Keduanya kini berjalan menuntun motor Fianna yang—ajaibnya—tetap cling tanpa satu pun goresan atau noda lumpur. Mungkin karena motor itu punya kekuatan magis, atau mungkin karena semua lumpurnya pindah ke tubuh mereka berdua.
Fianna melirik ke sebelah, melihat Abian menyeret langkah dengan wajah datar, rambut masih meneteskan air, dan baju kantor yang sudah tidak layak tampil di publik. Dirinya sendiri juga tak kalah mengenaskan—kaus basah, celana belepotan, dan bau got yang entah kenapa makin terasa jelas tiap kali angin lewat. Beberapa meter kemudian, rumah Abian muncul di hadapan mereka. Sebuah rumah besar bergaya modern yang tampak rapi dan sunyi, dengan garasi terbuka yang langsung menyambut kedatangan dua manusia setengah hidup ini. Abian menyuruh Fianna untuk memasukkan motor itu ke dalam teras garasi sementara dirinya melangkah masuk. Fianna hanya bisa ternganga saat Abian, tanpa banyak bicara, mengambil selang dari sudut garasi lalu memutar keran. “Eh, Pak. Bapak mau—” BYUURRRR! Fianna menjerit tertahan saat semburan air dingin menyapa tubuhnya. Abian mulai menyemprot dirinya sendiri juga. “Pak Abian! Bapak nyiram saya kayak tanaman!” “Ssst. Jangan gerak. Biar bersih.” Fianna mencoba menghindar, tapi lumpur di bajunya lengket banget. Ia akhirnya pasrah, berdiri seperti patung air mancur sambil memeluk dirinya sendiri karena dingin. Sementara itu, Abian kini dengan hati-hati membersihkan tubuh Fianna dari lumpur. “Gila… Ini definisi totalitas banget, ya,” gumamnya sambil menggigil. “Lembur bareng, nyemplung bareng, mandi juga bareng. Next level bonding.” Abian menyemprot bagian belakang celana Fianna yang penuh tanah. “Diam, Fianna.” Fianna mendengus, rasa takutnya pada Abian kini seolah mengalir hilang begitu saja. “Ini pengalaman kerja yang gak akan pernah saya lupakan. Mungkin nanti saya masukin ke portofolio: pernah nyelam ke got bersama atasan lalu dimandikan pakai selang.” Abian menahan tawa, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit. “Kalau kamu berhenti ngoceh, prosesnya bisa selesai lebih cepat.” “Kalau saya berhenti ngoceh, saya pingsan, Pak. Ini dingin banget! Ini salah satu cara saya agar tetap waras dan hidup.” Akhirnya, setelah lima menit, keduanya kini sudah bersih dari lumpur. Hanya saja mereka berdua masih basah kuyup, dengan bau got yang tetap setia menempel. “Masuk dulu, kamu mandi dan ganti baju. Saya gak mau kamu sakit.” Itu adalah kalimat dengan nada ramah dan terpanjang yang keluar dari mulut Abian. Fianna yang sudah menggigil kini mengangguk dan mengikuti langkah Abian masuk ke dalam rumah. Rumah itu tampak rapi dengan beberapa bagian yang lampunya mati. Fianna naik ke lantai 2 dan masuk ke dalam sebuah kamar dengan nuansa abu-abu, sangat rapi dan wangi. Sungguh kamar ini memang mencerminkan bagaimana sosok Abian yang perfectionist dan penuh perhitungan. Abian berjalan menuju lemari besar yang ada di sisi dinding, membukanya dan mengambil beberapa potong pakaian dari dalam sana. “Kamu mandi dulu sana, kamu bau.” “Gara-gara siapa saya begini?!!” ketus Fianna yang langsung menerima pakaian itu dan buru-buru masuk ke kamar mandi. Busa kini memenuhi tubuh Fianna, namun sayangnya, bau got masih menempel. Fianna lantas membilas badannya untuk kedua kalinya tanpa memperdulikan ia yang mulai bersin-bersin. Saat hendak menyabuni tubuhnya lagi, tiba-tiba semuanya menjadi gelap. “Hah?!” Fianna tersentak, panik. Ia langsung meraba-raba dinding, mencari handuk sambil tubuhnya masih basah kuyup. “PAK ABIANNNNNNNNNNN!” teriaknya panik, berhasil menemukan handuk dan membalut tubuhnya dengan cepat. Rambut panjangnya masih menetes dan menguntai di punggung. “HWEEE PAK ABIANNN!” Dari balik pintu terdengar suara Abian, suaranya terdengar khawatir dan sedikit meninggi. “Fianna? Kamu bisa keluar? Udah pakai baju?” “DIMANA PINTUNYA?! SAYA TAKUT JATUH!” balasnya sambil meraba-raba dalam gelap, masih berdiri di lantai kamar mandi yang licin. Pintu kamar mandi mendadak terbuka. Cahaya dari luar langsung menerobos masuk, menyinari wajah Fianna yang ketakutan dan hampir menangis. Abian berdiri di ambang pintu, membawa senter dari ponselnya dan menatap Fianna dengan ekspresi campur aduk antara khawatir dan bingung. Fianna berdiri kaku di tempat, hanya terbalut handuk, wajahnya merah padam. “Listriknya mati ya?” tanyanya dengan suara kecil. Abian mengangguk. “Sepertinya saklarnya korslet.” Ia lantas mengalihkan pandangannya. “A-ayo keluar dulu,” Tangan Abian dengan hati-hati menggenggam tangan Fianna dan menuntun gadis itu keluar dari kamar mandi. Dan wajah Fianna memerah padam saat menyadari pemandangan di depannya adalah punggung polos milik Abian yang tidak terlapisi apa-apa. Fianna berdehem kecil dan lebih memilih mengeratkan pegangan tangannya pada handuk yang melilit tubuhnya. Baru saja sampai di kamar Abian, pintu tiba-tiba di dobrak keras disusul dengan sorotan lampu dan teriakan keras dari seseorang. “KHAELL BANGUN MATI LAM-...” Sosok itu membeku di ambang pintu saat melihat Abian dan Fianna yang hmm mencurigakan di tengah gelap seperti ini. “..pu… Kha… Khael…?” Teriakan itu, suara itu tidaklah asing. Fianna menggeleng panik, astaga, suara Aryan bahkan terdengar seperti terompet sangkakala saat ini. Seolah memiliki firasat kuat, Abian langsung mengambil selimut dan menutupi tubuh Fianna dan memeluk tubuh itu agar Aryan tidak melihat wajah Fianna. Sayangnya, ternyata orang yang disebut Bunda tepat berada di belakang Aryan sedari tadi dan tengah mematung kaku karena terkejut. “BUNDAAAAA, KHAEL BERBUAT MESUM!” Aryan masih berdiri di ambang pintu, menunjuk dengan dramatis sambil tubuhnya setengah membungkuk seperti akan jatuh pingsan. Matanya membelalak, mulut terbuka seperti singa menguap, dan tangan satunya lagi sudah siap menekan speed dial polisi moral imajiner. Fianna, masih dalam balutan handuk plus tambahan selimut dari Abian, nyaris tenggelam dalam rasa malu. “Astaga Pak Aryan! Ini gak seperti yang Bapak pikirkan!” “FIANNAAAAAA?” Aryan berteriak dramatis saat suara di balik selimut itu terdengar. Membuatnya semakin melangkah mendekat dan mencoba mengintip. “TERNYATA KAMU SAMA MIKHAEL ADA HUBUNGAN?” “GAK ADAAA!!” sanggah Fianna panik. Wajahnya kini menoleh pada Aryan di antara sela-sela lengan Abian yang memeluknya erat. “PAK ARYAN SALAH PAHAM!” “GIMANA SAYA GAK SALAH PAHAM. KALIAN BERDUA NGAPAIN GAK PAKE BAJU MALEM-MALEM?!” Aryan teriak lagi, kini sudah setengah panik sambil menatap sang ‘Bunda’ yang berdiri membeku di belakangnya. Perempuan paruh baya itu tampak elegan meskipun dalam piyama satin dan sandal rumah. Wajahnya penuh ekspresi bingung, antara ingin menjerit atau terkesima. “Abian Aiden Mikhael…” Suaranya akhirnya keluar. Pelan. Bergetar. Menegangkan. dan terdengar seperti akan meledak. Abian menoleh lelah. “Ini hanya kesalahpahaman, Bunda..” “…Dalam keadaan telanjang berdua?” Fianna ingin mengubur diri. Atau teleport. Atau apa pun selain berdiri seperti burrito rasa skandal di depan dua saksi hidup ini. Bu Dewi, atau yang kerap disapa Bunda kini berjalan mendekat lalu menjewer telinga Abian dengan keras. “ANAK BADUNG. PANTAS SAJA KAMU DIJODOHKAN TIDAK MAU, PACARAN PUN TIDAK JELAS. RUPANYA KAMU BEGINI YA,” Abian mengaduh dan tubuhnya mengikuti jeweran sang ibu, namun ia tidak melepaskan pelukan itu. “Aduh Bun.., bukan begitu, Bun…” “Bu Dewi… ini salah paham!!” Bu Dewi kini memandang galak Fianna dan sebelah tangannya terangkat untuk mencubit pipi kanan Fianna. “Kamu juga Fianna! Kenapa tidak bilang jika kamu itu kekasih anak saya? Jadi saya tidak perlu capek-capek menjodohkan kamu dengan Arkian atau Aryan!” “Aw… Bu Dewi…” Trak! Lampu tiba-tiba menyala kembali dan kini suara derap langkah beberapa orang terdengar. Fianna yang tahu siapa yang akan datang langsung menenggelamkan wajahnya pada dada Abian dan berharap jika semua ini hanyalah mimpi. Lagi dan lagi, kesialan selalu ia dapatkan jika bersama Abian. “Listrik sudah diperbaiki. Ada apa ini bunda?” suara kharismatik Pak Malik terdengar. Ia melangkah masuk dan memproses apa yang sedang terjadi. "Demi menyelamatkan harga diri kalian, Bunda akan mencoba mengerti. Dan untuk itu kalian berdua harus segera menikah!!" "Apa?!" Bu Dewi sontak menggeleng. "Tidak tidak. Maksud Bunda adalah, besok kalian harus menikah. Tidak ada perlawanan! Besok pagi kami berangkat menuju rumah mu Fianna, kami akan membawa lamaran dan penghulu sekaligus." “APAAA?!”Kejadian begitu saja terjadi tanpa bisa Fianna cerna terlebih dahulu. Kini, Fianna hanya bisa memandang kosong langit-langit kamar Abian dengan tatapan menerawang dan merenungi nasib buruk yang baru saja ia alami. Sangat amat menyesali mengapa ia harus membantu Abian jika begini jadinya. Tahu begini, ia biarkan saja Abian dan mobil mogoknya itu. "Arghhh!" Fianna menjambak rambutnya lalu berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang empuk berukuran besar itu membuat sprei yang mulanya rapih kini menjadi sedikit berantakan. Diraihnya ponsel yang sempat menganggur dan matanya menatap sebal ke arah potret dirinya dan Abian yang berdiri di atas pelaminan tadi siang dengan keluarga masing-masing. Jemari Fianna menggulirkan foto ke samping, dan lagi-lagi potret dirinya dan Abian yang sedang menunjukkan buku pernikahan. Fianna memperbesar foto itu dan memperhatikan raut wajah Abian yang tampak tersenyum lebar, berbeda dengan dirinya yang terlihat seperti senyuman karir. Astaga, dosa
Fianna sama sekali tidak bisa tidur malam ini. Bukan karena tempat asing atau suasana rumah besar yang sunyi, tapi satu hal pasti: tidak ada guling kesayangannya. Sebagai orang yang terbiasa tidur sambil memeluk sesuatu, ini adalah mimpi buruk. Sayangnya, ia harus menerima kenyataan pahit — guling tidak boleh masuk kamar. Bukan tanpa alasan. Abian, sang suami dadakan itu, punya ketakutan absurd terhadap guling. Fakta ini sempat membuat Fianna ngakak beberapa hari lalu saat Aryan menceritakannya. Tapi sekarang? Ia jadi korban atas fobia konyol itu. Menghargai tuan rumah galak yang kini tidur di sebelahnya, Fianna memilih menahan diri. Namun rasa tidak nyaman itu semakin menjadi. Ia ingin bergerak tapi takut membangunkan Abian. Maka dengan sangat pelan, ia menyingkap selimut dan mengintip ke arah pria itu. Abian tidur nyenyak. Dada naik-turun teratur. Tenang. Damai. Menggemaskan—ah sial, kenapa pikirannya ke sana? Fianna mendesah pelan, lalu bangkit dari ranjang dengan hati-hati.
Fianna kini tengah tengkurap di atas ranjang, rambutnya dikuncir asal-asalan dan tangan sibuk mencorat-coret lembaran kertas. Beberapa kertas lain sudah bertebaran di atas kasur, berserakan bersama laptop yang menyala dan bolpoin warna-warni hasil pinjaman dari Aryan. Di sisi ruangan, Abian duduk bersila dengan tenang di atas karpet, bahunya disandarkan ke sisi ranjang. Ia memegang selembar kertas dan tampak serius menulis sesuatu—wajahnya penuh konsentrasi seperti sedang mengatur strategi perang. Mereka berdua sedang membuat perjanjian pernikahan, versi mereka sendiri. Demi rumah tangga yang harmonis dan samawa, katanya. Fianna sesekali melirik ke arah Abian dari balik rambutnya, mencoba mencuri inspirasi. "Pak, Bapak nulis apa sih? Saya liatin dari tadi serius banget kayak nulis kontrak proyek senilai triliunan." tanyanya penasaran. Abian tak mengalihkan pandangan dari kertasnya, hanya menjawab singkat, "Rahasia." Fianna mengerucutkan bibirnya. “Pak, pelit banget.” Tanpa malu
Fianna dan Abian turun bersamaan dengan pakaian rapi—siap kembali bekerja di hari Senin yang cerah ini. Suasana dapur masih sepi, tentu saja. Mereka sengaja bersiap lebih awal agar tidak bertemu siapa pun dan kembali jadi sasaran lelucon Aryan dan yang lainnya. Fianna menggulung sedikit lengan kemejanya, bersiap memasak bekal makan siang untuk mereka berdua. Sementara itu, Abian sudah menyiapkan roti dalam pemanggang dan mulai menuang minuman untuk sarapan. Kerja sama mereka terasa natural, seperti pasangan yang sudah bertahun-tahun hidup bersama. "Kamu mau paha atau dada, hmm... Mas?" tanya Fianna, suaranya nyaris tercekat. Ia belum terbiasa memanggil Abian begitu, dan rasanya harga dirinya seperti terjun bebas dari lantai tiga. “Paha,” jawab Abian singkat, berusaha tetap tenang. “Kamu coklat atau keju?” “Coklat keju, hehe…” Setelah itu, keduanya kembali sibuk. Abian menyusun sarapan mereka di atas bar dapur. Tapi karena tahu Fianna pasti belum selesai dalam waktu dekat, ia menga
Fianna keluar dari ruangan Abian dengan langkah gontai. Pagi ini ia dimarahin habis-habisan hanya karena kesalahan kecil—warna desain yang tidak sesuai brief. Sepele, tapi cukup bikin kupingnya panas dan mentalnya nyungsep. Dan ini rekor! Dari semua karyawan, Fianna sudah dimarahin Abian sebanyak empat kali. Empat, Best! Bukan sekali, bukan dua, tapi empat. Ia menarik kembali pernyataannya soal Abian sebagai suami idaman. Di kantor, laki-laki itu kembali jadi beruang pemarah yang rasanya ingin dia ruqyah di tempat. Fianna menjatuhkan tubuhnya ke kursi, menatap jam dinding dengan tatapan kosong. Kepalanya rasanya mau meledak. Masalah datang bertubi-tubi seperti paket COD yang nggak bisa ditolak. Belum selesai mencerna pernikahan dadakan, pekerjaannya menumpuk layaknya cucian akhir bulan, ditambah gosip yang makin panas soal siapa sebenarnya istri Abian. Semua gara-gara Aryan yang iseng upload foto ijab kabul Abian. Meskipun pengantin perempuannya dipotong, tetap saja itu berisiko.
"Haduhh..." Fianna menghela napas, agak menyesali keputusannya mengenakan rok hari ini. Gara-gara itu, ia kesulitan untuk naik ke atas pohon. Ia mendongak ke atas, menatap Tirta dan Sonia yang sudah duduk santai di cabang pohon sambil membuka bekal makan siang mereka. "Bisa gak, Best?" tanya Tirta, nada suaranya malas tapi terdengar menyebalkan, jelas tidak berniat membantu. "Tumben, monyet gak bisa naik pohon." Fianna melotot kesal. Ia buru-buru melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang yang melihat, lalu nekat menaikkan sedikit roknya dan memanjat. Saat berhasil duduk di atas cabang pohon, tepuk tangan dan tawa mengejek dari Tirta dan Sonia langsung menyambut. Pohon jambu ini adalah basecamp mereka sejak hari pertama masuk kerja. Tempat yang teduh, jauh dari keramaian, dan sempurna untuk mengurangi stres akibat pekerjaan. Di sinilah mereka bisa bebas menggosip, curhat, atau bersembunyi dari orang-orang yang dulu suka mengusik mereka. "Ian kayaknya lagi disidang, tuh. Gegar
Fianna masuk ke dalam ruangannya dengan terburu-buru dengan sepatu masih di tangan dan wajah yang merah padam seperti kepiting rebus. Begitu sampai di kursinya, ia langsung duduk dan membenamkan wajahnya di telapak tangan. Ruangan pemasaran masih sepi—hampir semua orang sedang keluar mencari udara segar atau kopi di jam istirahat. Tangan Fianna kini menutup bibirnya, terbayang jelas momen beberapa menit lalu saat wajah Abian begitu dekat dengannya terlalu dekat. Perutnya seperti dikerubungi kupu-kupu, bukan karena lapar, tapi karena gugup yang tak ada ujung. Ia langsung menjatuhkan kepala ke meja dengan satu tarikan napas panjang. "LOH, Fianna! Kita nyariin kamu loh!" Suara Tirta mengejutkannya. Fianna langsung mendongak dengan rambut yang berantakan, pipi memerah, dan sorot matanya terlihat menerawang. "Are you okay, besttt? Kamu kenapa?" Tirta berjalan mendekat, meletakkan tumbler kopi di meja Fianna. "Tadi aman kan sama Pak Abian? Gak dimarahin lagi, kan?" Fianna hanya me
Lembur telah usai. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Hari sudah berganti, tapi esok—lebih tepatnya nanti—Fianna tetap harus kembali bekerja. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke pojok ruangan, tempat teman-temannya telah menggelar karpet, bantal, dan selimut. Perlengkapan lengkap yang memang sengaja disiapkan untuk menghadapi malam-malam mendadak lembur seperti ini. Fianna langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas karpet. Otot-ototnya yang sempat kaku mulai rileks, rasa lelah menyergap seluruh tubuhnya. Teman-temannya juga ikut merebahkan diri, tidur berjajar sambil menatap langit-langit seperti sekumpulan korban peperangan yang kehabisan energi. “Beres juga,” desah Andrew lemah, lalu langsung memeluk Tirta dari samping. “Kapan gue punya pacar kalau lembur terus…” “Gak lembur aja gak ada yang mau sama lo,” ucap Tirta dengan ketus sambil mendorong tubuh Andrew. “Jauh jauh lo!” “Lo bisa ngomong gitu ke gue kalau lo juga punya pacar ya, Tirta! Kurang ajar lo!” Bahkan dalam kondisi
Lembur telah usai. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Hari sudah berganti, tapi esok—lebih tepatnya nanti—Fianna tetap harus kembali bekerja. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke pojok ruangan, tempat teman-temannya telah menggelar karpet, bantal, dan selimut. Perlengkapan lengkap yang memang sengaja disiapkan untuk menghadapi malam-malam mendadak lembur seperti ini. Fianna langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas karpet. Otot-ototnya yang sempat kaku mulai rileks, rasa lelah menyergap seluruh tubuhnya. Teman-temannya juga ikut merebahkan diri, tidur berjajar sambil menatap langit-langit seperti sekumpulan korban peperangan yang kehabisan energi. “Beres juga,” desah Andrew lemah, lalu langsung memeluk Tirta dari samping. “Kapan gue punya pacar kalau lembur terus…” “Gak lembur aja gak ada yang mau sama lo,” ucap Tirta dengan ketus sambil mendorong tubuh Andrew. “Jauh jauh lo!” “Lo bisa ngomong gitu ke gue kalau lo juga punya pacar ya, Tirta! Kurang ajar lo!” Bahkan dalam kondisi
Fianna masuk ke dalam ruangannya dengan terburu-buru dengan sepatu masih di tangan dan wajah yang merah padam seperti kepiting rebus. Begitu sampai di kursinya, ia langsung duduk dan membenamkan wajahnya di telapak tangan. Ruangan pemasaran masih sepi—hampir semua orang sedang keluar mencari udara segar atau kopi di jam istirahat. Tangan Fianna kini menutup bibirnya, terbayang jelas momen beberapa menit lalu saat wajah Abian begitu dekat dengannya terlalu dekat. Perutnya seperti dikerubungi kupu-kupu, bukan karena lapar, tapi karena gugup yang tak ada ujung. Ia langsung menjatuhkan kepala ke meja dengan satu tarikan napas panjang. "LOH, Fianna! Kita nyariin kamu loh!" Suara Tirta mengejutkannya. Fianna langsung mendongak dengan rambut yang berantakan, pipi memerah, dan sorot matanya terlihat menerawang. "Are you okay, besttt? Kamu kenapa?" Tirta berjalan mendekat, meletakkan tumbler kopi di meja Fianna. "Tadi aman kan sama Pak Abian? Gak dimarahin lagi, kan?" Fianna hanya me
"Haduhh..." Fianna menghela napas, agak menyesali keputusannya mengenakan rok hari ini. Gara-gara itu, ia kesulitan untuk naik ke atas pohon. Ia mendongak ke atas, menatap Tirta dan Sonia yang sudah duduk santai di cabang pohon sambil membuka bekal makan siang mereka. "Bisa gak, Best?" tanya Tirta, nada suaranya malas tapi terdengar menyebalkan, jelas tidak berniat membantu. "Tumben, monyet gak bisa naik pohon." Fianna melotot kesal. Ia buru-buru melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang yang melihat, lalu nekat menaikkan sedikit roknya dan memanjat. Saat berhasil duduk di atas cabang pohon, tepuk tangan dan tawa mengejek dari Tirta dan Sonia langsung menyambut. Pohon jambu ini adalah basecamp mereka sejak hari pertama masuk kerja. Tempat yang teduh, jauh dari keramaian, dan sempurna untuk mengurangi stres akibat pekerjaan. Di sinilah mereka bisa bebas menggosip, curhat, atau bersembunyi dari orang-orang yang dulu suka mengusik mereka. "Ian kayaknya lagi disidang, tuh. Gegar
Fianna keluar dari ruangan Abian dengan langkah gontai. Pagi ini ia dimarahin habis-habisan hanya karena kesalahan kecil—warna desain yang tidak sesuai brief. Sepele, tapi cukup bikin kupingnya panas dan mentalnya nyungsep. Dan ini rekor! Dari semua karyawan, Fianna sudah dimarahin Abian sebanyak empat kali. Empat, Best! Bukan sekali, bukan dua, tapi empat. Ia menarik kembali pernyataannya soal Abian sebagai suami idaman. Di kantor, laki-laki itu kembali jadi beruang pemarah yang rasanya ingin dia ruqyah di tempat. Fianna menjatuhkan tubuhnya ke kursi, menatap jam dinding dengan tatapan kosong. Kepalanya rasanya mau meledak. Masalah datang bertubi-tubi seperti paket COD yang nggak bisa ditolak. Belum selesai mencerna pernikahan dadakan, pekerjaannya menumpuk layaknya cucian akhir bulan, ditambah gosip yang makin panas soal siapa sebenarnya istri Abian. Semua gara-gara Aryan yang iseng upload foto ijab kabul Abian. Meskipun pengantin perempuannya dipotong, tetap saja itu berisiko.
Fianna dan Abian turun bersamaan dengan pakaian rapi—siap kembali bekerja di hari Senin yang cerah ini. Suasana dapur masih sepi, tentu saja. Mereka sengaja bersiap lebih awal agar tidak bertemu siapa pun dan kembali jadi sasaran lelucon Aryan dan yang lainnya. Fianna menggulung sedikit lengan kemejanya, bersiap memasak bekal makan siang untuk mereka berdua. Sementara itu, Abian sudah menyiapkan roti dalam pemanggang dan mulai menuang minuman untuk sarapan. Kerja sama mereka terasa natural, seperti pasangan yang sudah bertahun-tahun hidup bersama. "Kamu mau paha atau dada, hmm... Mas?" tanya Fianna, suaranya nyaris tercekat. Ia belum terbiasa memanggil Abian begitu, dan rasanya harga dirinya seperti terjun bebas dari lantai tiga. “Paha,” jawab Abian singkat, berusaha tetap tenang. “Kamu coklat atau keju?” “Coklat keju, hehe…” Setelah itu, keduanya kembali sibuk. Abian menyusun sarapan mereka di atas bar dapur. Tapi karena tahu Fianna pasti belum selesai dalam waktu dekat, ia menga
Fianna kini tengah tengkurap di atas ranjang, rambutnya dikuncir asal-asalan dan tangan sibuk mencorat-coret lembaran kertas. Beberapa kertas lain sudah bertebaran di atas kasur, berserakan bersama laptop yang menyala dan bolpoin warna-warni hasil pinjaman dari Aryan. Di sisi ruangan, Abian duduk bersila dengan tenang di atas karpet, bahunya disandarkan ke sisi ranjang. Ia memegang selembar kertas dan tampak serius menulis sesuatu—wajahnya penuh konsentrasi seperti sedang mengatur strategi perang. Mereka berdua sedang membuat perjanjian pernikahan, versi mereka sendiri. Demi rumah tangga yang harmonis dan samawa, katanya. Fianna sesekali melirik ke arah Abian dari balik rambutnya, mencoba mencuri inspirasi. "Pak, Bapak nulis apa sih? Saya liatin dari tadi serius banget kayak nulis kontrak proyek senilai triliunan." tanyanya penasaran. Abian tak mengalihkan pandangan dari kertasnya, hanya menjawab singkat, "Rahasia." Fianna mengerucutkan bibirnya. “Pak, pelit banget.” Tanpa malu
Fianna sama sekali tidak bisa tidur malam ini. Bukan karena tempat asing atau suasana rumah besar yang sunyi, tapi satu hal pasti: tidak ada guling kesayangannya. Sebagai orang yang terbiasa tidur sambil memeluk sesuatu, ini adalah mimpi buruk. Sayangnya, ia harus menerima kenyataan pahit — guling tidak boleh masuk kamar. Bukan tanpa alasan. Abian, sang suami dadakan itu, punya ketakutan absurd terhadap guling. Fakta ini sempat membuat Fianna ngakak beberapa hari lalu saat Aryan menceritakannya. Tapi sekarang? Ia jadi korban atas fobia konyol itu. Menghargai tuan rumah galak yang kini tidur di sebelahnya, Fianna memilih menahan diri. Namun rasa tidak nyaman itu semakin menjadi. Ia ingin bergerak tapi takut membangunkan Abian. Maka dengan sangat pelan, ia menyingkap selimut dan mengintip ke arah pria itu. Abian tidur nyenyak. Dada naik-turun teratur. Tenang. Damai. Menggemaskan—ah sial, kenapa pikirannya ke sana? Fianna mendesah pelan, lalu bangkit dari ranjang dengan hati-hati.
Kejadian begitu saja terjadi tanpa bisa Fianna cerna terlebih dahulu. Kini, Fianna hanya bisa memandang kosong langit-langit kamar Abian dengan tatapan menerawang dan merenungi nasib buruk yang baru saja ia alami. Sangat amat menyesali mengapa ia harus membantu Abian jika begini jadinya. Tahu begini, ia biarkan saja Abian dan mobil mogoknya itu. "Arghhh!" Fianna menjambak rambutnya lalu berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang empuk berukuran besar itu membuat sprei yang mulanya rapih kini menjadi sedikit berantakan. Diraihnya ponsel yang sempat menganggur dan matanya menatap sebal ke arah potret dirinya dan Abian yang berdiri di atas pelaminan tadi siang dengan keluarga masing-masing. Jemari Fianna menggulirkan foto ke samping, dan lagi-lagi potret dirinya dan Abian yang sedang menunjukkan buku pernikahan. Fianna memperbesar foto itu dan memperhatikan raut wajah Abian yang tampak tersenyum lebar, berbeda dengan dirinya yang terlihat seperti senyuman karir. Astaga, dosa
Keduanya kini berjalan menuntun motor Fianna yang—ajaibnya—tetap cling tanpa satu pun goresan atau noda lumpur. Mungkin karena motor itu punya kekuatan magis, atau mungkin karena semua lumpurnya pindah ke tubuh mereka berdua. Fianna melirik ke sebelah, melihat Abian menyeret langkah dengan wajah datar, rambut masih meneteskan air, dan baju kantor yang sudah tidak layak tampil di publik. Dirinya sendiri juga tak kalah mengenaskan—kaus basah, celana belepotan, dan bau got yang entah kenapa makin terasa jelas tiap kali angin lewat. Beberapa meter kemudian, rumah Abian muncul di hadapan mereka. Sebuah rumah besar bergaya modern yang tampak rapi dan sunyi, dengan garasi terbuka yang langsung menyambut kedatangan dua manusia setengah hidup ini. Abian menyuruh Fianna untuk memasukkan motor itu ke dalam teras garasi sementara dirinya melangkah masuk. Fianna hanya bisa ternganga saat Abian, tanpa banyak bicara, mengambil selang dari sudut garasi lalu memutar keran. “Eh, Pak. Bapak mau—”