yang membuatnya tertahan di kantor dalam beberapa jam.“Sepi banget,” keluhnya ngeri saat kondisi parkian sudah gelap dan sepi, mengingatkannya pada kejadian tempo hari saat ia melihat hantu.Tidak ingin kejadian serupa terulang, Fianna segera bersiap untuk mengemudikan motornya dan meninggalkan parkiran kantor. Suasana jalanan yang sedikit lenggang dimanfaatkan Fianna untuk bisa menenangkan dirinya dan bernafas lega, sedikitnya menikmati perjalanan pulang yang seolah meringankan beban di pundaknya.Di teng
Fianna berjalan kembali menuju ruangan Abian, hatinya berdebar-debar dan mulai mempertanyakan apakah Abian melihatnya mengacungkan jari tengah atau tidak saat tadi ia menutup pintu. Perasaan khawatir, cemas dan takut pun kini bercampur menjadi satu dan menghantui setiap langkahnya.Saat sudah tiba di depan ruangan Abian, Fianna lantas mengetuk pintu dan masuk, "Pak Abian, ada yang bisa saya bantu lagi?" tanyanya dengan sopan, berbeda dengan tingkahnya tadi. Abian mendongak. "Kerjakan di ruangan saya. Bawa semua peralatan kamu ke sini," kata Abian dengan suara datar. “Kursi, laptop, dan lainnya.”“Ya. Pak?” tanya Fianna memastikan pendengarannya. “Saya?”“Jika telinga kamu tidak berfungsi, jual saja. Jangan hanya jadi pajangan.”Fianna menghela napas kecil. "Baik, Pak Abian," jawabnya pelan.Fianna dengan langkah lesu kembali ke mejanya. Kini, dia mulai membereskan peralatan miliknya. Tirta dan anggota Divisi Pemasaran yang lain pun memperhatikan Fianna dengan penasaran. “Mau ke mana
"Fianna!"Suara seseorang menggema di ruangan itu, membuat semua mata sejenak beralih pada seseorang yang baru saja datang dengan segenggam kertas di tangannya. Seorang pria dengan kemeja biru pastel yang dipadukan dengan vest putih rapi dan celana hitam datang mendekat ke arah Fianna yang masih bergeming pada posisinya, tidak mendengar panggilan itu karena terlalu fokus pada pekerjaan.Ditepuknya pundak sang wanita pelan, membuat Fianna sedikit terlonjak dan menoleh dengan cepat. Headphone buru-buru ia lepaskan dan antensinya kini berpindah pada pria yang tengah menatapnya. "Ada apa, Pak Aryan?" tanya Fianna setelah ia menguasai diri. Aryan Aiden Mikhael, Manajer Pemasaran itu tersenyum maklum. "Dipanggil Pak Abian ke ruangannya sekarang,"Kedua alis Fianna bertaut tak mengerti. "Pak Abian?"Raut wajah Fianna berubah menjadi cemas saat Aryan mengangguk mengiyakan. Hari yang awalnya dipenuhi oleh bunga-bunga bermekaran kini seolah berubah menjadi hari yang kelam dan dipenuhi oleh aw