Share

Bab 4

Langkah Fianna terpacu pelan memasuki bagian dalam rumah Abian. Tetesan air dari bajunya kini membasahi lantai dan membuatnya tidak bisa melangkah lebih jauh. Ia lantas kembali mundur dan mencari keset yang bisa mengeringkan kakinya.

Tak berselang lama, Abian kembali dengan handuk dan sepasang pakaian. “Kamu masuk aja, ngapain di sana?” tanyanya heran saat Fianna masih berdiri di ambang pintu. “Masuk sendiri atau mau saya bawa ke sini?”

“Basah, Pak,” jawab Fianna.

“Masuk aja dulu. Nanti bisa saya lap.” titah Abian. Tangannya kini menyerahkan handuk. “Pakai handuk dulu. Ganti juga pakaian kamu, dari sini lurus belok kiri, ada kamar mandi.”

“Iya, terima kasih, Pak,” jawab Fianna yang menerima pemberian Abian itu dan dengan langkah seribu memasuki dalam rumah Abian.

Setelah selesai mengganti pakaiannya, Fiana keluar dari kamar mandi dan berjalan dengan bingung menelusuri rumah Abian. Rasanya canggung dan juga tidak nyaman, terlebih sangat mengingat jikalau ini adalah rumah Abian, si Manajer Galak yang hobi sekali marah-marah.

“Pak Abian,” panggil Fiana saat ia tak kunjung menemukan sosok Abian. “Ada di mana?”

“Dapur,” samar-samar terdengar suara Abian dan Fianna bergegas menghampiri sumber suara.

Fianna mengintip dari balik tembok dan saat sudah menemukan sosok Abian, dia melangkah mendekat dan duduk di sebuah kursi di bar kecil yang ada di dapur. Kedua mata Fina menatap punggung lebar Abian yang tengah sibuk dengan cangkir dan teko.

Tidak dapat dipungkiri jika sosoknya memang sempurna, di luar perilaku jeleknya yang galak dan menyebalkan. Apalagi kini, Abian yang tengah serius dengan kedua lengan kemeja yang dilipat sampai siku itu berkali-kali terlihat menarik untuk dipandang mata.

Fianna lantas mengalihkan pandangan saat Abian berbalik badan dan menyajikan segelas teh hangat di depannya. Uap muncul dari balik cangkir itu dengan aroma melati yang menenangkan. 

“Minum dulu,” titah Abian.

“Terima kasih, Pak,” jawab Fianna yang kini tangannya menggapai cangkir dan meminum teh yang telah disajikan. Rasa manis menyapa lidahnya dan tubuhnya sedikit menghangat setelahnya.

Suara gemericik hujan terdengar deras di luar jendela rumah, menciptakan harmoni alam yang menjadi latar penuh kecanggungan di antara mereka berdua. Fianna meremas cangkir tehnya dengan gemetar, mencoba menemukan kata-kata untuk memecah keheningan.

“Kenapa kamu?” tanya Abian yang duduk di seberang meja dengan ekspresi serius dan tatapan tajam memperhatikan gerak-geriknya.

Fianna lagi-lagi merasa hatinya berdegup kencang di tengah ketidaknyamanan. Dia memandang cangkir tehnya, takut bertatapan mata dengan Abian. Namun, tiba-tiba perut Fianna bersuara, menciptakan keheningan yang singkat di antara mereka.

“Oh laper,” ejek Abian.

Fianna lantas menutup matanya sejenak dan kedua pipinya sedikit merona, merasa malu atas suara tak terduga dari perutnya. Bisa-bisanya di situasi yang seperti ini, perutnya malah keroncongan dan tidak bisa diajak bekerjasama. “Hehe iya, Pak,” jawabnya jujur.

Abian bangkit dari duduknya. “Mau mie gak?” tanya Abian.

“Jika bapak tidak keberatan, boleh, Pak, hehe. ” jawab Fianna sudah kepalang malu dan tidak memperdulikan harga dirinya.

“Saya tidak keberatan.” balas Abian yang kini mulai memasak mie. “Hitung-hitung balas budi saya.”

“Mau pakai telur?” tanya Abian sekali lagi. “Saya gak tahu kesukaan kamu apa,”

“Boleh, Pak.” jawab Fianna. “Pakai rawit sama saos kalau ada, ya, Pak, hehehehe. Tapi, kalau gak ada, oplosan juga enak, kok.”

“Mau saya bantu, Pak?” tawar Fianna yang kini melihat Abian sudah sibuk sendiri.

“Kamu duduk diam saja,” titah Abian.

Fianna kembali memperhatikan bagaimana gerak-gerik Abian yang terasa memanjakan mata. Bagaimana punggung yang kokoh itu terlihat lebar dan cocok untuk dijadikan bersandar. Namun dengan segera, Fianna menggeleng keras saat pemikiran aneh itu hadir.

Beberapa saat kemudian, Abian berbalik badan dan meletakkan semangkuk mie dengan kuah merah menggoda. Telur setengah matang tampak sempurna di atas mie yang mengambang juga ada beberapa sayuran hijau di sana.

"Ini yang kamu," Abian menyimpan semangkuk mie itu di depan Fianna.

“Terima kasih, Pak.” Fianna melirik ke arah mangkuk mie milik Abian dan tampak jikalau tampilan mie mereka sama, hanya saja untuk kuah mie Abian tidak semerah miliknya.

“Kenapa? Kurang?” tanya Abian saat Fianna malah memperhatikan mangkuk miliknya. “Mau saya bikinin lagi?”

Buru-buru Fianna menggeleng. “Kirain ketuker, Pak. Soalnya ada sayurnya.”

“Gak suka sayur?” tanya Abian dengan nada tak percaya. ”Serius?”

“Iya.” jawab Fianna polos apa adanya.

“Kamu ini.” ucap Abian yang entah mengapa merasa lelah. Ia menghela nafas panjang lalu menatap Fianna serius. “Sayuran itu penting, selain buat kesehatan juga sebagai sumber tenaga. Apalagi kamu tim kreatif, harus banyak makan sayuran biar otak kamu encer dalam berpikir dan berinovasi.”

“Kamu dengar saya?” tanya Abian sembari menatap Fianna dengan mata tajam khasnya itu saat Fianna hanya memandang kosong mangkuk mie itu.

“Dengar, Pak. Dengar.” ucap Fianna langsung, mencegah omelan yang lebih panjang keluar. “Makasih ya, Pak, saya makan.” izin Fianna pasrah sembari menyuapkan sendok berisi kuah dan mie itu ke dalam mulutnya. Rasa asing menyapa mulutnya, seperti ada yang kurang namun entah apa.

Fianna kembali menyuapkan kuah kesukaannya itu dan mengecap rasanya, benar, ini aneh, seperti bukan rasa mie instan biasanya. “Kurang asin.” komentar Fianna jujur.

Alis Abian terangkat saat melihat wajah Fianna saat ini. “Micinnya saya buang. Makan saja,” titah Abian.

Fianna menatap horor mangkuk mie itu. Ingin melakukan protes besar-besaran, namun tatapan Abian seolahnya mengatakan jika ia harus menghabiskan mie itu.

“Pak Abian kembaran Pak Aryan, ya?” tanya Fianna berbasa-basi. “Soalnya mirip banget sama Pak Aryan,”

“Beda 5 menit,” balas Abian singkat. Setelah itu, Abian menyisir rambutnya ke belakang menggunakan tangannya dan sebuah senyum tengil muncul di wajahnya itu. “Tapi gantengan saya,” 

Fianna tersenyum palsu mendengar hal itu, pria di depannya ini benar-benar narsis. Dan pandangannya tiba-tiba tertuju pada sesuatu yang bergerak berwarna cokelat dan berukuran kecil di belakang Abian, menempel pada tembok berwarna putih, terlihat sangat kontras.

“Pak Abian, itu kecoa bukan ya?” tanya Fianna memastikan penglihatannya. Ia lantas memajukan badannya dan mengangguk santai. "Oh iya, betul kecoa ternyata,"

Abian menoleh dengan panik dan tanpa diduga ia langsung melompat dan berlari ke belakang Fianna. “Mana? Mana?”

Seolah mengerti ketakutan Abian, kecoa itu terbang menghampiri mereka dengan kencang dan mengundang teriakan Abian yang kini sudah berlari mengelilingi dapur untuk menghindari kecoa yang sialnya terus saja mengikuti langkahnya.

Melihat kegaduhan itu, Fianna langsung putar otak dan memilih untuk mengambil sapu yang menganggur di sudut ruangan. Belum sempat ia menggapai sapu itu, tubuhnya ditabrak dengan kencang oleh Abian yang berlari tanpa melihat sekeliling.

Tubuh Fianna ambruk ke atas lantai, dan Abian terjatuh tepat di atasnya. Kedua tubuh mereka terhempas ke lantai, dengan Fianna yang terbaring di bawah Abian. Mereka saling menatap dalam kepanikan dan keheningan sejenak, pandangan mereka saling mengunci dengan mata yang terbuka lebar.

“BIANNN, BUNDA IKUT NEDUH YAA, NAK.”

Sebuah suara terdengar yang lantas memutus cepat pandangan mereka berdua. Belum sempat mereka bangkit, seorang wanita berpenampilan anggun masuk dengan menenteng tas di tangannya dan terlihat terkejut dengan apa yang ia lihat.

"Bunda!" Abian berusaha bangkit dibantu dorongan kuat dari Fianna yang sudah panik.

Abian dan Fianna kini berdiri dengan kikuk sembari mengusap bagian tubuh mereka yang kotor. Abian langsung melangkah menghampiri sang ibu yang masih terdiam kaku.

"Kamu!" Begitu Abian sampai di hadapan sang ibu, telinganya langsung dijewer dengan keras. "Pantas saja kamu tidak pernah mau dikenalkan ke wanita-wanita kenalan Bunda. Pantas saja kamu mau tinggal terpisah dari Bunda dan Aryan! Astaga astaga astaga! Anak badung ini!"

Abian mengaduh kesakitan dan kini berusaha melepaskan tangan sang ibu dari telinganya. "Aduh! Bunda lepas dulu!"

"Ini salah paham, Bu Dewi," timpal Fianna memotong obrolan ibu dan anak itu. "Ini tidak seperti yang Bu Dewi pikirkan,"

Dewi Inggit, ibu dari Abian itu menatap aneh Fianna dari ujung kaki hingga kepala sampai-sampai Fianna ikut melihat penampilannya sendiri — tidak ada yang aneh kecuali ia memakai hoodie bertuliskan nama Abian di dada kiri dan sebuah celana training hitam.

Oke, Fianna mengerti tatapan itu. Tatapan salah paham! Sebab bagaimanapun Fianna dan Abian terjebak berdua di rumah yang sepi di tengah hujan, Fianna yang memakai pakaian Abian dan mereka berdua yang kepergok dalam posisi yang mencurigakan. Maka siapa yang tidak curiga karena itu?!

"Cukup Fianna," balas Dewi dengan dramatis. "Kamu juga! Pantas saja kamu seolah-olah tidak tertarik pada pria yang mendekati kamu di kantor ya, pantas saja Aryan sellau khawatir kalau kamu tidak suka pria!"

"Nggak gitu, Bu," sanggah Fianna dengan cepat. "Ibu salah paham, saya bisa jelaskan kejadian sebenarnya. Tadi kita—"

"Bunda akan laporkan kalian berdua pada Ayah," Dewi kini melepaskan jeweran tangannya di telinga Abian dan bergegas mencari ponsel miliknya di dalam tas. "Kalian rupanya sudah macam-macam di luar pengawasan, dasar anak zaman sekarang!"

Dewi kini berbincang dengan seseorang di dalam telpon dan sedikit berjalan menjauh, yang membuat Fianna tidak bisa mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.

"Pak, gimana dong?"

Abian mengangkat bahunya acuh dan kembali duduk di kursi untuk melanjutkan kembali acara makannya yang tertunda. Fianna mengikuti langkah Abian dengan cemas dan terus saja bertanya bagaimana cara agar mereka menjelaskan semua yang terjadi pada Dewi.

"Bunda gak akan percaya," jawab Abian yang lelah.

Baru saja Fianna akan berbicara, Dewi muncul dengan tergesa menghampiri mereka. "Ayah akan kemari bersama Aryan, Arkian dan Arkana. Setelah ini, kita semua pergi ke rumah kamu Fianna,"

"K-ke rumah saya?" tanya Fianna menunjuk dirinya sendiri.

"Iya," Dewi mengangguk. "Kita akan melamar kamu untuk Abian, dan besok lusa kalian harus segera dinikahkan agar kejadian ini tidak terulang dan jika kamu hamil, itu anah yang sah,"

Astaga, seseorang katakan pada Fianna jika semua ini mimpi!!!!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status