Lima belas menit sudah Alira terisak dan tergugu di dada suaminya, waktu yang cukup lama, guna untuk sekedar mengurai rasa sesak, hingga mencapai kata sedikit tenang dengan tangisannya yang mulai berkurang.
"Kamu minum dulu ya?" kata Satria, setelah membisu, hanya membelai lembut puncak kepala dan punggung istrinya memberikan kenyamanan.
Melepaskan pelukannya, tak beradu pandang dengan Alira yang membisu menundukkan kepala, segera mengayunkan langkahnya untuk menuang air putih yang ada di dalam teko ke dalam gelas yang tadi di pakainya di atas nakas.
"Kamu minum dulu Ra, tenangin diri kamu," kata Satria, dengan begitu lembutnya, mengalihkan pandangan istrinya.
"Ayo," lanjut Satria, karena istrinya yang terdiam, tak kunjung mengambil alih gelas pemberiannya menatapnya sendu.
"Mau minum pakai tanganku?"
"Terimakasih," jawab Alira akhirnya, mengambil alih segelas air pemberian suaminya menciptakan seulas senyum di bibir Satria.
Segera me
Semilirnya angin, masuk ke dalam jendela kamar Alira yang terbuka, tanpa gorden yang menutupi membebaskan masuknya sinar mentari di sore hari.Terlihat Satria, duduk di tepi ranjang mengulum senyum di bibirnya, memperhatikan Alira yang sedang menikmati ayam geprek tanpa nasi di atas piring."Kenapa senyum-senyum?" tanya Alira, masih dengan wajahnya yang murung, melebarkan senyum suaminya."Enak nggak?""Enak, mau? itu masih ada satu," jawab Alira, menunjuk banyaknya makanan yang mengantri di atas nakas, dengan telunjuknya yang penuh dengan sisa sambal mengunyah makanannya."Aku mau itu,""Mana?""Yang ada di tangan kamu," jawab Satria mengedikkan dagunya."Kan bekas aku,""Ya nggak papa, kita makan bareng-bareng lagi sama seperti ketoprak kemarin," jawab Satria, tak membuat Alira bersuara, hanya mengulurkan piring yang di
Senja hendak berganti malam, bersama dengan derasnya air hujan, membasahi halaman rumah Alira yang tertutup Rapat.Setelah lima belas menit berlalu, setelah adzan Maghrib berkumandang, terlihat Alira, duduk terpekur di atas sajadahnya, tak ada lagi air mata, hanya rasa sesak yang melanda baru menyelesaikan sholatnya.Berdzikir dengan matanya yang terpejam, guna untuk menenangkan hatinya yang tak karuan, menenangkan jiwanya yang sedang lara.Tok tok tok Suara ketukan pintu di kamarnya, membuka matanya mengalihkan pandangannya."Suami kamu belum pulang juga Ra, di luar hujannya deras, coba kamu telepon dia ada di mana," kata Bu Rani, sesaat setelah membuka pintu kamar beradu pandang.Dengan Alira yang membisu, tak menjawab pertanyaan ibunya, tak mengetahui kepergian Satria yang tak pamit kepadanya."Nanti juga pulang sendiri Bu, Ma
"Terima takdir kamu Ra, terima kenyataan,""Terima semuanya, kamu harus menjadi istri yang baik Ra, kamu harus bisa berbakti,""Lupakan Adam, lupakan Adam, lupakan Adam,"Batin Alira, yang sedang mengiris kentang menjadi persegi kecil-kecil, hendak membuat menu sambal goreng kentang dan juga hati.Berusaha berdiri tegak di atas kakinya yang sedikit gemetar, akibat rasa tertekan yang sedang di rasakannya mencoba mensugesti otak dan juga hatinya sendiri.Namun nihil, karena semakin dirinya berkata lupakan, bayangan Adam semakin terlihat jelas, kembali mengingat memory kebersamaannya dengan Adam, bagaimana sikap lembut Adam, bagaimana manisnya senyum Adam, dan bagaimana hangatnya pelukan Adam.Selama enam tahun belakangan, membuatnya begitu bahagia, merasa di cintai sepenuh hati.Hingga membuatnya begitu bersyukur, merasa sangat beruntung menjadi satu-satunya
"Gimana Alira?" tanya Satria, sedang berdiri tak jauh dari Dokter Manda, wanita berparas cantik dan juga masih muda dengan usianya yang baru menginjak 27 tahun. Baru menyelesaikan pemeriksaan."Baik, tekanan darahnya juga normal. Nggak ada masalah Kak,"Menciptakan helaan nafas di bibir Bu Rani dan juga Pak Herman merasa lega."Tapi kenapa bisa pingsan? coba kamu periksa lagi Man," titah Satria, masih tak percaya ingin lebih memastikan lagi bahwa istrinya itu baik baik saja."Aku nggak papa Mas," sahut Alira."Itu matanya sembab begitu, lagi stres ya? banyak pikiran?" tanya Dokter Manda, menciptakan seulas senyum kikuk di bibir Alira sebagai jawaban."Apa yang kamu rasakan tadi pas mau pingsan?""Pusing, mungkin karena pikiran lagi kemana-mana Dok, terus mata rasanya gelap dan nggak sadar,""Sering seperti itu?"Meng
Pagi telah menjelang, menunjukkan sinarnya yang begitu hangat dan masih mengintip, tak menembus kaca jendela Alira yang tertutup gorden.Tepat di pukul 06:00, terlihat Alira, baru membuka matanya perlahan, merasakan hawa panas di atas perutnya yang terasa berat membangunkannya.Sebelum terdiam, dengan rasa terkejutnya, menatap Satria yang tengah tertidur pulas merangkul perutnya."Panas," gumamnya pelan, sedikit menggeser posisi tubuhnya, untuk bisa menyentuh kening suaminya yang sedang demam menatap lekat.Kembali mengingat kalimat dan permintaan Satria tadi malam, benar-benar membuatnya gugup, tak mampu mengendalikan degup jantungnya yang tak karuan. Akibat rasa takutnya yang meninggi, merasa tak siap menyerahkan diri."Aku ingin kita menjadi suami istri yang sebenarnya,""Apa maksud Mas?""Kamu ngerti apa maksudku Ra,"Melemaskan tubuh Alira, sama sekali tak bisa membayangkan apa yang di inginkan suaminya.
"Obat terampuh," lirih Satria, sesaat setelah melepaskan ciumannya mengulaskan senyumnya.Sebelum terkejut, dengan sentakan tangan Alira yang terlihat begitu kesal, melepaskan pelukannya dan turun dengan begitu cepatnya menjauhinya.Hingga membuatnya terdiam, dengan sorot mata tajamnya, segera beranjak duduk dan mencekal tangan Istrinya. Yang sudah berdiri, hendak meninggalkannya keluar kamar."Kenapa? marah?" tanya Satria, dengan deru nafasnya yang memburu, akibat rasa terkejut dan juga hasratnya yang tak tersalurkan dengan sempurna.Bersitatap dengan sorot mata kesal istrinya, yang membisu menatapnya tak kalah tajam."Mas mengingkarinya lagi Mas!""Apanya?" jawab Satria balik bertanya. Berusaha keras untuk tenang tak melepaskan cekalan tangannya."Mas sendiri yang bilang satu bulan lagi bukan? kenapa sekarang seperti ini?""Apanya yang s
Semilirnya angin, terasa begitu sepoi membelai kulit, bersama dengan sinar mentari yang masih hangat, begitu bersahabat belum menunjukkan teriknya.Tepat di pukul 08.30, terlihat Alira, baru turun dari pintu mobil yang di buka oleh supir pribadi Papa Bagaskara, tepat di pelataran di depan pintu loby, membuatnya merasa tak nyaman mengedarkan pandangan.Memperhatikan tatapan heran beberapa karyawan yang mungkin saja tak mengetahui hubungannya dengan Satria."Kenapa?" tanya Satria, sesaat setelah turun dari pintu mobil yang lainnya menghampirinya."Nggak papa," jawabnya cepat.Berusaha menutupi rasa tak nyamannya, terlebih lagi menutupi rasa sakit dan juga nyeri di hatinya, saat memikirkan Adam, lelaki yang di cintainya namun tak di gariskan untuk hidup bersamanya.Sama sekali tak mengetahui cara untuk mengakhiri hubungan, mungkin lebih tepatnya sama sekali tak
"Maaf," lirih Alira.Semakin mempercepat degup jantung Adam menatap dalam."Maaf? untuk apa?" lirih Adam.Memejamkan dalam mata Alira, masih menundukkan kepalanya. Berusaha untuk tegar di atas kondisinya yang gemetar, berusaha untuk kuat melawan hasrat yang tak ingin kehilangan."Tenang Ra, tenang, percaya sama Allah, percaya, percaya ini yang terbaik untuk kamu dan juga Adam," batin Alira, segera menarik nafasnya panjang, sesaat sebelum menegakkan kepalanya.Beradu pandang dengan sorot mata sendu Adam, terlihat begitu terluka kembali melemahkan ya."Ya Allah... kenapa susah sekali?" batinnya lagi, semakin sendu dan juga pilu. Berusaha keras untuk menahan buliran bening di balik kelopak matanya yang telah berkaca-kaca, mencoba bersuara."Aku...,"Mengerutkan kening Adam, merasa begitu tak sabar, di sela rasa khawatirn
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"