Share

Bab 2

Fianna berjalan kembali menuju ruangan Abian, hatinya berdebar-debar dan mulai mempertanyakan apakah Abian melihatnya mengacungkan jari tengah atau tidak saat tadi ia menutup pintu. Perasaan khawatir, cemas dan takut pun kini bercampur menjadi satu dan menghantui setiap langkahnya.

Saat sudah tiba di depan ruangan Abian, Fianna lantas mengetuk pintu dan masuk, "Pak Abian, ada yang bisa saya bantu lagi?" tanyanya dengan sopan, berbeda dengan tingkahnya tadi.

Abian mendongak. "Kerjakan di ruangan saya. Bawa semua peralatan kamu ke sini," kata Abian dengan suara datar. “Kursi, laptop, dan lainnya.”

“Ya. Pak?” tanya Fianna memastikan pendengarannya. “Saya?”

“Jika telinga kamu tidak berfungsi, jual saja. Jangan hanya jadi pajangan.”

Fianna menghela napas kecil. "Baik, Pak Abian," jawabnya pelan.

Fianna dengan langkah lesu kembali ke mejanya. Kini, dia mulai membereskan peralatan miliknya. Tirta dan anggota Divisi Pemasaran yang lain pun memperhatikan Fianna dengan penasaran.

“Mau ke mana?” tanya Tirta saat Fianna tampaknya kerepotan membawa peralatan miliknya. “Mau minggat atau dipecat?”

“Sembarangan,” jawab Fianna seraya mendelik. “Disuruh pindah ke ruangan Pak Abian.”

Satu nama yang terucap membuat seluruh orang mengerti. Dan banyak dari mereka yang melayangkan tatapan iba pada Fianna yang kini dengan pandainya menyimpan seluruh peralatan miliknya di atas kursi dan mendorongnya menuju luar ruangan pemasaran.

“Yang betah di sana, ya, Fianna,” ucap Tirta seraya melambaikan tangan yang dibalas dua jari tengah oleh Fianna.

Fianna mengetuk kembali ruangan Abian dan membukanya tanpa menunggu sang pemilik ruangan menyahut mengizinkan. Dengan segera, ia menyusun peralatannya di atas meja dan mulai bekerja. Suasana ruangan terasa sangat tegang, dan Fianna berusaha sekuat tenaga untuk tetap fokus.

Abian di seberang sana senantiasa mengawasi di sela-sela pekerjaannya dan membawa beban tersendiri bagi Fianna. Setiap kali Fianna balas melirik ke arahnya, Abian terlihat sibuk dengan laptopnya, tetapi Fianna tahu jika Abian terus mengawasi di balik laptop itu.

Tiba-tiba Abian bangkit, berjalan mendekat dan berdiri tepat di belakang Fianna dengan tangan yang terlipat di dada. Ada campuran harum yang elegan, seperti lavender segar yang menyegarkan dipadukan dengan sentuhan musk yang hangat dan maskulin dan membuat Fianna agak tidak fokus dibuatnya.

“Yang fokus,” tegur Abian saat Fianna sempat terdiam begitu ia datang. “Gak usah salting gitu,”

Diam-diam, Fianna mendelik saat ucapan tidak benar itu terdengar. Memilih untuk melanjutkan pekerjaannya, Fianna kini sepenuhnya mengabaikan keberadaan Abian yang sangat membuatnya terbebani.

Di ruangan ini, hanya ada Fianna dan Abian. Wajar saja jika Fianna sangat merasa tertekan dengan keberadaan Abian. Belum lagi, jantungnya yang suka berdebar tiba-tiba saat Abian mendekat. Bahkan Abian kini menumpukan badannya ke atas meja, menjadikan jaraknya dengan Fianna lebih dekat.

“Coba print desain yang itu,” titah Abian tiba-tiba. “Terus yang ini ubah warna ke warna biru,”

“Baik, Pak,” jawab Fianna menurut. “Saya boleh pinjam printernya, Pak?”

Alis Abian terangkat. Bosnya itu tak segera menjawab, membuat Fianna bertanya-tanya. Apa lagi yang akan dipikirkan bosnya itu? Ide kreatif apalagi yang ada di kepalanya? Abian dan pemikiran anehnya itu terkadang tidak bisa ditebak.

“Tidak mau. Kan sudah saya bilang bawa peralatan kamu sendiri. Itu kan printer punya saya,” Abian menyandarkan tubuhnya lebih jauh di atas meja, menatap Fianna dengan tatapan tajam. Fianna tak mengerti arti tatapan Abian. Menurutnya, tak perlu menatapnya seperti itu jika hanya perkara printer.

Dasar pelit, maki Fianna dalam hati.

Fianna menatap datar sekilas ke arah Abian sebelum akhirnya mengangguk. “Baik, Pak.”

Fianna bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari ruangan Abian. Tak berselang lama, ia kembali dengan printer dalam pelukannya. Dengan segera, Fianna menghubungkan printer itu dengan laptop miliknya, dan itu tidak luput dari pandangan Abian.

Namun, ketika ia mencoba mencetak desain seperti yang Abian perintahkan, printer itu tiba-tiba bermasalah. Kertas tersangkut di dalam printer, dan Fianna mencoba menariknya keluar, tetapi gagal.

“Aduh, kenapa, ya?” gumam Fianna bingung dan cemas.

Apa jangan-jangan, printer pun takut pada Abian? Astaga.

Fianna melirik Abian, satu-satunya orang lain di ruangan ini hanya bosnya. Tak ada orang lain yang bisa ia minta bantuan untuk membetulkan printernya. Namun, ia agak gengsi jika meminta bantuan Abian. Meski ia kerap merasakan debaran halus di hatinya ketika ia dan Abian berdekatan, tetapi bosnya itu juga menyebalkan.

“Kamu coba buka itu bagian dalamnya,” tunjuk Abian pada tempat katup penutup printer.

“Baik, Pak.” Fianna langsung membuka katup tersebut. Alih-alih mengetahui masalah kertas yang menyangkut, ia malah mendapati tinta printer yang habis. Fianna mendongak, menatap Abian. “Pak, tintanya habis.”

“Ya, sudah. Isi.” Fianna mendengus kesal ketika mendengar jawaban Abian yang acuh tak acuh.

Fianna tidak punya tinta cadangan di mejanya. Jadi, ia berharap bahwa Abian peka dan berinisiatif. Namun, sepertinya harapannya terlalu tinggi. “Saya tidak ada tinta cadangan, Pak.”

Abian mengerutkan keningnya. Fianna menelan ludahnya lamat-lamat, takut dibentak. Namun, Abian kemudian justru melemparkan sekotak penyimpanan tinta padanya. “Isi sampai penuh.”

“Terima kasih, Pak!”

Fianna tersenyum dan membuka bagian penyimpanan tinta, mengisinya kembali sampai penuh seperti yang diperintahkan Abian. Namun, sampai ia selesai mengisi tinta pun juga tidak menemukan masalah mengapa kertasnya tersangkut di printer.

“Ck,” Tiba-tiba, Fianna mendengar Abian berdecak kesal. “Biar saya yang urus,”

Fianna menyingkir, memberi ruang bagi Abian untuk mencoba memperbaiki printer. Namun, situasi malah semakin kacau. Abian menarik kertas dengan keras, dan tiba-tiba printer itu mengeluarkan bunyi yang keras. Tenaga yang dikeluarkan Abian membuat printer bergoyang sehingga membuat tempat tinta yang belum sempat ditutup pun bocor dan mengenai kemeja putih Abian.

Fianna terkejut. Namun, pemandangan itu sangat lucu. Ia berusaha menahan tawanya, mencoba menutupi mulutnya dengan tangan. Entah mengapa, ia merasa puas melihat langsung kejadian itu.

Fianna langsung menetralkan ekspresinya begitu Abian menatapnya dengan kesal.

"Fianna, bantu saya!"

“Iya, Pak. Sebentar!”

Fianna mengangguk dengan cepat, masih berusaha mengendalikan tawanya. Ia bergegas mengambil beberapa tisu dan mencoba membersihkan tinta di kemeja Abian, menggosoknya dengan sedikit keras. Hitung-hitung, sekalian membalaskan kekesalannya pada Abian.

“Bersihkan yang benar! Jangan digosok seperti itu, nanti baju saya semakin kotor!” Fienna bisa merasakan kekesalan Abian padanya. Namun, Fianna menikmati kekesalan bosnya itu. Ia bahkan terlalu menikmatinya.

“Fianna!” hardik Abian ketika Fianna justru semakin menggosok bajunya dengan cepat, membuat tinta menyebar ke bajunya lebih banyak.

“Aduh, Bapak cerewet sekali! Ini saya lagi berusaha, Pak. Diam sebentar, ya.” Fianna sedikit memperhalus nada bicaranya di akhir kalimatnya.

Namun, ia tak menyangka bahwa Abian akan menuruti omongannya. Bosnya itu benar-benar diam seribu bahasa dan tidak protes lagi. Fianna pun penasaran. Ia mendongak, menatap Abian.

Celakanya, Fianna mendapati Abian menatapnya dengan tatapan intens yang aneh. Fianna terdiam ketika tatapan mereka bertemu. Tangannya tidak lagi mencoba membersihkan tinta yang menempel di baju Abian. Ia merasa terperangkap dalam dinamika aneh yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Trriingg!

Keduanya dikejutkan dengan suara telepon Abian. Membuat Fianna langsung kembali ke tempatnya dengan salah tingkah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status