Share

Bab 3

“Akhirnya...”

Fianna menyimpan buku keuangan tahunan yang sudah diubah covernya itu di atas meja lengkap dengan nota pembuatan di atasnya. Ruangan Abian kini tampak lenggang karena sang penghuni ruangan sepertinya sudah pulang.

Tak ingin membuang waktu lebih lama, Fianna dengan segera membereskan barang-barangnya dan berjalan menuju parkiran, di mana kendaraannya terparkir. Raut wajahnya terlihat lelah, setelah seharian berkelahi dengan pekerjaan dadakan yang diberikan oleh Abian, yang membuatnya tertahan di kantor dalam beberapa jam.

“Sepi banget,” keluhnya ngeri saat kondisi parkian sudah gelap dan sepi, mengingatkannya pada kejadian tempo hari saat ia melihat hantu.

Tidak ingin kejadian serupa terulang, Fianna segera bersiap untuk mengemudikan motornya dan meninggalkan parkiran kantor. Suasana jalanan yang sedikit lenggang dimanfaatkan Fianna untuk bisa menenangkan dirinya dan bernafas lega, sedikitnya menikmati perjalanan pulang yang seolah meringankan beban di pundaknya.

Di tengah acara menikmati hidup, Fianna sedikit dikejutkan saat melihat adanya mobil terparkir di pinggir jalan dengan kap mobil yang terbuka. Matanya menyipit untuk memfokuskan penglihatannya saat seseorang dengan kemeja putih dan celana kain hitam terlihat berjalan mondar-mandir di sekitar mobil.

Orang itu tampak tidak asing baginya, karena aura beruang pemarah begitu menguar kuat dari tubuh pria itu. “Eh, Pak Abian bukan, ya?”

Fianna melambatkan laju motornya dan memilih menepi di samping mobil. Kaca helmnya ia buka dan kini sosok orang itu terlihat jelas oleh matanya.  "Pak Abian?"

Abian mendongak saat namanya dipanggil namun langsung membuang pandangan dan fokus pada kap mobilnya.

"Mobilnya kenapa, Pak?" tanya Fianna berbasa-basi.

"Mogok," jawab Abian singkat, seolah tidak berkenan menjelaskan dengan rinci apa masalah yang ia hadapi.

Membuang pandangannya dengan canggung, Fianna merutuki dirinya dalam hati saat ia malah terlihat seperti orang penuh basa-basi, menyesal juga harus berhenti dan menyapa Abian, padahal jika tadi dia terus berjalan, Abian tidak akan menyadarinya. Kini otaknya mulai berpikir bagaimana caranya keluar dari situasi yang mendadak canggung ini.

"Kalau gitu, saya duluan, ya, Pak Abian." ucap Fianna yang kembali menghidupkan mesin motornya. "Selamat malam, Pak Abian."

Belum sempat Fianna meninggalkan lokasi, belakang motornya ditahan oleh Abian, yang lantas membuatnya kesulitan untuk maju.

Fianna menoleh ke belakang, "Kenapa, Pak?"

"Saya nebeng, tolong anter saya pulang," pinta Abian sedikit memelas.

Melihat itu, Fianna ingin tertawa puas. Namun ia berusaha untuk tidak menunjukkan emosi apapun yang bisa membuat Abian tersinggung dan menyulitkannya nanti.

"Saya gak bisa bonceng, Pak," tolak Fianna dengan halus. Sedikitnya masih tersimpan dendam karena Abian sering menyulitkan pekerjaannya di kantor.

"Saya yang bawa,"

Kedua mata Fianna menyipit tak percaya. Beberapa saat ia terdiam untuk merenung sebelum akhirnya menghela nafas dan mengangguk karena ia merasa sia-sia dalam perdebatan dengan Abian, terlebih energi kehidupannya yang sudah terkuras habis.

"Ayo aja saya yang bonceng,"

"Katanya gak bisa?" tanya Abian heran.

"Saya masih mau hidup, Pak Aryan pernah bilang kalo Pak Abian ini gak pernah naik motor matic, jadi lebih aman sama saya aja," jelas Fianna.

Mendapatkan persetujuan dari yang Fianna, Abian lantas membuka pintu mobil dan membereskan terlebih dahulu peralatannya ke dalam tas jinjing. Setelah selesai, ia mendekat ke arah belakang dan naik. Kedua tangannya sedikit menggenggam ujung pakaian yang dikenakan Fianna, berpegang erat agar tidak terjatuh saat di jalan.

"Pelan-pelan aja," pinta Abian dengan suara yang sedikit bergetar. "Ini pertama kalinya saya naik motor kayak gini,"

"Aman, paling lecet sedikit, Pak Abian." canda Fianna, yang berakhir dirinya dicubit kecil oleh Abian.

"Apa saya naik taxi aja ya?"

"Ide bagus," jawab Fianna ringan.

"Bilang aja kamu gak mau anter saya,kan?" tanya Abian kesal.

"Terlalu peka itu emang gak baik loh, Pak Abian."

"Saya bayar kamu,"

Mendengar kata bayar membuat semangat dalam diri Fianna kembali bergejolak. "Oke, aman, Pak Abian. Meluncur kita, pegangan ya. Julukan saya teteh racing soalnya."

"Memangnya kamu tahu rumah saya di mana?"

"Tahu, Pak. Kan saya mau kirim santet ke sana jadi pasti udah tahu dong," canda Fianna.

Geplakan pada helm Fianna rasakan setelahnya yang membuat kepalanya sedikit terantuk ke depan. Fianna langsung menoleh dan saat melihat wajah kesal dari Abian, cengiran di wajahnya mendadak muncul. "Hehe, bercanda. Saya gak tahu, arahin ya, Pak Abian."

"Ayo cepat jalan," titah Abian. “Kamu tahu rumah Aryan? Rumah saya berbeda blok dari dia,”

Fianna memalingkan wajahnya saat menyadari jika jarak wajah mereka terlalu dekat, apalagi saat tanpa sengaja ia melihat ke arah kedua mata jernih milik Abian yang terasa begitu memikat. Motor kini melaju dengan kecepatan sedang dan membelah jalan raya di kala malam telah datang menyambut.

Tangan Abian tiba-tiba melingkari pinggang Fianna, memeluk tubuh Fianna dari belakang yang membuat Fianna terlonjak kaget dan hampir kehilangan keseimbangan.

“Hati-hati!” tegur Abian kesal yang semakin mengeratkan pelukannya pada Fianna. “Kalo jatuh awas aja,”

“Saya kaget,” ucap Fianna melakukan pembelaan. “Pak Abian tiba-tiba peluk itu apa maksudnya?”

“Kamu terlalu ngebut! Saya takut tahu,”

Merasa dirinya belum bisa tenang, Fianna menepikan sejenak motor yang ia bawa ke pinggir jalan. Dan dengan segera ia menoleh ke arah Abian. “Ngebut darimana?! 40 kilo/jam loh, Pak Abian.”

“Ngebut banget! Pelan-pelan aja pokoknya!” ucap Abian sedikit tidak terdengar jelas karena pria itu malah menenggelamkan wajahnya di bahu Fianna. “Ayo jalan,”

Fianna kembali melajukan kendaraannya dengan jantung yang berdebar kencang. Ia mencoba untuk tetap fokus memperhatikan jalanan karena akan berbahaya jika ia terlarut pada perasaan aneh yang kini tiba-tiba hadir.

"Belok kanan di depan," ucap Abian mengarahkan saat mereka akan segera tiba di rumahnya. "Lurus terus sampai ada rumah warna abu,"

Suara Abian yang berbisik itu kembali mengantarkan gelombang aneh yang membuat perut Fianna terasa menggelitik. Jarak keduanya kini terlalu dekat, terikat dalam pelukan dan bahkan Abian menyimpan dagunya pada bahu Fianna. Sebuah pemandangan aneh setelah keduanya terlihat perdebatan sengit di kantor tadi pagi.

“Kamu pakai parfum apa?” tanya Abian tiba-tiba. “Saya suka wanginya,”

Fianna berdehem kecil dan menelan ludahnya sebelum menjawab. “Saya lupa merknya, Pak. Saya dikasih Pak Aryan waktu itu,”

Rumah abu-abu yang dimaksud sudah di depan mata. Abian menepuk pundak Fianna sebagai pertanda untuk berhenti. Dengan segera, Fianna menghentikan laju kendaraannya di depan sebuah rumah berwarna abu-abu dengan gaya modern klasik bertingkat tiga yang terlihat mewah.

Suara petir mulai terdengar dan rintik hujan mulai terasa mengenai kulit. Gemericik hujan mulai turun, mengeroyok mereka secara bersamaan dalam jumlah yang banyak.

"Terima kasih," ucap Abian saat dia turun dari motor. "Ayo, masuk dulu, sepertinya bakalan hujan besar."

"Saya mau langsung pulang aja, Pak." tolak Fianna merasa tak enak. Baginya, akan sangat canggung jika ia masuk ke dalam. Sudah banyak hal yang terlintas di pikirannya tentang kecanggungan yang akan menghampiri mereka nantinya.

Abian tidak lansung menjawab, ia berjalan ke arah belakang lalu mendorong motor Fianna untuk memasuki halaman rumah miliknya dan setelah itu, ia bergegas menutup gerbang seolah sengaja tidak membiarkan Fianna untuk pulang.

“Gimana? Mau tetep pulang?” tanya Abian dengan sebuah senyuman kemenangan yang terlihat menyebalkan di mata Fianna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status